summerpsyche

25 Poin

cw // smoke


Istirahat jam kedua memang selalu jadi favorit seluruh siswa, selain karena jam istirahatnya jauh lebih lama di banding dengan istirahat pertama, di jam istirahat rahat kedua juga banyak yang bisa di lakukan, entah itu untuk tidur atau sekedar membuat lingkaran dan mulai bercerita dengan teman kelas.

Namun berbeda kali ini dengan deon, dia menolak ajakan dari ais dan dipta yang mengajaknya untuk menikmati semangkok bakso dari mang udin yang menjadi menu legendaris di sekolahnya, untuk ribi dan miranda jangan tanya mereka kemana belum sedetik bel istirahat kedua berbunyi mereka sudah pergi entah kemana.

Jadilah deon kali ini berkeliling sekolah, entah dengan tujuan apa deon hanya ingin jalan-jalan saja.

Sepanjang perjalanan dia membalas beberapa sapaan dari adik kelas dan kakak kelasnya yang secara random menyapanya, entah terlalu semangat atau apa deon sampai tidak sadar kalau sekarang dia sudah hampir sampai di belakang sekolah.

Tempat yang jarang sekali siswa-siswi lalui karena siapa juga yang mau datang ke tempat ini, tidak ada pemandangan menarik kecuali gudang yang di penuhi kursi-kursi dan meja yang sudah tak layak pakai lagi.

Namun belum sempat deon berbalik arah dia melihat sosok bayangan, ada orang lain di sini selain dia.

Deon bisa lihat jelas dari bayangan kepulan asap yang perlahan menghilang terbawa angin.

Ada yang merokok di area sekolah.

Sebagai anggota OSIS dengan jiwa yang kuat tanpa banyak bergikir deon segera memantapkan langkahnya untuk menangkap pelaku yang berani merekok di dalam area sekolah.

“Merokok di area sekolah 25 Poin.” dan setelah mengakhiri kalimatnya deon baru sadar kalau tindakan soknya tadi itu adalah sebuah kesalahan besar.

Deon merasa baru saja memilih pilihan yang sangat salah dalam hidupnya, seharusnya dia tidak sok berani untuk menegur, seharusnya dia tadi pergi saja.

Dan untuk kesekian kalinya deon mengutuk semesta yang selalu mempertemukannya dengan faris.

Sebercanda ini semesta dengannya.

Persetan lah dia kepalang sudah menegurnya lebih baik di lanjutkan saja, atau dia akan di anggap tidak profesional dalam melaksanakan tugasnya sebagai anggota OSIS.

“Faris Arsenio 25 poin, pelanggaran merokok di area sekolah.”

Seharusnya deon juga tidak mengulang kalimatnya, karena dia tidak akan mendapat respon apapun dari pemuda di depannya itu.

Dia masih sibuk dengan sebatang rokoknya, menghisapnya dalam-dalam sebelum menghembuskannya dengan pelan menciptakan kepulan asap yang menyesakkan rongga dada.

“Lo belum genap sebulan sekolah di sini, tapi poin lo udah 30 di tambah sama ini poin lo jadi 55, Seriously sebenarnya lo sekolah buat apa sih?”

“Gue tau dari dulu lo emang kayak gini, tapi ini belum genap sebulan lo sekolah di sini.”

Sekarang deon bisa melihat pergerakan pemuda di depannya yang tadinya duduk merokok dengan santai sekarang berdecak, menghisap dalam-dalam rokoknya sebelum menghampirinya.

Sejujurnya deon tidak pernah membayangkan akan mengalami hal seperti di siang bolong dalam area sekolah, tapi dia sendiri sekarang mendapati dirinya terhimpit di dinding oleh pemuda yang seharusnya tidak pernah dia temui lagi.

Deon terkurung dengan kedua tangan faris di masing-masing sisinya, deon ingin melawan tapi tindakan dan fikirannya tidak sejalan.

Otaknya terus menyuarakan agar dia memberontak dan segera pergi dari tempat ini, tapi dia justru tidak melakukan apapun.

Pikirannya semakin kacau ketika faris mulai mendekatkan wajahnya, semakin dekat bahkan hidungnya hampir bersentuhan.

Deon tidak tahan dengan tatapan tajam yang menatap tepat pada matanya, terlalu mendominasi membuat deon tidak bisa melakukan apapun selain menutup matanya.

Nafasnya tercekat ketika merasakan hembusan di depan wajahnya, merasakan bagaimana asap rokok itu masuk perlahan kedalam paru-parunya, untungnya deon bukan orang yang mengidap gangguan pernafasan sehingga tidak terbatuk di depan wajah faris.

Matanya terbuka perlahan menatap faris dengan tatapannya yang sama, selalu sama.

“Untuk seukuran orang asing, lo terlalu banyak bicara.”

Dia kemudian membuang puntung rokoknya tepat di samping deon, meninggalkannya dengan kepulan asap yang perlahan mulai memudar bersamaan dengan degup jantung deon yang berdetak lebih cepat.

Deon selalu benci situasi ini.

•••

“Yon, lo dari mana aja dah?” tanya ais ketika deon baru sampai di dalam kelasnya.

“Deon, lo gak tau aja lo habis ketinggalan berita paling hits.” timpal miranda di mejanya.

“Emang kenapa?” tanyanya kemudian.

“Ais tadi abis modusin kakak kelas, masa dia sok dilan banget anjir wew, untung aja kak ajun gak muntah di tempat.”

“Diem gak lo.” balas ais galak namun mirnada malah memeletkan lidah kearahnya.

“Bau lo aneh.” Miranda mengibas-ngibaskan tangannya di depan wajah.

Deon merutuki dirinya dalam hati, sial baunya tertinggal.

“Lo habis ny—

“Permisi ini kelasnya Deon Anggreva?” ucap siswa yang berdiri di depan pintu kelasnya membuat seluruh atensi tertuju kepadanya.

Itu akalanka datang dengan wajah watadosnya, kemudian menatap balik kepada anak-anak yang menatapnya penuh tanda tanya.

“Santai aja gue datang dengan damai ke kelas kalian, cuman ini deon gue yang samperin elo atau lo yang samperin gue , pegel nih kaki berdiri mulu mana ke kelas lo butuh perjuangan.”

Mendengar itu deon langsung bergegas menghampirinya, “Muka lo kalem aja, gue gak ngapa-ngapain kok serius.”

Deon baru tau kalau akalanka yang sering di eluh-eluhkan itu terlalu banyak bicara bahkan deon belum mengeluarkan sepatah katapun.

“Kenapa, ya?” tanya deon pelan.

“Ini buat lo, katanya di pake.” kemudian menyodorkan sebotol parfum dengan ukuran sedang.

“Ha? ini buat apa?”

Gerakan spontan dari akalanka membuat deon terkejut setengah mati, cowok itu mengendus sebentar, “Lo bau rokok.”

“Di pake ya, gue duluan.”

Cowok itu pergi meninggalkan deon yang terdiam di depan pintu sambil menatap sebotok pafrum di tangannya.

Berantem itu di ring, bukan di sekolah


Sunghoon hampir stres tak habis pikir bagaimana bisa sebuah surat dari sekolah datang untuknya, surat pemanggilan orang tua.

Dan sunghoon langsung menelfon suaminya yang tengah di kantor, mendapat panggilan bahwa mereka di panggil untuk segera ke sekolah sang anak membuat heeseung langsung meninggalkan pekerjaannya dan bergegas ke rumah menjemput sunghoon untuk segera ke sekolah.

Sesampainya mereka di sekolah, mereka langsung di arangkan kearah ruang kepala sekolah dimana putra tunggal mereka telah duduk bersamaan dengan salah satu teman sekolahnya.

Sunghoon sempat melirik sebentar, melihat luka memar di sudut mata dan bibir sang anak membuatnya meringis tak tega.

Berbeda dengan anaknya yang hanya mendapati memar di sudut mata dan bibir, siswa yang berada di samping anaknya itu mendapati memar dimana-mana, bahkan masih ada bekas darah di ujung bibir dan hidungnya.

“Ini yang ketiga kalinya Rizki berkelahi dalam kurun waktu seminggu ini.”

•••

“Papa gak habis pikir kenapa bisa dalam seminggu ini adek tiga kali berantem sama teman yang sama.” Sunghoon yang masih memotong-motong sayuran terus-terusan bicara mengabaikan Riki yang sedari tadi berdiri di sampingnya.

“Papa dengerin iki dulu, iki berantem sama dia karena dia yang mulai duluan.” jelasnya.

“Tapi papa kan pernah bilang, kalau ada yang kayak gitu gak usah di peduliin, biarin mereka mau bilang apa gak usah di dengar.” sunghoon mencuci bersih sayuran yang habis di potong, masih enggan menatap sang anak yang sedari tadi meminta atensinya.

“Tapi, masa iki harus diam terus kalau dia udah ngeluarin kata-kata yang gak pantes.”

Sang anak kini mengalihkan pandangannya menatap sunghoon yang tadinya mencuci tangannya kini beralih mengusap matanya, membuat Rizki langsung menghambur kedalam pelukan papanya.

“Maaf, maafin iki papa, jangan nangis lagi, iki janji gak akan berantem lagi.”

Sunghoon hendak melepas pelukannya namun anaknya enggan melepas malah terus mengeratkan pelukannya sambil menggeleng.

“Iki gak mau lepas, kalau papa masih nangis, gak mau lepas kalau papa masih marah.”

“Lepas dulu, papa gak marah, papa gak marah sama adek.”

Sunghoon kini beralih mengelus punggung putra semata wayangnya, “Terus kenapa nangis?”

“Papa cuma sedih, adek gak pernah cerita soal ini, tiga kali adek berantem dan papa gak tau sama sekali.”

“Maaf, iki minta maaf, jangan sedih lagi. Iki gak suka.”

Sunghoon mengangguk sebentar kemudian melepas pelukan sang anak, kini beralih menatap memar yang mulai membiru di sudut bibir dan matanya.

“Obatin dulu lukanya, ya?”

“Papa yang obatin?”

Sunghoon mengangguk kemudian tersenyum mengusap surai sang anak.

•••

“Papa pelan-pelan, ini perih.” Iki meringis merasakan perih di sudut bibirnya.

“Baru segitu aja kamu udah ngeluh perih, gimana kabarnya sama teman kamu yang kamu tonjok habis-habisan itu, dia memar dimana-mana.” heeseung yang sedari tadi membaca koran di ruang tamu menyaut saat mendengar ringisan putranya.

“Ayah gak pernah ngajarin kamu buat main tangan, apa lagi ternyata kamu udah tiga kali berantem sama dia.”

Sunghoon terdiam menghentikan aktivitasnya mendengar heeseung membuka suara untuk pertama kalinya sepulang mereka dari sekolah untuk menjemput Rizki.

Begitu juga Rizki yang kini mulai menunduk, tidak berani melawan jika ayahnya sudah mulai angkat bicara.

“Kamu itu di sekolahin buat sekolah, bukan buat berantem, mau jadi apa kamu kalau berantem terus? kalau mau berantem itu di ring sana, ajak dia duel jangan di sekolahan, mau jadi sok jagoan kamu?”

“Ayah, ih udah, adek mau di obatin dulu.” sunghoon yang mulai menyadari heeseung mulai mendidih memilih untuk menengahi.

“Dia itu kalau gak di bilangin kayak gitu gak akan kapok.”

“Mas.”

“Habis ini temuin ayah di ruang kerja, ayah mau bicara sama kamu.” heeseung meletakkan koran yang sedari tadi di tangannya ke meja, juga kaca mata yang bertengger di hidungnya.

Rizki tidak menjawab, karena perkataan heeseung barusan itu adalah mutlak tidak untuk di bantah maupun di tolak.

Ayahnya memang jarang sekali marah sosok yang selalu menjadi panutan Rizki bahwa dia harus jadi seperti ayahnya yang sangat menyangi keluarga kecil mereka, selalu menomor satukan dirinya dan sang papa, bisa menjadi seorang teman dan sekaligus ayah yang tegas untuknya.

“Iki dengerin papa.” sunghoon mengarahkan sang anak yang sedari tadi menunduk untuk menatapnya, “Mau semarah apapun iki mukul teman itu tetap salah, bukannya papa ngebiarin kamu di tindas enggak, tapi iki harus liat situasi, itu area sekolah dan sekolah itu tempat buat belajar.”

“Papa gak membenarkan tindakan kamu, tidak menyalahkan juga, tapi harus hati-hati ya, ayah cuma emosi karena kamu hampir di keluarkan dari sekolah karena ternyata kamu sudah di beri peringatan beberapa kali.”

“Nah, lukanya udah di obatin semua.” sunghoon kemudian membereskan kotak P3K miliknya.

“Sekarang temuin ayah sana, dia gak akan ngapa-ngapain kamu ayah itu sayang sama kamu.”

•••

Rizki memutar kenop pintu perlahan, mengintip sebentar melihat ayahnya yang sedang fokus dengan layar laptop hingga memantul dari kaca matanya.

Heeseung melihat sekilas menatap Rizki yang mengintip di balik pintu, “Masuk, duduk.”

Dan tanpa di perintah dua kali dia langsung duduk menunduk di depan ayahnya yang masih fokus dengan laptopnya, tak lama kemudian heeseung menutup laptopnya menaruh kedua tangannya di depan dagu, menatap rizki.

“Ayah gak pernah ngajarin kamu kalau lagi bicara sama orang itu nunduk.” Rizki kemudian langsung menatap ayahnya yang memberi tatapan yang membuat rizki sedikit ketakutan.

“Maaf, yah.”

“Ayah gak tau harus ngapain lagi tadi kalau kepala sekolah kamu gak bisa di ajak bicara dan kamu di depak dari sekolah.”

“Iki minta maaf.”

“Jangan minta maaf terus, kemana kamu yang berani mukul teman kamu? kenapa sekarang nyalinya ciut?”

“Maaf.”

“Jangan maaf-maaf terus, kamu kenapa bisa berantem sama teman kamu sampai tiga kali.”

Rizki menghembuskan nafasnya pelan sebentar untuk membuka suara, “Awalnya iki gak apa-apa kalau dia ngejek iki aja, iki biarin sesuka dia buat ejek iki terserah dia, tapi iki gak terima dia udah mulai bawa-bawa ayah sama papa.”

“Dia boleh ejek iki sepuasnya, tapi gak boleh ejek orang tua iki.”

Rizki kemudian menatap ayahnya yang sedang membuka laci meja kerjanya mencari sesuatu, lalu memgeluarkan selembar brosur kedepannya.

“Lain kali kalau mau berantem ajak dia langsung ke ring, jangan jadi sok jagoan berantem di sekolah, bagusan kamu berantem di ring lepas baju sekolah mau patahin tangan dia juga gak apa-apa.”

Rizki menatap selembar kertas yang di berikan ayahnya, brosur kelas tinju.

“Daftar kesana, sekalian ajak temen kamu itu, bilangin kalau mau berantem kita ke ring langsung.”

Rizki kehilangan semua kalimat yang berputar di dalam kepalanya selama beberapa saat, kemudian menatap ayahnya yang kini tersenyum mengusap puncuk rambutnya.

“Lain kali kalau dia ada ngomong sesuatu lagi gak usah di pukul, ajak langsung dia ke ring.”

Rizki tertawa sebentar melihat senyum ayahnya yang kini kembali, tidak ada lagi aura mencekam yang menyelimuti mereka.

“Udah, ayo turun kita makan bareng papa, habis itu main game sampe tengah malam, sampe kamu puas.”

“Beneran?!”

“iya.”

Sunghoon tersenyum mendapati heeseung dan iki yang kini berjalan beriringan bercerita satu sama lain, iki menjelaskan dengan antusias sedangkan heeseung menanggapi dengan tak kalah antusiasnya.

Mereka makan malam dengan khidmat di selingi beberapa percakapan hangat, yang membuat sunghoon tidak berhenti memperlihatkan senyum indahnya.

Tak lama kemudian sunghoon mendapati gelagat aneh dari keduanya yang saling menatap, “Kalian ngapain sih?”

“Sekarang main rahasia-rahasiaan gak ajak papa, oke.” sunghoon pura-pura ngambek.

“Bukan gitu sayang, iki jelasin ke papa sana.”

“Gak mau ah, Ayah aja sana ini kan urusan Papa sama Ayah.”

“Kan kamu yang minta.”

“Kan ayah yang mau.”

“Kalian ini bicara apa sih?” Sunghoon mulai kesal.

“Iki katanya mau punya adek.”

Dan sunghoon tersedak air minumnya.

— end.

Warnings! Blood, violence, major character(s) death.


Tubuh pemuda itu tersungkur ke depan, wajahnya memerah dengan bekas air mata mencoba menahan semua emosi yang meluap-luap di dalam dirinya.

“Aku tidak pernah mengerti kenapa kau bersikap seperti ini, seharusnya kau mengerti kenapa aku melakukan semuanya untukmu.”

Pemuda itu mencoba bangun kemudia bicara meskipun sedikit terbata, “K-kenapa?! kenapa kau tidak pernah mengerti?!”

Sedangkan lawan bicaranya di depan sana berdiri dengan wajah angkuhnya tanpa menatap pemuda itu sama sekali, “Yang kutahu, pembicaraan ini sudah selesai.”

“Tapi aku belum selesai.” elaknya menatap pemuda di hadapannya dengan raut wajah kecewa. “Kau bertingkah seperti ini karena gadis itu, kan?”

Sosok itu menatapnya masih enggan membuka suaranya, “Kau mengharapkan apa padanya? kau fikir dia berbeda? dia hanya tidak tahu kau siapa.”

“Kau tahu heeseung, yang bisa mengerti kau hanya aku!!” teriaknya dengan lantang.

“Lalu kenapa jika hanya kau yang mengerti aku, apa lantas aku harus mencintaimu?” balasnya dingin membuat pemuda itu terdiam mengepalkan tangannya dengan kuat.

“Park sunghoon sebaiknya kita tidak usah bertemu lagi, masamu telah usai, aku tidak membutuhkanmu lagi.”

“Apa maksudmu?”

“Aku membuangmu, apa itu kurang jelas?!”

Sunghoon terbelak mencoba bangun kemudian mendorong pemuda di depannya itu dengan kuat, memukulnya berkali-kali mesikpun tidak berdampak apapun padanya.

Pemuda itu menggila, menghancurkan semua barang-barang di dalam ruangan itu, heeseung membiarkannya dia ingin melihat seberapa lama pemuda itu bertahan dengan menghancurkan seisi ruangannya.

“Tidak, tidak bisa.”

Sunghoon mendorong vas bunga di meja kerjanya, “Kau tahu berapa lama aku hidup sebagai bonekamu? dan sekarang kau berbuat seperti ini?”

“Kau membuangku demi seorang gadis?!”

“Aku melakukan semuanya untukmu, kau tidak bisa mencapakkan diriku!”

Heeseung mengangkat satu tangannya menyuruh sunghoon berhenti dan penanda untuk para pengawalnya agar segera masuk kedalam ruangannya.

Mereka menarik paksa sunghoon keluar dari ruangan itu, mendorongnya hingga jatuh tergeletak di lantai.

Sunghoon mengepalkan tangannya, dia melakukan semuanya untuk heeseung, dia mengorbankan seluruh hidupnya demi pemuda itu, tapi yang dia dapatkan justru dia mendapati dirinya sendiri di campakkan, di usir selayaknya anjing kecil pengganggu.

Dengan emosi yang meluap-luap dia berdiri di depan pintu kaca ruangan itu memukulnya berkali-kali, berteriak kesetanan tak peduli dengan orang-orang yang menatapnya aneh.

“LEE HEESEUNG KAU TAK BISA MELAKUKAN INI PADAKU!!” sunghoon menggedor pintu itu dengan kuat menatap penuh benci pada pemuda yang di dalam sana menatapnya tanpa ekspresi.

Sunghoon beringsut menangis pilu bersandar pada pintu kaca.

Heeseung mendengarnya, mendengar bagaimana suara tangisan itu berubah menjadi tawa yang nyaring seolah-olah sedang meledeknya. Pemuda itu berbalik tertawa terbahak dengan jejak air mata di wajahnya, dia tertawa sangat kencang sampai megangi perutnya kemudian mengusap air matanya.

Dia menatap pemuda itu dengan tawa lebarnya memperlihatkan gigi putihnya, “Lee heeseung.” ucapnya sambil mengeluarkan sesuatu dari dalam saku cardigannya.

Sunghoon kemudia menggores pintu kaca itu dengan kawat kecil dari dalam cardigannya, “Nantikan hadiah dariku, ya.” kemudian berbalik meninggalkan heeseung dengan banyak pertanyaan di kepalanya.

“Kau sendiri yang ingin mengakhiri sandiwara ini.”

•••

Di dalam sebuah ruangan dengan cahaya remang-remang, sunghoon bertopang dagu di salah satu besi menatap pantulan dirinya di cermin besar dengan seseorang yang tergeletak tak sadarkan diri.

“Ugh.” gadis itu melenguh pelan, membuat sunghoon lantas beralih menatapnya antusias.

Dengan kepala pening luar biasa gadis itu kencoba untuk bersandar di cermin besar di ruang latihannya, penglihatannya mulai kembali seiring dengan pening di kepalanya yang mulai berkurang.

Samar-samar gadis itu melihat seseorang tengah nenatapnya bertopang dagu di salah satu besi berbentuk horizontal setinggi pinggang yang melekat di dinding yang biasa ia gunakan selama latihan.

Sunghoon bisa melihat raut keheranan yang terukir jelas di wajah gadis itu membuat sunghoon mau tak mau kembali melebarkan senyumnya, pertunjukannya sebentar lagi di mulai.

Gadis itu mencoba untuk beridri namun urung, matanya terbelak ketika menyadari sepatu baletnya kini menyatu dengan pisau, dia menatap horor melihat bagaimana kilatan tajam pisau itu tepat berbatasan dengan kakinya, salah bergerak sedikit kakinya bisa cidera.

“Sepertinya kesadaranmu belum kembali sepenuhnya.” sunghoon menghampiri gadis itu.

Dia beringsut mundur namun sebuah kebodohan karena dirinya tengah bersandar di cermin besar ruang latihannya, gadis itu berteriak ketakutan ketika sunghoon menarik tangannya membuatnya berdiri secara paksa.

Seiring suara teriakannya suara musik klasik kemudian menyusul dengan sangat nyaring memenuhi seisi ruangan.

Sunghoon meraih lengan gadis itu, menaruh satu lenga gadis itu di pundaknya, menari-nari kecil sedangkan gadis itu terus memberontak ingin pergi namun sunghoon menahan pinggang agar terus menari bersamanya.

Suara musik klasik itu semakin cepat membuat gerakan mereka juga ikut seirama dengan suara musiknya, gadis itu berteriak histeris minta di lepaskan, dia tahu apa yang selanjutnya akan terjadi.

“Sunghoon, ku mohon lepaskan aku.”

Sunghoon seolah tuh masih terus membawa gadis itu menari mengikuti musik, “S-sakit, kumohon l-lepaskan aku.”

Dia tidak mendengarkan sunghoon memilih tidak mendengarkan ketika tahu pisau itu perlahan-lahan mulai merobek sepatu baletnya.

“Tidak ada orang yang pernah membuangku, tidak ada dan tidak akan bisa.” Sunghoon mengeratkan pelukannya di pinggang gadis itu, “Dan lee heeseung berani membuangku karena kau, gadis yang bahkan tidak tahu apapun tentangnya.”

“Dia berani membuangku itu artinya dia harus siap menerima sebuah hadiah dariku dan ini adalah hadiah dariku.” dia mengangkat gadis itu membuatnya berteriak histeris seirama dengan suara musik yang memenuhi ruangan.

“Dan hadiahnya adalah sebuah pertunjukan.”

Gadis itu ia turunkan dengan cukup keras membuatnya kembali berteriak “Arrghh.” sunghoon tertawa melihat warna merah itu kini mengubah warna sepatu si gadis.

Sunghoon melakukan gerakan itu berkali-kali, membuat ujung pisau itu menembus kaki gadis itu semakin dalam, semakin sakit, dan semakin tersiksa.

Bercak darah berceceran di lantai gadis itu meraung kesakitan.

Dia mengangkat gadis itu mengajaknya berputar sebentar kemudian melepaskan begitu saja, gadis itu terlempar dengan keras menabrak cermin besar membuat cermin itu pecah berkeping-keping.

Sedangkan gadis itu tergeletak dengan tubuh tergores di penuhi darah dimana-mana.

Dengan langkah perlahan, sunghoon mendekati gadis yang tergeletak mengenaskan dengan serpihan kaca di sekujur tubuhnya, sunghoon meraih sebuah pistol dari dalam saku celananya.

Tak ingin berlama-lama sunghoon segera menarik pelatuk pistolnya.

Dor!

“Pertunjukan kematianmu.”

Peluru itu melesat tepat di kepalanya, sunghoon tersenyum mengejek melihat bagaiamana wajah gadis itu kini tak berbentuk.

“Selamat tinggal, Saphire.”

Sunghoon pergi meninggalkan Shapire yang tergeletak, terendam darahnya sendiri.

Saatnya melanjutkan pertunjukan berikutnya.

•••

Heeseung menatap malas melihat notifikasi ponselnya, lantas menaruh ponselnya begitu saja.

Sampah.

Heeseung menatap lampu-lampu kota dari atas ketinggian, dalam hidupnya heeseung selalu melakukan sesuatu sesuka hatinya, menyingkirkan yang menghalanginya dan membuang yang tidak lagi berguna.

Sama halnya dengan sunghoon, terlalu penurut, dia terlalu penurut bahkan berani mempertaruhkan nyawanya demi heeseung.

Terlalu naif.

Namun ada yang aneh sekarang ini, sunghoon yang saat ini berdiri di hadapannya bukan sunghoon yang dia kenal, tatapannya berbeda, caranya bicara juga berbeda.

Lebih berani.

Lebih mengintimidasi.

Dia jadi teringat dengan pesan jay sebelumnya, benarkah selama ini dia tak pernah benar-benar mengenal park sunghoon?

“Untuk seukuran seorang pemimpin kau terlalu banyak berfikir.”

“Bukankah aku telah membuangmu? untuk apa kemari lagi?”

Sunghoon tertawa santai, tawa yang menawan dan heeseung baru menyadarinya.

Dia tak pernah mendapatkan tatapan merendahkan dan tawa mengejek dari sunghoon, sunghoon yang dia kenal selalu memberinya tatapan mendamba tatapan jinak seekor anjing penurut, bukan tatapan seperti ini.

Sunghoon beralih menatap pemandangan malam di sekelilingnya, “Suasananya menenangkan, bukankah ini waktu yang pas untuk memberimu hadiah seperti yang aku janjikan?”

Kakinya berjalan lebih dekat kearah heeseung yang sama sekali tidak berpindah dari tempatnya, menatap sunghoon dengan tatapan khas nya, tajam dan mengintimidasi tapi sunghoon bisa merasakan ada raut kebingungan di dalamnya.

“Hanya sebuah pertunjukan kecil, sama seperti yang telah aku lakukan dengan gadismu.” senyumnya mengembang di akhir kalimat.

“Apa yang kau lakukan padanya?”

Sunghoon tergelak, “Hadiah kecil, dia penari ballet aku memberinya sepatu edisi spesial dan sedikit hiasan wajah.”

“Aku menari bersamanya dengan sepatu barunya, sungguh itu pertunjukan yang sangat indah jika kau bisa melihatnya.”

Heeseung tak pernah mengerti dan tidak akan bisa mengerti sunghoon.

Heeseung tak pernah mengenal dan tidak akan pernah bisa mengenal sunghoon.

Heeseung tak akan paham pertunjukan apa yang di maksud sunghoon ketika dia merasakan bibir keringnya bertabrakan dengan bibir sunghoon.

Heeseung tidak akan pernah memahami bagaimana semuanya berjalan begitu cepat ketika dia merasakan jilatan di bibirnya.

Basah

Sama seperti bagian perutnya yang kini basah, tanpa aba-aba besi dingin itu menembus kulitnya perlahan.

Heeseung tak akan pernah paham bagaimana bisa sunghoon tersenyum dan melakukan semuanya dengan sesantai itu.

“Sayangnya, aku tidak akan pernah membiarkanmu melihat pertunjukan itu.”

Heeseung tak akan pernah mengerti benar-benar tidak akan pernah mengerti bagaimana semuanya bisa terjadi begitu saja, tanpa aba-aba.

Tubuhnya terjun bebas kebawah sana, dari atas sana dia bisa melihat senyum indah yang terpatri di wajah sunghoon, senyum yang tidak pernah dia kenali.

Senyuman paling menawan dan mematikan.

“Aku tidak boleh jadi satu-satunya yang bisa kau singkirkan begitu saja layaknya sampah.”

“Aku tidak boleh jadi satu-satunya yang kehilangan segalanya, akan lebih adil jika kita merasakan kehilangan bersama, jadi kubuat kalian kehilangan nyawa, balasan yang setimpal untuk seseorang yang berani menyingkirkanku hanya karena gadis lemah yang tak paham sedang berlawanan dengan siapa.”

“Aku memberimu segalanya, mempermudah semua pekerjaanmu, aku memberimu jalan untuk sampai di sini, dasar manusia tak tahu diri.”

“Nikmati pertunjukan kematianmu Lee heeseung.”

September ; sesesak ini ternyata jadi dewasa

Warnings! —little bit angst


Kendaraan berwarna putih itu melaju dengan pelan, menjauh dari padatnya aktivitas perkotaan, menjauh dari hiruk-pikuk perkotaan, menjauhi kebisingan yang hanya akan menambah kebisingan di kepalanya.

Sepanjang jalan yang jauh dari kata macet itu Sekala menikmati setiap hembusan angin yang menyapa kulitnya, udara khas pedesaan yang sangat segar. Mathari baru saja terbit di ufuk timur menemani perjalanannya yang mana membawa ketenangan jiwa.

Meskipun matahari baru saja menunjukkan intensitasnya banyak orang-orang yang sudah memulai paginya, dari sini Sekala bisa melihat beberapa anak-anak yang jalan berurutan di pematang sawah, petani yang mulai membajak sawah dengan kerbau, pemandangan yang tidak pernah di temuinya selama tinggal di kota sana.

Hamparan padi yang mulai menguning siap untuk di panen, sangat memanjakan mata, benar-benar tempat yang pas untuk bersinggah sejenak meredam suara-suara yang saling bersahutan di dalam kepala.

Anak-anak yang bermain di pinggiran pematang sawah di dekat jalan raya secara random menyapanya sambil tersenyum lebar membuat senyum manis terukir begitu saja di wajahnya.

Sebenarnya mencari kebahagiaan itu mudah.

Setiap orang mungkin punya caranya masing-masing untuk menenangkan pikiran dan menemukan kebahagiaan.

Juga punya cara sendiri untuk berdamai dengan diri sendiri.

Ini Sekala dan caranya berdamai dengan diri sendiri, belajar tentang kata cukup, dan arti sebuah perpisahan.


“Gandhi, hari ini apa kabar?”

Meskipun dengan alis bertaut bingung yang di tanyai menjab dengan seadanya seperti biasa.

“Baik, Sekala sendiri hari apa kabar?”

“Lebih baik, hari ini apa tuan Hatama Gandhi sudah bahagia?”

Lagi-lagi meskipun di buat kebingungan pemuda itu tetap menjawab dengan tatapan mendambanya yang tak lepas dari sosok di depannya itu.

“Gak pernah hariku dengan Sekala Bumi tidak bahagia, selalu bahagia.”

Senyum manis yang terpatri di wajah pamuda itu mau tak mau membuatnya ikut tersenyum, memang benar tak sehari pun dalam hidupnya Hatama Gandhi yang tidak bahagia jika bersama Sekala Bumi, sosok yang membumi seperti namanya.

Sekala yang berhati besar, Sekala yang selalu tersenyum indah, Sekala yang tidak pernah mengeluh apapun yang sedang di hadapi, Sekala yang selalu mencoba untuk menjadi orang yang berguna bagi orang lain, Sekala cintanya, Sekala kebahagiaan Hatama Gandhi, Sekalanya, Miliknya.

Setidaknya hari itu Gandhi masih bisa menyebut Sekala adalah miliknya sebelum sebuah benang tak kasat mata diantara mereka terputus, yang terpaksa di putus. Mukan mereka yang mau tapi memang harus di putus, agar mereka mengerti tentang kata cukup.

“Kalau sudah bahagia, berarti bahagianya sudah cukup ya, Gandhi?”

Gandhi termenung setelah mendengar penuturan dari pamuda di depannya yang kini menggengam hangat tangannya sambil menatapnya dengan tatapan yang tak akan pernah Gandhi lupa dalam hidupnya, tatapan yang sarat akan rasa sedih dan penuh dengan kepasrahan.

Dia menggeleng, “Sekala, apa artinya bahagia kalau itu tanpa kamu?”

Pemua itu menggeleng, “Sekala mohon, sampai di sini saja ya? bahagianya cukup sampai di sini kita tidak bisa lebih.”

“Enggak Sekala, sampai kapanpun kamu masih harus jadi Sekalanya Gandhi.”

Pemuda itu menahan tangisnya sebisa mungkin untuk tidak membiarkan air mata dam isakannya keluar, dengan gerakan pelan menangkup wajah gandhi, mencoba biacara meskipun kali ini suaranya mulai agak bergetar.

“Selamanya Sekala Bumi akan selalu menjadi milik Hatama, tapi Gandhi harus tau untuk tidak menggengam milik kita terlalu erat, Sebelum Gandhi menggengam terlalu elas sekarang coba untuk lepas perlahan ya?”

*Gandhi masih menggeleng hendak mengeluarkan suaranya sebelum kemudian Sekala mendahuluinya.

“Harus seagama tidak boleh di tawar.”

Kalimat yang meluncur dengan pelan dari mulut sekala itu membuatnya bungkam, diam seribu bahasa. Dalam diam Gandhi menertawai dirinya sendiri, menangisi betapa dunia mempermainkannya.

“Kita menginjak bumi yang sama, kota yang sama, tempat yang sama, amin kita sama tapi tidak sampai di tempat yang sama, tuhan kita beda, kita itu berbeda Gandhi.”

Gandhi menundukkan wajahnya yang masih di tangkup sekala, semua kalimat yang keluar dari mulut Sekala seoalah menamparnya dengan sangat keras, menjelaskan bahwa dari awal tak semestinya mereka bersama.

“Jadi, sebelum kita menentang terlalu jauh, sudah cukup sampai di sini saja.”

Kedua tangan Gandhi terangkat untuk menggegam tangan Sekala yang menangkup wajahnya, mengelusnya pelan sambil menatap binar Sekala yang tengah menahan sesuatu.

“Aku gak akan bisa merebut kamu dari tuhanmu, begitu juga sebaliknya kamu gak akan bisa merebut aku dari tuhanku.”

“Terkadang kita cukup berjalan dengan sejajar saja.”

Hari itu hari dimana Gandhi dan Sekala belajar tentang kata cukup, dan berhenti menentang apa yang seharusnya tidak boleh di tentang, belajar bahwa saingan mereka yang sebenarnya di sini adalah tuhan mereka sendiri, yang jelas mereka tidak akan pernah menang, tidak akan ada yang bisa mengalahkan cintanya tuhan kepada umatnya sendiri.


Sekala Bumi sama seperti namanya Sekala itu sosok yang membumi, menjadi sosok yang memberi banyak kenyamanan bagi banyak orang dengan caranya sendiri dimana pun dia berada, seperti sekarang, hanya dalam kurun waktu kurang dari satu hari dia sanggup berbaur dengan anak-anak pedesaan.

Duduk di pinggir pematang sawah dengan motor yang terpakir di jalan raya, Sekala berbagi banyak cerita dan tawa dengan anak-anak yang tadi menyapanya.

“Iya, di kota banyak bangunan yang tinggi sekali, ada mobil yanga kayak kamu bilang tadi, di kota sana mereka banyak sekali tidak terhitung berapa, tapi udara di sana tidak se segar di sini, jadi adik-adik semua harusnya merasa beruntuk masih bisa menghirup udara se segar ini.”

Anak-anak itu mendengarkan semua ucapannya dengan sangat antusias, Sekala banyak bercerita tentang kehidupannya di kota, bercerita tentang kehidupan kota yang gemilang, ramai dan sesak.

Anak-anak itu mendengarkan dengan baik, sesekali membalas dengan sangat antusias membuat Sekala semakin antusias bercerita.

Memang benar mencari kesenangan itu mudah, sama seperti mencari kebahagiaan, membumi bersama anak-anak ini saja sudah cukup untuk membuatnya bahagia.

Hari ini dia merasa lebih baik, pergi berkelana jauh mencari ketenangan juga jalan pulangnya dan pada akhirnya dia menemukannya, sekaligus menemukan jalan pulangnya untuk berdamai dengan diri sendiri.

Melepaskan kisah lalunya, Sekala tak melupa, dia melepasnya menjadikannya kepingan cerita pada buku lain, mengabadikannya dalam kisah lainnya, dan mulai menulis cerita baru di buku lainnya, buku lainnya dimana tidak ada lagi mama Gandhi di dalamnya, biarkanlah Gandhi menjadi sebuah kenangan yang nantinya akan dia kenang tanpa rasa sedih lagi, tetapi rasa bangga bahwa dia pernah memiliki sosok Hatama Gandhi pemuda hebat yang pernah menulis kisah indah bersamanya.

Kadang kita selalu bilang “Untuk apa mempertahankan hal yang tidak membuat kita bahagia? lebih baik di lepaskan saja.”

Padahal pada kenyataannya yang membuat bahagia juga kadang perlu untuk di lepaskan.

Jatuh cinta itu perihal hati, dan kita tidak bisa memilih kemana hati kita akan jatuh, entah itu ke seseorang yang kita kenal atau mungkin seseorang yang bahkan tidak pernah terlintas dalam benakmu sekalipun.

Jatuh cinta terkadang memang semenyakitkan itu.

Penawar dan racun paling ampuh.

Tapi proses penyembuhan dari rasa sakit itu yang membuat kita lebih kuat, dan lebih menghargai diri sendiri. Sekala memang masih tidak bisa mengatur dengan siapa kita akan jatuh cinta lagi pada nantinya, tapi setidaknya dia bisa mengatur dirinya untuk mencintai secara cukup, tidak kurang, tidak berlebihan.

Pada awalnya semuanya memang terasa sulit, menyesakkan tapi menyadarkan bahwa sesesak ini ternyata jadi dewasa.

Sesak yang mendewasakan di bulan September.

— Part of Kama Sutra

nsfw, sex, smut, anal sex, foreplay, read own your risk.


Pemuda itu terlentang sambil menatap langit-langit kamar, berguling kesana-kemari diatas kasur king size guna menghilangkan rasa bosannya, si manis berkali-kali menghembuskan nafasnya kasar sarat akan rasa bosan.

Kemudian kembali berguling ke sisi lain tempat tidur yang bersebelahan dengan jedela kaca, pemuda itu duduk kemudian membuka jedela dengan pelan.

Tak ada yang berubah rasa bosannya juga tak kunjung hilang, memang apa yang dia harapkan di depan sana? pemandangan pantai dengan ombak yang saling bersahut-sahutan atau pemandangan kota dari atas tempat tinggi? yang ada hanya pepohonan besar tua yang mana menambah kesan seram pada tempat ini, sunyi tak ada kebisingan kota metropolitan tak ada suara bising kendaraan dan tak ada polusi udara.

hanya saja baginya ini tetap menyeramkan membangun sebuah mansion megah di tengah hutan.

terhitung sudah tiga hari sunghoon mendekam di dalam mansion ini, tiga hari dia tak melihat hiruk-pikuk perkotaan dan sudah tiga hari pula sunghoon tidak masuk sekolah, entah ini sebuah keberuntungan atau kesialan karena dia terkurung di dalam kastil di tengah hutan.

Walaupun membosankan tapi sunghoon akui tinggal di sini bukanlah pilihan yang buruk, di sini semua keinginannya terpenuhi.

Ngomong-ngomong tentang si pemilik mansion ini, si cup— ah maksudnya Lee heeseung itu tak pernah memunculkan batang hidungnya selama dua hari ini, seolah habis melakukan malam panas dengannya dan kemudian menghilang begitu saja.

Meskipun para maid dan kepala pelayan mansion ini selalu mengatakan dia ada di sini dan sedang tak ingin di ganggu, sunghoon sudah menyusuri hampir seluruh sudut mansion ini tapi dia tidak menemukan dimana tanda-tanda keberadaan heeseung.

Bicara tentang pemuda itu sunghoon tidak tahu apakah dia masih bisa memanggil pemuda itu dengan sebutan si cupu dengan kaca mata besarnya atau tidak karena pada faktanya dia justru tak berdaya dan malah mendesah keras di bawah kukungan heeseung meminta lagi-lagi agar pemuda itu terus menggagahinya.

Tak lama setelahnya kepala pelayan mansion milik heeseung datang mengetuk pintunya membuat sunghoon langsung bergegas membukakannya, lelaki kulit hitam dengan tubuh kekar itu membawa empat kantung snack dari supermarket terkenal.

“Tuan heeseung menyuruh saya untuk membawakan anda ini.” jelasnya membuat sunghoon hanya mengangguk kemudian mempersilahkan pemuda itu untuk menaruh kantung-kantung plastiknya di dalam kamar.

“Dimana heeseung?” tanyanya yang mana membuat lelaki berkulit gelap itu menatapnya cukup lama.

“Dia ada di sini.”

“Kau selalu mengatakan itu padaku, tapi aku tak pernah melihatnya sama sekali!!” balasnya sedikit kesal.

“Aku ingin bertemu dengannya.” kalimat itu keluar dengan pelan dari mulut sunghoon.

lelaki berkulit gelap itu lantas langsung membuka lebar pintu kamarnya membuat sunghoon membelak kaget karena pintu itu tiba-tiba terbanting cukup keras.

“Lampu di nakas itu, geser ke kiri.” ucapnya serius sembari menatap lampu tidur yang ada di meja nakas samping tempat tidur.

Belum sempat sunghoon bertanya lebih lanjut pria berkulit gelap itu sudah pergi lebih dulu meninggalkannya.

Mau tak mau membuat sunghoon berbalik menatap lampu di meja nakas itu, menelengkan kepalanya mengamati benda tersebut matanya mengerjap beberapa kali, masih memproses semua kalimat dari si kepala pelayan.

Sunghoon menutup pintu kamarnya sebelum berjalan menuju ke meja nakas itu, kemudian memegang lampu itu lalu menggesernya kearah kiri, sunghoon terkejut ketika lampu itu bergeser seperti tuas yang menarik sesuatu di dalam laci.

Belum sempat sunghoon memproses semuanya dia kembali di kejutkan ketika lantai di samping meja itu kini terbuka memperlihatkan puluhan anak tangga yang entah menuju kemana.

Sunghoon tersenyum lebar, jadi heeseung ada di bawah sana?


Kaki putih jenjang itu melangkah dengan pelan menuruni setiap anak tangga, cahaya remang-remang menambah kesan misterius sepanjang anak tangga ini.

Sunghoon memegangi ujung kemeja putih polosnya, tubuhnya sedikit menggigil, sunghoon bisa merasakan dingin yang menembus kulit kakinya yang tidak di balut apapun.

Semakin jauh kakinya melangkah sunghoon mendapati cahaya itu semakin terang, tepat setelah sunghoon menginjak anak tangga terakhir dia bisa melihat sebuah ruangan dengan cahaya yang cukup terang dengan rak-rak buku mengelilinginya.

Sunghoon kemudian tersenyum ketika menatap punggung lebar heeseung yang membelakanginya, dia terlihat sibuk dengan kertas-kertas dan laptop di hadapannya sehingga tidak menyadari kehadirannya.

Pemuda itu berjalan pelan sebisa mungkin tidak menimbulkan bunyi.

Heeseung tersentak ketika melihat sebuah tangan menggeser tumpukan kertas dan laptopnya dari atas meja, yang sekarang tergantikan dengan sosok pemuda yang dengan santainya duduk diatas mejanya, heeseung sedikit mendongak menatap pemuda yang kini menatapnya dengan tatapan tidak bersalahnya.

“Where are your panties?”

“Tidak memakainya.” sunghoon kini mengalungkan tangannya di leher heeseung sambil memainkan kakinya yang tak sampai ke bawah lantai.

“Dengan alasan apa?” matanya menatap lekat binar bening milik sunghoon.

Si manis justru memajukan wajahnya tanpa aba-aba menjilat cuping telinga heeseung kemudian terkikik gemas, “Kau tidak lihat aku sedang menggodamu?”

“Entalah, mungkin iya mungkin juga tidak.” jawab heeseung yang tangannya kini telah melingkar apik di pinggang si manis.

“Kau mengabaikanku, aku tidak di pesan hanya untuk di tinggalkan begitu saja dalam kastil di tengah hutan ini.”

“Kau menyebut ini kastil?” jawaban dari sang dominan membuat sunghoon mengangguk cepat, “Padahal ini rumah pelarian biasa.”

Sunghoon tak lagi menghiraukan kalimat itu ketika merasakan heeseung mulai bermain di sekitar lehernya, memberi kecupan-kecupan ringan kemudian menjilatnya tanpa berniat melakukan sesuatu yang lebih.

“Kenapa tidak memberikan tanda?” tanyanya kemudian.

Sang domiman kini menghentikan aktivitasnya lalu menatap sunghoon dengan senyum tipis, “Aku ingin memberikan tanda di tempat lain.”

Sunghoon melenguh pelan ketika heeseung kini mengangkat kaki kirinya ke pundaknya kemudian mengecup setiap setinya dengan pelan sampai ke pahanya, kecupan itu semakin dalam menuju paha bagian dalamnya kemudian berhenti tepat di depan selangkangannya yang tidak di balut apapun.

“Hhngh.” erangan itu lolos begitu saja ketika heeseung mengecup pelan area sekitar selangkangannya.

Sunghoon mendapati dirinya hampir kehilangan kewarasan ketika heeseung mengcup-ngecup penisnya dengan pelan memberikan sesasi yang perlahan mulai membakar tubuhnya.

“A-ahk.” sunghoon terkejut ketika heeseung tanpa aba-aba menggigit kemudian menghisap paha dalamnya lama hingga menimbulkan bekas.

Heeseung menatap bekas gigitannya yang mulai berwarna mengusapnya pelan kemudian berguman, “Indah.”

Paha mulus seputih porselen itu kini berubah agak kemerahan ketika heeseung dengan sengaja meremasnya kuat membuat sunghoon melenguh tertahan.

Sang submissive itu kemudian meraih wajah heeseung untuk menciumnya namun pemuda itu justru menghindarinya, sunghoon yang mulai kalang kabut dengan nafsunya mencoba berkali-kali untuk mencium heeseung namun pemuda itu selalu berhasil menghindarinya.

“Tidak ada ciuman, itu hukuman karena menganggu pekerjaanku.” heeseung meletakkan jari telunjuknya di depan bibir sunghoon.

Dan tanpa di duga si manis justru menjilat jari heeseung dengan gerakan yang cukup erotis, heeseung tak ambil pusing dia mengikuti alur permaninan si manis dengan menambahkan satu lagi jarinya untuk di kulum.

Sunghoon beberapa kali tersedak ketika jari panjang heeseung berhasil menyentuh tenggorokannya, “Mmffhh.”

Benang silva itu tercipta ketika heeseung menarik paksa jarinya keluar dari dalam mulut sunghoon, kemudiam membuka lebar pahanya memperlihatkan lubangnya yang mulai basah dan penis kecil sunghoon yang memerah mulai menegak lucu.

Heeseung mengecup pelan penis lucu itu sebelum kemudian tanpa aba-aba memasukkan kedua jarinya kedalam lubang berkedut sunghoon, si manis berteriak terkejut ketika jari panjang heeseung masuk kedalamnya tanpa aba-aba.

Meskipun pada awalnya memang dia kaget lama kelamaan sunghoon mulai menikmati bagaimana jari panjang itu keluar masuk dari dalam lubangnya sesekali menyentuk titik manisnya yang membuatnya mendesah frustasi.

“A-ahhh hngg h-heeseungie~”

Heeseung mengeluarkan semua jarinya dari dalam lubang sunghoon yang mana membuat sang submissive melengeuh kecewa ketika kenikmatannya berhenti begitu saja, sunghoon tak banyak bertanya ketika heeseung menyuruhnya berbalik menaikkan kedua kakinya keatas meja, si manis melenguh kedinginan ketika kulitnya bersentuhan dengan meja kaca.

Heeseung masih di kursinya tak bergerak sedikitpun dari sana sejak tadi sedangkan sunghoon di hadapannya kini telah berbalik dengan pantatnya yang sedikit terangkat membuatnya terlihat seperti menungging yang mana memperlihatkan lubangnya yang berkedut lucu mengundang heeseung untuk segera melesakkan lidahnya kedalam sana.

“Hhhh h-hhsungie ah lagi.” sunghoon menggila ketika merasakan benda lunak tak bertulang itu menorobos masuk kedalam lubangnya.

Sunghoon kini semakin terangsang ketika melihat pantulan dirinya ketika melihat pantulan dirinya di balik kaca diantara rak-rak buku, diamana dirinya dengan wajah memerah berkeringat dan tubuhnya sedikit menungging di tambah lagi wajah heeseung yang tenggelam di belahan pantatnya.

“Mmhh m-mau cium, heeseung mau cium.” sunghoon berkali-kali menjilat dan menggigit bibirnya sendiri ketika lidah heeseung masuk begitu dalam, sungguh sunghoon rasanya ingin gila tidak mendapat ciuman sama sekali, dia mau bibirnya juga di mainkan, mau bibirnya di puaskan juga.

Heeseung itu tidak pernah memberikan aba-aba ketika melakukan sesuatu, juga ketika dia melepaskan semua sentuhannya pada sunghoon kemudian merapikan kemejanya yang sedikit kusut, beridiri dari tempatnya kemudian meninggalkan sunghoon yang hampir menangis karena merasa dirinya di permainkan.

Pemuda itu kemudian menatap sunghoon yang masih setengah menungging menatapnya dengan mata berkaca-kaca seperti anak anjing yang tengah menatap tuannya.

“Aku akan memberikan semuanya termasuk ciuman, jika kau mengikutiku.”


“Ahhk, hiks hhung hisunghh lebih dalam.”

Sunghoon mendesah frustasi sampai menangis merasakan semua kenikmatan yang diberikan heeseung untiknya secara percuma, setiap hentakan yang di berikan heeseung untuknya membuatnya melayang kehilangan kewarasan.

Geraman tertahan heeseung membuatnya menggila, tubuhnya di peluk erat dari belakang untuk menahan tubuhnya agar tetap tegak berkali-kali terhendak kedepan sesuai dengan tempo yang di berikan oleh heeseung.

Kedua tangannya memegang pinggang heeseung kebelakang, sedangkan heeseung memeluknya dengan erat wajahnya di sembunyikan di perpotongan leher sunghoon.

Kecup

Jilat

Gigit

Dan hisap

Itu di lakukan berulang kali hingga leher sunghoon kini di penuhi dengan ruam merah, satu tangan heeseung kini terangkat beralih untuk memasukkan dua jarinya kedalam mulut sunghoon yang di terimanya dengan suka cita.

“Mmffh ahhhng.”

“c-ciumm hng hisungghh hunnie mau cium please, hiks.”

Sang dominan kini mengeluarkan jarinya dari dalam mulut sunghoon, kemudian kembali membuat tubuh keduanya semakin tidak punya jarak, lalu meraih ranum sunghoon yang tak berhenti mendesahkan namamya sedari tadi.

Menciumnya dengan samgat dalam tanpa memgurangi kecepatan temponya di bawah sana, masih tetap konsisten menyentuh titik manis sunghoon yang membuat sesekali menedesah di sela-sela ciuman panas mereka.

Tubuh lengket dengan peluh, rambut lepek dan tubuh melemas ini semua membuat sunghoon kehilangan kewarasannya ketika heeseung dengan sengaja mengeluarkan penisnya sampai pangkal kemudian kembali menusuknya dengan satu kali hentakan.

Semua ini membuatnya gila, sunghoon sudah beberapa kali tidur dengan orang yang berhasil menyewanya dengan harga fantastis di luar nalar tapi tidak ada yang membuatnya mendesahkan namanya hingga mengeluarkan air mata karena saking nikmatnya apa yang dia berikan kecuali dengan heeseung.

Siapa yang menyangka bahwa lee heeseung samsak tinju teman kelasnya ini justru membuatnya menangis kenikmatan mendesahkan namanya berkali-kali agar terus menumbuk titik kenikmatannya tanpa henti.

Bahkan rasanya sunghoon tak masalah jika harus terkurung di dalam mansion di tengah hutan ini untuk membuka pahanya lebar agar heeseung terus menyetubuhinya hingga keduanya lelah kemudian melanjutkannya di hari lain.

Sunghoon rela mengangkang lebar demi heeseung.

“Ahh lebih dalam uhh hisungg mau keluar hiks hunie mau keluar~”

Posisi mereka tak berubah hanya tangan heeseung yang kini mengocok penis mungil sunghoon yang mulai berkedut menandakan sebentar lagi akan menuju titik putihnya.

Tubuhnya di peluk erat dari belakang, titik manisnya di tumbuk berkali-kali, sunghoon mulai bisa merasakan penis heeseung yang perlahan mulai membesar di dalamnya.

“H-hhsungie~”

“Bersama sayang.”

“AHH HEESEUNG.”

“H-hoon.”

Hingga pada tusukan kelima sunghoon mengeluarkan putihnya mengotori seprai yang berwarna merah marun, sedangkan heeseung keluar di dalamya, sunghoon bisa merasakan cairan putih itu di dalamnya rasanya aneh dan lengket mulai mengocok perutnya.

Heeseung terengah menumpukan kepalanya di bahu sunghoon kemudian mengecupnya ringan dengan nafas yang masih tidak teratur.

Si manis memiringkan kepalanya untuk melihat heeseung, menarik wajahnya untuk berciuman sebentar saling melumat menimbulkan kecipak basah yang menggairahkan.

Di tengah ciuman panas mereka sunghoon mengarahkan tangan heeseung yang memeluk erat pinggangnya beralih kedadanya untuk meremasnya membuatnya kembali mendesah kecil dalam ciuman mereka.

“Heeseungie hunnie mau lagi~”


PLSSS TOLONG AK GATAU NULIS APAAN

GAK NYAMBUNG TAPI GAPAPA TTP PERCAYA DIRI

Fyi, alasan kenapa book ini di kasih judul kama sutra kalau kalian search google pasti ketemu jawabannya, jadi ya ini isinya kalau bukan ngewita ya hampir ngewita

:)

Throwback 152 hari bersamamu


Terjebak dengan sekumpulan orang-orang tidak waras di dalam satu ruangan adalah petaka bagi seorang Deon Anggreva Adriano, lebih tidak waras lagi dirinya yang justru terjebak dengan permainan yang sama sekali tidak ada untungnya menurut deon.

Dalam hati pemuda itu berteriak ingin segera keluar dari ruang OSIS dan berhenti dari permainan ini karena sejatinya Deon hapal betul 3 botol dengan masing-masing kertas yang telah di gulung di dalamnya itu tidak pernah berisikan hal-hal yang beres, kedua temannya sudah cukup untuk membuktikannya.

Deon merapal doa dalam hati ketika botol minuman lemon itu kembali berputar, semua orang terfokus untuk melihat kemana ujung tutup botol itu akan berhenti.

Tepat setelah tutup botol lemon itu berhenti di depannya Deon tak punya lagi alasan untuk tidak menyumpahi dirinya sendiri dalam hati, sebelum botol itu benar-benar berhenti Deon bergegas untuk berdiri namun kedua temannya yang berada di sampingnya ternyata lebih cepat menyadari bahwa dirinya akan lari dengan cekatan menarik dirinya untuk kembali duduk bersila di lantai.

“Hoho, tidak bisa tuan muda.”

Deon bisa melihat ekspresi teman-teman OSIS nya yang sekarang tersenyum merkah, sepertinya sangat menantikan penderitaan apa yang sebentar lagi akan menjemputnya.

“Sekarang tuang sendiri lo bakal dapat dare apa dan hukumannya apa.” Zetta menyodorkan dua botol yang berisikan kertas kearahnya.

Deon melotot tidak terima, “Mana bisa gitu, gue pilih truth!!”

“No, no, no, lo gak liat anak kelas 9 yang ikut gak ada yang milih dare deon, truth itu hak khusus buat adek kelas aja.” Itu Miranda dengan senyum setannya.

“Pilih darenya atau lo mau bersihin wc di dekat gudang sendirian? Gue yakin lo gak akan tahan sama bau pesing di sana kalau lo gak mau milih d-”

Miranda tersenyum senang saat melihat Deon merampas kasar dua botol di depannya, “Lo semua emang pengan banget ngeliat gue sengsara.”

Sepertinya hari ini Deon menjadi anak yang religius yang selalu berdoa setiap saat, kali ini dia benar-benar berdoa dengan serius di dalam hati agar dia tidak mendapat tantangan aneh dan juga hukuman yang sekiranya lebih manusiawi di banding kedua temannya yang tadi.

Setelah mengeluarkan masing-masing satu kertas dari botol dare dan hukumannya deon menatap miranda yang langsung mengambil alih kedua gulungan kertas itu.

“Gue buka hukumannya dulu, biar lo semua pada penasaran.” Miranda tertawa senang melihat ekspresi memelas yang di berikan oleh Deon untuknya.

“Kalau lo gak bisa penuhin darenya hukuman yang lo dapat jalan jongkok selama sebulan dari depan gerbang sampe ke depan kelas lo.”

“Lo gila?! Kelas gue di lantai 3.” Deon tidak habis pikir orang mana yang akan sanggup jalan jongkok naik keatas lantai tiga, memang pilihan yang salah ikut bergabung dalam permainan ini.

“Ya kalau lo gak mau harus penuhin dare nya dong, feeling gue lo dapat dare yang bagus, yon.”

Deon tak lagi mengambil pusing dia lebih memilih fokus dengan kalimat selanjutnya yang keluar dari mulut Miranda, berharap dia betulan mendapat dare yang lebih waras agar tidak harus mendapat hukuman yang bisa melumpuhkan otot kakinya.

“Lo harus pacaran sama anggota klub renang yang seangkatan sama lo, tenggak waktunya satu bulan. Gila-gila, yon kalau lo punya pacar mending bilang dari sekarang aja.” Miranda setengah heboh setelah membacakan gulungan kertas itu yang langsung membuat semua anggota OSIS yang ada di dalam ruangan bersorak.

“Deon bantet mana punya pacar.” Itu Dipta teman sepersdannya yang tidak pernah tenang jika tidak mengatai Deon bantet dan semacamnya.

Deon akui diantara keempat sahabatnya dia adalah yang paling pendek, sebetulnya Deon tidak sependek itu dia lumayan tinggi kok hanya saja keempat sahabatnya itu sepertinya kelebihan kalsium sehingga pertumbuhan mereka melesat dengan sangat cepat di bandingkan dirinya, itu membuatnya telihat lebih pendek ketimbang sahabatnya karena dia butuh waktu yang sedikit lebih lama agar bisa setinggi mereka.

Ya, walaupun pada akhirnya ini hanya sebuah pembelaan.

Mencari pacar dalam kurun waktu satu bulan itu bukan perkara yang mudah bagi Deon, dia bukan orang yang gampang akrab dengan orang lain. Di tambah lagi anak klub renang mana yang mau dengannya?

Mereka semua perkumpulan cowok-cowok dan cewek dengan tubuh atletis dan terkenal dengan wajah datarnya, mereka termasuk klub yang sulit untuk di tembus, mereka seperti mempunyai tingkatan berbeda di bandingkan dengan klub yang lainnya, mereka jarang berbaur karena sibuk latihan renang di dalam ruangan khusus yang mana tidak di sentuh oleh anggota klub manapun.

Deon merasa frustasi, tidak seharusnya dia mengikuti permaianan ini.

“Yon, mau gue kasih list nama-nama anak klub renang gak?” Itu Zetta dengan nada bercandanya yang membuat Deon kembali mendengus.

Serius, memang anak klub renang mana yang mau dengannya?

Deon hanya tidak pernah tahu saja bahwa selepas hari itu ada sesuatu yang telah menunggunya di depan sana.

Dialog Lara

tentang mereka yang pernah melukis cerita bertajuk aku dan kamu meskipun tak berakhir menjadi kita.


Sore itu langit mendung, sedari pagi matahari enggan untuk memperlihatkan sinarnya lebih memilih bersembunyi di balik awan abu-abu membuat sebagian orang bersyukur karena tidak terlalu panas sebagiannya lagi mengeluh karena tidak bisa menjemur pakaiannya, setiap hal memang punya sisi positif dan negatifnya tergantung dari orangnya saja bagaimana.

Di temani dengan scoopy merah milik jake mereka sampai di sebuah kafe yang terletak di sudut kota tak jauh dari kosan mereka, jake masuk lebih dulu sedangkan sunghoon hanya mengikuti saja dari belakang sembari memperhatikan setiap sudut kafe yang di penuhi dengan ke—estetikaan tipe ideal untuk tempat tongkrongan pemuda-pemudi jaman sekarang.

Sejujurnya sunghoon cukup menikmati suasan kafe yang terlihat sangat tenang dengan cat hijau pastel yang di mix dengan beberapa tanaman hijau di beberapa sisi, menambah suasana tenangnya, mungkin lain kali sunghoon akan menjadikan tempat ini sebagai tujuan untuk menghilangkan rasa stres yang terkadang datang tiba-tiba.

Jake memperhatikan sekitar sebelum kemudian pergi menghampiri sosok pemuda yang berada di sudut ruangan tengah membelakangi mereka, sunghoon menyusul sembali menebak-nebak dalam hati siapa kiranya teman lama yang di maksud jake tadi di ruang obrolan mereka.

Sorry bro, kayaknya lo udah nunggu lama.” jake dan orang itu kemudian saling memberi tos ala-ala anak tongkrongan.

“*Sans, gue juga belum lama kok di sini.” Balasnya kemudian mempersilahkan jake duduk.

Jake kemudian menarik sunghoon yang sedari tadi masih terus memperhatikan setiap sudut kafe untuk segera duduk di kursi sebelahnya menimbulkan bunyi cukup nyaring sehingga membuat pemuda di hadapan mereka kini menatap kearahnya, sunghoon kaget ketika mereka bersitatap membuat sunghoon langsung melihat kearah lain untuk mengalihkan pandangannya.

Sorry, ini temen yang tadi gue bilang, kenalin hoon temen gue heeseung namanya.” Jake mengenalkan mereka dengan senyum khasnya.

“Heeseung ini temen gue namanya sunghoon.”

Sunghoon hanya tersenyum kalem menanggapinya, kemudian kembali di buat tekejut saat tanpa aba-aba pemuda itu mengulurkan tangannya ke depan sunghoon.

“Heeseung.”

Sunghoon terdiam sebentar sebelum menerima uluran tangan pemuda itu kemudian tersenyum, “Sunghoon.”

Setelah sesi perkenalan singkat itu sunghoon hanya diam di tempatnya mendengarkan cerita jake dan heeseung yang membahas hal-hal random yang sering di bicangkan oleh teman lama yang baru bertemu lagi setelah sekian lama tak berjumpa.

Sunghoon mendengarkan sambil meminum latte yang sudah di pesannya sesekali curi-curi pandang kepada teman lama jake, pemuda itu tampan, postur tubuhnya bagus, hidung mancung, bola matanya besar, dia juga punya lesung pipit yang terkadang muncul jika dia tertawa di tengah ceritanya meskipun tidak terlalu dalam.

Setelah cukup lama mendengar cerita mereka sunghoon sedikitnya tau kalau sosok di hadapannya ini adalah orang yang cukup pintar bisa di lihat dari caranya mendengarkan dan menanggapi semua perkataan jake ketika membahas sedikit mata pelajaran yang sejujurnya tidak sunghoon pahami, dia bukan siswa dari ranah itu, wajar saja.

“Ini sunghoon dulunya waktu SMA dia anak ekskul lukis, lumayan banyak yang kenal soalnya dia kemana-mana selalu bawa buku-buku kecil buat gambar.”

“—hah?” sunghoon bingung saat tak sengaja mendengar namanya di sebut.

“Kebiasaan banget, dia anaknya emang gak banyak omong perhatiannya suka kemana-mana.” Jake tertawa melihat ekspresi sunghoon yang masih kebingungan.

“Dari tadi kita ngomongin elo, kecil.”

“Berhenti manggil gue kecil jake!! Gue udah lebih tinggi dari lo.” Balasnya tak terima.

“Tinggi doang nambah yang lainnya gak ada yang berubah.” Sunghoon merutuk dalam hati menatap jake yang sepertinya puas sekali mengejeknya.

“Serius deh sunghoon lo masa gak ingat heeseung, sih? Dia dulu ketos anggota paskib, anak basket, anak futsal juga, osis angkatan 12 masa lo gak ingat sih?” Jelas jake.

“Lo juga gak usah di jabarin kali.” Balas heeseung merasa sedikit aneh ketika kembali membahas dirinya semasa sekolah menangah yang maruk sekali dalam memilih organisasi.

Sunghoon diam sebelum kemudian menjawab dengan pelan, “ingat, gue ingat.”

Rasanya hari ini sunghoon kembali ke waktu semasa dirinya masih menjadi siswa sekolah menangah yang sering sekali membawa buku-buku kecil untuk menggambar setiap kali dirinya mendapat inspirasi di tempat manapun.

Rasanya menyenangkan segaligus menyesakkan.

•••

“Mamah nelfon, gue angkat sebentar ya?” Keduanya mengangguk.

Jake segera pergi untuk mengangkat telfonnya meninggalkan dua orang asing itu terdiam dalam sebuah kecanggungan yang pekat.

Sunghoon memilih untuk menyesap latte—nya dengan lambat melihat sekelilingnya, menyadari suasan kafe hari ini sepi mungkin karena di luar mendung banyak orang lebih memilih untuk bergelung dalam selimut ketimbang pergi keluar.

Jake datang dengan terburu-buru memasukkan ponselnya kedalam saku celananya, “Hoon sorry banget ya, sunoo ngedrop lagi, mama sama papa udah di rumah sakit, gue di suruh jemput riki, gue tinggalin gak apa-apa kan?”

Sunghoon mengangguk, ini bukan waktu yang tepat untuk bertanya lebih banyak lagi, jake harus buru-buru.

“Seung, lo bisa kan anterin sunghoon pulang? Kosannya gak jauh dari sini kok.”

Sunghoon menggigit pipi dalamnya dengan cukup keras ketika pemuda di hadapannya itu mengangguk dengan mantap membuat jake menepuk bahunya sebentar kemudian meraih kunci motornya di atas meja lalu bergegas pergi keluar dari kafe, kembali meninggalkan dua orang itu dengan kecanggungan yang kian pekat.

“Lo gak perlu anterin gue kok, kak. Gue bisa pulang pake uber.”

“Gak apa-apa gue anterin.”

“Gapapa gak gak usah, ini tinggal mesan ubernya.”

“Gue udah janji sama jake.”

“Nanti ngerepotin.” Sunghoon menunduk berucap pelan enggan menatap pemuda di depannya.

“Lo gak pernah ngerepotin gue, sunghoon.” Balas yang lebih tua sebisa mungkin menghilangkan aura kecanggungan diantara keduanya.

“Gak akan pernah, sampai kapanpun.”

Pada akhirnya sunghoon kalah juga, dia memilih untuk mengangguk.

Bukan perihal mereka yang canggung, sebenarnya bukan juga perihal sunghoon takut merepotkan, tapi ini perihal dirinya dan hatinya yang belum siap kembali di paksa untuk siap tanpa aba-aba, sunghoon mengela nafasnya sebentar.

Kenapa hari ini rasanya tiba-tiba sangat melelahkan?

“Mau pulang sekarang? Bentar lagi magrib dari tadi juga mendung, takutnya malah hujan.”

Sunghoon menatap pelan kemudian berucap, “terserah kakak aja.”

“Jangan terserah, jawab yang bener, sunghoon.”

Menunduk, yang lebih muda menunduk dengan tangannya yang mempermaikan sedotan latte—nya yang tinggal setengah.

“Iya, mau pulang.” Jawabnya pelan hampir berbisik.

Pemuda itu tersenyum kemudian berdiri dari tempatnya, “Dasar, gak berubah ya.”

“Ayo kita pulang, kecil.”

•••

Sebut saja hari ini adalah hari sialnya sunghoon, terjebak dengan kakak kelasnya dalam sebuah kecanggungan di tambah di tengah perjalanan pulang dengan motor KLX berwarna merah milik heeseung hujan turun membasahi jalan, mengguyur seluruh kota dalam sekali terjun.

Mau tak mau heeseung segera memakirkan motornya di depan sebuah ruko yang telah tutup ada sebuah kursi kayu di depannya menjadi tempat untuk mereka duduk sejenak menanti hujan reda.

Berkali-kali yang lebih tua berucap maaf mereka harus pulang lebih lama karena hujan hingga kini sepertinya enggan untuk pergi.

Sengaja membiarkan kedua insan itu untuk bersua lebih lama lagi menuntaskan sepenggal kisah yang belum sempat menemui titik terangnya.

Sunghoon duduk di sebuah kursi kayu panjang dalam diam sambil terus-terusan menatap bulir-bulir air hujan yang jatuh membasahi aspal, sunghoon menyesal hari ini hanya memkai baju kaos tipis membuatnya kedinginan hingga ke ujung kaki.

Yang lebih muda kini lagi-lagi di buat terkejut ketika heeseung melepaskan hoodie tebalnya memaikan dengan pelan hoodie itu, “Di pake ya? Kamu gak tahan dingin.”

Bahkan untuk hal sekecil itu dia masih mengingatnya.

Sunghoon memakai hoodie hitam itu ketika heeseung beranjak dari tempatnya jalan menuju ke pedagang serabi yang juga berteduh tak jauh dari posisi mereka.

Yang lebih muda menghirup wangi hoodie yang di pakainya dalam-dalam, ngilu di dalam dadanya semakin terasa, sunghoon rasanya ingin menangis, wanginya masih sama.

Pemuda itu datang membawa dua gelas serabi hangat di tangannya, memberikan satunya kepada yang lebih muda, sunghoon mengambilnya menghirup pelan aroma jahe yang menguar, rasanya menenangkan.

Yang lebih muda bisa merasakan ketika heeseung kini duduk di sampingnya dengan sedikit jarak memisah, dia terlihat menyesap santai segelas serabi hangat di tangannya sembari menatap tetes hujan yang turun membasahi jalan raya.

“Sunghoon, apa kabar?” Pertanyaan tiba-tiba yang keluar dari mulut heeseung hampir membuat sunghoon tersedak serabinya.

“A-ku? Baik-baik aja kok, kak. Kakak sendiri gimana kabarnya?” Rasanya aneh, menyenangkan dan menyedihkan sekaligus.

“Yaaa, kayak yang kamu lihat kakak juga baik-baik aja.”

Kemudian hening kembali menghampiri keduanya, sunghoon sibuk dengan pikirannya perihal apa yang harus dia lakukan, heeseung sendiri tengah merangkai perihal kalimat apa yang akan dia ucapkan setelah sekian lama tak bersua.

Heeseung kemudian menaruh gelas serabinya yang telah tanggas di bawah kursi, “dua tahun, dua tahun berlalu tapi kamu masih gak berubah sama sekali.”

Sunghoon menoleh kearah heeseung yang tengah menatapnya, heeseung serius tentang sunghoon yang tak berubah sama sekali kecuali tingginya yang bertambah, bulu matanya yang lentik, suara khas miliknya, juga tatapannya saat melihat heeseung masih sama seperti dulu.

“Kakak juga, semuanya gak ada yang berubah kecuali kakak yang makin dewasa.” Jawabnya pelan, heeseung tertawa juga sunghoon yang masih suka berterus terang.

“Kak, aku boleh tanya?” Tanyanya kepada yang lebih tua.

“Boleh, apapun itu bakal aku jawab sebisaku.”

“Dulu, kenapa kakak pergi gitu aja? Kenapa setelah lulus kakak hilang kabar, aku nyari kakak sampai ke perumahan kakak, tapi katanya kalian udah pindah, aku sempat tanya ke jay dan dia juga gak tau kakak kemana, hari itu aku marah, aku nangis seharian di dalam kamar aku nunggu kakak telfon aku atau balas pesan aku tapi gak ada.

Aku tahu aku gak berhak marah kakak tiba-tiba hilang, kakak gak nelfon aku lagi, gak balas pesan aku lagi aku bukan siapa-siapanya kakak tapi waktu tahu kakak hilang gitu aja aku marah, aku nangis seharian nunggu kabar dari kakak, kita bukan siapa-siapa tapi rasanya sakit banget waktu tau kakak hilang gitu aja.”

Heeseung bisa melihat yang lebih muda mengusap sudut matanya, “Sunghoon kamu berhak marah waktu itu, kamu berhak marah sama aku, berhak nangis berhak kecewa karena aku pergi gitu aja tanpa ngasih kamu kabar.”

Dulunya mereka sepasang saling yang merasa memiliki satu sama lain namun tanpa hubungan apa-apa.

“Aku juga marah sama diri aku sendiri waktu itu kenapa aku terlalu pengecut kenapa aku hilang gitu aja, setelah kakak lulus mama sama papa cerai, itu perjanjian mereka cerai setelah aku lulus SMA aku ikut mama pulang ke kampung halamannya semua fasilitas punyaku termasuk handphone diambil papa karena aku lebih milih ikut mama dari pada dia.”

Sunghoon terdiam di tempatnya dia tidak tahu menahu soal itu, tidak tahu bahwa selama itu heeseung banyak menyembunyikan luka hatinya.

“Kenapa gak bilang sama aku? Padahal kakak selalu ada buat aku, setiap aku butuh kakak pasti kakak bakal datang buat aku, tapi kenapa kakak gak ngelakuin hal yang sama, kenapa gak ngebungin aku? Sebenarnya dulu kakak anggap kita itu apa?”

Sunghoon sakit mengetahui fakta bahwa dia gagal, dia kecewa dengan dirinya sendiri karena merasa paling tersakiti padahal heeseung juga sama sakitnya.

“Kakak kuliah sambil kerja sampingan, gaji pertama aku pake buat beli ponsel baru, aku coba buat nelfon nomor kamu tapi udah gak aktif, hari dimana aku tahu nomor kamu udah gak aktif lagi jadi hari dimana aku tahu kalau kamu kecawa sama aku.”

Heeseung tersenyum, “tapi hari ini setelah ketemu lagi sama kamu dan tau kamu baik-baik saja dan masih mau bicara sama aku, aku bersyukur sekali rasanya hari ini aku jadi orang paling beruntung di dunia.”

Dua tahun lalu mereka menjalin cinta rahasia, heeseung adalah panutan sekolah organisasinya melarang untuk menjalin sebuah hubungan membuat keduanya harus terjalin hubungan yang cukup sulit untuk di jelaskan, saling curi-curi pandang saat ada kesempatan dan sering pergi berdua diam-diam tanpa ada yang menyadarinya, merasa saling memiliki satu sama lain padahal aslinya bukan siapa-siapa.

“Aku kecewa kakak selalu ada buat sunghoon, tapi aku gak bisa begitu buat kakak, kakak justru lari tanpa penjelasan bertindak seolah kakak penjahatnya di sini padahal aku juga salah, aku gak seha—”

“Kamu gak salah, jangan pernah berfikir kayak gitu, mungkin memang sudah jalannya kita kayak gini.” Heeseung tersenyum tipi melirik sunghoon yang masih menunduk.

“Sunghoon mau tau hal apa yang buat aku masih menyesal sampai sekarang?” Sunghoon kemudian menatapnya dengan penuh tanda tanya.

“Aku menyesal gak pernah bisa pegang tangan kamu di hadapan semua orang dan berteriak lantang kalau kamu itu punyaku, aku nyesal gak bisa ngasih tau semesta kalau park sunghoon itu dunianya lee heeseung.”

Hari itu hari dimana mereka kembali bersua di bawah guyuran hujan, sunghoon mengingatnya dalam-dalam yang kemudian di sematkan menjadi sebuah dialog lara dari dua insan yang pernah melukis kisah bertajuk 'aku' dan 'kamu' meskipun pada akhirnya tidak berakhir menjadi 'kita'.

Selamamya sunghoon akan mengingat kisahnya bersama dengan heeseung pemuda dengan almamater yang diam-diam di lukisnya di sebuah kanvas bertajuk;

Lee heeseung ; Dialog Lara

Rainy night

wanrings!

explicit content, nsfw, foreplay, sex smut, don't take any screenshot and don't share the passwords.


“Tunggu di sini dulu, kakak kebawa sebentar mau ambil minum.” Sunghoon hanya mengangguk menanggapi.

Bukan untuk pertama kalinya sunghoon datang ke tempat ini tetapi rasanya tetap saja berbeda, terlalu gelap untuk sunghoon yang lebih menyukai warna pastel. Kamar yang dua kali lebih besar dibandingkan kamarnya ini terasa sangat lenggang heeseung tidak punya banyak hiasan di dalam kamarnya, hanya ada beberapa lukisan dan poster band kesukaannya.

Sejujurnya sunghoon tidak biasa dengan warna lampu mencolok seperti warna lampu di kamar garda yang berwarna ungu memenuhi seluruh isi kamar, sunghoon merebahkan dirinya sembari menunggu heeseung dari bawah sana. Ada beberapa menit yang dilalui sunghoon dalam diam hanya menatap langit-langit kamar, tak lama sang pemilik kamar pun tiba dengan mampan yang diatasnya ada dua mug berisi coklat panas dan kue.

“Bangun dulu, hoon.” Sunghoon tidak mendengarkan malah memilih untuk menggelamkan dirinya di balik selimut mau tak mau membuat heeseung menarik paksa selimut yang menutupi seluruh badan sunghoon.

Tak banyak bicara pemuda itu langsung mengambil segelas coklat panas dan meminumnya pelan sambil melihat keluar kaca jendela dimana hujan turun dengan cukup deras membasahi kota di tambah dengan petir yang sesekali datang menyambar dengan keras, awalnya mereka berniat untuk menghabiskan waktu di malam hari mengelilingi kota dengan motor scoopy milik heeseung tapi hujan datang tanpa permisi membuat mereka pulang dan memilih singgah di rumah heeseung yang lebih dekat.

Sunghoon meminum coklatnya dalam diam, sesekali menatap heeseung yang sibuk dengan ponselnya, sunghoon mendengus merasa di abaikan. “Udah sana kakak pacaran aja sama hpnya kakak, anggap aja aku gak ada di sini.”

Heeseung tergelak menyadari bahwa si manis di atas tempat tidurnya itu mendengus sebal sembari meminum coklat panas yang kemungkinan sudah tidak panas lagi dengan kasar membuat heeseung lantas menghampiri pemuda itu, heeseung kembali tersenyum lebar saat menghampiri si manis yang justru berbalik membelakanginya sambil mendumel kesal dengan bekas susu coklat di bibir atasnya. Pemandangan yang membuat heeseung berdecak gemas.

“Minumnya yang rapih dong, masa kayak anak tk gitu, balik sini aku bersihin.” Tak ada jawaban si manis yang membelakanginya itu kini justru membali minum dengan tenang seolah tak ada heeseung di sampingnya.

“Park sunghoon.” Tak ada jawaban si manis tetap berpura-pura tidak mendengarkan.

“Lee sungho—

“Brisik, kak.” Sunghoon kini berbalik menatap heeseung yang kini tersenyum padanya.

“Lagian di bicarain gak nyaut, untung aja kamu gak tiba-tiba jadi patung.” Ucapnya random. “Minumnya yang rapih dong kamu tuh udah kuliah semester 2 sunghoon.” Heeseung meraih mug di tangan sunghoon membawanya ke meja nakas di samping kamarnya.

Pemuda itu terdiam sebentar ketika sadar dia tak membawa tissue. “Kak, kenapa dia— hmph.”

Sunghoon sedikit terkejut saat tiba-tiba pemuda di hadapannya itu menyatukan bibir mereka dan menjilat bekas susu coklat di bibirnya.

“Gak ada tissue.” Heeseung tertawa membuat sunghoon kembali mendengus.

“Dih, apaan gak berasa. Lagi kak hee mau cium lagi, tapi yang lama, lama banget!!”

Heeseung sebenarnya tidak berekspektasi bahwa balasan yang akan di berikan sunghoon akan seperti itu, dan siapalah heeseung yang berani menolaknya. Ada beberapa detik terjeda sebelum heeseung kini menarik lengan sunghoon membawanya duduk keatas pangkuannya, mempertemukan dua belah bibir mereka saling berkelit mencoba saling mendominasi, walaupun hasilnya heeseung tetap mendominasi mereka dalam ciuman itu.

Suara kecipak basah terdengar jelas memenuhi ruangan di tambah erangan kecil dari pemuda di atas pangkuan heeseung membuat suasana di dalam kamar semakin panas. Enam menit berlalu acara saling memangut itu berhenti ketika di rasa sudah hampir kehilangan nafas, heeseung sesekali mengecup bibir bengkak pemuda di pangkuannya itu yang sepertinya malu dengan perlakuannya sendiri dan kini memilih menyembunyikan wajahnya yang memerah du perpotongan leher heeseung, membuat heeseung tersenyum geli.

“Mandi ya? Tadi kehujanan di jalan takutnya nanti kamu sakit lagi.” Tak ada jawaban yang di berikan pemuda di pangkuannya.

“Hoon?”

“Mau, tapi sama kak hee.” Ucapnya pelan, membuat heeseung mau tak mau mengembangkan senyumnya.

•••

Sejujurnya sunghoon sedikit malu dengan posisi mereka saat ini, mereka berendam di dalam bathtub dengan heeseung yang duduk di belakang sunghoon menyabuni punggungnya.

“Hoon, deketan sini.”

“Gak mau.”

“Trus cara nyabuninnya gimana kalau kamunya duduk jauhan gitu.”

“Gak mau!!” Heeseung berdecak sebentar sebelum kemudian menarik paksa sunghoon untuk mendekat kearahnya.

“Kak hee!!” Sunghoon terkejut tentu saja, tubuh mereka jadi sangat dekat hingga sunghoon merasakan sesuatu di bawah sana yang menyentuh bagian bawahnya, yang membuat sunghoon tak mau memikirkannya.

Sunghoon tidak paham bagaimana semua ini terjadi, siapa yang memulai entalah sunghoon tak bisa berfikir jernih di tengah ciuman mereka, sunghoon mengeluh tertahan ketika heeseung dengan iseng menghisap lidahnya.

Lee heeseung is a good kisser. And sunghoon can't handle it.

“Ugh— kak hee. Adek mau di lehe— ahh.” Tanpa di minta dua kali heeseung langsung mendaratkan ciumannya di leher sunghoon, pening mendengarkan rengekan yang mampu menghilangkan kewarasannya dalam sekedip mata.

“Mmhhh kak hee...”

Sunghoon menggigit bibir bawahnya dan meremas sensual rambut yang lebih tua. Agak memalukan tapi sunghoon selalu menyukai ketika bibir heeseung menjelajahi tubuhnya.

Ciuman heeseung kini semakin turun dari leher menuju dadanya jilat, kecup, cium dan gigit. Itu semua membuat sunghoon tak mampu berpikir jernih, sunghoon ingin lagi, lagi dan lagi. Sunghoon menginginkan lebih dari ini.

Seolah tau erangan frustasi dari kekasih manisnya kecupan itu kini berpindah ke dadanya heeseung menghisap dada kanannya dengan keras membuat sunghoon memekik cukup nyaring.

Air bathtub kini meleber keluar karena mereka terus bergerak kesana kemari mencari kenikmatan. Heeseung kini membawa sunghoon duduk diatas pahanya membiarkan milik mereka saling bergesekan menciptakan erangan tertahan.

Heeseung mengeluarkan dada sunghoon dari rongga mulutnya menciptakan bunyi kecipak basah yang cukup nyaring.

“Heeseung~” heeseung terkekeh mendengar nada merengek dari pemuda di pangkuannya itu.

“Iya, sayang sabar.” Kali ini heeseung kembali menghisap dada kanannya sesekali menggigit denga gemas membuat sunghoon mendesah tak karuan.

Tangan kiri heeseung memijit lembut dada yang tengah dia hisap sementara tangan kanannya mulai berjalan kebawah sana. Penis sunghoon sudah keras kini mengeluarkan precum, tangan heeseung kini mengocoknya perlahan dan sunghoon mengerang cukup keras erangannya di iringi dengan gerakan memeluk kepala heeseung yang membuat heeseung kini semakin tenggelam di dada sunghoon.

“K—kak hee.. eunghh, m—mau pindah di sini basah.”

“Kenapa pindah?” Tanya heeseung dengan pelan membuat sunghoon sedikit merinding mendengarnya.

“Gak suka, di sini basah, dingin.” Heeseung kemudian baru sadar jika kekasih menisnya itu tidak tahan berlama-lama berendam di salam air.

“Magic word?”

Memalukan karena sejujurnya sunghoon sedari tadi mencoba untuk menghindari situasi ini, namun kini dia tak punya pilihan lain.

“Kak hee— Mmhh.” Heeseung tidak tahan melihat ekspresi memelas yang di berikan oleh sunghoon membuatnya tidak bisa berpikir lain selain membawanya keatas ranjang size king miliknya, persetan dengan tubuh mereka yang masih basah.

Heeseung merebahkan tubuh sunghoon diatas ranjang tanpa melepas ciuman mereka, satu tangan heeseung kini berjalan kebawah sana membuka paha mulus sunghoon dengan lebar kemudian memasukkan satu jarinya yang membuat sunghoon memekik cukup keras.

“Ahh kak hee, k—kurang tambah lagi jarinya.” Sunghoon menggigit bibir bawahnya pelan kemudian menatap heeseung dengan tatapan memohonnya membuat heeseung kembali menyambar bibirnya dan menambah satu jarinya untuk masuk kedalam sunghoon.

Heeseung memasukkan jari tengahnya membuat gerakan menggunting, yang lebih tua kini mengangkat wajahnya sejenak melapas ciuman mereka dengan paksa membuat sunghoon merengek.

Heeseung bisa melihat surai hitam itu kini sudah lepek— membingkai wajah si manis dengan sempurna dengan bulir-bulir keringat bercampur air mata berkilauan di kulitnya.

Heeseung selalu tak habis pikir bagaimana kekasihnya bisa selalu terlihat cantik dalam situasi apapun bahkan di saat mereka seberantakan inipun sunghoon justru terlihat semakin cantik dengan nafas yang terengah, bibir merah bengkak juga dengan keringat yang menambah kesan seksi pada sunghoon membuat heeseung kehilangan kewarasan.

Dia kembali menangkap bibir sunghoon kedalam sebuah ciuman, menghisap dengan lembut sampai sunghoon membalas ciumannya yang di iringi dengan desahan karena jari heeseung masih di dalam lubangnya.

“Mau pake pelumas?” Bisik heeseung diantara bibir sunghoon.

Sunghoon menggeleng pelan “G—gak mau, mau ngerasain kak hee banget di dalam aku.”

Sunghoon berucap pelan memiringkan kepalanya tak mau bersitatap dengan heeseung yang kini tersenyum kemudian mengucup bibirnya sebentar. “Padahal kamu udah sering ngerasain aku tanpa pelumas atau kondom.”

“D—diem, intinya aku gamau, mau ngerasain kak hee masuk sampe dalem banget.”

“Udah sunghoon jangan bicara lagi.” Sunghoon tahu heeseung berada di ambang kewarasannya, karena sunghoon yang memegang kendali atas heeseung.

“Kak u—ughh masukin adek sekarang, mau ngerasain kak hee sekarang.” Sunghoon berbisik pelan di telinga heeseung seperti sebuah tombol yang otomatis membuat heeseung mengeluarkan jarinya dari dalam sunghoon yang membuat sunghoon kembali merengek karena merasa kosong.

Heeseung membuka pahanya lebar-lebar memperlihatkan lubang sunghoon yang berkendut seolah memanggil heeseung untuk segera memasukinya.

“Setelah ini jangan paksa kakak buat berhenti.”


Udah selesai hahaha, anw happy milkcarrot day! <3

—warnings! apocalyptic


Hari ini, tahun ini, pada abad ini kita tidak lagi memandang dunia yang sama seperti dulu dimana kemajuan teknologi mutakhir berkembang dengan sangat pesat, membeli makanan atau barang yang sebetulnya masih bisa di gunakan untuk kebutuhan lain tetapi demi terlihat eksis rela menerjunkan diri sendiri kedalam jurang, atau contoh kecilnya saja menghirup udara segar.

Pada abad ini kalian tidak akan menemukan udara segar, tidak lagi bisa membeli makanan yang tidak terlalu di butuhkan tapi sekarang kau harus rela berburu hewan melata dengan banyak resiko seperti, tersengat racun, di gigit hewan yang mulai hilang kewarasan atau terpapar radiasi nuklir yang mampu melepuhkan kulit seketika atau kemungkinan terburuknya berakhir menjadi manusia pemusnah sama seperti gerombolan manusia dengan wajah buruk rupa dan bau badan mereka yang sungguh menyengat sangat menjijikkan melihat bagaimana luka-luka di wajah mereka yang mulai di hinggapi belatung namun masih sanggup berjalan dan memangsa manusia bernyawa.

Suara geraman mereka sungguh sangat memusingkan sekaligus menakutkan, mereka manusia yang tak lagi bisa di sebut manusia karena telah terinfeksi virus yang di sebarkan beberapa tahun lalu melalui aliran sungai, menjangkit hampir jutaan manusia hanya dalam kurun waktu kurang lebih dari seminggu, mereka hanya seenggok tulang berdaging bermodalkan insting untuk memangsa manusia yang sanggup membuat mereka bertahan hingga saat ini, jika pandemi beberapa tahun silam di sebut belajar bertahan hidup maka inilah bertahan hidup yang sebenarnya, salah langkah sedikit kau akan berakhir menjadi santapan makhluk-makhluk bau itu.

Sama seperti yang dialami oleh sunghoon saat ini, dia sedang bertahan hidup dari serangan makhluk bau yang entah datang darimana tiba-tiba mengejarnya dengan penuh nafsu, beruntungnya dia berada di tempat yang cukup aman sekarang dimana pagar penyetrum mengelilingnya dan makhluk sialan itu masih terus mencoba untuk menerobos meskipun tersetrum berkali-kali, sunghoon melihat sekelilingnya berharap masih ada manusia sungguhan di tempat ini sambil terus menembakkan amunisinya meluluhlantakkan sebagian mahluk tak berotak itu.

Baru sekitar tiga bulan yang lalu dia tersadar dari tidur panjangnya di dalam sebuah tabung berisikan air berwarna biru hal yang pertama kali dilihatnya bukan pemandangan seperti yang terakhir kali di ingatnya yang dia lihat pertama kali tapi justru pemandangan dunia yang hancur adalah pemandangan pertama yang di lihatnya setelah tersadar dari tidur panjangnya.

Entah apa yang terjadi pada laboratorium tempatnya di sekap di dalam tabung beberapa tahun silam sehingga ketika sunghoon terbangun dari tidur panjangnya dia hanya menemukan dirinya sendiri dengan keadaan tubuh kaku sulit di gerakkan dan debu yang membuat paru-paru sakit.

Menjadi bahan percobaan oleh orang tua sendiri adalah kesialan terbesar yang pernah menimpa hidup sunghoon, pikirnya dia hidup di perlakukan dengan sangat baik oleh kedua orang tuanya karena mereka menyanginya namun kenyataannya percaya pada mereka itu justru kesalahan terbesar yang pernah dilakukan sunghoon karena realitanya justru dia menjadi bahan percobaan laboratorium bersama ratusan tabung lainnya yang di tangani oleh ibunya fakta yang lebih mengejutkannya lagi adalah ayahnya adalah otak dari kekacauan ini, ilmuwan gila.

“Di masa sekarang dimana kehidupan manusia semakin berkembang jangan pernah percaya dengan siapapun, kecuali dirimu sendiri.”

Sunghoon ingat betul seseorang pernah mengatakan hal itu kepadanya yang tak lama kemudian terbukti benar adanya, entah seberapa banyak hal yang di ketahui orang itu yang sunghoon yakini sejak awal kedatangan orang itu sedari dulu memang membawa sejuta pertanyaan juga sebuah kisah yang terpaksa di hentikan sebelum usai.

Mungkin besar kemungkinan orang itu masih hidup atau juga sudah menjadi mangsa makhluk tak berotak itu, namun seingat sesaat sebelum ledakan besar-besaran itu terjadi mereka masih bersama di dalam sebuah bar sebelumnya akhirnya sunghoon terbangun di dalam sebuah tabung.


Sendirian di tengah-tengah para pemangsa juga adalah salah satu kesialan yang menimpa hidup sunghoon lagi, selama tiga hari melakukan perjalanan tak tentu arah dia sama sekali tidak menemukan satupun manusia sungguhan selain dirinya sendiri di tempat ini. Dia tak ingin berpikir lebih jauh tetapi pemikiran jika seluruh manusia telah musnah kembali menghantui fikirannya namun dia menggeleng pasti dia akan menemukan manusia lainnya, jika dia adalah satu-satunya manusia yang masih hidup di bumi ini itu bukanlah hal yang lucu.

Langkah kakinya berjalan dengan pelan dengan tangan yang terus memegang Heckler atau Koch HK416 di tangannya senapan yang mirip dengan M4 Carbine itu mampu menebakkan 900 butir peluru permenitnya juga dengan senapan TrackingPoint yang terselip di saku celananya senapan jenis ini dulunya sering di gunakan para sniper yang di lengkapi dengan teknologi khusus yang membuat penembak hampir tidak mungkin untuk luput dari sasaran di dalamnya sudah di sematkan teknologi precision-guided yang mampu mengkalkulasikan kemungkinan gagal atau tidaknya sebuah tembakan jika di lepaskan kearah target.

Jangan kaget jika sunghoon cukup tahu banyak soal senapan, seorang ahli senapan pernah menjelaskan hal ini kepadanya dia adalah seorang yang ahli menggunakan senapan. Kembali kedalam cerita bagaimana dia bisa menemukan senapan ini mungkin hanya sebuah keberuntungan ketika dia tak sengaja membuka salah satu bagasi mobil yang mulai karatan dengan bagian depan yang hancur menabrak mobil lainnya di piggir jalan.

Pemandangan kota yang dulunya sangat indah kini sekarang terlihat mengerikan udara kotor bekas ledakan nuklir beberapa tahun silam masih belum menghilang, gedung-gedung tinggi yang dulunya menjulang sangat apik kini hancur setengahnya kaca-kaca gedung berserakan di jalanan, tiang listri yang berjejer kini mulai berkarat dia tidak tahu jika efek ledakan nuklir beberapa tahun silam itu memiliki dampak yang sangat besar hampir memusnahkan setengah kehidupan di muka bumi entah apa yang terjadi pada mereka yang masih selamat hingga kini, mungkin ada yang mengalami kecatatan dan trauma berkepanjangan.

Sunghoon memelankan langkahnya ketika dia sudah mulai memasuki are gedung yang tidak lagi memiliki penghuni, bersembunyi di balik pilar-pilar tinggi dengan terus menodongkan senapan di tengannya sunghoon merinding saat suara grasak-grusuk itu kian terdengar semakin jelas diatasnya, sunghoon menelan ludahnya kasar hendak mendongak keatas sana namum sosok dengan masker Respirator itu sudah lebih dulu melompat dari lantai atas untuk menerjang tubuhnya.

Bruk

Tubuhnya terbentur kasar di lantai dengan bunyi yang cukup keras dengan sosok itu menunduk mengarahkan mulut senapannya di bawah dagunya, sunghoon yang memiringkan kepalanya perlahan mulai menengok hendak melihat bentuk sosok di hadapannya ini pandangan di halangi oleh debu yang sangat mengganggu namun sunghoon dapat melihat dengan jelas sekarang bahwa sosok itu tidak memkai masker Respirator bentuk jika di lihat sekilas memang sangat mirip namun itu adalah hal yang sangat berbeda jika melihatnya dari dekat masker itu telah di modifikasi menjadi bentuk yang lebih efisien dengan besi dan kaca yang menutupi bagian matanya.

Nafasnya tersenggal ketika dia mulai menghirup debu-debu kotor itu membuat sosok di depannya kini lebih mendekatkan wajahnya dan langsung melepas masker yang menutupi sleuruh bagian wajahnya bagian kaca dari masker yang tadinya menutupi bagian atas wajahnya kini menurun dengan otomatis, sosok di atasnya kini menatapnya terkejut begitu juga dengan sunghoon.

Itu Lee heeseung sosok misterius di dalam hidupnya sosok yang membawa banyak pertanyaan dalam hidup sunghoon juga sepenggal kisah mereka yang usai sebelum waktunya.


Setelah melalui beberapa introgasi dari sosok yang tadi menodongkan senapannya pada sunghoon itu kini membawanya berjalan menuju ke sebuah bangunan tua yang berada jauh dari pusat kota, sebuah gubuk tua namun saat masuk dia justru di buat heran saat melihat isi gubuk itu kosong melompong keheranannya makin tambah saat heeseung seperti memencet sesuatu di lantai gubuk ini yang kemudian menimbulkan bunyi dan membuka sebuah jalan menuju ke ruang bawah tanah, mereka tidak tinggal di gubuk ini tapi di bawah gubuk.

“Efek radiasi nuklir lima tahun lalu itu sangat besar hampir memusnahkan setengah kehidupan di muka bumi, kami yang masih selamat memilih hidup berkelompok dan membangun tempat tinggal di bawah tanah untuk menghindari efek radiasi dan menghindari para Noirceur.”

Noirceur itu sebutan untuk kelompok pemerintah dan ilmuwan yang bekerjasama menyebabkan semua kekacauan ini, singkatnya ini nama kelompok yang di pimpin ayahnya.

Saat masuk kedalam ruang bawah tanah itu cukup luas dan di petak-petak menjadi empat bagian yang pertama di sisi sayap kanan adalah ruang tempat tidur dengan ranjang susun yang jumlahnya ada empat, di bagian sayap kiri sunghoon tidak tahu itu ruangan apa tepatnya kosong dan dan di bagian dindingnya di penuhi dengan senjata dan terakhir di bagian tengah menjadi pusatnya dimana di sini ada perapian yang sunghoon yakini menjadi tempat mereka untuk memasak dan sofa usang di tengah-tengah mereka, bagian terakhir ada di balik perapian itu sunghoon tidak tahu ruangan apa yang ada di balik perapian itu.

Saat mereka tiba di ruang temgah orang-orang yang berada di ruang di balik perapian itu keluar satu persatu membuat sunghoon terkejut karena semua orang yang keluar dari ruangan itu memakai topeng di wajah mereka.

“Sudah kukatakan jangan memakai topeng itu jika tidak kemana-mana.” Kemudian heeseung memperkenalkan orang-orang dengan topeng di wajah mereka.

Pemuda dengan topeng mirip dengan kacamata selam yang di tambahkan dengan besi tajam di bawahnya itu adalah jay, pemuda di sampingnya dengan topeng burung hantu yang memyembunyikan seluruh bagian wajahnya itu adalah jake, satunya lagi pemuda denga topeng yang hanya menyembunyikan bagian matanya hingga dahi yang seperti di tumbuhi duri-duri tajam dan dua taring di bagian bawah sisi kanannya adalah riki, dan dua orang yang menarik perhatian sunghoon sejak pertama mereka keluar dengan topeng kelinci tanpa telinga hanya melindungi bagian dahi hingga hidungnya yang di lengkapi dengan gigi kelinci itu jungwon dan sunoo mereka adalah saudara kembar yang membedakannya adalah iris mata kiri sunoo berwarna putih pucat akibat dari efek radiasi nuklir.

Sunghoon sedikitnya terkejut saat melihat sosok lain muncul dengan topeng paruh burung yang lancip hingga kebawah dagunya dia seorang gadis, gadis itu segera melepaskan topengnya saat bersitatap dengan sunghoon. “Kita bertemu lagi.”

Bahkan hingga sekarang gadis itu masih terus berjalan di belakang heeseung karena sejujurnya aneh jika melihat heeseung tanpa gadis tinggi itu, dia Millera Shapire yang mungkin bisa di sebut tangan kanan heeseung.

Mereka semua kemudian melepas topeng yang melekat di wajah mereka dan kini beralih duduk di sofa tua di pusat ruangan, sepertinya akan berdiskusi.

Millera mengeluarkan sebuah peta dari bawah meja kemudian membukanya menjelaskan beberapa posisi-posisi yang tidak di pahami sunghoon, “Aku dapat bocoran ledakan kedua di bagian ataraxia akan segera menyusul, itu artinya kita harus segara mengumpulkan pasokan makanan untuk beberapa bulan kedepan, nuklir-nuklir sialan itu akan menginfeksi hewan-hewan yang tersisa kita harus segara berburu sebelum mati kelaparan.” Jelas millera.

“Aku dan jake yang akan mencari makanan di pusat kota, kami sudah menyiapkan amunisi antidipasi jika bertemu dengan para pemangsa itu.” Jelas jay yang kemudian di angguki jake.

“Twins dan riki kalian yang akan berburu.” Kedua kembar yang tadinya terlihat semangat itu kini merenggut, begitu juga dengan riki.

“Aku tidak mau berburu dengan si kembar ini mereka merepotkan terlalu banyak bermain-main.” Ketusnya.

“Kami tidak mau berburu hewan melata itu dia hampir menggigit kami.” Ucapnya serempak.

“Tidak adakah rusa yang selamat dari radiasi nuklir yang bisa di buru, ini menjengkelkan hampir lima tahun kita hanya memakan daging hewan melata yang keras.” Ucap jungwon dengan sedikit kesal.

“Hanya mereka yang selamat dari efek radiasi karena mereka hewan melata, kau tidak akan menemukan daging rusa atau sapi di masa sekarang mereka musnah karena efek radiasi.” Ucapan jake kemudian kembali membuat duo kembar itu semakin merengut.

“Kita tetap harus bekerja sama, tak ada pilihan lain selain daging ular itu satu-satunya daging yang paling aman untuk di makan. Millera dia akan tetap di sini jaga tempat ini dari serangan makhluk pemusnah itu, aku juga akan pergi ke pusat kota mencari obat-obatan dan tambahan makanan.”

Meskipun awalnya si kembar dan riki membantah mereka tidak bisa menolak dan akhirnya mengangguk meskipun dengan berat hati.

“Apakah aku boleh ikut?” Sunghoon yang sedari tadi terdiam kini mengangkat suaranya membuat pandangan semua orang tertuju kepadanya.

“Kapten apa dia sama dengan kita?” Pertanyaan dari sunoo itu membuat sunghoon kebingungan, bukannya mereka memang sama?

“Kau bisa lihat tanda di punggung lehernya.” Sunoo kemudian berdiri dengan cepat dan berjalan kearah belakang sunghoon.

Sunghoon masih dalam keheranan tidak bisa berbuat apa-apa membiarkan sunoo, “Kapten dia juga subject tapi lambangnya berbeda, eh? Tunggu sebentar, jika lambang millera itu maiden, mother, crone dan kami crescent moon yang ini mirip dengan milik kapten tapi warnanya berbeda miliknya hanya garis yang sama dan titik yang sama dengan milik kapten.”

Semua orang itu kemudian kembali menatap Sunghoon yang membuatnya merasa di tatap seperti seorang penjahat, membuat millera segera berdiri dan ikut melihat, “Ying dan Yang, kapten kalian menemukan pasangannya.” Gadis itu terbahak sebelum kemudian menjelaskan, “ini bentuk yang saling melengkapi kemungkinan kekuatannya juga sama hanya saja aku tidak tahu kenapa mereka membuat jarak subjectnya cukup jauh.”

“Maksdunya?” Tanya Sunghoon kemudian.

“Aku, heeseung dan delapan subject lainnya ada percobaan subject pertama seharusnya pasangan subject heeseung di buat bersamaan tapi ternyata mereka di buat dengan jarak yang cukup jauh.”

“Lalu kemana delapan subject lainnya?” Tanya jungwon yang kini terlihat serius.

“Di musnahkan karena kami di anggap ancaman awalnya, hanya aku dan heeseung yang berhasil lolos dan sampai sekarang masih menjadi buronan Noirceur.”

“Kalian tadi mengatakan kekuatan, kalian punya kekuatan?” Sebetulnya sunghoon sulit mencerna ini semua.

“Kau masih belum mengerti ya? Kita ini mutan.”

“Tidak mungkin.”

“Kau mengatakannya tidak mungkin karena belum melihatnya secara langsung.” Sunoo kemudian menekan lambang di balik leher sunghoon.

Sunghoon mengeluh kemudian sedikit tekejut saat merasakan sebuah tombol di belakang lehernya di pencet rasanya tubuh sunghoon langsung di buat panas, sunghoon rasanya tak ingin percaya ketika melihat kedua lengannya sekarang tergantikan dengan besi hitam mulai melingkari kedua lengannya hingga ke siku dan bagian belakang lengannya terasa lebih berat sunghoon memandangi perubahannya namun di buat tekerjut saat menekuk lengannya sebuah pisau modifikasi muncul di belakang lengannya.

“Hei, itu benar-benar mirip dengan milik kapten.” Riki berseru.

“Itu hebat, milik kami hanya seperti ini..” jungwon ikut menekan tombol di balik lehernya kemudian memperlihatkan perubahan tangannya yang seperti di selimuti baja dengan bagian kawat besi memanjang mengikuti jarinya dan di ujungnya terdapat besi tajam bernentuk segitiga menyerupai kuku. “Ini kawat elastis jika di lepas bisa memanjang hampir ratusan meter dan besinya bisa menebus tubuh jika di arahkan pada sasaran.”

Sebuah kegilaan dalam hidup sunghoon kembali terjadi ketika mengetahui alasan kenapa dia di diamakan di dalam tabung berisi air pada waktu itu, dia di jadikan mutan oleh orang tuanya sendiri.


Tiga bulan setelah ledakan ataraxia yang di maksud oleh millera terjadi sunghoon mulai beradaptasi dengan dirinya yang baru yang kini bukan lagi manusia seutuhnya lebih tepatnya mutan.

Selama ledakan kedua berlangsung mereka menghabiskan waktu di bawah tanah untuk melatih sunghoon dengan tubuh barunya yang belum terbiasa dengan perubahan, katakan bahwa ini gila.

Sepanjang hidupnya sunghoon tak pernah percaya dengan yang namanya kekuatan, tapi kali ini dia sendiri yang memiliki meskipun cukup sulit untuk di percaya namun ini adalah kenyataannya dia sunghoon bisa mengeluarkan sengatan listrik dari tangannya ketika dia bermodifikasi menjadi shx sebutan untuk tubuh mutasinya, juga pukulan berdentum yang sanggup meruntuhkan bangunan.

Si kembar dan riki di buat terperangah saat pertama kali melihat sunghoon berhasil mengendalikan dirinya dia mampu berpindah tepat dengan sekejap mata dan menciptakan lubang besar saat mengeluarkan pukulannya itu adalah hal yang hebat, mereka semua melatih kekuatannya selama 3 bulan ini di bagian sayap kiri dimana heeseung sudah menciptakan selaput-selaput tak kasat mata yang melindungi mess mereka agar tidak hancur saat mereka berlatih dengan kekuatan ekstra mereka.

Tiga bulan ini berlalu dengan sangat cepat mereka menjadi lebih dekat dan sunghoon merasa bahwa dunia memamg hancur tapi masih ada kehidupan di dalamnya yang masih terasa hangat. Sunghoon tak lagi memikirkan penghianatan yang terjadi diantara kedua orang tuanya dirinya kini hanya menganggap bahwa itu hanya sebuah kesialan yang menimpanya dan akan terlewat begitu saja.

Saat ini mereka sedang berkumpul menunggu millera dan si kembar yang tadi pergi bertiga untuk mengumpulkan informasi dan bahan makanan tambahan, namun heeseung mulai sedikit terlihat panik dengan berulang kali mengecek ke ruang belakang karena ketiga orang itu tak kunjung datang dari waktu yang di tentukan.

Buk Buk

Suara gebukan keras terdengar membuat semua orang menoleh ke pintu atas dimana si kembar datang dengan keadan yang bisa di bilang tidak baik.

“Millera di tangkap Noirceur, mereka membawanya ke pusat laboratorium, kami berdua tidak bisa menolong millera kami di serang subject yang masih setia dengan mereka.” Jelas jungwon dengan nafas tidak teratur.

“Mereka bukan lawan kami, kami tidak sebanding dengan mereka.” Tambah sunoo kedua menunduk takut, mereka telah gagal menolong anggota team dan itu bukanlah hal yang bagus.

Jay dan heeseung saling menatap saat proyektor di ruang belakang tiba-tiba berbunyi, mereka semua lantas segera berlari menuju keruang belakang dimana proyektor yang terhubung dengan millera menyala dan menampilkan millera dengan kedua tangan tergantung di dalam sebuah ruangan gelap dimana di bawah kakinya terdapat percikan-percikan listrik, keadaan millera sangat buruk keadannya melemah lengan dan kakinya berdarah, dia di siksa.

*“Hi, tream. Ini peringatan terakhir untuk kalian mutan-mutan yang membelot mengkhianati kami yang menciptakan kalian, subject maiden adalah subject yang berhasil kabur bersama satu subject yang seharusnya menjadi milik Noirceur.”* Wanita paruh baya itu biacara dengan tegas, sunghoon hanya menatapnya datar wanita itu dulunya adalah sosok yang sering dia panggil dengan sebutan ibu.

“Aku tahu kalian bersama dengan subject Yin dan Yang atau subject shx dan subject hsx, cukup mudah untuk berdamai dengan kami subject shx dan hsx harus menyerahkan diri atau subject maiden ini akan akan berakhir.”

Ruangan gelap itu kini menampilkan millera yang di sengat dengan ribuatan aliran listrik membuat tubuhnya bergetar gadis itu berteriak kesakitan kedua besi yang menggantung lengannya itu bukan sekedar besi biasa, semakin dia bergerak untuk meloloskan diri besi itu akan menyerap tenaganya dan melemahkannya.

“Tream, keputusan ada di tangan kalian.” Proyektor itu mati menyisakan ketujuh orang itu yang saling menatap.

“Kapten apa yang harus kita lakukan?” Jake segara bertanya.

“Tidak, kalian tidak akan melakukan apapun, aku akan menyerakan diri kalian harus tetap di sini, sunghoon kau bisa melindungi mereka dengan selaput tipis saat aku pergi.” Jelas heeseung yang kemudian berjalan menuju kearah persenjataan.

“Tidak, kau tidak boleh pergi jika aku tidak.” Sunghoon berteriak marah kearah heeseung yang membuatnya langsung berhenti kemudian berbalik.

“Kau tidak akan bisa melawan mereka.”

“Lantas kau fikir kau bisa? Aku tahu kau subjcet terkuat yang pernah ada, kita satu subject, kau fikir kau bisa melawannya seorang diri? Kau fikir kau adalah seorang kapten jika bersikap seegois ini? Kenapa tidak mau mendengar pendapat anggotamu? Kau menyebut dirimu kapten?”

Heeseung terdiam menatap yang lainnya menundukkan pandangan mereka kemudian menghela nafasnya sebentar, “Sunghoon, kau tidak akan bisa melawan mereka.”

“Kenapa tidak?!!”

“Mereka orang tuamu.” Sunghoon terdiam membuat pandangan orang lain yang tersisa tertuju padanya, sebuah fakta baru bagi mereka bahwanya nyatanya sunghoon adalah anak dari otak kehancuran yang mereka alami.

“Persetan jika mereka orang tuaku, tak ada orang tua yang membiarkan anaknya sendiri menjadi bahan percobaan laboratorium, mereka bukan keluarga, keluargaku sekarang kalian.

Kenapa tidak mau mendengarkan suara mereka? Apakah kau masih menyebut dirimu kapten jika begitu?” Pertanyaan bertubi-tubi dari sunghoon membuat heeseung terdiam sedikit tertohok.

“Aku kaptennya aku yang memutuskan semuanya.”

“Kau selalu bilang kita adalah tim, tapi kenapa ingin berjuang sendiri jika bisa berjuang bersama?” Jay akhirnya bersuara tidak terima jika heeseung harus pergi sendiri dan membiarkan mereka terdiam menunggu kabar yang tak pasti.

“Lima tahun kita hidup sebagai tim, apa itu kurang? Kami juga ingin ikut menyelamatkan millera.” Timpal jake yang langsung di setujui si kembar dan riki.

“Kami ikut.”

“Aku juga, kapten.”

Menjadi pemimpin tream bukanlah hal yang mudah, heeseung memikirkan banyak hal namun mereka adalah tim, “Jangan sampai mati.” Ucapnya kemudian berbalik untuk mengambik sebuah senapan yang menggantung di dinding.


Mereka keluar kini telah berada pusat kota tak jauh dari markas besar Noirceur, bangunan tinggi markas mereka mulai terlihat dari sini, mereka berdiri sejajar dengan dengan perlengkapan senjata kemudian saling menatap satu sama lain.

“Apapun yang terjadi nantinya jangan goyah, tujuan kita hanya untuk menyelamatkan millera dan kebebasan. Ingat kita harus pulang bersama karena kita adalah tim.”

“Siap kapten.” Jawab mereka serempak.

Sunghoon kemudian tersenyum melirik heeseung yang kini balik menatapnya, “ingat jangan mati, kau masih punya janji padaku lee.”

“Seorang kapten tidak akan pernah mengingkari janjinya.”

Kemudian mereka menekan tombol yang berada di belakang punggung mereka bersamaan dan mulai bermodifikasi menjadi Subject mereka masing-masing.

Sunghoon tak peduli dengan apapun sekarang, dia hanya ingin mengakhiri semuanya, kehancuran kehidupan ini harus segara berakhir mereka yang menyebabkan kerusakan ini haru bertanggung jawab atas perbuatan mereka.

Sebuah hukum alam akan segara mengambil alih, mereka berjuang bukan sebagai subject percobaan tetapi sebagai manusia yang tengah memperjuangkan hak kebebasannya.

Sudah saatnya semua kekacauan dan kerusakan bumi ini di benahi kembali, dan memulai perdaban baru.

Dari Noa untuk Papa yang pernah gagal meraih mimpi

This au inspired by Junior Master Chef Australia S2 —warnings! causing a little pain and frustassed


Suara dentingan jam yang memenuhi ruangan membuat semuanya tegang, orang tua peserta yang saling mengintrupsi anak-anak dan menyemangati, tiga peserta yang tersisa pada sore hari ini terlihat sangat sibuk dengan masakan mereka.

Ada Filo yang sibuk memanaskan coklat, Nathalie dengan dessert delima miliknya, juga Noa yang tengah memanggang kelapa diatas teflon.

“Noa, kelapanya terbakar kamu harus lebih cepat.” Noa menatap kearah pria dewasa dengan paras manis itu sebentar, kemudian pergi menuju kearah teflonnya.

“Papa it's not burning, toasting.” Noa tertawa dalam hati menatap ekspresi papanya dan mengucap maaf karena terlalu khawatir.

Dia paham kenapa papanya terlihat sangat panik, mungkin juga menjadi alasan kenapa Noa ada di sini.

Kids, waktu kalian tersisa dua jam lagi.”

“YES, CHEF.” ucap mereka serempak, menimbulkan senyum dari pria dewasa lainnya yang tadi mengintrupsi.

Namanya Lee Heeseung seorang chef terkenal yang keahlian memasaknya tidak perlu lagi di ragukan, mungkin jika tidak sedang berkompetisi Noa akan berteriak dengan lantang kalau orang hebat itu Ayahnya.

Mungkin memang keputusan yang agak salah mengikuti perlombaan dimana ayahmu yang menjadi jurinya, sejak pertama ikut pertandingan ini Noa sudah di ikut berita miring dengan fakta bahwa ayahnya menjadi bagian penting dari acara ini.

Namun Noa akan membuktikan kalau dia bisa sampai di babak ini atas kerja kerasnya sendiri, dia berhasil sampai ke sini karena orang yang kini sibuk menyemangatinya dari atas sana namanya Lee Sunghoon, papanya.

Noa mencampurkan kelapa itu dengan susu kemudian mengaduknya dengan telaten kemudian beralih dengan batang serai, merebusnya yang kemudian di campur dengan perasan jeruk nipis.

“Hei, Noa bisa beri tahu aku apa yang akan kau buat?” Pertanyaan dari wanita dengan dress mewah berwarna hijau itu dengan lantang.

“Yes chef, it's toaster coconut ice cream slice with a brown bread crumb davidson plum maringue, davidson plum pearls and lemongrass granite.” jelasnya sambil mencampur beberapa bahan-bahan yang dia perlukan.

Wanita itu tersenyum puas, “Very very interesting, very tropical, i love it.”

Noa sangat menyukai makanan penutup dengan bahan-bahan tranquil seperti kelapa dan serai, papanya sering mengatakan dia memyukai toaster coconut ice cream buatannya yang membawa rasa bakar yang bagus untuk hidangan.

“Oh, Noa you should brunt your butter.” Papanya lagi-lagi berujar pelan diatas sana melihat butter miliknya yang berubah warna.

“It's brown butter not burnt butter, Papa.”

Jawaban santai dari noa itu membuat tiga juri di depan sana tertawa juga menimbulkan gelak tawa pada dirinya sendiri, “I'm sorry Lee.”

Noa hanya tertawa melihat Papanya yang mudah sekali panik, sebuah kebiasaan jika dia merasa terdesak juga ingatkan Noa untuk menghilangkan kebiasaan Papanya yang satu itu.

Noa kemudian melanjutkan untuk memasukkan adonan eskrim dan kelapanya kedalam lemari pendingin, suasana ruangan semakin mencekam ketika waktu dari dentingan jam raksasa itu terus berbunyi membuat mereka semakin di buru waktu. Noa menatap kearah belakang ketika mendengar suara seorang wanita di atas sana mengintrupsi Filo yang memegangi kepalanya sepertinya dia kehilangan konsentrasi untuk mengingat apa saja yang akan dia lakukan.

“Filo tenangkan dirimu.” Teriak Noa kemudian yang segera di ikuti noa dengan mengatur nafasnya perlahan untuk kembali memfokuskan dirinya, dia terlalu bersemangat sehingga kehilangan konsentrasi.

Rasa frustasi ketika terdesak memang sangat menyulitkan.

“Time to start planting up.”

Jam besar itu kini menunjuk ke angka lima, membuat ketika peserta itu semakin merasa terdesak oleh waktu Nathalie yang sibuk dengan biji delimanya kini menatap kearah jam besar yang menggantung itu dengan cukup panik berbeda dengan Filo yang kini sudah mengingat apa yang harus dia lakukan.

“Tak perlu panik Nathalie.” Intrupsi Noa.

“Harusnya aku bisa setenang dirimu.” Gadis itu tersenyum kemudian kembali fokus dengan rancangan dessert miliknya.

Kemudia anak berusia 7 tahun itu kini berlari kearah ovennya untuk mengambil roti coklatnya, dia ingin membuat lapisan remah roti coklat di bagian bawah dessert dan toaster coconut ice cream di atasnya. Ini adalah grand finale dia harus memastikan bahwa hidangannya terlihat sempurna.

Noa kemudian mencoba untuk mengeluarkan remahan roti coklatnya dari cetakan dengan perlahan, namun ternyata itu terlalu keras sehingga membuat beberapa bagiannya patah.

“Ah, they're all breaking.” Remahan roti itu belum cukup mentega membuatnya jatuh berantakan.

Dia mencoba untuk menyiapkannya diatas meja mencoba menyatukan bagian-bagian yang patah itu. “Ice cream, that ice cream, Noa.”

Setelah selesai membentuk remahan roti itu dia langsung berlari menujur ke lemari pendingin dan mengambil ice creamnya yang masih berada dalam wadah cetakan, dia harus melakukan planting up, kemudian mencoba untuk mengeluarkan eskrimnya dari dalam cetakan.

Tetapi ice cream itu sepertinya juga mengikuti jejak remahan roti miliknya tadi, Noa kemudian mendongak menatap Papanya yang juga melihatnya, jika dia meletakkan ice cream itu diatas creamnya itu akan meleleh dengan sangat cepat. Noa mencoba bagian ice cream yang lainnya namun hasilnya tetap sama.

“You can do it, sweetie.” Sunghoon melihat raut kecewa di wajah anak semata wayangnya itu dia mencoba untuk menenangkannya.

“No, oh my god.” Suaranya mulai bergetar ketika semua ice creamnya berakhir sama.

“You can do it, my love.” Sunghoon tersenyum lembut menatap mata anaknya yang mulai berkaca-kaca.

Noa menggeleng kemudian menghalangi wajahnya dengan tangannya, dia merasa ingin menyerah ketika melihat semua ice cream dan rotinya kini berantakan. “Hei, gak apa-apa kamu bisa, sayang.”

Suasana mendadak hening ketika Noa mulai mengusap air matanya, Nathalie dan Filo menghentikan aktivitas mereka, juga ketiga juri yang kini terdiam khawatir melihat Noa yang mengusap air matanya perlahan.

“Go Noa you got it, don't give up.” Wanita dengan setelan dress berwarna hijau untuk mencoba untuk menenangkannya.

“Come on darling, you can do it.” Namun Noa menggeleng kembali mengusap air matanya, dia kecewa dengan dirinya sendiri.

Seharusnya dia lebih berhati-hati, seharunya dia lebih memperhatikan penakarannya tadi, semua ini tidak akan terjadi jika dia tidak lalai, Papa dan Ayah pasti akan kecewa.

Anak laki-laki itu kini putar balik berjalan rasanya kepalanya hampir meledak memikirkan dia harus bagaimana setelah ini, waktunya semakin menipis tak ada waktu untuk mengulang lagi, dia gagal.

Sunghoon menatap panik kemudiam mengalihkan pandangannya kearah Heeseung yang kini juga menatapnya dia tersenyum pelan kemudian menggerakkan sedikit kepalanya untuk mengintrupsi agar Sunghoon kebawah sana untuk menenangkan Noa.

Noa yang melihat Papanya yang datang berjalan kearahnya mencoba untuk menghindarinya sambil menggeleng mengusap air matanya yang menetes pelan, Sunghoon tau Noa adalah sosok perfeksionis dia sering terpuruk ketika gagal melakukan sesuatu, Sunghoon meraih bahu putra tunggalnya itu kemudian memeluknya, Noa balas memeluknya sambil terisak.

Sunghoon melepas pelukannya kemudian berjongkok untuk mengusap air mata putranya.

“Noa, Papa bangga sama kamu semuanya berhasil, ice cream buat kamu itu enak, the brown bread will be yummy, it will taste good but the maringue would taste good, don't worry, okay?

Sunghoon kemudian tersenyum kearah putranya, “Gagal itu gak apa-apa Noa, jangan takut untuk gagal, kamu bisa lihat dari Ayah, bisa sampai ke titik ini itu gak mudah Ayah berkali-kali jatuh bangun, kamu bilang kamu mau jadi chef hebat kayak Ayah kuncinya cuma satu jangan takut gagal dan jangan takut untuk mencoba, Papa sama Ayah gak akan marah kalau kamu gagal, jangan sedih lagi masa anak Papa sama Ayah yang pemberani ini nangis.”

“Don't worry, it's gonna be okay don't worry about it, you said to me you want to best gift to Papa, and now show you best gift for Papa.” Noa melirik kearah papanya yang kini tersenyum bangga kearahnya.

Noa tersenyum benar kata Ayah, dia tidak boleh menyerah saat ini karena belum memberikan hadiah terbaiknya untuk Papa.

“I always try to get everything right but i mean that's just not how life works, junior master chef has been the best experience i have had and i'm not gonna give up i'm just gonna keep on and pushing on and rely those flavors.”

Papa berhak untuk mendapat hadiah terbaik.

Nathalie dan Filo berteriak mengatakan bahwa dia bisa melakukan ini, membuat Noa sadar dia masih harus tetap berjuang.

“You can do this, let's go Noa. Hustle junior you've only got three minutes.”


Mereka semua selesai tepat waktu, Nathalie dan Filo telah selesai membawa sajian mereka kepada juri, kini gilirannya di bantu salah satu orang kru untuk membawa dua piringnya menuju keruangan dimana para juri dan papanya akan mencicipi dessert buatannya.

Noa menaruh kedua keempat piring hidangannya di atas meja, kemudian menatap para juri menunggu pertanyaan dari mereka. “All right Noa, what have you cooked for us today?” Heeseung bertanya lebih dulu.

Noa kemudian tersenyum menatap juri yang memandangnya penuh dengan penasaran, “Hari ini saya membuat kekacauan, jadi saya menamainya dengan Tropical Mess.”

“That's the perfect name.” Itu membuat gelak tawa di dalam ruangan, nama yang cukup menarik.

Setelah berbincang beberapa saat dan menjelaskan perihal makanannya, Noa segara keluar dari tempat itu kemudian berjalan dengan gugup dimana Nathalie dan Filo menyambutnya dengan senyum, sebuah ikatan yang terjadi sepanjang perjalanan yang melelahkan ini merarik mereka untuk saling merengkuh, dan mengatakan siapapun yang memanangkan trofi itu dia layak untuk mendapatkannya.

“Kita semua layak untuk mendapatkan trofi itu, namun tak peduli siapa yang akan memdapatkannya kita semua telah melakukan yang terbaik.”


Junior Master Chef is a life-changing competition, pada kesempatan ini salah satu diantara kalian akan mendapatkan trofi dan memenangkan 25000 dollar, dan akan menjadi Junior Master Chef 2020, tidak peduli apakah kalian memenangkan tittle atau tidak, Anda sudah memenangkan hati dan rasa hormat kami dengan sangat baik.” Wanita itu bicara dengan menahan nafas mencoba untuk lebih santai kerena sejujurnya ini cukup sulit.

“Kami hanya ingin mengucapkan terima kasih, karena kami bertiga membuat pekerjaanmu sangat sulit. Tapi, setelah diskusi panjang, kami telah mengambil keputusan, seperti biasa, kami bertanya pada diri sendiri pertanyaan yang sangat penting, Menu yang paling ingin kita makan lagi dan pada titik itu kita semua sepakat kita merasa ada satu menu menonjol di atas semua yang lain dalam trem kelezatan murni dan orang yang dimasak menu dan memenangkan junior master chef 2020, adalah ... “

Wanita itu menggantungkan ucapannya, membuat suasan sekitar semakin tegang Sunghoon yang berdiri di belakang Noa mencoba untuk menenangkan Noa yang cukup tegang, dia menggengam tangan kecil putranya yang terasa lebih dingin berbisik kalaupun iya tidak menang tak apa dia sudah menunjukkan bahwa dia sampai pada tahap ini karena hasil kerja kerasnya bukan atas Ayahnya.

“Selamat kepada Noa Lee.” Noa terdiam beberapas saat kemudian berbalik untuk memeluk Sunghoon dengan erat.

“You did well Noa.”Ucap Filo yang di angguki oleh Nathalie.

Suara tepuk tangan menggema di seluruh ruangan Noa tersenyum lebar kemudian berbalik kedepan dimana Ayahnya tersenyum sembari merentangkan tangan, “Noa you've done it? How you feel?”

Noa tidak menjawab kali ini dia justru berlari kedalam rengkuhan Ayahnya memeluknya erat mengatakan bahwa dia berhasil membuktikan semuanya, juga berita miring yang mengikutinya sejak awal dia mengikuti perlombaan ini dia berhasil membuktikan kualitas dirinya untuk menjadi seorang Chef sepertinya ayahnya.

Juga berhasil memberikan hadiah terbaik untuk Papanya.


Setelah melalui beberapa tahapan-tahapan yang panjang, Sunghon dan Heeseung kini telah sampai di kediaman mereka bersama sang anak yang sepertinya terlihat sangat bersemangat.

“Papa ayo duduk di sini!!” Noa mengintrupsi menepuk-nepuk sofa kosong di sampingnya.

“Kamu kenapa, kok semangat banget?” Tanyanya heran kemudian menatap Heeseung yang kini mengangkat bahunya.

Sunghoon kemudian duduk menghadap Noa yang kini mengambil trofi lalu memberikannya kepada sunghoon, pria itu justru terdiam menatap putra semata wayangnya dengan bingung. “Buat Papa, trofi ini dari Noa untuk Papa.”

Meskipun sedikit kebingungan Sunghoon meraih trofi itu kemudian menatap nama yang tertera di bagian bawah trofi Noa Lee, Sunghoon tersenyum kemudian mengusap ukiran nama itu beberapa kali kemudian beralih untuk memindahkan trofi itu kesampingnya lalu kembali menatap Noa yang bertopang dagu.

Heeseung sendiri duduk di single sofa menatap interaksi dua orang terkasihnya yang mengundang senyum untuk mengukir wajahnya, banyaknya Heeseung bersyukur bahwa meskipun dia termasuk kepala keluarga yang cukup sibuk namun keluarga mereka bukan keluarga yang kurang akan kasih sayang dan Heeseung sangat amat bersyukur dengan itu.

“Kenapa di kasih Papa?” Tanya Sunghoon kemudian membuat Noa kini meraih kedua lengan panjang Sunghoon untuk di genggam.

“Dari Noa untuk Papa yang pernah gagal meraih mimpi.”

“Dari Noa untuk Papa yang pernah merelakan mimpinya demi Noa.”

“Ayah diam-diam cerita soal piagam di dalam lemari Papa, Papa dulunya punya mimpi yang sama seperti Ayah sama juga dengan Noa tapi Papa berhenti demi Noa, karena vonis dari dokter.” Noa mengeratkan genggaman tangannya tatkala melihat wajah Papanya yang mulai memerah menahan tangis.

“Kalau dulu Papa merelakan impian Papa untuk Noa, maka hari ini Noa yang mewujudkan impian Papa yang pernah gagal, Noa berhasil melengkapi puzzle terakhir dari mimpi Papa, kalau dulu Papa pernah gagal untuk jadi chef Noa berhasil meraih itu demi Papa.”

Tanpa berkata apapun lagi Sunghoon segera menarik putranya untuk di dekap, memeluknya dengan erat dan penuh sayang, Sunghoon menangis dalam pelukan Noa, semakin terisak ketika merasakan tangan kecil putranya mengelus punggungnya perlahan.

Rasanya seperti tidak nyata untuk Sunghoon, kebahagiaan datang bertubi-tubi membuatnya menangis penuh haru Sunghoon tak pernah menyangka bahwa anaknya memikirkan semua itu, tak pernah menyangka bahwa alasan Noa selalu ngotot ingin ikut kelas memasak itu karena dirinya.

Pikirannya kembali melayang kebeberapa tahun silam dimana dia bertemu dengan Heeseung di acara yang sama, tak sengaja menjalin hubungan diam-diam hingga hadirnya Noa tanpa di sangka-sangka, babak final semakin di depan mata namun dirinya memilih untuk berhenti karena tekanan di babak tersebut akan semakin berat dan kemungkinan besar bisa membuat dirinya stress yang akan berimbas pada janinnya yang di vonis dokter sedikit lemah di bandingkan janin pada umumnya membuat Sunghoon berani untuk mengambil resiko melepaskan semua mimpi yang sejak dulu di inginkannya demi sesok nyawa yang bergantung pada dirinya.

Namun kini semua itu terbayar dengan kehadiran Noa dalam hidupnya menyadarkan Sunghoon bahwa sedari awal dia memang tak pernah salah memilih keputusan.

“Papa jelek jangan nangis.” Noa mengusap air mata Sunghoon dengan tangan kecilnya membuat Heeseung lagi-lagi di buat tersenyum melihat interaksi keduanya.

“Mandi sana, kamu bau apek Papa gak suka.”

“Bilang aja mau berduaan sama Ayah.”

“Iyalah kamu ganggu banget dari tadi, Ayah udah kangen berat sama Papa kamu.” Heeseung menimpali membuat Noa merotasikan bola matanya malas.

“Ayah bucin.” Teriak Noa kemudian berlari menuju kamarnya.

Setelah kepergian Noa suasana diantara mereka berdua mendadak canggung, Heeseung menatap lamat-lamat Sunghoon mebuatnya sedikit merasa aneh di tatap seintim itu. “Natapnya kenapa gitu amat sih, nyeremin tau gak.”

“Kangen.” Sunghoon agak di buat terkejut dengan penuturan Heeseung yang begitu tiba-tiba, “Kamu gamau peluk? Aku seminggu gak pulang loh.”

“Mauuuuuu, sini makanya.” Nada merengek dari Sunghoon itu membuat Heeseung berdecak gemas, kegemasan prianya memang tak akan pernah termakan waktu.

Heeseung membawa dirinya untuk memeluk Sunghoon menyampaikan semua kerinduan yang seminggu ini tidak sempat di realisasikan, Sunghoon menyandarkan kepalanya di pundak Heeseung sebelum kemudian berujar, “Noa udah makin gede, ya. Padahal seingatku kemarin dia masih nangis-nangis minta mimi.”

“Ini maksudnya kamu bilang kita udah makin tua, gitu?” Jawaban dari Heeseung berhasil membuat lelaki dalam dekapannya itu mendengus sebal.

“Bukan gituuuuu, cuman gak kerasa aja dia udah 7 tahun aja, oh aku hampir lupa kapan kamu cerita soal kita ke Noa?” Tanyanya penasaran.

“Udah lumayan lama, setahun lalu mungkin? Aku gak ingat pasti, cuman dia penasaran banget sama foto kamu yang pake topi koki itu jadi ya aku ceritain aja, lagian dia juga udah berhak tau.”

Sunghoon hanya mengangguk kemudian bangun dari pelukan Heeseung, “Aku juga punya hadiah buat kamu sama Noa, tunggu sebentar aku ambil dulu.” Sunghoon berjalan dengan terburu-buru membuat Heeseung meringis mebayangkan jika pemuda itu terjatuh.

Setelah menunggu hampir 3 menit Sunghoon kembali dengan sesuatu di genggamannya, kemudian mengulum senyum memberikan benda panjang itu pada Heeseung yang menatap heran, “Ha? Ini apa?.”

“Dih?!?!, Kamu makin tua makin bego ya? Di liat dilu makanya.”

Heeseung kemudian meraih benda kecil panjang itu di tatapinya sebentar kemudian termenung melihat garis positif pada testpack tersebut, menatap Sunghoon dengan tatapan bertanya, “Ini beneran?”

Sunghoon menangguk dengan sebuah senyum yang tertahan sebelum kemudian Heeseung meraih pinggangnnya untuk mendudukkan dirinya diatas pangkuan yang lebih tua, menempelkan dahinya untuk menatap senyum manis yang menghiasi wajah Sunghoon, “Makasih-makasih kamu udah ngasih hadiah terbaik buat aku sama Noa.”

Lagi-lagi sunghoon hanya mengangguk sembari tersenyum kemudian Heeseung menarik tengkuknya mempertemukan kedua belah bibir mereka saling memberi kecup dan cium yang sarat akan kasih sayang.

Heeseung tak pernah berharap lebih ketika sampai di rumah, namun mungkin ini bonus untuknya melepas lelah setelah seminggu ini tak pernah pulang karena kesibukannya, seakan semua rasa penatnya terangkat mengetahui bahwa keluarga kecilnya akan bertambah satu orang.

Tak ada yang sempurnah di dunia ini, tetapi Sunghoon dan semua yang ada dalam dirinya bagi Heeseung adalah kesempurnaan, dia tidak pernah merasa selengkap ini sebelum bertemu dengan Sunghoon tambatan hatinya, yang akan selalu menjadi sanggar hatinya.

Bersama dengan Sunghoon, Noa dan bayi kecil mereka adalah sebuah kesempurnaan bagi Heeseung.

“Papa sama Ayah ngapain?”