summerpsyche

Office


Come here Sit on my slap kitten

Panik

Pemuda dengan setelan kantoran itu panik ketika melihat balasan pesan dari bos-nya, dia melirik takut-takut kearah bos-nya, si manis itu mengumpat dalam hati ketika mendapati sang bos kini menatapnya tajam sambil bertopang dagu.

Sunghoon mengalihkan pandangannya berpura-pura seolah dia tidak menyadari tatapan tajam yang selalu berhasil mengintimidasi setiap saat, pemuda itu berdiri dari tempat sedang memikirkan cara agar bisa keluar dari ruangan ini.

“Aku keluar sebentar, ada urusan dikit di bawah sama joongseong.” Jelasnya kemudian melirik kearah jam tangannya, “Sebentar lagi juga jam makan siang, mau aku bawain apa?”

Yang lebih tua kemudian bangun dari posisinya menyandarkan tubuh di sandaran kursi miliknya dengan satu alis terangkat menatap sang sekretaris, “Kenapa harus di bawain kalau makan siang saya sudah di depan mata.”

Sekretaris itu merotasikan bola matanya malas, “Jangan mulai deh, kalau gak ada aku duluan ada urusan sama jay.”

Pemuda itu terkekeh di kursinya menatap sang sekretaris yang kini berbalik badan hendak meninggalkannya, “Joongseong lagi ada kunjungan bisnis ke singapura, jangan coba-coba buat bohong, park.”

“Kemarin udah ada perjanjian, sayang. Kalau manggil gue elo dapat hukuman. Come here, I'll give a punishment for naughty kitten.” Tukasnya sembari menepuk pahanya beberapa kali memberi tanda agar sang sekretaris segera duduk di pangkuannya.

Sunghoon menghela nafas, “Nanti ada yang liat, lee heeseung!!”

Who cares?, Kantor ini punya aku suka-suka aku lah, mereka nentang? Dengan senang hati saya persilahkan dia angkat kaki dari kantor ini.”

Dasar bossy, pikir sunghoon sebelum kemudian menggembungkan kedua pipinya lalu berjalan santai kearah heeseung. “Tapi ini serius lee, nanti kalau ada yang liat gimana?” Ucapnya setelah kini duduk diatas pangkuan yang lebih tua.

“Memang apa yang kamu takutin kalau mereka liat kita?” Pemuda itu balik bertanya ketika kedua lengannya kini beralih memeluk pinggang ramping kekasihnya membuat tubuh keduanya semakin tak punya jarang sama sekali.

“Karywan kamu tuh sebelas duabelas sama lambe turah tau, aku gamau kalau nanti mereka nyebarin gosip aku jadi sekretaris karena aku pacar kam—”

Ucapan pemuda itu berhenti kala yang lebih tua menaruh jari telunjuknya di bibir yang lebih muda untuk menghentikan ucapannya, “Tunangan, bukan pacar.”

“Apa bedanya??? Kan sama aja.” Heeseung menggeleng kemudian menatap sunghoon yang kini menatapnya penuh tanda tanya.

“Beda, sayang. Pacaran itu sekedar status untuk memperjelas kalau kita saling suka sedangkan tunangan itu bentar lagi nikah.”

“Yayaya, terserah aja pokoknya intinya itu aku gamau kalau mereka sebar cerita kalau aku jadi sekretaris kamu karena itu apalagi sampai mereka bilang aku ngegodain kamu.” Sunghoon menggerutu kesal di bersamai dengan gerakan tangannya yang kini memeluk leher heeseung bersandar di bahu kokoh prianya.

“Coba aja kalau mereka berani.” Seunghoon terkekeh mendengar nada suara heeseung yang terdengar tajam di bersamai mimik wajah datar.

Terbesit ide nakal di dalam pikiran sunghoon ketika melihat heeseung yang kini kembali fokus dengan laptop dan dokumen-dokumen yang menumpuk diatas meja.

Dia mendekatkan wajahnya di perpotongan leher bos-nya itu menciuminya pelan, awalnya heeseung biasa saja karena pemuda itu memang sering melakukan ini namun kini dirinya di buat terdiam ketika merasa bahwa sunghoon menjilat lehernya menggigit kecil, tidak menimbulkan bekas.

“Kenapa gak sekalian ngasih tanda aja?”

Respon yang di beri heeseung justru sangat di luar ekspektasinya membuat sunghoon menghentikan kegiatan menggigit gemas leher heeseung, “Gila aja, nanti kamu ada rapat. Masa presentasi di depan karyawan banyak ada bekas cupang gitu di lehernya.”

“Ya selama itu bekas cupangan kamu mah aku gak masalah buat pamerin, biar mereka tahu kalau aku itu punya kamu.”

“Jangan mulai deh!!!” Ucapnya di bersamai dengan rona merah di pipinya yang mulai menjalar hingga ke telinga si manis.

“Ya terus kamu maunya apa, sayang? Hari ini tuh kamu kelakuannya aneh banget, coba bilang kamu maunya apa aku kabulin semuanya, ingat ya hoon kamu udah janji buat selalu terus terang sama aku jangan kayak dulu-dulu.

Kalau mau sesuatu langsung bilang ke aku, aku bisa kasih apapun yang kamu mau, jangan buat khawatir aku tuh trauma banget hampir putus sama kamu.”

Sunghoon tidak bisa menahan tawanya mendengar penuturan dari yang lebih tua, pikirannya kembali ke dua tahun lalu hubungan mereka yang hampir kandas di tengah jalan itu untungnya berhasil di teruskan setelah heeseung membuktikan kesungguhannya di hadapan orang tua Sunghoon.

Lengan mungil sunghoon kini beralih menangkup wajah heeseung, sunghoon menunduk menatap heeseung yang berada di bawahnya, sunghoon mengusap-usap kulit lembut heeseung kemudian mendekat menatap dalam-dalam netra pemuda yang sedang memangkunya ini.

“Mau cium aja, boleh?”

Heeseung tak bisa untuk tidak menahan kedua sudut bibirnya untuk memberi senyum, “Gak di tanya pun dari tadi aku udah pengen nyium kamu.”

Mereka saling berbagi satu senyuman sebelum kemudian menjemput manis yang sejak tadi di inginkan mereka, saling memberi kecup dan cium.

Heeseung semakin mengeratkan pelukannya pada pinggang si manis di sela-sela kecup dan cium mereka, sunghoon tersenyum dianatara penyatuan bibir mereka sebelum akhirnya membuka mulutnya mempersilahkan heeseung untuk menjamah lebih jauh lagi.

“Pak ini saya bawa beberapa dokumen yang haru di tanda ta— OH MY GOD”

Sunghoon terlonjak kaget ketika gadis itu tanpa di sangka-sangka, heeseung berdecak melirik gadis yang masih menatap mereka tidak percaya.

“Kan!! Saya bilang juga apa, boss lee sama sekretaris park itu punya hubungan, astagah tapi serius saya gak expect kalau ternyata sekretaris park jago ciuman.” Celoteh gadis itu kemudian berjalan santai menuju meja milik heeseung.

Sunghoon bergerak hendak turun dari pangkuan heeseung namun yang lebih tua justru menahan pinggangnya agar tidak pergi kemana-mana.

“Ada orang heeseung.” Bisiknya pelan, namun heeseung memilih abai.

Kini, justru menatap gadis di hadapan mejanya yang datang membawa beberapa dokumen, “Kenapa gak hubungi saya lebih dulu?”

Gadis dengan tanda pengenal bernama Yuna yang mengalung di lehernya itu memutar bola matanya malas, “Saya udah telfon nomor bapak berkali-kali tapi gak di angkat, ya makanya saya langsung kesini aja kirain gak ada apa-apa karena pintunya gak kekunci, eh taunya ternyata lagi pangku-pangkuan.”

Yuna kemudian menatap gemas sunghoon yang kini memeluk erat heeseung dengan wajah yang coba di sembunyikan di balik ceruk leher heeseung, yuna sendiri bisa melihat telinga sang sekretaris yang memerah hingga ke telinga.

“Saya gak nyuruh kamu buat ngeliatin sunghoon sampai sebegitunya.”

Lagi-lagi gadis itu memutar bola matanya malas, “Saya cuma gemes sama sekretaris park, jarang-jarang tahu bisa liat dia malu-malu kayak gini soalnya dia biasanya garang.” Gadis itu terkekeh di akhir kalimatnya.

Anyway pak, kalian udah jalan berapa bulan?” Tanya gadis itu.

Heeseung memperbaiki posisi sunghoon diatas pangkuannya sebelum menjawab pertanyaan gadis itu, “Gak tau, saya pacaran sama sunghoon dari jaman kuliah semester empat, tunangannya udah jalan tiga tahun.”

Gadis itu terperangah tidak menyangka kedua atasannya ini ternyata telah menjalin hubungan sebegitu lamanya, padahal yuna baru menyadari kalau hubungan atasannya itu lebih dari sekretaris dan boss saja setahun belakangan ini.

Sunghoon terbangun dari posisinya kemudian menatap heeseung dengan kedua alis bertaut, “Kamu beneran gak tau kita pacaran berapa lama?!”

“Enggak sayang, aku ingatnya pas tunangan aj—” heeseung terdiam ketika bibirnya di tepuk cukup keras oleh sunghoon.

“7 tahu lee heeseung 7 tahun.” Ucapnya di sertai dengan gerakan tangan kanan mebentuk peace dan satunya mengangkat semua jarinya.

Sunghoon bergerak hendak kembali turun dari atas pangkuan heeseung sambil menggerutu kesal, namun lagi-lagi heeseung menahannya kali ini justru memperhatikan sunghoon yang terlihat semakin menggemaskan mencoba bergerak kesana kemari sambil menggerutu.

“Jangan gerak-gerak, hoon.” Heeseung mengeratkan pegangannya pada pinggang si manis yang membuat sunghoon terdiam kemudian bertariak malu saat merasakan bagian bawahnya yang sepertinya mengenai sesuatu.

“JELEEEEK, LEE HEESEUNG JELEK GAMAUUU.”

Heeseung kemudian kembali meletakkan telunjuknya di pertengahan bibir sunghoon, “Makanya jangan gerak-gerak, sayang. Kamu diam duduk manis aja, lagian apa kamu gak malu di liatin yuna gerak-gerak aneh di atas aku tadi?”

Sunghoon kemudian melirik kearah gadis yang ternyata masih duduk di tempat itu kini menatapnya sambil terkekeh, membuat sunghoon kembali memerah malu. Dia melupakan fakta kalau ternyata ada orang lain di dalam ruangan ini, pemuda itu kemudian menyembunyikan wajahnya yang semerah tomat di balik dada kokoh heeseung.

“Malu.” Cicitnya di dengan suara teredam di dada heeseung.

“Udah di liat juga ngapain malu lagi.” Heeseung terkekeh ketika sunghoon memukulkan bahunya pelan kemudian mengecup puncuk kepala sunghoon beberapa kali.

“Pak, saya emang suka liat kalian berdua mesra-mesraan begini, tapi bisa gak dokumennya di tanda tanganin sekarang saya gak sanggup liatnya, sekretaris park gemes banget.”

Kemudian heeseung membaca beberapa dokumen yang di bawakan oleh yuna sebelum menandatanginya, pun yuna juga langsung keluar dari ruangan itu ketika dokumennya telah selesai di tanda tangani, tidak ingin mengganggu keduanya lebih lama.

Setelah kepergiaan yuna suasana ruangan heeseung kembali hening mereka berdua memilih diam dengan posisi masing-masing, sunghoon yang bersandar di dada bidang heeseung nenghirup aroma maskulin khas milik heeseung membuatnya ingin tertidur dengan posisi senyaman ini.

Juga dengan heeseung yang yang masih memeluk pinggang ramping sunghoon, tangannya sesekali mengusap helaian rambut lembut sunghoon kadang juga memberi kecupan-kecupan ringan di pelipis si manis.

“Setelah di pikir-pikir kita pacaran udah lama tungan juga udah lama.” Ujar heeseung.

“Baru sadar?” Ada terserat rasa kesal di dalam tanya yang di lontarkan sunghoon padanya.

“Iya abis kita kayak masih baru pacaran tapi ternyata udah lama banget, kenapa gak nikah aja?” Tukasnya.

“Ini konteksnya kamu ngajak aku nikah atau nanya doang?”

“Pengen banget ya aku ajak nikah?” Sunghoon kemudian terbangun kini menatap heeseung tajam.

“Jadi kamu gamau nikah sama aku?” Tanyanya dengan kedua alis menukik tajam.

“Mau lah, yakali enggak. Nanti pulang kantor kita singgah ke rumah orang tua kamu, ya?”

Sunghoon menatapnya penuh tanda tanya, “Mau ngapain?”

“Mau minta izin nikahin anaknya.”

Discombabulate

—warning // cheating

Gaduh.

Rapat anggota himpunan mahasiswa yang kini telah usai itu masih sangat gaduh dengan beberapa cerita mahasiswa yang belum beranjak dari tempatnya, begitu juga dengan sunghoon yang belum beranjak sama sekali dari tempatnya, dia berkali-kali mengecek pada layar ponselnya berharap satu bar notifikasi muncul untuk menghilangkan semua keresahannya selama dua minggu ini.

“Masih belum di kasih kabar juga?”

Netranya memilih untuk menatap kedepan lalu mengangguk kemudian kembali terfokus pada layar ponselnya mengabaikan yujin —sahabat karibnya sedari sekolah menengah, yang kini menatapnya sambil bertopang dagu.

Sunghoon menggigiti kuku tangannya pelan tanpa sadar, hal yang sering di lakukannya ketika sedang panik memikirkan sesuatu membuat yujin yang melihatnya mendengus kemudian menarik tangan sunghoon agar dia tidak terus-terusan menggigit kuku jarinya.

“Sebenarnya gue gak pengen ngomongin ini sama lo, tapi gue gak bisa ngeliat lo dua minggu ini uring-uringan banget. Jay bilang beberapa mahasiswa yang ikut demo dua minggu yang lalu di tangkap polisi.”

Pemuda itu termangu di tempatnya setelah mendengar penuturan yujin yang semakin membuat segela keresahannya kembali memuncak membuat sunghoon pusing dan kembali merasa mual-mual. Kali ini dia beralih mengetik beberapa digit angka di ponselnya kemudian memencet ikon untuk meneruskan panggilan ke nomor yang di tujunya.

Tidak terhubung, sunghoon kembali menggigiti jari kukunya ketika panggilan itu sama sekali tidak terhubung. Kemudian kini ikut meletakkan kepalanya untuk berbaring diatas meja berhadapan dengan yujin yang bertopang dagu menatapnya malas di samping ponselnya yang masih terus mencoba untuk memanggil seseorang.

“Sunghoon, lo tau gak sih sampai sekarang gue masih gak paham apa yang lo liat dari orang itu. Sekali liat aja semua orang juga tahu kalau cowok itu gak bener, apalagi pas demo itu kita semua bisa liat dia yang berdiri paling depan, suaranya paling lantang, gue akui itu terlihat keren tapi tetep aja dia tuh gak bener hoon, pentolan kampus sering gelud sana- sini.

Apalagi sekarang lo sama dia jalan 6 bulan tanpa ketahuan orang lain, kecuali gue, itupun gue gak akan tahu kalau gue gak mergokin lo ciuman sama dia di apartemen lo.” Jelas yujin yang membuat sunghoon panik.

“Yang itunya gak usah di jelasin juga!!” Ucap sunghoon dengan kesal, kedua alisnya bertaut dengan wajah memerah, “Gimana kalau orang lain dengar?!?!”

“Bagus lah, biar mereka semua tau kalau lo itu sebenarnya udah gak jomblo lagi biar si ketua BEM itu gak ngejar-ngejar lo terus, tapi honestly gue lebih setuju lo sama ketua BEM di banding sama si badungan itu.”

Pikiran sunghoon kacau, dia tidak pernah berfikir akan kehilangan kabar pacarnya selama dua minggu, itu membuat semua fokusnya hilang bahkan ketika rapat himpunan berlangsung sunghoon sama sekali tidak mendengarkan, pikirannya melalang buana begitu jauh hingga membuatnya beberapa kali sempat di tegur dan berakhir dengan sunghoon meminta maaf.

Yujin kemudian mengusulkan mereka untuk segera pulang karena hari sudah hampir larut, yang langsung di iya-kan oleh sunghoon yang juga sudah mulai lelah dengan semua pikirannya yang mulai bercabang kemana-mana, dia butuh istirahat.


Dering telfon itu membuat sunghoon dan yujin yang sedang menikmati makanan di salah satu warung di dekat kampus mereka teralih dengan dering ponsel sunghoon yang menunjukkan beberapa digit angka, nomor baru. Yujin langsung mengambil alih ponselnya sunghoon sendiri juga tak masalah dia lebih memilih untuk melanjutkan kegiatan makannya yang sempat tertunda.

“Sunghoon?”

“Gak ada sunghoon di sini, jangan pernah telfon sunghoon lagi!!” Yujin tak sengaja mengeraskan suaranya membuat sunghoon kini beralih menatap yujin.

“Please, jin. Gue pengen ngomong sama sunghoon.”

“Lo masih ingat sunghoon ternyata, gue kira lo udah lupa kalau lo punya sunghoon.”

“Sebentar aja, kasih telfonnya ke sunghoon dulu, gue pengen ngomong sama pacar gue dulu.”

“Wah.” Sunghoon bisa melihat ekspresi wajah yujin yang berubah sangat datar, “Ada ya pacar yang seenaknya hilang tanpa kabar, lo ilang sebulan itu kemana aja Lee heeseung?! Lo fikir sunghoon apaan?”

Sunghoon yang tahu yujin kali ini sangat tersulut emosi langsung mengambil alih telfonnya, pelan-pelan mendekatkan ponselnya di telinga.

“H-halo?” Sunghoon tidak bisa mengontrol suaranya yang mendadak terbata.

“Sunghoon?”

Sunghoon terdiam beberapa saat setelah mendengar suara di sebrang sana, suara yang beberapa bulan lalu masih sering di dengarnya entah itu dari sambungan telfon atau suara pemuda itu yang datang tiba-tiba mengetuk pintu apartemennya ketika sunghoon merengek mengatakan bahwa dia merindukan pemuda itu di sambungan telfon.

Sebulan tak mendengar suara pemuda itu lagi rasanya mulai asing, rasanya sesak ketika sunghoon kembali mendengar suara pemuda itu dia menunduk kemudian menjawab pelan.

Yujin melihatnya, melihat raut wajah sedih yang terpancar di wajah sahabat karibnya itu, alasan yang selalu membuatnya sangat membenci lee heeseung, sunghoon selalu sedih ketika bersama pemuda itu dia seenaknya pada sunghoon, sunghoonnya itu terlalu lugu dalam percintaan. Sembilan belas tahun sunghoon hidup lee heeseung itu orang pertama yang berhasil menaklukkan hati sunghoon, yujin marah, sangat di luar ekspektasinya ketika mengetahui sunghoon justru jatuh hati dengan pentolan kampus, yujin tak pernah suka dengan heeseung padahal jake ketua BEM mereka secara terang-terangan mengaku bahwa dia menyukai sunghoon tapi sayang sekali sunghoon malah jatuh lebih dulu jatuh hati dengan ketua organisasi pecinta alam itu.

“Dari mana aja? Kenapa baru ngabarin sekarang?” Sunghoon bertanya sambil menunduk membuat yujin kini berhenti menatapnya dan memilih untuk kembali menyantap makanannya.

“Maaf.”

“Sumpah, demi tuhan kak sunghoon gak butuh permintaan maaf dari kakak.”

“Sebulan ini kemana aja? Kenapa baru ngabarin sekarang? Kakak udah lupa sama aku?”

“Kakak di tahan, hoon.”


Sunghoon sebetulnya tidak peduli dengan tatapan beberapa orang di tempat ini yang menatapnya dengan tatapan seolah bertanya, apa yang di lakukan seorang mahasiswa di kantor polisi seorang diri, sunghoon benar-benar tak peduli dia lebih memilih untuk mengikuti pemuda dengan seragam khas polisi itu menuntunnya menuju salah satu sel ruangan, sunghoon berterima kasih ketika pemuda itu telah selesai mengantarnya dan memberi sedikit beberapa nasihat hal apa ssja yang harus dia patuhi selama berada di tempat ini.

Sunghoon terdiam beberapa meter dari jeruji besi itu, matanya menangkap seorang pemuda dengan pakaian khas tahanan tengah bersandar di dinding ruangan itu sambil menutup mata, sepertinya tak menyadari kehadirannya.

Kakinya melangkah pelan mulai mendekat nafas sunghoon sempat tercekat beberapa kali berharap ini semua hanya mimpi tapi tak bisa karena itu benar Lee heeseung yang tengah di tahan di penjara di kota mereka, sunghoon berjongkok memegangi besi-besi pembatas rasanya dia ingin menangis saat itu juga ketika melihat heeseung kini membuka matanya mereka bersitatap, sunghoon kemudian dengan cepat megalihkan pandangannya untuk menghapus air matanya yang kurang ajarnya keluar begitu saja.

Heeseung sendiri masih mencerna semuanya, kemudian berjalan mendekat ketika melihat sunghoon berjongkok memalingkan wajahnya, heeseung tau pemuda itu menangis, rasa bersalah kembali menyelimuti dirinya ketika sunghoon kembali menatapnya dengan wajah memerah.

“A—aku bawa makanan buat kakak, di makan ya.”

Heeseung mengulum senyumnya, kemudian mengangguk. “Kesini sama siapa?”

“Aku sendiri, gak mungkin buat ngajak yujin.”

Heeseung mengangguk paham, dari awal yujin memang secara terang-terangan mengakui jika dia tidak menyukai heeseung ketika dia tak sengaja menemukan mereka berdua di apartemen sunghoon hari itu, heeseung sendiri juga sadar kenapa gadis itu sangat membenci dirinya.

“Kenapa bisa sampai kayak gini?” Heeseung diam tertegun.

“Maaf.”

“Kak, dari awal aku udah bilang gak butuh kata maaf, sunghoon cuma butuh penjelasan kenapa kakak bisa sampai di tahan padahal waktu itu kakak udah janji sama aku gak akan ikut demo lagi.” Ungkap sunghoon kemudian mengusap kasar air matanya.

Sunghoon benar-benar tidak sampai hati melihat heeseung berada di balik jeruji besi ini membuat hatinya sakit.

“Maaf, maaf hari itu kakak bohong sama kamu. Kakak kira semuanya bakal jalan kayak biasanya jadi kakak rasa gak apa buat ikut demo untuk terakhir kalinya, tapi perkiraan kakak salah polisi datang dan nangkap kami semua.”

Tangan heeseung kini beralih meraih lengan sunghoon yang sedari tadi bergetar karena menahan segala emosinya, heeseung tahu sunghoon itu pandai sekali menyimpan amarahnya.

Lengan sunghoon yang bergetar di raihnya kemudian menaruhnya untuk menangkup kedua pipinya, heeseung mengelus jari sunghoon yang kini menangkup kedua pipinya merasakan hangat yang sejujurnya cukup dia rindukan.

Satu lengannya kini beralih untuk menghapus air mata yang membasahi wajah cantik kekasihnya itu, “Jangan nangis lagi ya cantik, kamu jelek kalau nangis.” Heeseung tertawa di akhir kalimatnya membuat sunghoon menrengut di tengah tangisannya.

Heeseung rasanya ingin merengkuh pemuda itu kedalam pelukannya, menangkannya dan mengatakan bahwa ia tak perlu menangis karena dia sendiri tak apa, ini bayaran karena telah melanggar janjinya.

Heeseung ingin merengkuh sunghoon membawanya kedalam sebuah dekapan hangat yang mampu menghilangkan segala rasa resah di dalam hati, namun kali ini mereka tak bisa, mereka terhalang sebuah jeruji besi, membuat heeseung sadar bahwa apa yang selama ini di lakukannya adalah salah.

“Orang tua kakak gimana?” Pertanyaan yang cukup untuk membuat heeseung terdiam sejenak sebelum kemudian kembali mengelus jari sunghoon yang masih setia menangkup wajahnya.

“Dari awal kamu udah tahu mereka udah gak perduli sama kakak, kemarin mereka datang setelah tau kakak di tahan. Kakak di drop out, kemungkinan berenti kuliah atau enggak lanjut kuliah di kampus lain kayaknya di luar kota.”

Sunghoon lagi-lagi tak bisa untuk menahan tangisnya ketika mendengar bahwa heeseung telah di drop out dari kampus, heeseung sudah menjalani kehidupan yang cukup berat, orang tuanya berhenti peduli padanya beberapa tahun lalu, selalu di sisipkan diantara kedua saudaranya yang lebih unggul darinya, mungkin dengan fakta bahwa dia di drop out dari sekolah hanya akan membuat kedua orang tuanya menambah kebencian untuk dirinya.

“Aku gak tahu harus gimana, tapi kakak harus ingat kalau kakak selalu punya aku, ada aku yang bakal berdiri terus di samping kakak.”

Hari itu sunghoon berjanji kepada dirinya sendiri, berjanji kepada heeseung, berjanji kepada dunia bahwa ketika semua orang meninggalkan heeseung dia akan menjadi satu-satunya orang yang akan memilih untuk terus berdiri di sampingnya untuk berjalan beriringan.

Sunghoon menunggu selama enam bulan untuk heeseung bisa di bebaskan menanti heeseung tanpa mengeluh sedikitpun itu membuat heeseung kembali di serbu rasa bersalah yang teramat dalam.

Seharusnya mereka tak begini.


Sunghoon kali ini tidak tahu bagaimana ceritanya dia dan yujin berakhir di sentral bisnis —festival stan makanan, mereka duduk berdua dengan beberapa makanan pesanan mereka.

“Lo kenapa deh tiba-tiba ngajak gue ke sini?” Tanya sunghoon pada akhirnya.

“Gapapa pengen jalan sama lo aja, belakangan ini lo sibuk bolak kantor tahanan, tiap gue datang ke apart lo udah gak ada.” Tukas yujin kemudian kembali menyeruput greentea yang telah di pesannya.

Sunghoon tidak menjawab malah memilih untuk untuk menyantap makanan yang terasaji di hadapannya. Enam bulan berlalu begitu saja dengan cepat, tak terasa minggu lalu sunghoon telah menjemput heeseung di depan kantor tahanan, memeluk heeseung dengan segala perasaan yang membuncah, sunghoon bersyukur bahwa akhirnya heeseung sudah terbebas.

Pemuda itu juga seminggu ini sering mengunjungi apartemennya entah datang untuk membawa makanan atau datang untuk sekedar melepas rindu menghabiskan waktu seharian menonton serial netflix rekomendasi dari beberapa teman sunghoon yang gemar marathon film.

Sunghoon kemudian memilih untuk diam mendengarkan sesekali menanggapi segala curhatan yujin tentang betapa bosannya dia dengan segala aktivitas kampus yang membuat kepalanya hampir pecah, di tambah dengan tugas-tugas dari beberapa dosen yang tambah menyusahkannya dengan segala tugas yang mengharuskan kepala berfikir sepuluh kali lebih cepat dari biasanya.

Yujin kemudian menatap malas kearah sunghoon yang kini terfokus denga ponselnya hanya sesekali mengangguk menanggapinya, gadis itu mendengus kemudian kembali menyesap greenteanya menatap keadaan sekitar yang cukup ramai.

Lampu-lampu dengan dengan payung berbagai warna menghias di sepanjang jalan, orang-orang berlalu lalang singgah dari satu stand menuju ke—stand lain, berada di keramaian di tempat yang cukup memanjakan mata setidaknya membuat pikirannya terasa lebih fresh .

Gadis itu sibuk memperhatikan setiap orang yang datang dan pergi meninggalkan festival ini, awalnya dia biasa saja tak ada yang aneh, namun kini pandangannya tertuju pada seorang pemuda yang baru saja memasuki area sentral bisnis sambil berpegangan tangan, sesekali bertukar canda yang membuat keduanya tertawa.

Brengsek

Yujin panik, kemudian beralih menatap sunghoon yang masih sibuk mengunyah makanannya dengan mata yang tak pernah beralih dari layar ponselnya, sedikit bersyukur dalam hati ketika menyadari bahwa pemuda itu tidak menyadari kedatangannya.

Pikirannya berkecamuk apa kiranya yang harus dia lakukan agar mereka bisa segera pergi menjauh dari kawasan ini.

“Masih mau pesan apa? Makanan lo udah abis punya gue juga, kita balik yuk.” Gadis itu langsung membereskan barang-barangnya.

Setelahnya menarik sunghoon yang menatapnya bingung, “Bentar kita di sini dulu, jam 10 kita baru pulang deh heeseung bilang dia mau datang jam 10 nanti sekalian aja lagian juga di sini bagus kok.”

“Iya dia bilang jam 10, soalnya kalau sekarang lagi selingkuh.”

Ingin sekali rasanya gadis itu berucap lantang namun sadar bahwa dia hanya akan di anggap melantur atau parahnya dia dan sunghoon di sangka sepasang kekasih yang tengah bertengkar.

“Pulang yuk gue kedinginan, pengen buang air serius deh udah di ujung banget ini.”

Kedua alis pemuda bertaut, tidak biasanya yujin bersikap seperti itu, “WC umum ada kali, biasanya juga lo di situ.”

Yujin semakin panik ketika melirik kedua orang yang berusaha di hindarinya itu justru kini berjalan menuju stand makanan yang ada di dekat mereka. Yujin sebisa mungkin bergerak kesana kemari agar pandangan sunghoon terhalang oleh tubuhnya, berdoa dalam hati agar hari ini tidak berakhir buruk.

Namun baru saja selesai berdoa, doany sudah tidak di jabah ketika sunghoon memfokuskan penglihatannya dan menggeser tubuh yujin yang menghalangi pandanganny, sunghoon terdiam menatap kearah salah satu stan makanan di depannya.

Awalnya dia menolak untuk percaya namun pemandangan di depannya itu terlihat sangat nyata dimana heeseung menggandeng lengan seorang gadis. Mungkin memang tuhan ingin segera kisah ini berakhir ketika heeseung berbalik netranya juga langsung menatap sunghoon mereka berpandangan beberapa saat tenggelam dalam kelam, pikiran sunghoon berkecamuk.

Dia jadi paham kenapa yujin ngotot meminta pulang karena telah menyadari lebih dulu kedatangan kedua orang itu.

Seolah dunia memang ingin sekali menampar sunghoon dengan sebuah realita ketika heeseung memutus kontak mata mereka lalu pergi menarik lengan gadis itu agar segera meninggalkan mereka.


Mereka pulang diantarkan jay yang tiba-tiba datang menjemput karena mendapat pesan dari yujin, sepanjang jalan sunghoon hanya diam tak berniat bicara sepatah katapun sesampainya di apartemennya juga tidak, jay dan yujin hendak menawarkan diri untuk menemaninya namun sunghoon menggeleng dengan pelan mengatakan bahwa dia tak apa.

Kedua sahabatnya itu dengan berat hati meninggalkan dirinya yang ngotot mengatakan bahwa dia tak apa, sesampainya di dalam rumah sunghoon segera menuju kedalam kamar mandi mengisinya dengan air kemudian berendam dengan pakaian untuh.

Sunghoon butuh merasakan dingin ini untuk menetralkan perasaan sesak di dalam hatinya yang terasa sangat menyiksa, memang sunghoon tidak mengeluarkan air mata sama sekali tapi rasa sakit hatinya sangat luar biasa sampai-sampai dia beberapa kali menepuk dadanya untuk menghilangkan perasaan sesak yang menganggu itu.

Kini, sunghoon memilih untuk menenggelamkan seluruh tubuhnya di dalam bathtub cukup lama namun tak lama kemudian dia kembali naik mengatur nafasnya dan melirik ponselnya yang bergetar diatas meja di samping bathtub.

Itu pesan dari heeseung namun sunghoon memilih untuk menyelesaikan semuanya hari ini, sunghoon sering kali mendapat pertanyaan dari yujin perihal selama hampir setahun ini apa yang sedang sunghoon pertahankan.

Maka hari ini sunghoon bisa menjawabnya, selama ini yang dia coba pertahankan adalah perasaannya yang terlanjur jatuh kedalam jurang milik heeseung.

Namun pada akhirnya sunghoon memilih untuk menyelesaikan kisah mereka, jika ini sebuah novel mungkin ceritanya berhenti di tengah-tengah cerita yang selebihnya nanti hanya akan menjadi kertas kosong.

Sungguh menyerah dia sadar dia bukanlah seberapa di bandingkan dengan sanggar hati heeseung yang tulus dan membentang, seharusnya dalam kisah ini dia tak memaksa memasukkan namanya.

Pun juga sedari awal sunghoon tahu kebenaran yang sejujurnya hanya saja dia memilih naif, memilih untuk pura-pura tidak tahu dan bertingkah seolah dia memang satu-satunya milik heeseung.

Namun kali ini sunghoon sadar mau dia melakukan apapun dia telah kalah di sini, dia hanya bahan taruhan yang harus siap di campakkan kapan saja ketika dia sudah terjatuh.

Setelah membalas pesan heeseung, sunghoon segera menaruh ponselnya kemudian kembali bersandar di bathtub menatap langit-langit kamar mandi apartemen minimalis miliknya.

Sunghoon menghela nafasnya kasar, sebelum memilih untuk menutup matanya menikmati sensasi dingin yang mulai menusuk kulitnya.

Sejatinya beberapa orang datang dan pergi dari hidup kita hanya untuk membawa sebuah pelajaran, untuk sunghoon sendiri mungkin dia akan belajar untuk tidak terlalu naif dengan perasaannya, tak akan menyiksa diri lagi ketika ternyata rasa sakitnya akan semenyiksa ini.

Pun mungkin semesta mempertemukan mereka hanya untuk menjadi sebuah memori yang nantinya bisa sunghoon kenang sepanjang hidupnya.

Kisahnya bersama heeseung mungkin akan abadi di dalam memorinya, bahwasanya dia pernah sebegitu naifnya dengan perasaannya sendiri kemudian sadar kenaifan itu yang membawanya kedalam jurang paling dalam rasa sakit.

Bahwasanya ketika hati mulai bertindak logika tidak lagi berguna.

Narasi Kedua


Heeseung memarkirkan mobil mereka di parkiran yang telah di sediakan oleh pihak butik, butiknya tidak terlalu ramai seperti yang heeseung katakan kemarin bahwa pada jam seperti butik tidak akan terlalu ramai hanya ada beberapa kariawan yang berlalu-lalang.

Mereka masuk bersamaan yang langsung di sambut ramah oleh pemilik butik juga orang yang baru saja heeseung perkenalkan sebagai mangernya yang telah menunggu mereka lebih dulu di dalam.

Sunghoon tidak mengalihkan pandangannya dari manager heeseung yang di ketahui bernama jungwon, dia terlihat sangat muda apalagi wajahnya yang terlihat galak juga imut dalam satu waktu membuatnya teringat pada adiknya, itu membuat sunghoon tanpa sadar tersenyum ketika memperhatikan jungwon dan heeseung yang tengah berbincang.

“Halo perkenalkan, saya Kim doyeon pemilik butik ini. Kemarin saya sudah terima surat laporan tentang tema pernikahan kalian saya sudah menyiapkan beberapa desain pakain yang cocok dengan konsep kalian, mari ikut saya.”

Wanita itu kemudian mengarahkan mereka kesebuah ruangan dimana di dalamnya sudah berjejer beberapa pasang manekin dengan pakaian pernikahan yang membuat sunghoon tampak antusias ketika mereka masuk kedalam sana.

“Di sini ada beberapa pilihan warna juga kualitas bahannya, kalian bisa mulai coba-coba mana yang kemungkinan cocok untuk kalian.”

“Kamu mau yang mana, hoon?” Tanya heeseung yang kemudian membuat sunghoon meliriknya terkejut.

“Aku? Maksudnya aku yang di suruh milih?” Tunjuknya pada diri sendiri yang di tanggapi anggukan oleh heeseung.

“Iya kan masa aku doang yang milih baju kan nikahnya berdua.” Ucapnya.

Sunghoon terdiam sebentar menelan ludahnya kasar sebelum pergi melihat-lihat koleksi baju yang berjejer tanpa suara, membuat jungwoon dan pemilik butik yang melihatnya tertawa pelan melihat kelakuannya.

Terhitung telah 30 menit mereka berada di sini untuk memilih namun mereka tak kunjung menemukan yang pas, sunghoon kembali mengelilingi melihat-lihat baju mana yang mereka belum coba, pandangan sunghoon tertuju pada sebuah tuxedo berwarna hitam yang berada di dalam lemari kaca.

Doyeon memperhatikan sunghoon yang terdiam memandang tuxedo hitam yang berada di lemari kaca miliknya, “Itu rancangan tuxedo pertama saya, tadinya akan di gunakan calon suami saya di hari pernikahan kami tapi dia gugur dalam tugasnya.”

Semua mata kini tertuju kepada wanita itu yang kini mengulum senyumnya, “Belum ada yang pernah pakai tuxedo itu, ya mungkin karena desainnya terlalu biasa, saya ju—”

“Saya mau yang ini.” Ucap sunghoon kemudian menatap heeseung yang sepertinya juga tidak keberatan.

Wanita itu tersenyum kemudian menyarankan mereka untuk mencoba tuxedo itu sebelum di rombak bagain mana saja yang perlu di ubah untuk menyesuaikannya dengan tubuh sunghoon.

Kemudian waktunya heeseung untuk mencoba tuxedo yang senada dengan milik sunghoon, heeseung keluar dengan tuxedo yang membalut tubuhnya terlihat agak kesusahan untuk memasang dasinya.

Entah keberanian dari mana sunghoon berinisiatif untuk membantu heeseung memakaikan dasinya, heeseung memperhatikan dengan lamat-lamat bagaimana wajah sunghoon terlihat sangat serius memakaikan dasi untuknya.

Heeseung menangkat tangannya untuk merapikan poni sunghoon yang terlihat menghalangi penglihatannya, “Habis dari sini kamu mau potong rambut?”

Pertanyaan itu membuat sunghoon terdiam memegangi kera baju heeseung saat hendak merapikannya, kemudian mendongak mendapati heeseung juga menatapnya.

Sunghoon baru tahu kalau heeseung memiliki manik gelap yang menghanyutkan membuat sunghoon tanpa sadar tidak mengedipkan matanya sama sekali.

“Poni kamu hampir nusuk mata kamu.” Heeseung menyisipkan helaian poni sunghoon kesamping agar tidak menganggu penglihatannya, kemudian kembali menatap sunghoon yang masih menatapnya dalam diam.

Untuk pertama kalinya mereka bersitatap rasanya cukup mendebarkan bagi sunghoon apalagi tatapan heeseung yang terasa sangat dalam membuatnya sedikit gugup, sunghoon jadi tahu pemuda ini memang di takdirkan untuk menjadi seorang aktor.

“Mohon maaf menganggu ya, tapi tolong adegan romantisnya di skip dulu, kasian saya sama kariawan lainnya jadi obat nyamuk, nanti adegan romantisnya di lanjut pas saya gak ada aja.”

Dan terkutuklah jungwon dengan mulutnya yang membuat sunghoon rasanya ingin menghilang dari bumi saat ini juga.

Sweetest

Bagian kedua


Hyemi tidak habis pikir bagaimana dia masih bisa mendapat sekotak susu strawberry ketika heeseung beberapa minggu lalu telah mencapakkannya begitu saja, mengatakan bahwa semua perhatiannya selama ini nyatanya tak bermakna apa-apa, hyemi tidak paham kenapa heeseung melakukan hal itu kepadanya.

Dia terlalu pusing untuk memikirkan itu semua, nyatanya berandal itu memang tetap akan menjadi berandal dan tidak akan pernah berubah.

Mereka kini kembali seperti dua orang asing yang tidak pernah saling mengenal menimbulkan banyak tanya diatara siswa, ada yang kasihan padanya ada juga yang menggunjing namun hyemi tak peduli itu semua.

Dia lebih memilih untuk mengambil sekotak susu itu kemudian meminumnya, hyemi kira susu itu sama seperti yang di berikan heeseung sebelum-sebelumnya namunya kenyataannya susu itu jauh berbeda susu yang di konsumsinya nyatanya membuat kesadarannya perlahan menghilang setelahnya hyemi tidak mengingat apapun lagi.


Gadis itu tersadar dari keadaan tak sadar dirinya, dia bangun di dalam sebuah ruangan luas yang kosong dan lenggang, hyemi samar-samar melihat banyak kelopak mawar berwarna putih mengelilinginya.

Dia hendak memegangi kepalanya yang terasa pening tapi dia sadar ktika kedua lengannya di ikat dengan tali kemudian di kagetkan dengan lampu ruangan yang mendadak menyala, dia berbalik menatap pemuda yang duduk di atas panggung dengan kaki yang menjuntai bebas menatap hyemi dengan datar.

Kemudian hyemi tersadar jika dia berada di aula sekolah, “S-sunghoon?”

Pemuda itu tidak menjawab dia justru turun dari kegiatan duduknya berjalan pelan menuju kearah hyemi yang masih terduduk di lantai.

Sunghoon merogoh kantongnya mengeluarkan sebuah pisau kecil mengarahkan tepat di depan mata hyemi, “Kau punya kalimat terakhir?”

“Apa maksudmu?” Hyemi hendak bergerak untuk menjauh tapi kemudian dia justru terangkat perlahan, dia melirik kedepan sana di mana ada orang lain yang mengendalikan roda tali yang ada di tangannya.

Di sudut sana heeseung terlihat menikmati memutar roda itu membuat hyemi terangkat semakin tinggi, hyemi berteriak ketika tubuhnya semakin terangkat.

Sunghoon menarik kaki gadis yang terbalut kaos kaki panjang itu dengan kasar membuatnya kini berdiri berpapasan dengan sunghoon dari jarak dekat, sunghoon menunduk mengambil kelopak mawar putih yang berceceran itu kemudian memaksa gadis itu membuka mulutnya untuk memasukkan kelopak bunga itu hingga membuatnya tersedak.

“Kau akan membuatnya mati tersedak.” Heeseung akhirnya angkat bicara ketika melihat gadis itu tersiksa dengan kelopak bunga yang memnuhi mulutnya.

“Siapa juga yang ingin dia matk tersedak, itu tidak seru.” Dia menatik kain hitam dari saku celananya kemudian mengingat tali itu agar gadis itu tidak bisa lagi mengelurakan kelopak bunga itu dari mulutnya.

“Mmm-mfg.” Gadis itu mencoba untuk berontak mengeluarkan suaranya, namun itu tidak berarti sama sekali.

“Ini akibat karena kau berani menyentuk milikku.” Sunghoon menatap nyalang gadis itu kemudian melirik heeseung yang langsung tahu apa maksud tatapan itu.

Heeseung kemudian kembali memutar roda itu membuat gadis itu kembali terangkat dengan kedua tangan yang menggantung.

“Aku sangat marah denganmu hingga rasanya aku ingin mencabik-cabik tubuhmu dengan jariku, tapi aku bahkan tidak sudi untuk sekedar menyentuhmu.” Sunghoon kemudian mengarahkan pisau kecil di tangannya untuk menyayat-nyayat kaki gadis yang terbalut dengan kaus kaki berwarna putih itu kini kontras dengan darah yang mulai keluar dari goresan-goresan yang di ciptakan heeseung.

Hyemi mencoba untuk berteriak namun kelopak bunga itu menyulitkannya karena semakin dia berteriak semakin kelopak bunga itu masuk kedalam tenggorokannya.

Satu-satunya cara yang dia gunakan gadis itu dengan menggoyangkan kakinya agar sunghoon berhenti untuk menyat kaki kirinya, namun sunghoon justru menahan kakinya memegang kaki gadis itu dengan kuat-kuat sebelum dia mematahkannya dengan paksa.

Tak

Sunghoon tersenyum puas ketika melihat ketika gadis itu sama sekali tidak bisa mengeluarkan suaranya, matanya melotot air matanya mengalir namun dia tidak bisa melakukan apapun.

“Heeseung turunkan dia.” Heeseung hanya mendengarkan tanpa menjawab langsung melakukan apa yang di tugaskan oleh sunghoon.

Kemudian sunghoon membuat gerakan seolah dia ingin memeluk gadis itu, “Kau tahu? Aku menyesal menolongmu hari itu.”

Pemuda itu menggores wajah hyemi mengukir bentuk hanti kecil di pipinya membuat hyemi meringis menahan sakit yang di terimanya.

Sunghoon kemudian menusukkan pisau itu keperut hyemi yang membuatnya ingin berteriak namun tertahan karena kelopak bunga juga dengan kain hitam yang menyumpal mulutnya, “Ini karena kau berani mengatakan kau suka dengan heeseung.”

Kemudian satu tusukan kembali di layangkan sunghoon, “Ini untuk kau yang berani meminta heeseung menjadi kekasihmu.”

“Dan ini untuk kau yang berani mencium heeseung dengan bibir kotormu.” Sunghoon menusukkan pisau itu berkali-kali ke perut si gadis.

Hingga gadis itu berhenti memberontak ketika kesadarannya sudah mulai menghilang namun itu sama sekali tidak membuat sunghoon untuk berhenti melakukan aksinya.

Kini dia mengarahkan pisau itu di kaki si gadis yang tadi dia patahkan, mengirisnya dengan berkali-kali namun itu memakan waktu yang sangat lama.

“Kau ingin melakukan apa lagi?”

“Memberi gaeul makanan.” Sunghoon mengambil sebuah besi yang tergeletak tak jauh dari arah mereka.

Sunghoon memukulkan besi itu berkali-kali ke kaki si gadis hingga terputus, terlempar cukup jauh dengan darah berceceran yang mulai menodai kelopak-kelopak bunga mawar putih yang berserakan di lantai.

Heeseung merasa itu sudah cukup dia langsung menggantung gadis itu lebih tinggi dari posisinya tadi, “Dari awal maksud dari mawar putih itu adalah untuk ini.”

Heeseung memperhatikan sunghoon yang kini mengambil potongan kaki gadis itu untuk di masukkan kedalam sebuah tas, lalu tersenyum ketika mereka tak sengaja bersitatap sunghoon juga membalas senyumannya dengan cengiran khas miliknya yang mampu membuat siapapun berdecak gemas.

Sejatinya heeseung hanya perlu menekan tuas pengendali sunghoon untuk menunjukkan sisi biadab si ketua osis teladan semua siswa dan favorit guru nyatanya hanya sebuah topeng untuk menyembunyikan jati dirinya yang sebenarnya.

“Cemburuku itu seperti nereka.”

Cemburunya lee heeseung itu seperti nereka, menyiksa siapapun yang berhasil membuatnya merasakan perasaan itu tidak ada ampun, lee heeseung sejatinya mampu menjadi jurang yang membawamu pada kematian hanya karena berani menyentuh miliknya.

“Aku tidak suka dengan caramu berpura-pura pingsan agar mendapat perhatian sunghoon.”

Mereka kemudian keluar dari aula menutup pintunya kemudian berjalan sambil bergandengan tangan keluar dari area sekolah.

Mereka sampai di kediaman sunghoon, pemuda itu langsung mengeluarkan potongan kaki itu kearah anjingnya yang menyalak garang kemudian memakan kaki itu dengan rakus.

Mereka duduk di sebuah kursi memperhatikan bagaimana anjing peliharaan sunghoon itu makan dengan rakus, kini sunghoon beralih memeluk heeseung menyandarkan kepalanya di dada bidang bidang heeseung lalu menatap heeseung yang juga menatapnya.

“Jangan pernah biarkan orang lain menyetuhmu, kau itu milikku.” Sunghoon kemudian menggigit leher heeseung yang membuat sang empu tertawa.

“Yeah, i'm yours.”

Heeseung beralih mengcup hidung sunghoon sembari mengeratkan pelukannya membuat sunghoon menutup matanya menikmati semua afeksi nyang di berikan oleh heeseung.

“Apakah kau akan melakukan hal yang sama jika ada orang yang berani menyentuhku?” Sunghoon bertanya dengan pelan.

“Aku bahkan pernah melakukan lebih dari yang kau lakukan.”

Sejatinya mereka sama saja, sama-sama iblis bertopeng manusia.

Sweetest

Bagian pertama


Mobil sport hitam itu berhenti di depan gerbang sebuah sekolah, pemuda dengan seragam sekolah yang terhalangi hoodie hitam yang di kenakakannya keluar dari mobil tersebut melangkah pelan dengan satu tangan di tas yang menggantung di lengan kiri dan satunya lagi di dalam saku celananya.

Pemuda itu melangkahkan kakinya masuk kedalam area sekolah tak selang beberapa lama dia melihat keramaian di tengah lapangan, dengan sedikit rasa penasaran pemuda itu menuju ke area lapangan menerobos kerumunan siswa yang saling berbisik.

Siswa dengan hoodie itu menatap datar pandangan di dapannya dimana Park Sunghoon si ketua osis tampan, ramah, baik hati dan panutan sekolah tengah mengangkat salah seorang siswi yang pingsan di tengah lapangan menuju keruang kesehatan yang berada tak jauh dari lokasi mereka sekarang.

Dia memutar bola matanya malas sebelum memilih untuk berbalik meninggalkan kerumunan siswa yang berbisik heboh karena si panutan sekolah itu kembali melakukan hal superior bak pahlawan dalam kisah fiksi.

“Beruntung sekali menjadi Kim Hyemi aku juga ingin di tolong Sunghoon.” Pemuda itu berhenti sejenak mendengar penuturan salah seorang gadis di dekatnya kemudian mengangkat sudut bibirnya pelan sebelum pergi meninggalkan kerumunan.

“Sampah.”

“Lee heeseung, kau mau kemana?” Pemuda denga hoodie hitam itu berbalik menatap sosok pemuda yang meneriakinya dari atas lantai dua.

“Ke kantin, kau mau ikut?” Tanyanya kemudian.

“Tidak, kau duluan saja.”

Dan tanpa bertanya lagi pemuda benama Lee heeseung itu segera pergi menuju kantin yang berada di sudut sekolah, dia tersenyum ramah kepada penjaga kantin yang sudah mengenalnya di luar kepala karena menjadi langganannya.

Heeseung menyerahkan dua kotak susu strawberry dan satu bungkus roti yang membuat si panjaga kantin menatap heeseung heran, “Tidak biasanya, untuk pacarmu?”

Pertanyaan itu langsung di balas dengan senyum oleh heeseung sebentar kemudian menggeleng yang langsung membuat si penjaga kantin tersenyum semakin lebar sebelum memberi selembar kertas berwarna biru bersama dengan pesanan milik heeseung, “Kau bisa menuliskan sesuatu di situ, itu akan terlihat lebih romantis.”

Heeseung mau tak mau tersenyum kemudian meraih pesanannya menunduk hormat sebelum pergi meninggalkan kantin yang masih lenggang oleh pengunjung, “Terimakasih.”

Mata pemuda itu menatap satu persatu loker yang terletak di koridor satu tangannya dengan mantap menarik satu pintu loker, “Kau sedang apa?” Gerakan tangan heeseung terhenti kemudian berlaih menatap gadis itu.

“Oh, ini untukmu kulihat kau sedang kurang sehat.” Dia kemudian tersenyum mengulurkan sekotak susu strawberry dan roti di tangannya.

Gadis itu mendadak kikuk kemudian meraih susu strawberry dan roti yang ada di tangan heeseung dirinya di buat semakin gugup ketika pemuda itu berjalan mendekatinya lalu mengusap puncuk kepalanya tanpa aba-aba membuat si gadis dengan rambut panjang itu merona menahan malu.

“Lain kali kau harus menjaga kesehatanmu, Kim Hyemi.” Lalu berlalu begitu saja meninggalkan si gadis dengan wajah memerah juga dengan tatapan tidak percaya dari beberapa siswa yang melihat kejadian itu.

Dimana si berandal sekolah yang tidak pernah perduli dengan sekitarnya mendadak memberi perhatian kepada seorang gadis, siapapun yang melihat pasti menduga kalau heeseung menyukai gadis itu.


Sudah seminggu kejadian itu terus berlanjut gadis dengan nama Kim Hyemi itu sama sekali tidak menolak heeseung namun dirinya kian dibuat bingung ketika heeseung hanya menarik ulur dirinya tanpa kepastian sama sekali, gadis itu terjebak dengan perasaannya.

Berita tentang si brandal yang tengah terang-terangan mendekati seorang gadis seangkatan dengan mereka itu tersebar luas hampir semua siswa mengetahuinya tak jarang melihat interaksi keduanya yang membuat beberapa siswa tersenyum menganggap bahwa mereka adalah perpaduan yang sempurna, berita itu sendiri sampai di telinga Sunghoon sebetulnya dia ingin menutup telinga dengan berita itu dia lebih memilih untuk memfokuskan dirinya pada olimpiade mendatang, namun kabar yang semakin marak di beritakan seisi sekolah itu cukup membuat telinganya panas.

Di tambah ketika dia tidak sengaja melihat si berandal sekolah itu berjalan seorang diri menaiki tangga menuju atap sekolah membuat rasa penasarannya semakin tertantang dia mengikuti pemuda itu dari belakang dengan diam-diam.

Heeseung melangkahkan kakinya menuju keatap sekolah sesampainya disana dia menemukan seorang gadis berambut panjang dengan seragam khas sekolah mereka tengah menunggunya dengan setangkai bunga mawar putih di tangannya, gadis itu tersenyum ketika melihat kedatangan heeseung.

Dia mendapatkan bunganya.

Pemuda itu tidak membuka suara ketika sampai di sana berhadapan langsung dengan gadis yang tengah menunduk dengan wajah merona menatap mawar di tangannya.

“Heeseung, aku m-menyukaimu.” Ungkap gadis itu malu-malu.

Sebelah alis heeseung terangkat kemudian menatap sekelilingnya, “Oh, terimakasih.”

Gadis itu sedikit tersentak kemudian memilih mendongak menatap heeseung yang sama sekali tidak menampilkan ekpresi apaun dia menatapnya bingung. “Eh, lalu bunga ini?”

“Itu hanya bunga.”

“Aku menyukaimu lee heeseung, apakah itu kurang jelas?” Tanya gadis itu bingung.

“Ya, aku tahu, lalu?”

“Aku mau kau jadi pacarku.”

Heeseung tertawa kemudian menyentuh kepalanya sebentar lalu menatap gadis itu, “Aku tidak pernah bilang aku menyukaimu.”

Gadis itu menatap heran heeseung yang kini tidak menampilkan ekspresi apapun, “Tapi kau memberiku perhatian, datang ke kelasku setiap jam istirahat lalu menaruh bunga ini di lokerku, kau pasti menyukaiku juga kan?”

Gadis itu melangkah mendekati heeseung kini beridiri sangat dekat dengannya, gadis itu memajukan wajahnya mencium bibir heeseung.

Namun tak selang beberapa detik gadis itu terhempas, “Menjijikkan.” Heeseung mengusap bibirnya kasar merasakan bagaimana pewarna bibir gadis itu menempel di bibirnya.

Heeseung kemudian menyamakan tingginya dengan Hyemi yang kini terduduk di lantai atap sekolah, “Kim hyemi, gadis yang polos.”

“Biar ku beritahu sedikit, tak semua perhatian itu berarti aku menyukaimu.”

Heeseung tersenyum ketika melihat gadis itu pergi meninggalkannya dengan penuh amarah juga rasa sedih, dia memperhatikan bunga mawar putih yang tergeletak di atas lantai dengan salah satu kelopaknya yang lepas. “Mawar putih melambangkan simpati lambang dukacita.”

Heeseung berjalan santai hendak menuruni tangga namun dia berhenti ketika melihat sosok pemuda lain tengah berdiri sambil menatapnya tajam, pemuda itu berjalan kemudian menariknya untuk kembali keatas atap.

Heeseung tidak protes sama sekali ketika pemuda itu mendorongnya untuk duduk di salah satu sofa tua yang ada di sini, heeseung juga tidak masalah saat pemuda itu kini duduk diatas pangkuannya sambil menatapnya tajam lalu mengsuap bibirnya dengan tangannya, heeseung bisa melihat amarah di dalam tatapan pemuda itu.

“Kotor, menjijikkan, dia menyentuhmu.”

“It's your job to clean it up, sunghoon.”

Tanpa mendengar perintah dua kali sunghoon langsung mempertmukan bibir mereka, memangut bibir heeseung dengan emosi tercampur, mereka saling memangut berperang lidah hingga menimbulkan bunyi kecapan yang cukup nyaring, sunghoon tidak puas dia merasa bibir heeseung masih kotor maka sunghoon menggigitnya hingga berdarah kemudian melepas paksa tautan mereka yang telah bercampur dengan darah di bibir heeseung.

Sunghoon kemudian beralih memeluk leher heeseung menenggelamkan kepalanya di ceruk leher heeseung nafasnya memburu menahan emosi, heeseung tak tinggal diam dia langsung memeluk erat pinggang ramping sunghoon kemudian mengelus belakang punggungnya pelan.

“Tahan emosimu, park.”

“Tidak bisa, rasanya sangat menyesakkan aku rasanya ingin merobek-robek gadis itu sampai hancur.”

Heeseung membuat sunghoon kini menatapnya dengan menangkup wajah pemuda yang wajahnya sedikit memerah karena menahan emosi, sunghoon yang sedang marah itu jauh lebih manis ketimbang sedang tersenyum.

“Kau tahu aku memberinya apa?”

Sunghoon menangguk, “Mawar putih, jadi boleh?”

Heeseung hanya tersenyum kemudian mengecup pelan hidung sunghoon sebelum akhirnya kembali menautkan bibir mereka, peresetan dengan jam pelajaran yang tengah berlangsung sejatinya heeseung tak pernah peduli dengan itu semua.

Heeseung itu pemegang kendali atas sunghoon, sekali dia menekan tuas pengendalinya maka sunghoon yang sebenarnya akan terlihat.

Cemeburunya Lee heeseung itu seperti nereka.


Lanjut di bagian kedua

Narasi Pertama


Sunghoon terdiam di dalam kamarnya menatap pantulan dirinya yang berada di dalam cermin. Ada banyak pertanyaan yang berkelit di dalam pikirannya saat ini, seperti orang seperti apa sosok itu, bagaimana dia harus menanggapinya, dan apakah ini semua sudah benar?

Apakah menerima perjodohan ini sudah menjadi pilihan yang paling tepat?.

Sejatinya sunghoon takut, menikah bukan soal perkara menikah lalu kemudian hidup bahagia karena menikah atas dasar perjodohan itu jauh lebih sulit untuk menjalaninya, mereka bahkan tidak saling kenal kemudian di paksa harus menerima satu sama lain itu rasanya cukup sulit.

Sunghoon terdiam dari segala lamunannya ketika sang adik menyembulkan kepalanya di balik pintu, mengintip pelan-pelan. “Kak, di suruh kebawa tamunya udah di depan.”

Dia kemudian mengangguk lalu menyuruh adiknya untuk pergi lebih dulu, sunghoon memperhatikan penampilan dirinya di depan cermin merapikan tatanan rambutnya yang sedikit rusak.

Sunghoon melangkahkan kakinya dengan pelan menuruni tangga yang langsung tepat menuju di meja perjamuan, sunghoon melangkahkan kakinya pelan meremas tangannya gugup, dirinya semakin dibuat gugup saat bunda juga dua orang lainnya yang sunghoon duga orang tua dari pemuda yang akan di jodohkannya itu menatap kearahnya sambil tersenyum.

Apalagi ketika sosok pemuda yang membelakanginya itu berbalik ikut menatap sunghoon membuatnya terkejut bukan main, nafasnya mendadak tercekat.

Di sana sunghoon bisa melihat sosok yang belakangan ini sering sekali di liput media berita, pikirannya mendadak kosong.

Kini tatapannya menuju pada pada adiknya yang tidak mengalihkan pandangan sama sekali dari orang itu, berbanding terbalik dengan adik sepupunya yang justru terlihat biasa saja.

“Tante, om, saya sunghoon senang bisa bertemu dengan anda.” Mungkin ini kebodohan pertama yang di lakukan sunghoon menyapa mereka sama seperti kolega-kolega kantornya membuat orang tersebut terkekeh.

“Gak perlu formal begitu sayang, panggil bunda dengan ayah saja. Astagah Sowon anak kamu manis banget gak kuat aku lihatnya.”

Sunghoon menunduk tersenyum malu-malu dengan pipi bersemu mendudukkan dirinya di hadapan anak dari sahabat orang tuanya.

Sunghoon tersenyum canggung tatkala tak sengaja bersitatap dengan pemuda itu yang juga membalasnya dengan senyum kecil, membuat sunghoon kembali memikirkan banyak hal.

“Semuanya sudah ada di sinikan, jadi tidak perlu basa-basi lagi.” Sunghoon melirik kearah ibunya yang kini menatap mereka bergantian.

“Jadi kapan resepsi pernikahannya dimulai?”

Sunghoon terbelak juga sedikit kaget dengan respon pemuda di hadapannya yang sepertinya tersedak air liurnya.

Sunghoon tidak menyangka kalau mereka bahkan tidak di beri waktu untuk sedikit lebih dekat sebelum menuju kejenjang yang lebih serius.

Tiga Pagi


Jika di tanya perihal apa yang sunghoon inginkan dalam hidupnya, dia hanya akan menjawab ingin lebih berani untuk bicara, lebih berani untuk mengutarakan pendapatnya sendiri, dan lebih berani untuk mengambil keputusan sendiri. Karena sejatinya menjadi orang tak banyak kata itu sungguh menyiksa.

Sunghoon sering sekali bertanya pada diri sendiri, apa sebenarnya yang dia cari, apa yang sedang dia usahakan dengan sangat keras, apa alasan dia melakukan itu semua dengan sangat keras, apa yang dia dapatkan setelah melakukan semua itu. Setiap kali sunghoon mencari jawaban hanya air mata yang jatuh tanpa suara tapi rasanya sangat menyiksa.

Di saat seperti ini di saat sunghoon tidak sedang baik-baik saja. Dia butuh pelukan hangat untuk menyelimuti setiap rasa sesak dan takut yang menghinggapi seluruh tubuhnya, ingin mendengar “Tak apa, bukan salahmu, semuanya akan baik-baik saja.” Sunghoon ingin mendengar “Kamu hebat.” Agar segala kelelahan dan rasa ingin menyerahnya ini berhenti.

Bukan malah mendengar kalimat yang tak seharusnya dia dengar sepanjang malam, mungkin mereka fikir bertengkar di larutnya malam ini tidak akan mengusik siapapun kenyataannya setiap hari sunghoon mendengarnya.

“Kenapa sekalian kamu gak pulang aja?”

“Ini juga rumah saya, saya berhak pulang kapan saja.”

“Seriously?, Kamu masih berani bilang ini rumah kamu? Hei, ingat ya, setelah kamu menikah dengan selingkuhan kamu itu rumah ini bukan rumah kamu lagi.”

“Kita sudah setuju untuk gak bahas hal ini lagi, dan aku punya hak untuk tetap kembali ke rumah ini untuk ketemu sama anak-anak aku.”

“Gak lagi setelah surat dari pengadilan keluar, sunghoon dan sunoo bakal tinggal sama aku dan terserah kamu mau ngapain sama selingkuhan kamu yang lagi hamil itu.”

“Yang intinya anak-anak punya masa depan terjamin kalau sama aku mereka gak akan kayak ayahnya yang ternyata diam-diam hamilin istri orang.

“MULUT KAMU DI JAGA YA!!”

“APA MEMANG BENAR KAN KAMU HAMILIN ISTRI ORANG LALU NIKAH DIAM-DIAM, KALAU BUKAN KARENA KAMU YANG KEMARIN KETAHUAN SUNGHOON PASTI SUDAH MAJU KE FINAL OLIMPIADE, INI SEMUA SALAH KAMU.”

Sunghoon meringkuk di dalam kamarnya menutup telinga dengan erat, tubuhnya menggigil padahal pendingin kamarnya tidak di nyalakan sama sekali.

“GARA-GARA KAMU DIA GAK LOLOS BABAK FINAL.”

“Sowon, mau sampai kapan kamu tutup mata kalau sunghoon gak akan pernah bisa lolos ke olimpiade itu bukan karena aku, bukan karena dia yang kurang belajar, bukan karena dia mundur dari beberapa tempat bimbelnya tapi karena dia gak mau, itu bukan keahliannya dia. Mau dia belajar selama apapun dia gak akan pernah bisa lolos!!

“TAHU APA KAMU SOAL ANAK-ANAK AKU?!”

“Harusnya pertanyaan ini dari aku untuk kamu, Sowon. Tahu apa kamu soal anak-anak kamu selain maksa mereka untuk ikutin semua kemauan kamu?”*

Sunghoon meraih bantal di sampingnya untuk menutupi kepalanya. Sunghoon benci mendengar suara perdebatan itu setiap malam ini semua menyiksanya, membuatnya tak punya tempat untuk bernafas dengan lega bahkan di tempat yang orang-orang sebut dengan rumah, persinggahan paling ternyaman.

Nyatanya rumah untuknya itu hanya sebuah omong kosong.

Sunghoon terbangun kemudian mendudukkan dirinya di lantai bersandar di pinggiran kasur sambil memeluk dirinya sendiri di tengah remang-remang cahaya kamarnya.

Pelukan di lututnya semakin erat ketika mendengar suara barang pecah di luar sana di ikuti teriakan ibunya yang terdengar cukup nyaring, sunghoon tidak bodoh untuk tidak tahu apa yang terjadi di luar sana. Nafasnya memburu, dadanya terasa sesak dia kembali menangis tanpa suara untuk kesekian kalinya.

Sunghoon melepas pelukan di lututnya kemudian memperhatikan tangannya yang di penuhi lecet di sana-sini tiga jarinya di perban menggunakan plaster yang mulai berubah warna karena telalu lama di pakai.

Sebenarnya untuk apa sunghoon berusaha sekeras ini?

Untuk apa dia melakukan hal yang sama sekali tidak sejalan dengan kemauannya?

Sunghoon selalu mendengarkan apa yang di inginkan orang tuanya, selalu menjadi apa yang ibunya mau sampai lupa apa yang dia inginkan dia lupa menjadi dirinya sendiri, lupa bagaimana rasanya melakukan hal yang dia inginkan, lupa rasanya di beri kalimat penenang kala dirinya takut semua yang di lakukannya tidak sesuai dengan ekspektasi orang tuanya.

Dia iri dengan adiknya yang bebas melakukan apapun yang dia mau, bebas mengutarakan apa yang dia inginkan, bebas menyuarakan suaranya, tidak seperti dirinya yang di bungkam dengan tali tak kasat mata.

“Kamu itu kakak harus memberikan contoh yang baik buat adiknya.”

“Nilai kamu turun, ini pasti karena kamu keseringan main.”

“Lomba kali ini harus masuk final biar gak kayak kemarin-kemarin.”

“Mamah kecewa kakak gagal lagi, padahal udah les tambahan juga mainnya udah di kurangin tapi kakak masih gak bisa lolos final.”

Sunghoon menarik rambutnya frustasi, nafasnya kian memburu. Ingatan dimana sang ibu menyuarakan kekecewaan terhadap dirinya itu sangat menyiksa, sunghoon gagal dia mengecewakan orang tuanya.

Mungkin memang salahnya terlalu banyak bermain, salahnya tidak mendengarkan orang tuanya, salahnya yang tertidur saat les tambahan tiba.

Ini salahnya.

Ya, ini memang salah sunghoon.

Pikirannya kacau sunghoon tak tahu harus bagaimana lagi, suara tamparan di luar sana semakin terdengar jelas juga dengan suara teriakan adiknya yang sepertinya terbangun dan melihat betapa kecaunya rumah ini, peluh membasahi dahinya dengan tangan bergetar sunghoon meraih sesuatu di dalam laci meja nakasnya.

Dia meraih cutter berukuran sedang dan mengarahkannya tepat di lengannya memperlihatkan banyak bekas goresan yang telah mengering.

Padahal sunghoon sudah berjanji untuk tidak melakukannya tapi sunghoon frustasi dengan perasaannya dia butuh pelampiasan atas semua keresahan dan rasa takut yang di rasakannya.

Sunghoon meringis merasakan bagaimana ujung cutter itu menggores pergelangan tangannya dengan dalam, darah segar keluar menitik membasahi lantai. Rasanya menenangkan maka dengan itu sunghoon menggoresnya lagi dan lagi berharap semua rasa sakit hatinya hilang bersamaan dengan goresan itu.

Sunghoon tertawa di bersamai dengan air matanya yang menetes perlahan, rasanya menyenangkan melihat bagaimana lengangannya kini di penuhi dengan darah yang jatuh mengotori lantai.

Sunghoon sangat benci merasakan bagaimana rasanya putus asa dan kehilangan harapan, tapi sebentar lagi sunghoon akan melakukannya. Karena untuk beridiri disini, rasanya berat sekali.

Sunghoon dengan sisa kekuatannya meraih sebuah botol putih yang berada di dalam laci meja nakasnya, menuang butiran-butiran pil itu di tangannya hingga penuh kemudian memaksa menelannya, sesekali memukul dadanya yang terasa sesak.

Efek obat itu berlangsung dengan cepat, dengan sisa tenaganya sunghoon naik keatas ranjangnya berbaring terlentang menatap langit-langit kamarnya yang di penuhi gambaran bintang juga beberapa mainan pesawat yang menggantung, sunghoon tersenyum menatap mainan pesawat yang menggantung dengan tenang di atas sana, air matanya kembali jatuh membasahi pipinya.

“Bahkan dari sinipun kamu keliatan sulit sekali untuk di capai.”

Sunghoon tersenyum di sisa kesadarannya matanya terasa semakin berat tepat saat jam menunjukkan pukul tiga pagi sunghoon menutup matanya dengan air mata.

Dia memilih untuk menyerah dengan semua rasa sakit dan impiannya, sunghoon memilih untuk melepaskan semuanya rasa sakit, harapan dan impian masa kecilnya.

Pagi itu matahari bangun, tapi tidak dengan sunghoon untuk selamanya.

End

Bumi — Biru


September dua tahun lalu di taman ini Biru sibuk memperhatikan seseorang yang datang setiap sore ketempat ini, dia tidak melakukan apapun hanya diam menatap aliran sungai dalam diam tapi Biru sadar diamnya orang itu adalah sesuatu.

Dua minggu selalu memperhatikannya Biru jadi tahu dia datang setiap hari pukul 17:00 baru beranjak ketika jam sudah menunjukkan pukul 20:00, banyak hal yang membuatnya tertarik dengan orang itu. Maka, tepat di tapat dua minggu memperhatikan dia Biru memberanikan diri untuk menyapanya.

“Sunset nya indah, ya? Seindah itu sampai membuat kamu betah setiap hari datang ketempat ini.” Orang itu tidak bergeming masih menatap jingga di langit sore.

Entah keberanian dari mana Biru duduk di samping orang itu ikut menikmati warna jingga yang merkah dengan indahnya, Biru menatap mereka bergantian kemudian sadar bahwa orang di sampingnya itu tak kalah indahnya dengan si jingga, lama memperhatikan pemuda itu Biru tak sengaja menatap matanya sedetik kemudian dia sadar bahwa tatapan pemuda itu hampa, pantulan jingga di matanya kini terlihat berbeda dengan yang di depan matanya, jingga di mata pemuda itu kosong tak bermakna.

“Sampai sekarangpun saya masih tidak paham dimana letak indahnya jingga itu, berkali-kali saya datang kesini untuk membuktikan kata orang-orang kalau sunset itu punya banyak makna. Tapi nyatanya saya gak dapat apapun, hasilnya masih tetap sama jingga itu tidak lebih dari sekedar warna yang melukis di langit sore tanpa arti.”

Biru mendapati dirinya terdiam seribu bahasa dengan wajah penuh tanda tanya menatap pemuda itu, padahal biru kira kedatangan pemuda itu setiap hari ke tempat ini karena keindahan si jingga yang setiap hari melukis langit dengan indah, tapi ternyata dia justru mempertanyakan dimana letak keindahan jingga itu.

“Ada banyak cara untuk menemukan dimana letak keindahan si jingga yang kamu maksud itu, tapi kayaknya kamu belum menemukan titik temunya. Mungkin besok-besok kamu akan menemukannya.”

“Ya, mungkin besok atau besoknya lagi.”

Mereka terdiam hingga jingga kini berganti dengan langit malam, lampu-lampu taman mulai menyala menerangi jalan setapak dan remang-remang di tempat mereka duduk.

Biru tak punya alasan kenapa dia terus-terusan menatap pemuda itu sampai-sampai tangannya terangkat berani mengelus surai pemuda itu pelan membuatnya terdiam, Biru sendiri tersenyum sembari terus mengelus surai pemuda itu dengan pelan.

“Matamu kosong, binarnya hampa. Kalau harimu berat istirahat, ya? Kamu bisa pinjam pundak aku buat istirahat sebentar kalau kamu butuh.”

Tak ada jawaban dari pemuda itu membuat Biru lagi-lagi tersenyum kemudian melirik jam di lengannya, “Waktunya selesai, saya pamit dulu ya. Semoga lain kali kita bertemu lagi.”

Biru beridiri melangkahkan kakinya meninggalkan pemuda itu menuju sepedanya yang terparkir di pinggir jalan, Biru hendak menaiki sepedanya sebelum suara pemuda itu mengintrupsinya.

“Nama saya Heeseung Bumi Bumantara.”

Sunghoon tersenyum memakai helmnya, untuk seseorang yang bernama Bumi pemuda itu telihat sangat hampa seperti planet kosong tak berpenghuni.

“Sunghoon Alubiru, panggil aja Biru.”

“Biru kalau besok, apa saya masih bisa pinjam pundakmu buat istirahat sebentar?”

Biru tak bisa menahan senyumnya, sudut bibir itu tertarik lebar memperlihatkan lesung di pipinya kemudian mengangguk sebelum pergi mengayuh sepedanya dengan perasaan berbunga.

Biru tidak mengelak kalau dia jatuh pada pandangan pertama dengan Bumi.


Hari berikutnya Biru menepati janjinya dia datang di tempat kemarin mereka berdua, Biru memarkirkan sepedanya tidak jauh dari tempatnya berdiri saat dia tiba Bumi sudah duduk menatap kehadapan sungai dengan pantulan langit yang mulai berubah warna.

Biru mendudukkan dirinya lagi di samping pemuda itu yang membuatnya menoleh, “Saya kira kamu gak akan datang.”

“Aku udah janji sama Bumi, gak mungkin di ingkari.” Biru kemudian ikut menatap kearah pandang pemuda itu sambil memeluk lututnya, padahal hanya duduk berdampingan saja tapi rasanya semendebarkan itu.

Biru melihat kesampingnya ketika pundaknya mulai terasa berat, Bumi menyandarkan kepalanya di pundak Biru menatap kearah jingga yang kini kembali merwarnai langit sore.

Tangan kanan biru kini terangkat untuk mengelus surai pemuda itu lagi, seperti yang kemarin di lakukannya membuat Bumi menutup matanya, sebelum kemudian Biru sadar tubuh pemuda di sampingnya ini bergetar, Bumi menangis.

Sejujurnya sedikit mengherankan melihat Bumi yang jika di lihat dari wajah dan perawakannya terlihat sangat tangguh kini menangis seperti anak kecil, yang langsung membuat Biru menariknya kedalam sebuah pelukan mendekap bumi dengan kehangatan yang dia punya. Bumi menangis tanpa suara yang membuat biru menyadari bahwa ternyata Bumi serapuh itu Bumi tidak setangguh kelihatannya.

Hari itu juga Biru meyakinkan dirinya kalau dia akan selalu menemani Bumi di tempat ini, perasaannya mungkin memang datang terlalu cepat tapi Biru tidak pernah ragu akan hal itu.

Di hari berikutnya dimana mereka semakin dekat, ada banyak hal yang mulai Biru sadari bahasanya Bumi itu manusia dengan sidikit kata juga ekspresi, Biru sendiri baru sadar kalau nyatanya manusia dengan sedikit kata itu belum pernah menunjukkan senyumnya sama sekali.

Sore itu dengan segelas kopi hangat di tangan mereka Biru menyurakan isi kepalanya, “Bumi jangan keseringan pasang wajah datar kayak begitu, orang-orang bisa salah paham tau.”

“Kenapa saya harus peduli dengan tanggapan mereka?” Pertanyaan yang cukup untuk membungkam Biru untuk beberapa saat.

“Yaiya kamu gak harus peduli dengan tanggapan orang lain, tapi kamu kayak orang yang gak makan dua hari kalau begitu terus.”

Pernyataan dari Biru itu lantas membuat Bumi meliriknya sekilas sebelum kembali menyeruput kopinya.

“Saya gak pernah kelaparan.”

Biru mendengus sebal lama-lama pemuda itu jadi menyebalkan juga, “Ish, maksudnya itu aku mau liat ekspresi kamu yang lain.”

“Memang kamu mau lihat ekspresi seperti apa dari saya?”

“Aku mau liat ekspresi kamu kalau lagi bahagia. Kamu pernah ngerasa bahagia kan? Coba tunjukin ekspresi itu.”

“Memang bahagia itu yang seperti apa?”

“Definisi bahagia itu ada banyak, Bumi. Tapi menurut aku sendiri bahagia itu ketika kamu merasa hari ini lebih baik dari hari kemarin, dan masih banyak lagi definisi bahagia lainnya.”

“Sejauh ini saya belum pernah merasa hari ini lebih baik sebelum saya ketemu sama kamu.” Ada beberapa detik yang terjeda ketika Bumi mengalihkan pandangannya untuk menatap langit sore. “Kalau di tanya apa definisi bahagia saya untuk saat ini, jawabannya mungkin kamu. Kamu yang datang menyapa saya di tempat ini, kamu yang berani menawarkan pundak kamu, dan kamu yang sampai saat ini masih bertahan duduk di samping saya di tempat yang sama. Itu jadi kebahagiaan tersendiri untuk saya karena ada orang yang berani bertahan selama ini di samping saya.”

Jawaban yang di terima Biru hari itu jadi jawaban yang membuatnya merona, berdebar bahagia juga kembali menimbulkan tanya dari beberapa kalimat Bumi yang sebetulnya tidak dia pahami maksudnya.

Tapi Biru memilih untuk tidak bertanya dan kini kembali tersenyum malu-malu menatap Bumi yang kini mengalihkan netranya untuk melihat senyum Biru yang di sinari langit sore kala itu.

Terlalu indah.

Tangan Biru terulur menari kedua sudut bibir Bumi, “Kalau kamu bahagia sama aku seenggaknya senyum sedikit waktu ngeliat aku.”

Rasanya aneh, untuk pertama kalinya Bumi menarik sudut bibirnya setelah sekian lama.

“Coba senyum, tarik sudut bibir kamu kayak gini.” Biru memperagakannya dengan memperlihatkan senyum dengan lesung pipitnya yang membuat bumi juga ikut memperlihatkan senyumnya.

Biru terkesima, untuk pertama kalinya melihat melihat lekungan senyum yang terpatri di wajah Bumi. “Kamu kelihatan lebih hidup.”

Iya, Bumi tidak mengelak dengan penyataan itu memang benar adanya. Bertemu dengan Biru itu rasanya seperti di lahirkan kembali, Bumi kembali merasakan apa-apa yang selama ini banyak hilang dari dalam dirinya.

“Bumi ayok buat janji.” Biru menangkat kelingkingnya kemudian menarik tangan Bumi untuk menautkan kelingking mereka.

“Hari ini Bumi berjanji dengan Alubiru kalau dia akan terus tersenyum karena Alubiru akan selalu ada di samping Bumi Bumantara.” Bumi tersenyum cerah memperlihatkan deretan gigi rapihnya, matanya menyipit bersamaan dengan senyumnya yang semakin melebar membuat Bumi ikut tersenyum melihat pusat dunianya hari ini terlihat sangat bahagia.

“Bumi ayok bahagia sama-sama.”

Dan biru dengan segala caranya mampu menghipnotis Bumi untuk menangguk kemudian menarik Biru kedalam pelukannya.

Tapi berbagi cerita bersama Bumi itu tak pernah semudah yang di bayangkan.

Bumi tidak pernah merasa sehidup ini sebelum bertemu dengan Biru, Biru itu sumber bahagia yang selama ini dia cari tapi kemudian juga di sadar bahwasanya dia justru akan menjadi sumber patah hatinya Biru.

Bumi tahu orang-orang itu mulai mengintai Biru, hal yang paling dia takuti. Dia sudah ketahuan maka dengan itu dia membuat jarak dengan Biru.

Biru tidak paham dua hari ini Bumi tak pernah datang lagi di taman itu, menimbulkan banyak tanya di dalam kepalanya dia tetap menunggu di tempat itu hingga malam tiba namun, Bumi tak kunjung datang. Rasanya kosong ada rasa sedih yang tidak bisa biru jelaskan hari itu.

Matanya mulai berkaca-kaca menatap langit malam, rasanya sakit saat menyadari bahwa dia telah dibuat ketergantungan dengan kehadiran Bumi tetapi Bumi sendiri menghilang meninggalkan sepenggal harapan yang mulai tumbuh.

Biru beridiri hendak pulang terkejut sembari mengusap matanya ketika berbalik menemukan seorang wanita dengan pakaian formal elegan menatapnya lantang.

“Alubiru, itu nama yang sering muncul di dalam lukisan Bumi belakangan ini.” Wanita itu maju beberapa langkah lebih dekat dengan Biru. “Entah hal konyol apa yang kamu perbuat hingga membuat Bumi saya belakangan ini mulai memberontak.”

Sedikitnya Biru mulai paham siapa orang di depannya ini, wajah mereka mirip membuat Biru dengan mudahnya mengenali sosok di hadapannya ini.

“Rantai yang membelenggu Bumi itu perlu di lepaskan.”

“Jika ada yang perlu di lepaskan itu artinya kamu.”

Biru tersenyum penuh arti mentap wanita yang masih menunjukkan wajah datarnya, “Bukan saya, tapi rantai yang anda buat.”

“Alubiru kamu harus sadar kamu siapa, Bumi itu langit sedangkan kamu tanah.” Wanita itu berbalik masuk kedalam mobilnya meninggalkan Biru yang terdiam meremas lemgan kemejanya.

Keinginan Biru itu sederhana dia hanya mau Biru terlepas dari rantai yang membelenggunya selama bertahun-tahun, Biru mau Bumi berhenti di jadikan bidak catur politik keluarga Bumantara.

Seminggu setelahnya Biru masih tetap datang di tempat itu, duduk memeluk lututnya sambil menatap pantulan cahaya di sungai. Angin sepoi-sepoi menerpa wajah cantiknya membuat rambutnya bergerak kecil di bawa angin. Biru merasa bosan kemudian membaringkan tubuhnya diatas rerumputan kemudian menutup matanya.

Kisahnya dengan Bumi itu terlalu sulit untuk di jelaskan, pertemuan mereka sangat klise tapi terlalu banyak benang kusut diantara mereka.

“Kamu kalau tutup mata sekarang kemungkinan besar akan terbuka lagi besok pagi.”

Biru membuka matanya menatap terkejut seseorang di sampingnya yang kini ikut berbaring balas menatapnya. Biru dengan gesit menindih tubuh pemuda itu kemudian menatapnya nyalang.

“Kenapa baru datang sekarang?”

“Tidak mudah untuk lari dari rumah sendiri.”

“Gak ada rumah yang penghuninya di rantai, Bumi.”

“Saya datang kesini untuk ketemu kamu, bukan untuk bahas yang lain.”

Biru mendengus sebal kemudian berbaring diatas tubuh Bumi, menyandarkan kepalanya di dada bidang pemuda itu. Bumi bangun membuat posisi mereka duduk dengan Biru yang kini tenggelam di dalam pelukan Bumi.

“Hal apa yang kamu korbankan untuk datang kesini?” Biru bertanya suaranya teredam di dada bidang Bumi.

Sebelum menjawab Bumi mengeratkan dekapannya menopang dagu diatas kepala Biru, “Maaf.”

“Aku gak butuh kata maaf dari kamu Bumi, aku butuh penjelasan.”

“Biru apapun yang terjadi ini kesalahan saya, seharusnya saya tidak menanggapi kamu waktu itu, seharusnya saya tidak memberi harapan untuk kamu, Ini salah saya yang bersikap ceroboh. Selalu ada hitam diatas putih di dalam keluarga Bumantara, ini kesalahan saya yang membuat nama kamu ada di dalamnya dan saya tidak akan membiarkan mereka menyentuh kamu.”

“Aku gak takut sama keluarga kamu, Bumi.” Biru melepaskan pelukannya menatap Bumi dengan wajah memerah menahan tangis.

“Kamu tidak tahu siapa mereka, Biru. Mereka bisa ngelakuin apa aja untuk menyingkirkan kamu dari saya.”

Hidup bertahun-tahun di dalam keluarga Bumantara membuat Bumi tahu betul tabiat keluarganya sendiri, Politik antar keluarga yang sanggup menyingkirkan siapapun yang di anggap sebagai benalu atau batu penghadang mereka menuju jalan yang mereka impikan.

Sedari Bumi lahir keluarga Bumantara sudah menentukan jalannya, Bumi tak pernah di beri pilihan untuk melakukan apapun semuanya telah tertulis Bumi ada hanya untuk menjalankannya saja, bahkan hingga saat ini Bumi tak pernah dibiarkan untuk memilih.

“Aku tahu siapa keluarga Bumantara dan aku gak takut.” Biru menegaskan suaranya.

“Itu tidak segampang yang kamu fikirkan.”

“Aku gak pernah bilang itu gampang, tapi pikirin diri kamu sendiri Bumi. Mau sampai kapan rantai tidak kasat mata itu merantai kamu? Mau sampai kapan kamu hidup menjadi bidak catur politik keluarga Bumantara?”

“Biru saya tidak punya banyak waktu, perjanjian waktu hitam diatas putih ini sebentar lagi berakhir dan saya mau kamu dengar ini langsung dari saya. Hari ini saya mau kamu yang berjanji untuk saya.” Bumi menautkan kelingking mereka.

Rasanya seperti dejavu, Biru ingat betul dia pernah melakukan hal yang sama dengan orang yang sama pula.

“Mari berjanji untuk tidak pernah bertemu lagi.”

Biru mencelos, dia kehilangan kata-katanya memang dia pernah melakukan hal yang sama dengan orang yang sama tapi dengan janji yang berbeda.

“Alubiru hari ini saya melepas kamu dan semua harapan yang pernah kita buat. Karena sejatinya Bumi tidak pernah di beri pilihan untuk mengikat seseorang, Alubiru senang bisa berbagi cerita dan rasa sayang dengan kamu.”

Bumi melirik jam di tangannya kemudian berdiri melangkah pergi meninggalkan Biru yang masih duduk terdiam di tempatnya dengan air mata yang perlahan menghiasi wajah indahnya, tak ada lagi binar indah di matanya.

Biru melihat di seberang jalan sebuah mobil menjemput Bumi pemuda itu langsung masuk tanpa melihatnya, itu membuatnya semakin merasakan sesak yang membuncah di dalam dadanya.

Biru menangis memegangi dadanya yang terasa sangat sesak dia terisak menatap langit malam yang kali ini kosong seolah tahu apa yang tengah dia rasakan.

Ternyata begini rasanya di campakkan.


Kalau kalian berfikir Biru tidak akan datang keteman itu lagi kalian salah besar pada kenyataannya tak ada satu haripun yang terlewatkan untuk terus berkunjung di taman dimana dirinya merasakan bahagia menemukan seseorang terkasih juga tempat dimana dia merasakan sakitnya di campakkan.

Biru memasukkan kedua tangannya kedalam cardigan berwarna coklat miliknya, menatap pantulan cahaya langit sore di tepian sungai. Ya, Biru memang masih sering melakukannya.

“Saya mengakui keberanian kamu untuk tetap datang ketempat ini padahal tempat ini sudah menjadi saksi kamu di campakkan begitu saja, Alubiru kapan kamu akan sadar kalau kamu sudah di tinggalkan.”

Biru berbalik menghadap kearah wanita itu yang kini melepas kaca matanya menatap biru dengan tatapan yang sama dengan waktu itu.

“Akhirnya anda datang juga, dari awal saya sudah tahu kalau saya akan di tinggalkan. Lantas kenapa saya masih datang ketempat ini?” Biru menjeda kalimatnya sebelum kembali melanjutkannya. “Jawabannya adalah anda, sulit untuk membuat janji dengan orang sibuk seperti anda tapi saya tahu kalau saya tidak perlu membuat janji untuk bertemu dengan anda karena anda sendiri yang akan datang menemui saya. Sebuah kehormatan bisa di datangi orang hebat seperti anda nyonya, Bumantara.”

Wanita itu tersenyum remeh, “Ternyata benar kamu menunggu saya, sebuah kehormatan juga bisa bertemu dengan Alubiru sosok yang hampir merebut Bumi dari herarkinya.

Kamu tahu alasan kenapa saya tidak pernah suka dengan kamu? Kamu hampir merusak semua rencana yang saya susun bertahun-tahun.”

Biru terdiam cukup lama mendengar penuturan wanita itu, “Anda tahu kalau yang anda lakukan itu salah? Bumi bukan alat balas dendam untuk keluarga Bumantara.”

“Alubiru kau tidak tahu apa-apa.”

Biru tertawa kenapa semua orang menganggap dia tidak tahu apa-apa soal keluarga Bumantara, “Kematian perdana menteri di tahun 1998 tahun yang sama dengan anda menikah dengan putra keluarga Bumantara atau lebih tepatnya di nikahkan secara paksa.”

Wajah wanita itu mendadak mengeras menatap Biru yang kini menatapnya tanpa ragu, “Perdana mentri itu ayah anda dia mati di singkirkan keluarga Bumantara karena menolak permintaan pernikahan anda dengan putra keluarga Bumantara.”

“Saya tidak akan pernah membiarkan kamu menyentuh Bumi barang sejengkalpun.” Ucap wanita itu dengan lantang.

“Saya sudah pernah bilang rantai yang membelenggu Bumi itu harus di lepaskan, kalau anda tidak bersedia untuk melepasnya maka saya sendiri yang akan melepaskan rantai itu.”

Sunghoon tersenyum menatap wajah wanita itu yang sepertinya terlihat cukup kesal, Biru mengulurkan tangannya di hadapan wanita itu. “Dan seharusnya dari awal saya memperkenalkan diri lebih baik di depan anda, Saya Sunghoon Alubiru Archandra putra tunggal keluarga Archandra rival politik keluarga Bumantara.”


Lima tahun kemudian

Lima tahun berlalu, terlewat dengan cepat begitu saja. Tak terasa pula lima tahun juga dia masih sering mengunjungi taman yang menyimpan banyak kenangan untuknya, ya, Biru masih sering mengunjungi tempat ini meskipun tidak sesering dulu.

Di usianya sekarang waktunya tidak lagi selenggang dulu hari ini dia sudah menjadi salah satu pion penting kekuarga Archandra.

Sebetulnya Biru tidak pernah berfikir akan kembali menerima penawaran orang tuanya untuk melanjutkan dinasti politik yang sempat dia tolak mentah-mentah karena benci dengan hal yang berbau politik, namun kenyataannya dia kembali menemukan alasan kenapa harus mau melanjutkan dinasti politik ini.

September kali ini lebih dimana udara musim panas masih tersisa, sore hari di taman ini terbilang cukup sepi taman ini tak seramai dulu, wisata baru banyak bermunculan membuat banyak orang melupakan tempat ini.

Biru berbalik hendak pergi dari tempat ini setelah milirik jam di tangannya, dia hendak menghadiri salah satu acara di ibu kota.

Biru berhenti ketika netranya menangkap sosok pemuda yang berdiri di seberang jalan tak jauh dari posisinya tengah menatapnya membuat Biru juga ikut menatap pemuda itu, mereka berdua terdiam saling menatap tak ada satupun dari mereka yang berniat mengeluarkan suara.

Lima tahun tidak bertemu tidak banyak yang berubah dari pemuda itu kecuali garis wajahnya yang semakin tegas, tubuhnya semakin tinggi pemuda itu terlihat semakin dewasa perawakannya terlihat sempurna, masih sama seperti dulu.

Tatapan matanya juga masih tak berubah masih sama seperti yang terakhir kali Biru mengingatnya, “Apa kabar?”

“Pertanyaan itu seharusnya di tanyakan kepada orang yang habis di campakkan begitu saja.” Pemuda di seberang sana itu terdiam tidak tahu harus membalas apa lagi.

“Tapi sepertinya 5 tahun sudah cukup untuk membuatku merasa lebih baik, lantas kamu sendiri apa kabar?”

Pemuda itu menatap Biru sepertinya tidak berekspektasi bahwa Biru akan membalasnya dengan seperti itu, “Seperti yang kamu lihat.”

Ada rasa sesak yang kembali singgah di dadanya ketika menatap senyum canggung pemuda di hadapannya itu, Biru menatap sekelilingnya yang mulai lenggang pengunjung yang masih setia mengunjungi taman ini satu persatu mulai bubar menyisakan beberapa orang yang masih enggan untuk meninggalkan tempat ini.

“Aku kira kamu sudah lupa dengan tempat ini.”

“Bagaimana bisa saya lupa dengan tempat yang mengunci banyak memori dengan seseorang yang sempat saya janjikan sebuah kebahagiaan tapi pada kenyataannya saya sendiri yang membuangnya di tempat ini.

Andai saja waktu itu saya punya pilihan mungkin saya dengan dia tidak akan pernah berakhir seperti ini.”

“Bumi, kamu tahu? Taman pertemuan pertama kita yang kini kupijaki sekarang terasa lebih dingin karena hari ini kita bertemu bukan sebagai Bumi dan Biru, tapi Heeseung Bumi Bumantara dan Sunghoon Alubiru Archandra rival dinasti politik.

Tapi terlepas dari itu tujuan aku masih tetap sama karena sampai hari inipun kamu masih tetap sama, rantai itu belum di lepas. Sama seperti yang pernah aku ucapkan ke nyonya Bumantara kalau kamu tidak bisa melepas rantai itu aku sendiri yang akan melepaskannya.

Bumi, hidupmu itu milikmu bukan milik orang lain.”

Bumi di seberang sana tersenyum tipis kemudian menangguk, “Saya tahu, itu sebabnya saya datang ke kamu.”

Biru sendiri tak bisa menahan senyumnya sekarang pemuda itu lebih berani. Lima tahun Bumi pergi nyatanya dia tidak meninggalkan Biru.

“Saya lihat hari ini kita punya jadwal yang sama di ibu kota, mau berangkat bersama?”

Selama hidupnya Bumi memang mungkin tidak pernah di beri pilihan, maka dengan itu dia membuat pilihannya sendiri. Mungkin juga memang benar hidup ini miliknya dia berhak atas dirinya sendiri.

END

Adronitis


Menjalani sebuah hubungan yang di dasari atas nama perjodohan itu memang tidak pernah semulus yang di bayangkan, awalnya sunghoon pikir ia tak akan apa-apa jika mereka membutuhkan waktu yang sangat lama untuk bisa saling mengenal dia akan menunggu, sunghoon tak apa jika mereka hanya bertukar sapa di pagi hari atau sekedar senyum canggung satu sama lain tak apa jika mereka tidur di atas kasur yang sama tapi dengan jarak yang memisah, tak apa jika dia hanya bisa menatap wajah sang suami ketika tidur.

Namun kenyataannya, semakin lama sunghoon semakin lelah dengan segala harapannya, lelah berdoa agar kelak mereka tidak akan hanya bertukar selamat pagi atau berbagai senyum canggung. Sunghoon ingin mereka bertukar senyum tulus tanpq kecanggungan dia ingin suatu saat mereka bisa berbagi cerita tanpa ada rasa canggung lagi, namun sepertinya tuhan enggan mengabulkan permintaannya dua tahun dalam pernikahan mereka tak ada yang berbeda masih sama seperti awal mereka memikah, sangat canggung.

Dua tahun dengan status pernikahan, dua tahun mereka tinggal seatap namun tak ayalnya hanya dua orang asing yang tinggal satu atap, seperti orang asing yang tak sengaja tinggal serumah atau singkatnya hanya roomate.

Sunghoon lelah dua tahun nyatanya tak membuahkan hasil, dua tahun dia bersabar dua tahun dia berharap dan dua tahun dia mencoba untuk lebih dekat dengan suaminya yang tidak membuahkan hasil apapun. Maka hari ini sunghoon menyerah, kali ini dia duduk dengan tangan yang di penuhi peluh mengetuk-ngetuk kursi beberapa kali untuk menghilangkan rasa gugupnya.

Sunghoon tidak tahu apakah ini sudah benar atau tidak, tapi dia ingin melepas segala rasa sesak di hatinya melepas segala rasa sedih yang membelenggu setelah sekian lama, sunghoon memilih menyerah dengan perasaannya sendiri.

“Sunghoon jangan gila, pisah bukan jalan satu-satunya.”

Itu kalimat terakhir yang di dengar sunghoon ketika panggilan telepon seluler itu berakhir, sehabis mereka bertukar pesan setelah sunghoon mengungkap segela keresahan hatinya jake segera menelfonnya mengatakan bahwa berpisah mungkin bukan jalan satu-satunya.

Namum sunghoon sudah menyerah, dia tidak bisa terus memperjuangkan orang yang bahkan mungkin tidak mengindahkan kehadirannya, sunghoon merasa bahwa berpisah adalah jalan terbaik untuk mereka yang memang sedari awal mereka adalah orang asing yang terpaksa tinggal seatap.

Sunghoon masuk kedalam kamar mereka meraih foto pernikahan mereka yang ada diatas meja nakas, sunghoon mengusap foto tersebut dengan pelan menatap sendu kedua orang yang saling bergandengan tangan sambil tersenyum satu sama lain itu membuat dadanya sesak menyadari bahwa di kenyataan mereka tidak akan pernah bisa seperti itu.

“Aku mau pisah.”

Di malam yang cerah hari itu sunghoon telah meyakinkan dirinya untuk menunggu heeseung pulang dan menyerahkan langsung selembar kertas pernyataan untuk mereka berpisah.

Pernyataan yang cukup untuk membuat heeseung diam membisu di tempatnya dengan sebuah tas dan sarung tangan tinju di tangannya, banyak hal yang berputar di dalam kepalanya seperti hari pertama mereka bertemu dengan penuh kecanggungan juga di hari pernikahan mereka yang terkesan cukup kaku hingga saat ini, heeseung sebetulnya paham kenapa sunghoon memilih untuk menyerahkan selembar kertas pernyataan untuk berpisah, namun heeseung menggeleng kemudian mengulurkan tangannya untuk mengambil surat itu kemudian kembali memberikannya dengan sunghoon secara pelan.

“Satu minggu, kasi aku waktu satu minggu.” Namun sunghoon memilih abai kemudian menggeleng.

“Aku mau pulang ke rumah aku, mas.”

“Kamu udah di rumah, kenapa mau pulang lagi?”

Sunghoon menggeleng matanya mulai berkaca-kaca, “Ini bukan rumah aku, mas. Rumahku ada di bandung rumah orang tuaku.”

Heeseung kembali di buat terdiam ketika melihat sunghoon mengusap air matanya diam-diam, lengan heeseung kemudian terulur untuk mengusap air mata sunghoon, “Satu minggu, kasih aku waktu untuk selesain pertandingan aku dulu. Kamu bisa pulang ke rumah orang tua kamu, tapi jangan pernah lupa rumah kamu yang sebenarnya.”

Percakapan malam itu membuat hubungan keduanya menjadi renggang, sunghoon pulang ke rumah orang tuanya seperti apa yang dia mau sedangkan heeseung semakin hari semakin sibuk dengan latihannya.

Peluh bercucuran di seluruh tubuhnya, memar di sana sini tidak heeseung pedulikan. Samsak tinju itu terus-terusan di pukuli tanpa ampun, membuat joongseong, pelatihnya memandang ngeri melihat betapa ekstrem nya latihan heeseung kali ini.

“Lo mau latihan sampai tenaga lo habis terus kalah di pertandingan atau gimana, sih? Gue tau lo semangat banget nunggu pertandingan ini tapi gak gini caranya, Lee.”

Heeseung tersadar dari kegiatannya kemudian memegangi samsak tinju yang bergerak kesana kemari kerena terlalu lama di pukuli, dia kemudian menatap samsak tersebut tidak sadar bahwa dia sepertinya berlatih terlalu berlebihan, pikirannya bekecamuk hingga tidak sadar bahwa dia memukuli samsak tinju terlalu lama.

Heeseung kemudian menatap jam dinding yang menunjukkan pukul sebelas lewat, waktu latihannya telah selesai dari 30 menit yang lalu dia kemudian membereskan barangnya bergegas untuk pulang. Jarak rumah dan tempat latihannya sebetulnya cukup jauh heeseung harus menaiki bus dan berhenti di persimpangan jalan, setelah turun dari bus dia akan berlari kecil sembari melatih pukulannya hingga sampai di depan pintu rumahnya.

Heeseung menatap rumah minimalis itu redup tak ada cahaya lampu yang biasanya masih menyala di semua bagian rumah, dia masuk kedalam rumah menaruh sepatunya di bagian rak di samping pintu menyalakan lampu yang biasanya masih menyala ketika dia pulang.

Ada rasa kosong yang menganggu ketika dia menyadari bahwa rumah ini lebih sepi dari biasanya, walaupun rumah ini sebetulnya memang sepi tapi tidak pernah heeseung merasa se sepi ini. Selesai mandi dan membereskan diri dia masuk kedalam kamar, hampa.

Tak ada lagi punggung yang selalu menyambutnya ketika dia masuk kedalam kamar, bagian pinggi tempat tidur yang biasanya di isi seseeorang itu kini kosong, mungkin ini yang seringkali sunghoon rasakan.

Heeseung merebahkan tubuhnya kemudian menghadap ke sisi kosong tempat tidurnya, biasanya sebelum terlelap dalam tidurnya heeseung akan menyempatkan diri untuk mengelus wajah cantik suaminya atau hanya sekedar menatap wajah cantiknya yang terkadang mengerut ketika memimpikan sesuatu.

Heeseung tersenyum mengingat kembali kebiasaan yang sering di lakukannya ketika sebelum tidur, “Cepat pulang ke rumah ya, hoon.”


Satu minggu tinggal di kediaman orang tuanya cukup banyak kebiasaan yang tidak pernah bisa sunghoon lupakan, seperti ketika di ruang tamu hingga larut malam menunggu seseorang dan kemudian terdiam ketika menyadari bahwa mereka tak lagi tinggal di satu atap lagi.

Awal kedatangannya seorang diri ke kediaman orang tuanya cukup membawa tanda tanya besar pada kedua orang tuanya, seperti menanyakan kenapa dia tidak datang bersama suaminya yang di jawab sunghoon dengan mengatakan bahwa dia hanya merindukan orang tuanya dan heeseung sibuk dengan pelatihannya membuat orang tuanya tak banyak bertanya lagi.

Namun seorang ibu adalah orang yang paling paham tentang anaknya sendiri, dia tidak bodoh untuk menyadari ada yang berbeda dari kepulangan anaknya ke rumah, maka hari ini di meja makan yang menyisakan mereka berdua karena sang ayah telah pergi ke kantor duluan sang ibu bertanya.

“Kamu kalau ada masalah cerita sama ibu, jangan diam aja ya, nak.” Sunghoon yang awalnya masih setia menyuapkan makanan masuk kedalam mulutnya terdiam.

“Sunghoon gak kenapa-kenapa kok, gak ada masalah apa-apa, aku pulang ya karena emang lagi kangen ibu sama ayah.”

“Sunghoon, ibu kenal kamu gak hanya setahun dua tahun. Ibu sering dengar kamu nangis tiap malam, kadang kamu larut malam di depan telvisi ngeliat ke pintu terus. Kamu ada masalah sama nak heeseung?”

Sunghoon yang terdiam pun juga menjadi jawaban iya kalau mereka tengah berada di dalam sebuah masalah yang tidak jelas jalan keluarnya.

“Ibu gak maksa kamu untuk cerita nak, tapi jangan pernah bersikap gegabah ya? Kalau ada hal yang tidak sepaham antara kamu dan nak heeseung di bicarakan baik-baik jangan ambil keputusan sendirian.”

Ada banyak hal yang kemudian di sadari sunghoon bahwa mereka memang tidak pernah membicarakan hal-hal dengan serius karena kecanggungan yang terus-terusan berada dianatara mereka.

“Aku minta pisah sama mas heeseung.”

Pernyataan yang cukup untuk membuat sang ibu berhenti dari segala kegiatannya kemudian beralih menatap putra tunggalnya yang tengah menunduk mempermaikan nasi diatas piringnya.

“Dua tahun kami nikah tapi kayak orang asing bu, gak ada alasan buat sunghoon tetap tinggal mas heeseung bukan rumahku.”

Sang ibu tersenyum kemudian berjalan mengambil tempat di samping putranya, menarik sunghoon kedalam pelukannya kemudian mengelus surai putranya.

“Sebenarnya perjodohan kamu dengan heeseung itu sempat di batalkan.” Ada jeda sebentar sebelum sang ibu kembali melanjutkan ucapannya, “Tapi heeseung menyakinkan ibu dan bundanya untuk tetap melanjutkan perjodohan kalian, dia bilang dia suka sama kamu meskipun kalian belum pernah ketemu langsung. Heeseung diam-diam sering datang ke kampus kamu untuk sekedar liat kamu kadang juga singgah ke rumah bawa makanan yang biasa kamu makan sepulang kuliah. Selama ibu kenal heeseung juga ibu tau dia itu bukan orang yang bisa terus terang tentang perasaannya tapi dia selalu punya bukti kalau dia sayang sama seseorang, di pikirkan baik-baik keputusan kamu ya, nak. Jangan nanti kamu menyesal karena perbuatanmu sendiri.”

“Tapi mas heeseung gak punya bukti kalau dia sayang sama aku bu.” Suara sunghoon teredam di ceruk leher ibunya menahan tangisnya.

“Coba ingat hal-hal kecil yang biasa dia lakukan sama kamu.”

Ingatan sunghoon kembali menerawang jauh kembali ke hari hari dimana dia masih tinggal seatap denga orang yang berstatus suaminya itu, sunghoon ingat setiap pagi sebelum pergi latihan dia selalu sempat menyiapkan sarapan untuknya yang terkadang lambat bangun, dia ingat tiap malam terkadang dia lupa memakai selimut saat pagi ketika dia terbangun tubuhnya di telah di balut selimut hangat, juga sunghoon ingat hari dimana dia meninggalkan berkas keperluan kantornya heeseung jauh-jauh datang ke kantornya untuk membawakan berkas yang tergeletak di meja makan di tengah waktu latihannya yang padat.

Sunghoon sadar selama ini dia hanya fokus pada mereka yang canggung tidak seperti hubungan rumah tangga orang lain padahal setiap orang punya caranya sendiri untuk mengungkapkan perasaan mereka tanpa harus di suarakan.

Maka dengan itu sunghoon segera bergegas ke dalam kamarnya meraih ponsel pintar miliknya, mencoba mengirimi pesan juga telfon ke nomor heeseung, sunghoon juga kemudian sadar bahwa seminggu dia mengirim pesan kepada heeseung tak ada satupun pesan yang terbaca membuatnya memutar otak dan menemukan satu kontak yang kemungkinan besar tengah bersama suaminya.

Suara dering bunyi cukup lama sebelum sebuah suara menyambut indra pendengarannya.

“Sunghoon, kenapa nelfon? Gue kira lo udah sampai di sini.”

Sunghoon sebetulnya sedikit bingung dengan ucapan dari pelatih suaminya itu.

“Heeseung dimana?”

“Lah, hari ini kan dia ada pertandingan. Gue kira dia ngajak lo buat nonton buat liat pertandingan terakhirnya.”

Sunghoon di buat banyak bertanya dalam hati, apa maksudnya pertandingan terakhir dan ajakan menonton.

“Hadiah ulang tahun pernikahan kalian yang kedua pertandingan terakhir heeseung dia bilang itu hadiah pernikahan kalian, dia pengen fokus sama kehidupan rumah tangganya dari sebulan yang lalu juga dia udah beli tempat buat ngejalanin usaha toko kue yang lo mau katanya.

Pertandingannya bentar lagi mulai, ayok nyusul kesini semangatin suami lo.”

Sambungan telfon terputus sunghoon masih tidak percaya dengan fakta yang baru saja dia ketahui, bahwasanya heeseung diam-diam membaca catatan keinginannya yang di simpan di dalam laci di samping tempat tidur.

Sunghoon mengambil hoodie maroon yang biasa heeseung pakai ketika latihan, hoodie yang sengaja sunghoon bawa entah untuk alasan apa. Hoodie bertuliskan nama heeseung dengan logo sarung tinju di bawahnya, sunghoon memakai hoodie itu kemudian lantas mengambil kunci mobilnya bergegas menuju tempat pertandingannya.


Sunghoon sampai di sebuah gedung setelah dua jam lebih melakukan perjalanan, sunghoon masuk dengan terburu-buru detak jantungnya berpacu seirama dengan langkahnya yang semakin cepat.

Butuh waktu yang lama untuk sampai ke tempat ini jalanan sempat macet membuat sunghoon berdoa dalam hati semoga dia tidak terlambat. Sunghoon masuk kedalam ruangan dimana banyak sekali penonton yang bersorak riang meneriakkan nama suaminya.

Di dalam ring sana sunghoon bisa melihat heeseung yang tengah beradu pukulan dengan lawannya, sunghoon kemudian menerobos ketempat duduk kosong di sebelah ring pertandingan.

Untuk pertama kalinya sunghoon melihat langsung bagaimana heeseung di atas ring, bagaimana dia melesakkan tinjunya ke pada lawannya juga tatapan mengintimidasi yang tidak pernah sunghoon linat sebelumnya, heeseung yang ada di atas ring tinju ini adalah orang yang berbeda.

Ada rasa nyeri melihat bagaimana memar di seluruh tubuh heeseung, di sudut pipi kiri dan kanan juga bagian hidung yang lecet dan mata kirinya yang terlihat sedikit membengkak lawannya kali ini adalah lawan yang sepadan dengannya. Berkali kali heeseung terhuyung berkali-kali juga dia membalas lawannya membuat sunghoon kadang menutup mata tak sanggup melihatnya.

Ronde kesebela berkahir mereka di biarkan beristirahat, sunghoon rasanya ingin menghampiri heeseung yang terlihat kelelahan apalagi dengan memar di sekujur tubuhnya, sunghoon tak pernah tahu bahwa pertandingan tinju akan separah ini.

Joongseong yang sedari awal menyadari kedatangannya lantas menyentuh bahu heeseung mengarahkan heeseung untuk melihat kearahnya, heeseung segara menengok bersitatap dengan sunghoon yang berada di kursi penonton, sunghoon rasanya ingin menangis ada perasaan membuncah di dalam hatinya ketika melihat heeseung dia tidak bisa menahannya kemudian mengusap air matanya sambil tersenyum kearah heeseung kemudian mengucap 'Semangat' tanpa suara di sertai dengan gerakan tangan yang membuat heeseung tersenyum mengangguk menanggapinya sebelum kembali melanjutkan pertandingan.

Pertandingan berlangsung semakin sengit membuat sunghoon kembali meringis kesakitan membayangkan betapa keras pukulan yang beberapa kali mengenai heeseung membuatnya menggigit kuku khawatir.

Kemudian pada detik terakhir heeseung berhasil menjatuhkan lawannya, yang membuat wasit langsung mengangkat satu lengan heeseung mengumumkan bahwa pertandingan ini telah di menangkan membuat beratus-ratus penonton bersorak ke girangan.

“Lee heeseung berhasil memenangkan pertandingan kelas beratnya yang juga menjadi pertandingan terakhirnya selama sepuluh tahun berkarir di dunia tinju, hal ini telah di putuskan sejak beberapa bulan lalu bahwasanya Lee heeseung akan berhenti dan fokus dengan hubungan rumah tangganya yang telah berlangsung selama dua tahun.”

Pernyataan dari sang juri yang berada di samping ring cukup membuat semua penonton terkejut mengetahui bahwa ini adalah pertandingan terakhir juga tentang heeseung yang telah menikah selama dua tahun lamanya, membuat orang banyak bertanya-tanya siapa orang yang berhasil mencuri hati si petinju legendaris ini.

Sesaat setelah heeseung turun dari ring heeseung berjalan dekat kearah penonton membuat semua menonton menatap serius heeseung yang tiba-tiba merentangkan kedua lengannya, wajah sunghoon memerah malu sebelum akhirnya berlari memeluk heeseung kemudian menangis di dalam pelukannya.

“Maaf.” Hanya itu yang mampu sunghoon katakan.

“Maaf udah ragu sama kamu, maaf karena aku bertindak tanpa minta pemdapat kamu maa—”

“Jangan minta maaf terus, ini bagian aku. Maaf karena gak pernah terus terang sama kamu, maaf dua tahun ini aku kayak gak pernah ngelakuin apapun buat kamu, maaf udah ngebuat kamu hampir nyerah sama aku, dan makasih udah mau bertahan sampai sini.

Hari ini aku ngelepas titel aku sebagai petinju untuk fokus sama kamu fokus sama keluarga kita, aku sadar dua tahun ini berjalan berat buat kamu kita mulai satu-persatu lagi, ya?.”

Sunghoon mengangguk masih terisak di salam pelukan heeseung, “Kamu harus janji, setelah ini kita bicarain semuanya bareng-bareng, di hubungan ini ada kita berdua bukan cuma aku atau kamu, jangan biarin kesalahpahaman ini terjadi dua kali.”

Heeseung tersenyum kemudian mengecup pelipis sungghoon pelan, “Selamat hari ulang tahun pernikahan kita yang kedua tahun, Lee sunhoon sorry, thank you and i love you.

Dari hari ini sunghoon belajar bahwa sejatinya cinta atau kasih sayang bukan sekedar ucapan tapi tentang pembuktian. Juga banyak orang yang mungkin sulit untuk menyuarakan perasaannya, tapi mereka selalu punya cara tersendiri untuk membuat seseorang tersebut merasa di sayangi dan berhaga.

Mungkin sunghoon sempat ragu dengan heeseung, sempat merasa bahwa mereka adalah orang asing yang tinggal seatap tapi heeseung berhasil menjawab segala keraguannya juga membuktikan bahwasanya mereka bukan orang asing yang tinggal seatap.

Fin

Kama Sutra


Bicara tentang sunghoon dari perawakannya seperti pemuda itu adalah pemuda baik yang kehidupannya lurus-lurus saja, apalagi wajah manisnya yang membuat siapapun tidak akan menolaknya ya walaupun ini tampang luarnya, siapa yang menyangka si manis bermulut kasar ini nyatanya seorang slut di bawah umur yang namanya tersohor di kalangan orang-orang yang berkecimpung di dunia malam.

Dia adalah aset berharga milik club Vivi, pemuda manis dengan harga selangit. Bayarannya untuk sekedar servis menemani makan atau jalan serharga 5 milyar belum lagi biaya tambahan ketika waktu sevisnya lewat dari perjanjian. Bayaran untuk tidur dengannya itu setara dengan membeli 5 mobil lamborghini biaya fantastis untuk seukuran remaja 18 tahun.

Di sekolag juga sunghoon tampak biasa saja, siswa dengan nilai standar yang sering ketiduran di saat jam pelajaran tiba punya kebiasaan berucap kasar kontras dengan wajah manisnya yang menipu dia mendapati julukan si manis bermulut kasar dari teman sekelasnya yang setiap hari mendengarnya mengumpat dan bicara tak senonoh seolah itu adalah hal yang wajar di lakukan.

Tak ada yang menarik perhatiannya di sekolah, sunghoon merasa kehidupan sekolahnya sangat datar dia lebih suka melayani dan menggoda pria tampan kaya raya di club Vivi.

Ah, atau ada satu hal yang selalu membuat sunghoon tertarik jika itu terjadi, pembullyan teman kelasnya. Itu terlihat seperti pertunjukan yang menarik untuknya meskipun tidak se seru perjudian para petarung terkenal di dalam klub vivi setiap sabtu malam, tapi setidaknya ini menghiburnya di sekolah.

Sunghoon bertopang dagu diatas meja menatap siswa sok berkuasa menindas teman kelasnya sendiri dengan tidak manusiawi, pemuda dengan kacamata bulat besar itu berkali-kali terhuyung kesana-kemari kelimpungan mencari tumpuan karena tubuhnya terus di pukuli tanpa ampun, sesekali dia tergeletak di lantai namun di bangunkan paksa lalu kembali di pukuli beramai-ramai.

Sunghoon mendengus bosan melihat pemuda itu tidak melawan sama sekali justru membiarkan tubuhnya menjadi samsak tinju manusia-manusia kurang beradab di dalam kelasnya itu. Setelah puas menghajar si kacamata mereka berlalu meninggalkan pemuda itu yang tergeletak tak berda mencoba bangun bersandar pada dinding kelas, luka memar dimana-mana nafas juga tidak teratur.

“Di banding mereka yang memukulimu, aku lebih muak melihat orang sepertimu pengecut yang membiarkan dirinya menjadi samsak tinju orang lain.”

Pemuda itu sedikit terkejut memandang plaster dengan gambar kartun lucu yang di berikan padanya, sunghoon mendengus menggerakkan tangannya agar pemuda itu segera mengambil plaster dari tangannya. Pemuda itu tak banyak bicara mengambil plaster itu dengan pelan sesekali meringis merasakan nyeri di sekujur tubuhnya.

Sunghoon segera pergi dari tempat itu meninggalkan si kacamata yang menatap punggungnya mulai menjauh kearah pintu kelas.

Namanya Lee heeseung samsak tinju manusia-manusia kurang beradab di dalam kelasnya, sunghoon tidak akan pernah menyukai pengecut yang membiarkan dirinya menjadi samsak tinju orang lain.


Lampu kerlap kerlip berpadu dengan alulanan musik memekakkan telinga, dengan pakaian santainya sunghoon masuk kedalam klub tersebut naik keatas di bagian tangga menatap lautan pendosa di bawah sana yang sudah kehilangan kewarasannya, ad yang bercumbu bahkan bersetubuh dengan tidak tahu malunya di kerumunan orang-orang, toh tidak akan ada yang peduli juga itu adalah hal yang biasa di sini.

“Oh, sunghoon kenapa tidak kebawah?” Ucap manita dengan dress merah selutut juga dengan lipstik senda yang menambah kesan seksi juga sangar pada wanita itu.

“Tidak tertarik, apa tidak ada yang memesanku malam ini? Atau mereka sudah kehabisan uang? Sial, haruskah aku turunkan harga?” Wanita itu terkekeh mendengar gerutuan sunghoon.

“Aku lupa memberitahumu, ada yang menyewamu selama setahun.” Sunghoon melotot kaget menatap wanita itu yang kini beralih menghisap sepuntung rokok di tangannya.

“Wow, pria tua kaya raya mana yang sanggup menyewaku selama setahun?.” Gila, satu kata yang terlintas di dalam benak sunghoon saat mendengar ada orang yang berani menyewanya selama setahun, sebegitu kesepiannya kah dia atau bosan dengan harga standar atau bagaimana sunghoon tak habis pikir.

“Bukan pria tua, dia seumuran denganmu. Sejujurnya itu pertama kali aku melihatnya datang ke klub vivi tadi malam.” Wanita itu menjelaskan membuat sunghoon langsung menatap minat padanya.

“Benarkah? Sekaya apa dia sampai sanggup membayar sebanyak itu?”

“Lebih dari yang kau bayangkan, atau mungkin saking kaya nya kau sampai tidak bisa membayangkannya. Kudengar dia punya bisnis entah bisnis apa yang di jalaninya sampai bisa sekaya itu.” Wanita itu menghembuskan asap rokoknya pelan sambil terkekeh menggeleng mengingat kejadian semalam dimana untuk pertama kalinya seseorang datang membawa uang yang begitu banyak hingga dia sendiri kelabakan melihat berkoper-koper uang itu.

“Itu artinya setahun ini aku tidak melayani siapapun kecuali dia, kan?” Wanita itu mengangguk membuat sunghoon mendengus membayangkan dia tidak tidak bisa menggoda pria kaya raya lainnya selama dia di kontrak. “Siapa namanya?”

“Dia tidak menyebutkan namanya, dia bilang biar kau sendiri yang tahu nantinya. Dia bilang besok seseorang akan datang menjemput membawamu kepadanya, bersenang-senang lah dengan si tampan itu sunghoon.” Sunghoon masih tidak habis pikir.

Wanita itu kemudian berpamitan sebelum pergi mengecup pipi sunghoon kemudian berbisik pelan, “Jadilah anak baik di depan tuanmu.”

Keesokan paginya sunghoon telah selesai membereskan apartemennya juga sudah mandi setelah seseeorang dengan pakaian serba hitam datang mengetuk pintu dan bilang dia adalah orang suruhan untuk menjemputnya, sunghoon tak banyak bertenya langsung segera pergi tanpa membawa apapu kecuali tubuhnya yang di balut celana training berwarna hitam dan hoodie oversize yang membuat tubuh kecilnya tenggelam di balik hoodie besar itu. Sunghoon tak membawa apapun karena dia tau hidupnya akan terjamin dengan orang itu sesuai dengan perjanjian yang ada.

Sunghoon kira perjalanan ke rumah orang yang menyewanya itu tidak memakan waktu yang lama, terhitung sudah satu jam sejak dia masuk kedalam mobil dan mereka masih berada di perjalanan yang sepenglihatan sunghoon semakin jauh dari kermaian membuatnya cukup was was dia berada dalam bahaya.

“Saya tidak tahu apa yang sudah anda lakukan kepada tuan muda hingga dia menyuruh saya menjemput anda menuju kediamannya yang tidak pernah di sentuh siapapun.” Sunghoon sedikit banyaknya bertanya dalam hati sebenarnya orang seperti apa tuannya kali ini?.

Satu setengah jam mereka lewati, kini mobil yang di tumpangi sunghoon berbelok dari jalan raya masuk kedalam sebuah jalan sepi di kelilingi pohon-pohon besar yang semakin jauh jalannya semakin rusak, membuat sunghoon mendadak parno melihat mereka kini jauh dari keramaian kota. Mata sunghoon terbelak kaget saat mobil mereka masuk kedalam sebuah halaman mansion megah.

Orang tidak waras mana yang membangun mansion di tengah hutan?

Sunghoon memainkan kuku jarinya pelan nenatap bagaimana mansion megah ini berdiri di kelilingi pohon lebat. Orang seperti apa tuannya kali ini?.

“Anda langsung segera masuk, tuan muda sudah menunggu anda di dalam.” Sunghoon hanya mengangguk kemudian melangkahkan kakinya masuk kedalam mansion tersebut.

Mungkin memang benar kata wanita itu semalam lebih dari yang sunghoon bayangkan atau bahkan saking kayanya sunghoon tidak bisa membayangkannya, masion megah di tengah hutan ini sudah cukup menjadi bukti kalau tuannya kali ini bukanlah orang sembarangan.

Sunghoon mentup pintu mansion perlahan tanpa menimbulkan bunyi, jalan mengendap ngendap sembari menatap takjub isi mansion ini, mulai dari lukisan mahal dan pandangan sunghoon tertuju pada sebuah patung naga emas yang berada di samping tangga menuju lantai dua, matanya terbelak tangannya menutup mulutnya yang menganga terkejut melihat patung itu.

Itu patung naga emas yang lima bulan lalu di beritakan hilang dari museum negara, sunghoon ingat betul gambar patung naga emas itu persis dengan yang ada di hadapannya kali ini.

Sebenarnya dia sedang berurusan dengan siapa?

Kakinya kini melangkah naik keatas tangga menuju lantai atas masih mencari dimana keberadaan orang yang di maksud sopir yang membawanya kemari, tepat di injakan anak tangga terakhir sunghoon menghentikan langkahnya kembali di buat terkejut dengan apa yang di lihatnya.

Bagaimana bisa ada akuarium besar berada di mansion ini, buka bukan perkara itu yang membuat sunghoon terbelak kaget tetapi isi di dalam akuarium itu bukan ikan cantik atau ikan pari seperti di akuarium biasanya, tapi hewan dengan mulut besar bergigi tajam sedang menguyah sepotong daging berdarah di dalam sana.

Sunghoon melihat punggung pemuda yang berdiri membelakanginya menatap bagaimana orang itu biasa saja melihat predator air itu mencabik-cabik daging berdarah di dalam sana.

Orang waras mana yang memelihara 3 ekor hiu di dalam mansionnya?

Tolong katakan pada sunghoon bahwa apa yang ada di hadapannya ini adalah halusinasi karena masih belum bisa membayangkan seberapa kayanya tuan nya kali ini.

Hiu itu menyantap makanan mereka dengan lahap berebut mencabik-cabik daging yang di masukkan kedalam sana. Pemuda yang sedari tadi mememungguinya itu perlahan mulai menyadari kehadiran sosok pemuda yang beridri meremat lengan hoodienya dia sebetulnya sudah dari tadi melihat pantulan pemuda itu dari kaca akuarium dia ingin tahu seberapa tahan pemuda itu untuk tidak segera lari dari tempatnya, namun dugaannya benar pemuda itu tidak lari dia masih diam di tempatnya ketika dia membalikkan tubunya agar bersitatap dengan pemuda di ujung tangga itu.

Sunghoon belum selesai dengan keterkejutannya sebelum kembali di buat terkejut ketika pemuda yang sedari tadi membelakanginya itu kini beralih menatapnya.

Tatapannya kali ini berbeda dengan yang sunghoon lihat terakhir kali, juga penampilannya berubah seratus delapan puluh derajat, dengan kemeja putih yang lengannya sengaja di gulung memperlihatkan sebuah tatto di lengannya bertuliskan namanya dalam huruf kecil.

Lee heeseung

Tak ada lagi tatapan mata yang memandang takut-takut juga kaca mata bulat yang biasa bertengger di hidungnya kini hilang, tergantikan paras rupawan yang membuat sunghoon terkesima.

“K-kau?”

“Welcom home park sunghoon.”


Banyak waktu yang mereka lewatkan berbincang di meja dengan dua kursi yang berada di akuarium, sejujurnya suasannya cukup canggung bagi sunghoon melihat bagaiaman orang yang selalu di tindas di dalam kelasnya itu sekarang terlihat sangat berbeda. Urat-urat lengannya menonjol di balik kulit putihnya, dada bidang juga bahu yang lebar. Bagaimana bisa dia terlihat sangat berbeda ketika di sekolah.

“Apa begini caramu melayani tuanmu, park?” Ucapnya setelah meminum segelas wine yang ada diatas meja. “Show me, your servis park. Kau tahu aku tidak membayar hanya untuk melihatmu memaikan lengan hoodie itu.”

Sunghoon merasa tertantang, melihat kekehan meremehkan dari bibir pemuda itu, maka dengan itu sunghoon berjalan kearah heeseung dan naik keatas pangkuannya mengalunkan satu lengannya di leher sang dominan sedangkan satu tangannya membelai wajah pemuda lee itu.

Heeseung memandangi wajah manis heeseung menikmati bagaimana jari lentik itu membelai setiap inci wajahnya, mulai dari rahang, dagu hingga tangan sunghoon kini berada di depan bibir heeseung mengusapnya dengan sensual.

“*Can i kiss you, master?”

Heeseung menarik satu sudut bibirnya, “Sure, you can do anything you want, little slut.

Maka tanpa di suruh lagi sunghoon langsung menabrakkan bibir mereka, awalnya hanya sebuah kecupan ringan sebelum heeseung menjilat bibir sunghoon membuat sunghoon sempat terdiam sebentar sebelum sunghoon kembali mempertemukan kedua belah bibir mereka. Saling memangut, menyesap bibir bawah dan atas secara bergantian.

Ciuman yang semakin lama semakin dalam, sunghoon melesakkan lidahnya masuk kedalam bibir heeseung, yang membuat heeseung segera menyesapnya lama membuat sunghoon melenguh, mereka saling membelit lidah dengan liur yang meleber kemana-kemana.

Di tengah ciuman panasnya sunghoon menggesek bagian bawah mereka dengan frustasi, sunghoon tidak habis pikir bagaimana dia bisa sefrustasi ini hanya karena sebuah ciuman liar.

Sunghoon tak pernah tahu bahwa si culun tertindas di dalam kelasnya ini adalah pencium handal, dia mampus membuat sunghoon bergerak frustasi diatas pangkuannya.

Mereka masih saling memangut, menggesek bagian bawah mereka yang sama-sama masih terbalut kain sunghoon melepaskan kalungan tangannya di leher heeseung kini beralih membuka satu persatu kancing kemeja putih milik heeseung, heeseung sendiri tak keberatan kini justru membantu si manis membuka kemejanya yang frustasi dengan ciuman juga gesekan bagian bawah mereka.

Sunghoon bersemu tatkala melihat bagaimana otot perut pemuda yang memangkunya ini terbentuk dengan sempurna, sunghoon melepaskan ciuman mereka yang menciptakan benang silva yang menghubungkan mereka heeseung terkekeh sebelum kembali mengecup bibir sunghoon untuk memutus benang silva tersebut.

“Hanya itu?” Pertanyaan meremehkan heeseung itu membuat sunghoon menggeleng.

Sunghoon kini berdiri dari atas pangkuan heeseung, melepas celana trainingnya dengan mudah memperlihatkan penis merah mudanya yang menegang. Sunghoon hendak membuka hoodienya sebelum heeseung kembali menariknya untuk duduk diatas pangkuan sang dominan.

I don't tell you to open your clothes, kitten.” Heeseung memandang wajah memerah sunghoon karena dengan dengan sengaja menyentuh penis mungilnya, menyentuhnya main-main membuat sunghoon kembali mengerang frustasi.

“U-uuhh, d-don't call me kitten, masterr—ahhh.” Sunghoon mendesah keras saat heeseung kembali mengocok penisnya dengan keras.

So, tell me what.

Wajah sunghoon memerah menahan desahannya karena heeseung masih terus mengocok penisnya tanpa ampun, “A-aahh, call me l-little slut, master.”

“Right, sepertinya aku juga menyukai panggilan itu.” Heeseung berhenti menggerakkan tangannya di penis sunghoon, membuat si manis mengerenggut tidak suka kemudian berinisiatif untuk menggoda tuannya.

Sunghoon kembali menggesekkan selangkangan mereka mencoba menggoda heeseung yang sama sekali tidak bergeming justru menatap pemuda di pangkuannya itu dengan tanda tanya.

M-master help me pweasee.” Sunghoon menatap heeseung dengan tatapan memohonnya membuat heeseung berguman pelan.

Fuck, i warn you park don't look someone else like that.

“Yy-yessh master aaahk.” Sunghoon melenguh keras saat satu jari heeseung berhasil masuk kedalam lubangnya.

Mmoree ahh moreee masterhh n-ngahh.” Heeseung kembali menambah satu jarinya untuk masuk kedalam lubang si manis menggerakkannya dengan gerakan menggunting sebelum kemudian sebuah ide nakal terlintas dalam benaknya.

Heeseung melambatkan gerakannya sangat lambat membuat sunghoon melenguh frustasi dia tidak suka di permainkan seperti ini, “Lebih cepat mmmhh, pleasee master.”

Namun heeseung tak mendengarkannya kini justru mengeluarkan kedua jarinya membuat sunghoon merasa kosong di bawah sana, belum sempat sunghoon protes heeseung sudah membawanya kedalam satu ciuman basah dan dalam kembali beradu lidah di dalam sana, sunghoon mengerang setiap heeseung menyesap lidahnya.

Ciuman panas itu kini semakin turun ke leher si manis, heeseung sama sekali tidak berniat melepas hoodie yang melengket di tubuh sunghoon dia punya fantasi liar dengan hoodie yang menggantung di tubuh sunghoon.

Kecupan dan gigitan di leher dan dadanya itu membuat sunghoon tak mampu berfikir jernih, heeseung sangat suka bagaimana sunghoon mengerang frustasi diatas pangkuannya dengan hoodie yang menggantung di tubuhnya. Dia kemudian menarik hoodie itu keatas menyuruh sunghoon untuk menggigitnya.

“Gigit, gigit little slut atau aku tidak aka memuaskanmu.” Sunghoon yang tidak ingin kenikmatannya berakhir begitu saja langsung menggigit kain hoodie itu, membiarkan heeseung bermain di dadanya, jilat, kecup, hisap dan gigit.

Kegiatan panas itu belanjut kini dengan sunghoon yang terburu-buru membuka ikat pinggang yang melilit di tubuh heeseung, dia tahu bahwasanya heeseung sedari tadi hanya bermain-main dengannya menunggu sunghoon sadar untuk bergerak sendiri mencari kenikmatannya.

Sunghoon membuka seleting celana heeseung mengeluarkan penis besar yang juga tak kalah mengeras dari miliknya sunghoon turun dari pangkuannya kini berdiri tepat di hadapan penis tegang heeseung.

Dia memasukkan unung penis itu menjilat lubang pipis itu sambil menatap heeseung yang kini menahan desahannya merasakan bagaimana mulut lembab sunghoon membungkus penisnya.

“Mmmffhh.” Suara desaahan sunghoon tertahan ketika ujung penis heeseung menyentuh tenggorokannya masuk terlalu dalam.

Sunghoon mengeluarkan penis heeseung dari dalam mulutnya ketika di rasanya penis itu sudah cukup basah dengan lirunya, kini kembali merangkak naik keatas pangkuan heeseung memegang penis heeseung kemudian mengarahakannya masuk kedalam lubangnya.

“Aaahh— too big, nng-ahhh.” Sunghoon mendesah pelan saat seluruh penis heeseung tertanam kedalam lubangnya dengan sempurna.

“Fuck.” Heeseung ikut mendesah saat sunghoon mulai mengalunkan tangannya di lehernya dengan pinggulnya bergerak naik turun mencari kenikmatan.

“Aaah, masterrhh.” Sunghoon bergerak naik turun kemudian memutar membuat heeseung berguman kenikmatan sebelum akhirnya mendaratkan bibirnya di bau pemuda itu mengecupnya pelan sambil mendesah merasakan bagaimana lubang sunghoon meremas penisnya denga kuat.

Sunghoon kaget saat penis heeseung masuk begitu dalam ketika dia berdiri sambil mengangkat sunghoon meletakkan kedua tangannya di lipatan lutut sunghoon kemudian menggerakkannya naik turun membuat sunghoon mendesah nikmat karena penis heeseung masuk sangat dalam menyentuh titik nikmatnya.

“No, no please master, jangan di sini.” Sunghoon mengalunkan tangannya erat saat heeseung membawanya mendekat kearah akuarium dimana 3 hiu itu sedang bernang kesana kemari memperlihatkan taringnya yang tajam, membuat sunghoon bergidik ngeri.

“Padahal bersetubuh di hadapan hiu itu terlihat sangat menggairahkan, tapi kita bisa lakukan itu lain kali jika kau tidak mau.” Heeseung membawanya kearah salah satu kamar di lantai dua mansion milik heeseung.

Ruangan dengan red lights itu menyambut mereka heeseung segera membaringkan tubuh sunghoon di atas kasur king size miliknya. Dia kembali menangkap bibir sunghoon kedalam sebuah ciuman, menghisap dengan lembut sampai sunghoon membalas ciumannya yang di iringi dengan desahan karena pinggulnya masih bergerak maju mundur di lubang milik sunghoon.

“Ahhh, t-too deep masterhh.”

Desahan sunghoon kembali memenuhi ruangan ketika heeseung bergerak semakin brutal di bawah sana menumbuk titik terdalam milik sunghoon dengan brutal menggeram rendah merasakan miliknya yang tercengkram di dalam sana.

“Masterrh more pweasee, ahh moreee.”

As your wish, little slut.

Sunghoon memejamkan matanya erat, tangannya yang hanya mengalun lemah kini beralih memeluk leher heeseung erat dengan tubuhnya yang terhentak hentak karena gerakan heeseung yang semakin cepat.

“Heeseung- uuhh masterhh.”

Heeseung terdiam sebentar membuat sunghoon kebingungan dengan kenikmatannya kembali tertunda.

“Sebut namaku, jangan panggil aku master.” Sunghoon mengangguk bersamaan dengan

Tubuhnya menegang, pergerakan heeseung di bawah sana sangat terasa sunghoon tahu dia akan segera sampai, “H-heeseung, i-iwant to AHKK.

Heeseung menggeram merasakan dirinya akan segera sampai kemudian kembali bergerak brutal menjemput titik putihnya. “Fuck, Park sunghoon.” Heeseung menggigit leher sunghoon kuat saat mencapai pelepasannya.

Sunghoon menghela nafas panjang merasakan cairan heeseung memenuhinya. Tubuhnya melemas. Tangan heeseung terulur merapikan helaian rambut sunghoon yang berantakan akibat pergelumuran yang mereka lakukan, heeseung mendaratkan kecupannya di belah bibir sunghoon kemudian membaringkan dirinya di samping sunghoon memeluk pinggangnya dengan erat dengan miliknya yang masih tertanam di di dalam sunghoon.

Good night, sunshine.” Ucapnya kemudian mengecup puncuk kepala sunghoon.

Sunghoon mengangguk pelan di dalam pelukan heeseung, kemudian melihat kearah meja nakas melihat bingkai kaca berisi plaster gambar kartun lucu membuat sunghoon tersenyum sebelum menutup matanya menjemput mimpi yang menantinya di ujung sana.