Berantem itu di ring, bukan di sekolah
Sunghoon hampir stres tak habis pikir bagaimana bisa sebuah surat dari sekolah datang untuknya, surat pemanggilan orang tua.
Dan sunghoon langsung menelfon suaminya yang tengah di kantor, mendapat panggilan bahwa mereka di panggil untuk segera ke sekolah sang anak membuat heeseung langsung meninggalkan pekerjaannya dan bergegas ke rumah menjemput sunghoon untuk segera ke sekolah.
Sesampainya mereka di sekolah, mereka langsung di arangkan kearah ruang kepala sekolah dimana putra tunggal mereka telah duduk bersamaan dengan salah satu teman sekolahnya.
Sunghoon sempat melirik sebentar, melihat luka memar di sudut mata dan bibir sang anak membuatnya meringis tak tega.
Berbeda dengan anaknya yang hanya mendapati memar di sudut mata dan bibir, siswa yang berada di samping anaknya itu mendapati memar dimana-mana, bahkan masih ada bekas darah di ujung bibir dan hidungnya.
“Ini yang ketiga kalinya Rizki berkelahi dalam kurun waktu seminggu ini.”
•••
“Papa gak habis pikir kenapa bisa dalam seminggu ini adek tiga kali berantem sama teman yang sama.” Sunghoon yang masih memotong-motong sayuran terus-terusan bicara mengabaikan Riki yang sedari tadi berdiri di sampingnya.
“Papa dengerin iki dulu, iki berantem sama dia karena dia yang mulai duluan.” jelasnya.
“Tapi papa kan pernah bilang, kalau ada yang kayak gitu gak usah di peduliin, biarin mereka mau bilang apa gak usah di dengar.” sunghoon mencuci bersih sayuran yang habis di potong, masih enggan menatap sang anak yang sedari tadi meminta atensinya.
“Tapi, masa iki harus diam terus kalau dia udah ngeluarin kata-kata yang gak pantes.”
Sang anak kini mengalihkan pandangannya menatap sunghoon yang tadinya mencuci tangannya kini beralih mengusap matanya, membuat Rizki langsung menghambur kedalam pelukan papanya.
“Maaf, maafin iki papa, jangan nangis lagi, iki janji gak akan berantem lagi.”
Sunghoon hendak melepas pelukannya namun anaknya enggan melepas malah terus mengeratkan pelukannya sambil menggeleng.
“Iki gak mau lepas, kalau papa masih nangis, gak mau lepas kalau papa masih marah.”
“Lepas dulu, papa gak marah, papa gak marah sama adek.”
Sunghoon kini beralih mengelus punggung putra semata wayangnya, “Terus kenapa nangis?”
“Papa cuma sedih, adek gak pernah cerita soal ini, tiga kali adek berantem dan papa gak tau sama sekali.”
“Maaf, iki minta maaf, jangan sedih lagi. Iki gak suka.”
Sunghoon mengangguk sebentar kemudian melepas pelukan sang anak, kini beralih menatap memar yang mulai membiru di sudut bibir dan matanya.
“Obatin dulu lukanya, ya?”
“Papa yang obatin?”
Sunghoon mengangguk kemudian tersenyum mengusap surai sang anak.
•••
“Papa pelan-pelan, ini perih.” Iki meringis merasakan perih di sudut bibirnya.
“Baru segitu aja kamu udah ngeluh perih, gimana kabarnya sama teman kamu yang kamu tonjok habis-habisan itu, dia memar dimana-mana.” heeseung yang sedari tadi membaca koran di ruang tamu menyaut saat mendengar ringisan putranya.
“Ayah gak pernah ngajarin kamu buat main tangan, apa lagi ternyata kamu udah tiga kali berantem sama dia.”
Sunghoon terdiam menghentikan aktivitasnya mendengar heeseung membuka suara untuk pertama kalinya sepulang mereka dari sekolah untuk menjemput Rizki.
Begitu juga Rizki yang kini mulai menunduk, tidak berani melawan jika ayahnya sudah mulai angkat bicara.
“Kamu itu di sekolahin buat sekolah, bukan buat berantem, mau jadi apa kamu kalau berantem terus? kalau mau berantem itu di ring sana, ajak dia duel jangan di sekolahan, mau jadi sok jagoan kamu?”
“Ayah, ih udah, adek mau di obatin dulu.” sunghoon yang mulai menyadari heeseung mulai mendidih memilih untuk menengahi.
“Dia itu kalau gak di bilangin kayak gitu gak akan kapok.”
“Mas.”
“Habis ini temuin ayah di ruang kerja, ayah mau bicara sama kamu.” heeseung meletakkan koran yang sedari tadi di tangannya ke meja, juga kaca mata yang bertengger di hidungnya.
Rizki tidak menjawab, karena perkataan heeseung barusan itu adalah mutlak tidak untuk di bantah maupun di tolak.
Ayahnya memang jarang sekali marah sosok yang selalu menjadi panutan Rizki bahwa dia harus jadi seperti ayahnya yang sangat menyangi keluarga kecil mereka, selalu menomor satukan dirinya dan sang papa, bisa menjadi seorang teman dan sekaligus ayah yang tegas untuknya.
“Iki dengerin papa.” sunghoon mengarahkan sang anak yang sedari tadi menunduk untuk menatapnya, “Mau semarah apapun iki mukul teman itu tetap salah, bukannya papa ngebiarin kamu di tindas enggak, tapi iki harus liat situasi, itu area sekolah dan sekolah itu tempat buat belajar.”
“Papa gak membenarkan tindakan kamu, tidak menyalahkan juga, tapi harus hati-hati ya, ayah cuma emosi karena kamu hampir di keluarkan dari sekolah karena ternyata kamu sudah di beri peringatan beberapa kali.”
“Nah, lukanya udah di obatin semua.” sunghoon kemudian membereskan kotak P3K miliknya.
“Sekarang temuin ayah sana, dia gak akan ngapa-ngapain kamu ayah itu sayang sama kamu.”
•••
Rizki memutar kenop pintu perlahan, mengintip sebentar melihat ayahnya yang sedang fokus dengan layar laptop hingga memantul dari kaca matanya.
Heeseung melihat sekilas menatap Rizki yang mengintip di balik pintu, “Masuk, duduk.”
Dan tanpa di perintah dua kali dia langsung duduk menunduk di depan ayahnya yang masih fokus dengan laptopnya, tak lama kemudian heeseung menutup laptopnya menaruh kedua tangannya di depan dagu, menatap rizki.
“Ayah gak pernah ngajarin kamu kalau lagi bicara sama orang itu nunduk.” Rizki kemudian langsung menatap ayahnya yang memberi tatapan yang membuat rizki sedikit ketakutan.
“Maaf, yah.”
“Ayah gak tau harus ngapain lagi tadi kalau kepala sekolah kamu gak bisa di ajak bicara dan kamu di depak dari sekolah.”
“Iki minta maaf.”
“Jangan minta maaf terus, kemana kamu yang berani mukul teman kamu? kenapa sekarang nyalinya ciut?”
“Maaf.”
“Jangan maaf-maaf terus, kamu kenapa bisa berantem sama teman kamu sampai tiga kali.”
Rizki menghembuskan nafasnya pelan sebentar untuk membuka suara, “Awalnya iki gak apa-apa kalau dia ngejek iki aja, iki biarin sesuka dia buat ejek iki terserah dia, tapi iki gak terima dia udah mulai bawa-bawa ayah sama papa.”
“Dia boleh ejek iki sepuasnya, tapi gak boleh ejek orang tua iki.”
Rizki kemudian menatap ayahnya yang sedang membuka laci meja kerjanya mencari sesuatu, lalu memgeluarkan selembar brosur kedepannya.
“Lain kali kalau mau berantem ajak dia langsung ke ring, jangan jadi sok jagoan berantem di sekolah, bagusan kamu berantem di ring lepas baju sekolah mau patahin tangan dia juga gak apa-apa.”
Rizki menatap selembar kertas yang di berikan ayahnya, brosur kelas tinju.
“Daftar kesana, sekalian ajak temen kamu itu, bilangin kalau mau berantem kita ke ring langsung.”
Rizki kehilangan semua kalimat yang berputar di dalam kepalanya selama beberapa saat, kemudian menatap ayahnya yang kini tersenyum mengusap puncuk rambutnya.
“Lain kali kalau dia ada ngomong sesuatu lagi gak usah di pukul, ajak langsung dia ke ring.”
Rizki tertawa sebentar melihat senyum ayahnya yang kini kembali, tidak ada lagi aura mencekam yang menyelimuti mereka.
“Udah, ayo turun kita makan bareng papa, habis itu main game sampe tengah malam, sampe kamu puas.”
“Beneran?!”
“iya.”
Sunghoon tersenyum mendapati heeseung dan iki yang kini berjalan beriringan bercerita satu sama lain, iki menjelaskan dengan antusias sedangkan heeseung menanggapi dengan tak kalah antusiasnya.
Mereka makan malam dengan khidmat di selingi beberapa percakapan hangat, yang membuat sunghoon tidak berhenti memperlihatkan senyum indahnya.
Tak lama kemudian sunghoon mendapati gelagat aneh dari keduanya yang saling menatap, “Kalian ngapain sih?”
“Sekarang main rahasia-rahasiaan gak ajak papa, oke.” sunghoon pura-pura ngambek.
“Bukan gitu sayang, iki jelasin ke papa sana.”
“Gak mau ah, Ayah aja sana ini kan urusan Papa sama Ayah.”
“Kan kamu yang minta.”
“Kan ayah yang mau.”
“Kalian ini bicara apa sih?” Sunghoon mulai kesal.
“Iki katanya mau punya adek.”
Dan sunghoon tersedak air minumnya.