September ; sesesak ini ternyata jadi dewasa
Warnings! —little bit angst
Kendaraan berwarna putih itu melaju dengan pelan, menjauh dari padatnya aktivitas perkotaan, menjauh dari hiruk-pikuk perkotaan, menjauhi kebisingan yang hanya akan menambah kebisingan di kepalanya.
Sepanjang jalan yang jauh dari kata macet itu Sekala menikmati setiap hembusan angin yang menyapa kulitnya, udara khas pedesaan yang sangat segar. Mathari baru saja terbit di ufuk timur menemani perjalanannya yang mana membawa ketenangan jiwa.
Meskipun matahari baru saja menunjukkan intensitasnya banyak orang-orang yang sudah memulai paginya, dari sini Sekala bisa melihat beberapa anak-anak yang jalan berurutan di pematang sawah, petani yang mulai membajak sawah dengan kerbau, pemandangan yang tidak pernah di temuinya selama tinggal di kota sana.
Hamparan padi yang mulai menguning siap untuk di panen, sangat memanjakan mata, benar-benar tempat yang pas untuk bersinggah sejenak meredam suara-suara yang saling bersahutan di dalam kepala.
Anak-anak yang bermain di pinggiran pematang sawah di dekat jalan raya secara random menyapanya sambil tersenyum lebar membuat senyum manis terukir begitu saja di wajahnya.
Sebenarnya mencari kebahagiaan itu mudah.
Setiap orang mungkin punya caranya masing-masing untuk menenangkan pikiran dan menemukan kebahagiaan.
Juga punya cara sendiri untuk berdamai dengan diri sendiri.
Ini Sekala dan caranya berdamai dengan diri sendiri, belajar tentang kata cukup, dan arti sebuah perpisahan.
“Gandhi, hari ini apa kabar?”
Meskipun dengan alis bertaut bingung yang di tanyai menjab dengan seadanya seperti biasa.
“Baik, Sekala sendiri hari apa kabar?”
“Lebih baik, hari ini apa tuan Hatama Gandhi sudah bahagia?”
Lagi-lagi meskipun di buat kebingungan pemuda itu tetap menjawab dengan tatapan mendambanya yang tak lepas dari sosok di depannya itu.
“Gak pernah hariku dengan Sekala Bumi tidak bahagia, selalu bahagia.”
Senyum manis yang terpatri di wajah pamuda itu mau tak mau membuatnya ikut tersenyum, memang benar tak sehari pun dalam hidupnya Hatama Gandhi yang tidak bahagia jika bersama Sekala Bumi, sosok yang membumi seperti namanya.
Sekala yang berhati besar, Sekala yang selalu tersenyum indah, Sekala yang tidak pernah mengeluh apapun yang sedang di hadapi, Sekala yang selalu mencoba untuk menjadi orang yang berguna bagi orang lain, Sekala cintanya, Sekala kebahagiaan Hatama Gandhi, Sekalanya, Miliknya.
Setidaknya hari itu Gandhi masih bisa menyebut Sekala adalah miliknya sebelum sebuah benang tak kasat mata diantara mereka terputus, yang terpaksa di putus. Mukan mereka yang mau tapi memang harus di putus, agar mereka mengerti tentang kata cukup.
“Kalau sudah bahagia, berarti bahagianya sudah cukup ya, Gandhi?”
Gandhi termenung setelah mendengar penuturan dari pamuda di depannya yang kini menggengam hangat tangannya sambil menatapnya dengan tatapan yang tak akan pernah Gandhi lupa dalam hidupnya, tatapan yang sarat akan rasa sedih dan penuh dengan kepasrahan.
Dia menggeleng, “Sekala, apa artinya bahagia kalau itu tanpa kamu?”
Pemua itu menggeleng, “Sekala mohon, sampai di sini saja ya? bahagianya cukup sampai di sini kita tidak bisa lebih.”
“Enggak Sekala, sampai kapanpun kamu masih harus jadi Sekalanya Gandhi.”
Pemuda itu menahan tangisnya sebisa mungkin untuk tidak membiarkan air mata dam isakannya keluar, dengan gerakan pelan menangkup wajah gandhi, mencoba biacara meskipun kali ini suaranya mulai agak bergetar.
“Selamanya Sekala Bumi akan selalu menjadi milik Hatama, tapi Gandhi harus tau untuk tidak menggengam milik kita terlalu erat, Sebelum Gandhi menggengam terlalu elas sekarang coba untuk lepas perlahan ya?”
*Gandhi masih menggeleng hendak mengeluarkan suaranya sebelum kemudian Sekala mendahuluinya.
“Harus seagama tidak boleh di tawar.”
Kalimat yang meluncur dengan pelan dari mulut sekala itu membuatnya bungkam, diam seribu bahasa. Dalam diam Gandhi menertawai dirinya sendiri, menangisi betapa dunia mempermainkannya.
“Kita menginjak bumi yang sama, kota yang sama, tempat yang sama, amin kita sama tapi tidak sampai di tempat yang sama, tuhan kita beda, kita itu berbeda Gandhi.”
Gandhi menundukkan wajahnya yang masih di tangkup sekala, semua kalimat yang keluar dari mulut Sekala seoalah menamparnya dengan sangat keras, menjelaskan bahwa dari awal tak semestinya mereka bersama.
“Jadi, sebelum kita menentang terlalu jauh, sudah cukup sampai di sini saja.”
Kedua tangan Gandhi terangkat untuk menggegam tangan Sekala yang menangkup wajahnya, mengelusnya pelan sambil menatap binar Sekala yang tengah menahan sesuatu.
“Aku gak akan bisa merebut kamu dari tuhanmu, begitu juga sebaliknya kamu gak akan bisa merebut aku dari tuhanku.”
“Terkadang kita cukup berjalan dengan sejajar saja.”
Hari itu hari dimana Gandhi dan Sekala belajar tentang kata cukup, dan berhenti menentang apa yang seharusnya tidak boleh di tentang, belajar bahwa saingan mereka yang sebenarnya di sini adalah tuhan mereka sendiri, yang jelas mereka tidak akan pernah menang, tidak akan ada yang bisa mengalahkan cintanya tuhan kepada umatnya sendiri.
Sekala Bumi sama seperti namanya Sekala itu sosok yang membumi, menjadi sosok yang memberi banyak kenyamanan bagi banyak orang dengan caranya sendiri dimana pun dia berada, seperti sekarang, hanya dalam kurun waktu kurang dari satu hari dia sanggup berbaur dengan anak-anak pedesaan.
Duduk di pinggir pematang sawah dengan motor yang terpakir di jalan raya, Sekala berbagi banyak cerita dan tawa dengan anak-anak yang tadi menyapanya.
“Iya, di kota banyak bangunan yang tinggi sekali, ada mobil yanga kayak kamu bilang tadi, di kota sana mereka banyak sekali tidak terhitung berapa, tapi udara di sana tidak se segar di sini, jadi adik-adik semua harusnya merasa beruntuk masih bisa menghirup udara se segar ini.”
Anak-anak itu mendengarkan semua ucapannya dengan sangat antusias, Sekala banyak bercerita tentang kehidupannya di kota, bercerita tentang kehidupan kota yang gemilang, ramai dan sesak.
Anak-anak itu mendengarkan dengan baik, sesekali membalas dengan sangat antusias membuat Sekala semakin antusias bercerita.
Memang benar mencari kesenangan itu mudah, sama seperti mencari kebahagiaan, membumi bersama anak-anak ini saja sudah cukup untuk membuatnya bahagia.
Hari ini dia merasa lebih baik, pergi berkelana jauh mencari ketenangan juga jalan pulangnya dan pada akhirnya dia menemukannya, sekaligus menemukan jalan pulangnya untuk berdamai dengan diri sendiri.
Melepaskan kisah lalunya, Sekala tak melupa, dia melepasnya menjadikannya kepingan cerita pada buku lain, mengabadikannya dalam kisah lainnya, dan mulai menulis cerita baru di buku lainnya, buku lainnya dimana tidak ada lagi mama Gandhi di dalamnya, biarkanlah Gandhi menjadi sebuah kenangan yang nantinya akan dia kenang tanpa rasa sedih lagi, tetapi rasa bangga bahwa dia pernah memiliki sosok Hatama Gandhi pemuda hebat yang pernah menulis kisah indah bersamanya.
Kadang kita selalu bilang “Untuk apa mempertahankan hal yang tidak membuat kita bahagia? lebih baik di lepaskan saja.”
Padahal pada kenyataannya yang membuat bahagia juga kadang perlu untuk di lepaskan.
Jatuh cinta itu perihal hati, dan kita tidak bisa memilih kemana hati kita akan jatuh, entah itu ke seseorang yang kita kenal atau mungkin seseorang yang bahkan tidak pernah terlintas dalam benakmu sekalipun.
Jatuh cinta terkadang memang semenyakitkan itu.
Penawar dan racun paling ampuh.
Tapi proses penyembuhan dari rasa sakit itu yang membuat kita lebih kuat, dan lebih menghargai diri sendiri. Sekala memang masih tidak bisa mengatur dengan siapa kita akan jatuh cinta lagi pada nantinya, tapi setidaknya dia bisa mengatur dirinya untuk mencintai secara cukup, tidak kurang, tidak berlebihan.
Pada awalnya semuanya memang terasa sulit, menyesakkan tapi menyadarkan bahwa sesesak ini ternyata jadi dewasa.
Sesak yang mendewasakan di bulan September.