— end.

Warnings! Blood, violence, major character(s) death.


Tubuh pemuda itu tersungkur ke depan, wajahnya memerah dengan bekas air mata mencoba menahan semua emosi yang meluap-luap di dalam dirinya.

“Aku tidak pernah mengerti kenapa kau bersikap seperti ini, seharusnya kau mengerti kenapa aku melakukan semuanya untukmu.”

Pemuda itu mencoba bangun kemudia bicara meskipun sedikit terbata, “K-kenapa?! kenapa kau tidak pernah mengerti?!”

Sedangkan lawan bicaranya di depan sana berdiri dengan wajah angkuhnya tanpa menatap pemuda itu sama sekali, “Yang kutahu, pembicaraan ini sudah selesai.”

“Tapi aku belum selesai.” elaknya menatap pemuda di hadapannya dengan raut wajah kecewa. “Kau bertingkah seperti ini karena gadis itu, kan?”

Sosok itu menatapnya masih enggan membuka suaranya, “Kau mengharapkan apa padanya? kau fikir dia berbeda? dia hanya tidak tahu kau siapa.”

“Kau tahu heeseung, yang bisa mengerti kau hanya aku!!” teriaknya dengan lantang.

“Lalu kenapa jika hanya kau yang mengerti aku, apa lantas aku harus mencintaimu?” balasnya dingin membuat pemuda itu terdiam mengepalkan tangannya dengan kuat.

“Park sunghoon sebaiknya kita tidak usah bertemu lagi, masamu telah usai, aku tidak membutuhkanmu lagi.”

“Apa maksudmu?”

“Aku membuangmu, apa itu kurang jelas?!”

Sunghoon terbelak mencoba bangun kemudian mendorong pemuda di depannya itu dengan kuat, memukulnya berkali-kali mesikpun tidak berdampak apapun padanya.

Pemuda itu menggila, menghancurkan semua barang-barang di dalam ruangan itu, heeseung membiarkannya dia ingin melihat seberapa lama pemuda itu bertahan dengan menghancurkan seisi ruangannya.

“Tidak, tidak bisa.”

Sunghoon mendorong vas bunga di meja kerjanya, “Kau tahu berapa lama aku hidup sebagai bonekamu? dan sekarang kau berbuat seperti ini?”

“Kau membuangku demi seorang gadis?!”

“Aku melakukan semuanya untukmu, kau tidak bisa mencapakkan diriku!”

Heeseung mengangkat satu tangannya menyuruh sunghoon berhenti dan penanda untuk para pengawalnya agar segera masuk kedalam ruangannya.

Mereka menarik paksa sunghoon keluar dari ruangan itu, mendorongnya hingga jatuh tergeletak di lantai.

Sunghoon mengepalkan tangannya, dia melakukan semuanya untuk heeseung, dia mengorbankan seluruh hidupnya demi pemuda itu, tapi yang dia dapatkan justru dia mendapati dirinya sendiri di campakkan, di usir selayaknya anjing kecil pengganggu.

Dengan emosi yang meluap-luap dia berdiri di depan pintu kaca ruangan itu memukulnya berkali-kali, berteriak kesetanan tak peduli dengan orang-orang yang menatapnya aneh.

“LEE HEESEUNG KAU TAK BISA MELAKUKAN INI PADAKU!!” sunghoon menggedor pintu itu dengan kuat menatap penuh benci pada pemuda yang di dalam sana menatapnya tanpa ekspresi.

Sunghoon beringsut menangis pilu bersandar pada pintu kaca.

Heeseung mendengarnya, mendengar bagaimana suara tangisan itu berubah menjadi tawa yang nyaring seolah-olah sedang meledeknya. Pemuda itu berbalik tertawa terbahak dengan jejak air mata di wajahnya, dia tertawa sangat kencang sampai megangi perutnya kemudian mengusap air matanya.

Dia menatap pemuda itu dengan tawa lebarnya memperlihatkan gigi putihnya, “Lee heeseung.” ucapnya sambil mengeluarkan sesuatu dari dalam saku cardigannya.

Sunghoon kemudia menggores pintu kaca itu dengan kawat kecil dari dalam cardigannya, “Nantikan hadiah dariku, ya.” kemudian berbalik meninggalkan heeseung dengan banyak pertanyaan di kepalanya.

“Kau sendiri yang ingin mengakhiri sandiwara ini.”

•••

Di dalam sebuah ruangan dengan cahaya remang-remang, sunghoon bertopang dagu di salah satu besi menatap pantulan dirinya di cermin besar dengan seseorang yang tergeletak tak sadarkan diri.

“Ugh.” gadis itu melenguh pelan, membuat sunghoon lantas beralih menatapnya antusias.

Dengan kepala pening luar biasa gadis itu kencoba untuk bersandar di cermin besar di ruang latihannya, penglihatannya mulai kembali seiring dengan pening di kepalanya yang mulai berkurang.

Samar-samar gadis itu melihat seseorang tengah nenatapnya bertopang dagu di salah satu besi berbentuk horizontal setinggi pinggang yang melekat di dinding yang biasa ia gunakan selama latihan.

Sunghoon bisa melihat raut keheranan yang terukir jelas di wajah gadis itu membuat sunghoon mau tak mau kembali melebarkan senyumnya, pertunjukannya sebentar lagi di mulai.

Gadis itu mencoba untuk beridri namun urung, matanya terbelak ketika menyadari sepatu baletnya kini menyatu dengan pisau, dia menatap horor melihat bagaimana kilatan tajam pisau itu tepat berbatasan dengan kakinya, salah bergerak sedikit kakinya bisa cidera.

“Sepertinya kesadaranmu belum kembali sepenuhnya.” sunghoon menghampiri gadis itu.

Dia beringsut mundur namun sebuah kebodohan karena dirinya tengah bersandar di cermin besar ruang latihannya, gadis itu berteriak ketakutan ketika sunghoon menarik tangannya membuatnya berdiri secara paksa.

Seiring suara teriakannya suara musik klasik kemudian menyusul dengan sangat nyaring memenuhi seisi ruangan.

Sunghoon meraih lengan gadis itu, menaruh satu lenga gadis itu di pundaknya, menari-nari kecil sedangkan gadis itu terus memberontak ingin pergi namun sunghoon menahan pinggang agar terus menari bersamanya.

Suara musik klasik itu semakin cepat membuat gerakan mereka juga ikut seirama dengan suara musiknya, gadis itu berteriak histeris minta di lepaskan, dia tahu apa yang selanjutnya akan terjadi.

“Sunghoon, ku mohon lepaskan aku.”

Sunghoon seolah tuh masih terus membawa gadis itu menari mengikuti musik, “S-sakit, kumohon l-lepaskan aku.”

Dia tidak mendengarkan sunghoon memilih tidak mendengarkan ketika tahu pisau itu perlahan-lahan mulai merobek sepatu baletnya.

“Tidak ada orang yang pernah membuangku, tidak ada dan tidak akan bisa.” Sunghoon mengeratkan pelukannya di pinggang gadis itu, “Dan lee heeseung berani membuangku karena kau, gadis yang bahkan tidak tahu apapun tentangnya.”

“Dia berani membuangku itu artinya dia harus siap menerima sebuah hadiah dariku dan ini adalah hadiah dariku.” dia mengangkat gadis itu membuatnya berteriak histeris seirama dengan suara musik yang memenuhi ruangan.

“Dan hadiahnya adalah sebuah pertunjukan.”

Gadis itu ia turunkan dengan cukup keras membuatnya kembali berteriak “Arrghh.” sunghoon tertawa melihat warna merah itu kini mengubah warna sepatu si gadis.

Sunghoon melakukan gerakan itu berkali-kali, membuat ujung pisau itu menembus kaki gadis itu semakin dalam, semakin sakit, dan semakin tersiksa.

Bercak darah berceceran di lantai gadis itu meraung kesakitan.

Dia mengangkat gadis itu mengajaknya berputar sebentar kemudian melepaskan begitu saja, gadis itu terlempar dengan keras menabrak cermin besar membuat cermin itu pecah berkeping-keping.

Sedangkan gadis itu tergeletak dengan tubuh tergores di penuhi darah dimana-mana.

Dengan langkah perlahan, sunghoon mendekati gadis yang tergeletak mengenaskan dengan serpihan kaca di sekujur tubuhnya, sunghoon meraih sebuah pistol dari dalam saku celananya.

Tak ingin berlama-lama sunghoon segera menarik pelatuk pistolnya.

Dor!

“Pertunjukan kematianmu.”

Peluru itu melesat tepat di kepalanya, sunghoon tersenyum mengejek melihat bagaiamana wajah gadis itu kini tak berbentuk.

“Selamat tinggal, Saphire.”

Sunghoon pergi meninggalkan Shapire yang tergeletak, terendam darahnya sendiri.

Saatnya melanjutkan pertunjukan berikutnya.

•••

Heeseung menatap malas melihat notifikasi ponselnya, lantas menaruh ponselnya begitu saja.

Sampah.

Heeseung menatap lampu-lampu kota dari atas ketinggian, dalam hidupnya heeseung selalu melakukan sesuatu sesuka hatinya, menyingkirkan yang menghalanginya dan membuang yang tidak lagi berguna.

Sama halnya dengan sunghoon, terlalu penurut, dia terlalu penurut bahkan berani mempertaruhkan nyawanya demi heeseung.

Terlalu naif.

Namun ada yang aneh sekarang ini, sunghoon yang saat ini berdiri di hadapannya bukan sunghoon yang dia kenal, tatapannya berbeda, caranya bicara juga berbeda.

Lebih berani.

Lebih mengintimidasi.

Dia jadi teringat dengan pesan jay sebelumnya, benarkah selama ini dia tak pernah benar-benar mengenal park sunghoon?

“Untuk seukuran seorang pemimpin kau terlalu banyak berfikir.”

“Bukankah aku telah membuangmu? untuk apa kemari lagi?”

Sunghoon tertawa santai, tawa yang menawan dan heeseung baru menyadarinya.

Dia tak pernah mendapatkan tatapan merendahkan dan tawa mengejek dari sunghoon, sunghoon yang dia kenal selalu memberinya tatapan mendamba tatapan jinak seekor anjing penurut, bukan tatapan seperti ini.

Sunghoon beralih menatap pemandangan malam di sekelilingnya, “Suasananya menenangkan, bukankah ini waktu yang pas untuk memberimu hadiah seperti yang aku janjikan?”

Kakinya berjalan lebih dekat kearah heeseung yang sama sekali tidak berpindah dari tempatnya, menatap sunghoon dengan tatapan khas nya, tajam dan mengintimidasi tapi sunghoon bisa merasakan ada raut kebingungan di dalamnya.

“Hanya sebuah pertunjukan kecil, sama seperti yang telah aku lakukan dengan gadismu.” senyumnya mengembang di akhir kalimat.

“Apa yang kau lakukan padanya?”

Sunghoon tergelak, “Hadiah kecil, dia penari ballet aku memberinya sepatu edisi spesial dan sedikit hiasan wajah.”

“Aku menari bersamanya dengan sepatu barunya, sungguh itu pertunjukan yang sangat indah jika kau bisa melihatnya.”

Heeseung tak pernah mengerti dan tidak akan bisa mengerti sunghoon.

Heeseung tak pernah mengenal dan tidak akan pernah bisa mengenal sunghoon.

Heeseung tak akan paham pertunjukan apa yang di maksud sunghoon ketika dia merasakan bibir keringnya bertabrakan dengan bibir sunghoon.

Heeseung tidak akan pernah memahami bagaimana semuanya berjalan begitu cepat ketika dia merasakan jilatan di bibirnya.

Basah

Sama seperti bagian perutnya yang kini basah, tanpa aba-aba besi dingin itu menembus kulitnya perlahan.

Heeseung tak akan pernah paham bagaimana bisa sunghoon tersenyum dan melakukan semuanya dengan sesantai itu.

“Sayangnya, aku tidak akan pernah membiarkanmu melihat pertunjukan itu.”

Heeseung tak akan pernah mengerti benar-benar tidak akan pernah mengerti bagaimana semuanya bisa terjadi begitu saja, tanpa aba-aba.

Tubuhnya terjun bebas kebawah sana, dari atas sana dia bisa melihat senyum indah yang terpatri di wajah sunghoon, senyum yang tidak pernah dia kenali.

Senyuman paling menawan dan mematikan.

“Aku tidak boleh jadi satu-satunya yang bisa kau singkirkan begitu saja layaknya sampah.”

“Aku tidak boleh jadi satu-satunya yang kehilangan segalanya, akan lebih adil jika kita merasakan kehilangan bersama, jadi kubuat kalian kehilangan nyawa, balasan yang setimpal untuk seseorang yang berani menyingkirkanku hanya karena gadis lemah yang tak paham sedang berlawanan dengan siapa.”

“Aku memberimu segalanya, mempermudah semua pekerjaanmu, aku memberimu jalan untuk sampai di sini, dasar manusia tak tahu diri.”

“Nikmati pertunjukan kematianmu Lee heeseung.”