Dialog Lara

tentang mereka yang pernah melukis cerita bertajuk aku dan kamu meskipun tak berakhir menjadi kita.


Sore itu langit mendung, sedari pagi matahari enggan untuk memperlihatkan sinarnya lebih memilih bersembunyi di balik awan abu-abu membuat sebagian orang bersyukur karena tidak terlalu panas sebagiannya lagi mengeluh karena tidak bisa menjemur pakaiannya, setiap hal memang punya sisi positif dan negatifnya tergantung dari orangnya saja bagaimana.

Di temani dengan scoopy merah milik jake mereka sampai di sebuah kafe yang terletak di sudut kota tak jauh dari kosan mereka, jake masuk lebih dulu sedangkan sunghoon hanya mengikuti saja dari belakang sembari memperhatikan setiap sudut kafe yang di penuhi dengan ke—estetikaan tipe ideal untuk tempat tongkrongan pemuda-pemudi jaman sekarang.

Sejujurnya sunghoon cukup menikmati suasan kafe yang terlihat sangat tenang dengan cat hijau pastel yang di mix dengan beberapa tanaman hijau di beberapa sisi, menambah suasana tenangnya, mungkin lain kali sunghoon akan menjadikan tempat ini sebagai tujuan untuk menghilangkan rasa stres yang terkadang datang tiba-tiba.

Jake memperhatikan sekitar sebelum kemudian pergi menghampiri sosok pemuda yang berada di sudut ruangan tengah membelakangi mereka, sunghoon menyusul sembali menebak-nebak dalam hati siapa kiranya teman lama yang di maksud jake tadi di ruang obrolan mereka.

Sorry bro, kayaknya lo udah nunggu lama.” jake dan orang itu kemudian saling memberi tos ala-ala anak tongkrongan.

“*Sans, gue juga belum lama kok di sini.” Balasnya kemudian mempersilahkan jake duduk.

Jake kemudian menarik sunghoon yang sedari tadi masih terus memperhatikan setiap sudut kafe untuk segera duduk di kursi sebelahnya menimbulkan bunyi cukup nyaring sehingga membuat pemuda di hadapan mereka kini menatap kearahnya, sunghoon kaget ketika mereka bersitatap membuat sunghoon langsung melihat kearah lain untuk mengalihkan pandangannya.

Sorry, ini temen yang tadi gue bilang, kenalin hoon temen gue heeseung namanya.” Jake mengenalkan mereka dengan senyum khasnya.

“Heeseung ini temen gue namanya sunghoon.”

Sunghoon hanya tersenyum kalem menanggapinya, kemudian kembali di buat tekejut saat tanpa aba-aba pemuda itu mengulurkan tangannya ke depan sunghoon.

“Heeseung.”

Sunghoon terdiam sebentar sebelum menerima uluran tangan pemuda itu kemudian tersenyum, “Sunghoon.”

Setelah sesi perkenalan singkat itu sunghoon hanya diam di tempatnya mendengarkan cerita jake dan heeseung yang membahas hal-hal random yang sering di bicangkan oleh teman lama yang baru bertemu lagi setelah sekian lama tak berjumpa.

Sunghoon mendengarkan sambil meminum latte yang sudah di pesannya sesekali curi-curi pandang kepada teman lama jake, pemuda itu tampan, postur tubuhnya bagus, hidung mancung, bola matanya besar, dia juga punya lesung pipit yang terkadang muncul jika dia tertawa di tengah ceritanya meskipun tidak terlalu dalam.

Setelah cukup lama mendengar cerita mereka sunghoon sedikitnya tau kalau sosok di hadapannya ini adalah orang yang cukup pintar bisa di lihat dari caranya mendengarkan dan menanggapi semua perkataan jake ketika membahas sedikit mata pelajaran yang sejujurnya tidak sunghoon pahami, dia bukan siswa dari ranah itu, wajar saja.

“Ini sunghoon dulunya waktu SMA dia anak ekskul lukis, lumayan banyak yang kenal soalnya dia kemana-mana selalu bawa buku-buku kecil buat gambar.”

“—hah?” sunghoon bingung saat tak sengaja mendengar namanya di sebut.

“Kebiasaan banget, dia anaknya emang gak banyak omong perhatiannya suka kemana-mana.” Jake tertawa melihat ekspresi sunghoon yang masih kebingungan.

“Dari tadi kita ngomongin elo, kecil.”

“Berhenti manggil gue kecil jake!! Gue udah lebih tinggi dari lo.” Balasnya tak terima.

“Tinggi doang nambah yang lainnya gak ada yang berubah.” Sunghoon merutuk dalam hati menatap jake yang sepertinya puas sekali mengejeknya.

“Serius deh sunghoon lo masa gak ingat heeseung, sih? Dia dulu ketos anggota paskib, anak basket, anak futsal juga, osis angkatan 12 masa lo gak ingat sih?” Jelas jake.

“Lo juga gak usah di jabarin kali.” Balas heeseung merasa sedikit aneh ketika kembali membahas dirinya semasa sekolah menangah yang maruk sekali dalam memilih organisasi.

Sunghoon diam sebelum kemudian menjawab dengan pelan, “ingat, gue ingat.”

Rasanya hari ini sunghoon kembali ke waktu semasa dirinya masih menjadi siswa sekolah menangah yang sering sekali membawa buku-buku kecil untuk menggambar setiap kali dirinya mendapat inspirasi di tempat manapun.

Rasanya menyenangkan segaligus menyesakkan.

•••

“Mamah nelfon, gue angkat sebentar ya?” Keduanya mengangguk.

Jake segera pergi untuk mengangkat telfonnya meninggalkan dua orang asing itu terdiam dalam sebuah kecanggungan yang pekat.

Sunghoon memilih untuk menyesap latte—nya dengan lambat melihat sekelilingnya, menyadari suasan kafe hari ini sepi mungkin karena di luar mendung banyak orang lebih memilih untuk bergelung dalam selimut ketimbang pergi keluar.

Jake datang dengan terburu-buru memasukkan ponselnya kedalam saku celananya, “Hoon sorry banget ya, sunoo ngedrop lagi, mama sama papa udah di rumah sakit, gue di suruh jemput riki, gue tinggalin gak apa-apa kan?”

Sunghoon mengangguk, ini bukan waktu yang tepat untuk bertanya lebih banyak lagi, jake harus buru-buru.

“Seung, lo bisa kan anterin sunghoon pulang? Kosannya gak jauh dari sini kok.”

Sunghoon menggigit pipi dalamnya dengan cukup keras ketika pemuda di hadapannya itu mengangguk dengan mantap membuat jake menepuk bahunya sebentar kemudian meraih kunci motornya di atas meja lalu bergegas pergi keluar dari kafe, kembali meninggalkan dua orang itu dengan kecanggungan yang kian pekat.

“Lo gak perlu anterin gue kok, kak. Gue bisa pulang pake uber.”

“Gak apa-apa gue anterin.”

“Gapapa gak gak usah, ini tinggal mesan ubernya.”

“Gue udah janji sama jake.”

“Nanti ngerepotin.” Sunghoon menunduk berucap pelan enggan menatap pemuda di depannya.

“Lo gak pernah ngerepotin gue, sunghoon.” Balas yang lebih tua sebisa mungkin menghilangkan aura kecanggungan diantara keduanya.

“Gak akan pernah, sampai kapanpun.”

Pada akhirnya sunghoon kalah juga, dia memilih untuk mengangguk.

Bukan perihal mereka yang canggung, sebenarnya bukan juga perihal sunghoon takut merepotkan, tapi ini perihal dirinya dan hatinya yang belum siap kembali di paksa untuk siap tanpa aba-aba, sunghoon mengela nafasnya sebentar.

Kenapa hari ini rasanya tiba-tiba sangat melelahkan?

“Mau pulang sekarang? Bentar lagi magrib dari tadi juga mendung, takutnya malah hujan.”

Sunghoon menatap pelan kemudian berucap, “terserah kakak aja.”

“Jangan terserah, jawab yang bener, sunghoon.”

Menunduk, yang lebih muda menunduk dengan tangannya yang mempermaikan sedotan latte—nya yang tinggal setengah.

“Iya, mau pulang.” Jawabnya pelan hampir berbisik.

Pemuda itu tersenyum kemudian berdiri dari tempatnya, “Dasar, gak berubah ya.”

“Ayo kita pulang, kecil.”

•••

Sebut saja hari ini adalah hari sialnya sunghoon, terjebak dengan kakak kelasnya dalam sebuah kecanggungan di tambah di tengah perjalanan pulang dengan motor KLX berwarna merah milik heeseung hujan turun membasahi jalan, mengguyur seluruh kota dalam sekali terjun.

Mau tak mau heeseung segera memakirkan motornya di depan sebuah ruko yang telah tutup ada sebuah kursi kayu di depannya menjadi tempat untuk mereka duduk sejenak menanti hujan reda.

Berkali-kali yang lebih tua berucap maaf mereka harus pulang lebih lama karena hujan hingga kini sepertinya enggan untuk pergi.

Sengaja membiarkan kedua insan itu untuk bersua lebih lama lagi menuntaskan sepenggal kisah yang belum sempat menemui titik terangnya.

Sunghoon duduk di sebuah kursi kayu panjang dalam diam sambil terus-terusan menatap bulir-bulir air hujan yang jatuh membasahi aspal, sunghoon menyesal hari ini hanya memkai baju kaos tipis membuatnya kedinginan hingga ke ujung kaki.

Yang lebih muda kini lagi-lagi di buat terkejut ketika heeseung melepaskan hoodie tebalnya memaikan dengan pelan hoodie itu, “Di pake ya? Kamu gak tahan dingin.”

Bahkan untuk hal sekecil itu dia masih mengingatnya.

Sunghoon memakai hoodie hitam itu ketika heeseung beranjak dari tempatnya jalan menuju ke pedagang serabi yang juga berteduh tak jauh dari posisi mereka.

Yang lebih muda menghirup wangi hoodie yang di pakainya dalam-dalam, ngilu di dalam dadanya semakin terasa, sunghoon rasanya ingin menangis, wanginya masih sama.

Pemuda itu datang membawa dua gelas serabi hangat di tangannya, memberikan satunya kepada yang lebih muda, sunghoon mengambilnya menghirup pelan aroma jahe yang menguar, rasanya menenangkan.

Yang lebih muda bisa merasakan ketika heeseung kini duduk di sampingnya dengan sedikit jarak memisah, dia terlihat menyesap santai segelas serabi hangat di tangannya sembari menatap tetes hujan yang turun membasahi jalan raya.

“Sunghoon, apa kabar?” Pertanyaan tiba-tiba yang keluar dari mulut heeseung hampir membuat sunghoon tersedak serabinya.

“A-ku? Baik-baik aja kok, kak. Kakak sendiri gimana kabarnya?” Rasanya aneh, menyenangkan dan menyedihkan sekaligus.

“Yaaa, kayak yang kamu lihat kakak juga baik-baik aja.”

Kemudian hening kembali menghampiri keduanya, sunghoon sibuk dengan pikirannya perihal apa yang harus dia lakukan, heeseung sendiri tengah merangkai perihal kalimat apa yang akan dia ucapkan setelah sekian lama tak bersua.

Heeseung kemudian menaruh gelas serabinya yang telah tanggas di bawah kursi, “dua tahun, dua tahun berlalu tapi kamu masih gak berubah sama sekali.”

Sunghoon menoleh kearah heeseung yang tengah menatapnya, heeseung serius tentang sunghoon yang tak berubah sama sekali kecuali tingginya yang bertambah, bulu matanya yang lentik, suara khas miliknya, juga tatapannya saat melihat heeseung masih sama seperti dulu.

“Kakak juga, semuanya gak ada yang berubah kecuali kakak yang makin dewasa.” Jawabnya pelan, heeseung tertawa juga sunghoon yang masih suka berterus terang.

“Kak, aku boleh tanya?” Tanyanya kepada yang lebih tua.

“Boleh, apapun itu bakal aku jawab sebisaku.”

“Dulu, kenapa kakak pergi gitu aja? Kenapa setelah lulus kakak hilang kabar, aku nyari kakak sampai ke perumahan kakak, tapi katanya kalian udah pindah, aku sempat tanya ke jay dan dia juga gak tau kakak kemana, hari itu aku marah, aku nangis seharian di dalam kamar aku nunggu kakak telfon aku atau balas pesan aku tapi gak ada.

Aku tahu aku gak berhak marah kakak tiba-tiba hilang, kakak gak nelfon aku lagi, gak balas pesan aku lagi aku bukan siapa-siapanya kakak tapi waktu tahu kakak hilang gitu aja aku marah, aku nangis seharian nunggu kabar dari kakak, kita bukan siapa-siapa tapi rasanya sakit banget waktu tau kakak hilang gitu aja.”

Heeseung bisa melihat yang lebih muda mengusap sudut matanya, “Sunghoon kamu berhak marah waktu itu, kamu berhak marah sama aku, berhak nangis berhak kecewa karena aku pergi gitu aja tanpa ngasih kamu kabar.”

Dulunya mereka sepasang saling yang merasa memiliki satu sama lain namun tanpa hubungan apa-apa.

“Aku juga marah sama diri aku sendiri waktu itu kenapa aku terlalu pengecut kenapa aku hilang gitu aja, setelah kakak lulus mama sama papa cerai, itu perjanjian mereka cerai setelah aku lulus SMA aku ikut mama pulang ke kampung halamannya semua fasilitas punyaku termasuk handphone diambil papa karena aku lebih milih ikut mama dari pada dia.”

Sunghoon terdiam di tempatnya dia tidak tahu menahu soal itu, tidak tahu bahwa selama itu heeseung banyak menyembunyikan luka hatinya.

“Kenapa gak bilang sama aku? Padahal kakak selalu ada buat aku, setiap aku butuh kakak pasti kakak bakal datang buat aku, tapi kenapa kakak gak ngelakuin hal yang sama, kenapa gak ngebungin aku? Sebenarnya dulu kakak anggap kita itu apa?”

Sunghoon sakit mengetahui fakta bahwa dia gagal, dia kecewa dengan dirinya sendiri karena merasa paling tersakiti padahal heeseung juga sama sakitnya.

“Kakak kuliah sambil kerja sampingan, gaji pertama aku pake buat beli ponsel baru, aku coba buat nelfon nomor kamu tapi udah gak aktif, hari dimana aku tahu nomor kamu udah gak aktif lagi jadi hari dimana aku tahu kalau kamu kecawa sama aku.”

Heeseung tersenyum, “tapi hari ini setelah ketemu lagi sama kamu dan tau kamu baik-baik saja dan masih mau bicara sama aku, aku bersyukur sekali rasanya hari ini aku jadi orang paling beruntung di dunia.”

Dua tahun lalu mereka menjalin cinta rahasia, heeseung adalah panutan sekolah organisasinya melarang untuk menjalin sebuah hubungan membuat keduanya harus terjalin hubungan yang cukup sulit untuk di jelaskan, saling curi-curi pandang saat ada kesempatan dan sering pergi berdua diam-diam tanpa ada yang menyadarinya, merasa saling memiliki satu sama lain padahal aslinya bukan siapa-siapa.

“Aku kecewa kakak selalu ada buat sunghoon, tapi aku gak bisa begitu buat kakak, kakak justru lari tanpa penjelasan bertindak seolah kakak penjahatnya di sini padahal aku juga salah, aku gak seha—”

“Kamu gak salah, jangan pernah berfikir kayak gitu, mungkin memang sudah jalannya kita kayak gini.” Heeseung tersenyum tipi melirik sunghoon yang masih menunduk.

“Sunghoon mau tau hal apa yang buat aku masih menyesal sampai sekarang?” Sunghoon kemudian menatapnya dengan penuh tanda tanya.

“Aku menyesal gak pernah bisa pegang tangan kamu di hadapan semua orang dan berteriak lantang kalau kamu itu punyaku, aku nyesal gak bisa ngasih tau semesta kalau park sunghoon itu dunianya lee heeseung.”

Hari itu hari dimana mereka kembali bersua di bawah guyuran hujan, sunghoon mengingatnya dalam-dalam yang kemudian di sematkan menjadi sebuah dialog lara dari dua insan yang pernah melukis kisah bertajuk 'aku' dan 'kamu' meskipun pada akhirnya tidak berakhir menjadi 'kita'.

Selamamya sunghoon akan mengingat kisahnya bersama dengan heeseung pemuda dengan almamater yang diam-diam di lukisnya di sebuah kanvas bertajuk;

Lee heeseung ; Dialog Lara