Only Fools Fall For You
Jake terkejut saat seseorang mendobrak pintu uks dengan sangat keras, Jay terhenti di sisi kiri pintu berpegangan menetralkan deru nafasnya yang memburu, Jake langsung mengalihkan pandangannya ketika Jay menatapnya dengan tatapan tajamnya di depan sana.
Jake tak pernah membicarakan soal ini, tapi tatapan Jay itu terkadang sangat menakutkan.
Mungkin itu juga sebab dia bisa mendominasi seisi sekolah, dia punya power dalam dirinya dan semua orang bisa melihat itu.
Jake merutuk dalam hati ketika Jay perlahan berjalan mendekat kearahnya, Jake yang merasa sedikit terusik bergerak sedikit dari duduknya merapal doa dalam hati agar penjaga uks segera datang.
Masih sibuk dengan pikirannya yang lebih muda kembali di buat dengan terkejut ketika merasakan bagian belakang tangan Jay kini bersentuhan dengan dahinya.
“Kalau tau sakit tuh gak usah datang ke sekolah, jangan di paksa.”
Jay kini duduk menyamakan tingginya dengan Jake, kemudian meraih sesuatu dari kantong jas osisnya.
Sebuah plester kompres untuk orang dewasa, dia membukanya perlahan kemudian menempelnya tepat di dahi jake yang masih terdiam membisu seolah semua kalimat yang bersarang di dalam kepalnya mendadak menghilang entah kemana.
Kesadarannya kembali di ambil alih ketik dia mulai merasakan dingin di dahinya yang perlahan mulai menjalar, kemudian menatap Jay yang masih dalam posisinya.
“Ayo pulang.”
“Hah?”
“Pulang, lo gak usah sekolah. Soal izin lo nanti biar gue yang urus.”
Jay yang sudah berdiri kini kembali beralih menatap Jake yang masih terdiam di tempatnya sembari meremat celananya membuat Jay menghela nafas.
“Lo lagi sakit gak mungkin sekolah Jake, pulang sekarang gue anterin.”
Dia sedikit di buat kesal dengan Jake yang menggeleng pelan.
“Jake.”
“Gak mau, di rumah gak ada orang. Lebih baik di sini nanti ada petugas UKS yang temenin.”
“Lo kalau sakit rewel Jake, jangan nyusahin petugas UKS.”
“Sama aja kalau di rumah gak ada orang.”
“Ada gue. Gue yang bakal temenin lo sekarang pulang jangan banyak tanya lagi.”
Jay segera menarik lengan Jake membawanya keluar dari UKS menuju parkiran sekolah, Jay pamit sebentar untuk mengambil motornya.
Bolehkah jake merutuki dunia dan seisinya sekarang? semalam dia sudah memantapkan hatinya bahwa tidak akan lagi berurusan dengan OSIS, Jay dan antek-anteknya. Namun seolah semesta suka sekali melihatnya menderita hari ini dia justru mendadak demam dan sekarang malah terjebak dengan Jay yang semalam nomor ponselnya sudah ia blok.
Jay kemudian datang menyerahkan sebuah helm kearahnya, Jake munjuk dirinya.
“Panas, itu helm punya Sunghoon nanti di kembaliin.”
•••
Sekatang Jake semakin tidak tahu harus berbuat apa lagi, sekarang Jay sudah ada di dalam kamarnya duduk di karpet berbulu bersandar membelakanginya pada sisi tempat tidur, sedangkan dia tengah berbaring dengan selimut dan plester kompres di dahinya.
Bingung harus menyuruh Jay pulang atau tetap tinggal bersamanya, pasalnya jika Jay pulang dia akan sendirian di rumah.
Sendirian di rumah yang tak bisa di bilang kecil ini adalah hal yang paling tidak di sukainya, apalagi sekarang dia sakit dan itu membuatnya makin kesusahan.
“Kalau mau sesuatu bilang aja, gue di sini.”
“Kenapa repot-repot mau ngerawat gue?”
Yang di terma Jay dari pernyataannya barusan justru tanya perihal kenapa dia harus repot-repot merawat Jake yang sedang sakit.
“Gak ada yang bisa ngerawat lo selain gue.”
“Sok tau, ada bunda.”
“Tapi bunda lagi pergi.”
Jake menghela nafasnya, “Please Jay berhenti bikin gue pusing sama sikap lo. Semalam lo marah sama gue soal rundown acara debat calon ketos dan sekarang lo bersikap seolah gak ada apa-apa. Gue gak ngerti.”
“Lo gak perlu ngerti soal gue, cukup ngerti sama diri lo sendiri.”
Jake terdiam lagi, sungguh dia sangat benci di buat banyak berfikir.
“Lo gak jelas.”
“Sikap gue selama ini apanya yang gak jelas.” Jay kemudian melirik jake yang menghadap kearahnya.
“Lo keliatan kayak ngebenci gue, tapi hari ini lo malah nemenin gue di sini.”
“Gue cuma mau lihat sampai dimana lo bertahan sama diri lo sendiri, sampai kapan lo bertahan sama sikap lo yang gak bisa nolak permintaan orang lain.”
Tidak ada orang yang lebih membingungkan dari pada Jay saat ini, banyak pertanyaan-pertanyaan yang kembali muncul dalam kepalanya.
Jay itu bagaikan puzzle tersulit untuk Jake selesaikan bagian-bagiannya terlalu rumit, bahkan jake sempat menyerah untuk menyelesaikannya dan sekatang puzzle itu seolah kembali di buka seolah memaksa jake untuk menyelesaikannya segera.
“Jake, gue cuma mau lo nyuarain suara lo lebih lantang. Lo bisa bilang iya kalau lo mau enggak ya buat enggak, jangan pernah maksain diri lo buat ngelakuin hal lo sendiri gak mau.”
Jay kemudian meraih tangan Jake yang sedari tadi terdiam, “Perasaan gak enakan lo itu bisa jadi bumerang buat diri lo sendiri nantinya, jangan ngeiyain apapun cuma karena lo ngerasa gak enak buat nolak.”
“Tolong, dengerin diri lo sendiri.” Jay tersenyum di akhir kalimatnya sambil mengelus tangan jake yang ada dalam genggamannya.
“Sekarang jujur jake kenapa waktu itu lo mutusin gue?”
Lidahnya mendadak kelu untuk menjawab, Jake seolah di todong dengan pertanyaan dari Jay.
Ingatannya kembali diajak berkelana ke hari-hari sebelum semuanya serumit ini.
Jake kehilangan kuasanya untuk menjelaskan apa yang harus dia jelaskan, sedangkan Jay masih menunggu membuat Jake rasanya tak ingin hari ini ada dia ingin segera melompat ke hari berikutnya.
“Ternyata bener karena permintaan cewek itu?” lagi-lagi membuat Jay mengangguk paham.
Semua ketidak jelasan mereka hari ini perlahan mulai menemukan titik terang, ketidak jelasan yang membuat mereka harus berakhir dan ketidak pahaman jay atas semua kejadian yang perlahan seolah menyerangnya diam-diam.
“Ahra, cewek itu gak bisa lo percaya gitu aja jake, dia bilang dia sakit dan butuh gue? bullshit dia gak pernah punya riwayat penyakit apapun.” Jay terdiam sebentar kemudian tertawa, menertawai permainan gadis licik itu.
“Sampe sekarang Ahra masih baik-baik aja tuh, Jake lo tau lo jadi kayak orang tolol yang bisa percaya sama dia cuma karena dia tiba-tiba jadi baik dan nangis cerita omong kosong tentang dia sendiri.”
Jake mengerutkan keningnya tidak terima Jay mengatainya tolol, walaupun kenyataannya bisa di bilang begitu tetap saja Jake tidak terima di katai begitu saja.
“Gue tau gue selalu kehabisan kata-kata tiap berargumen sama lo, tapi berhenti ngatain gue tolol, gak becus dan sebagainya atau lo-”
“Lo apa?” Jay justru menantang Jake yang kini terduduk menatapnya penuh dengan raut kebencian. “Apa hmm? mau balikan?”
“Tolol.”
Jay tertawa dengan respon ketus yang diberikan Jake, kemudian tangannya yang masih memggenggam tangan jake di gunakan untuk menarik jake agara mendekat kearahnya.
“Lo sekarang udah berani ngatain gue tolol?”
“Lo emang tolol, bego, jelek, bodoh lo selalu ngebuat gue marah sama lo, lo sering buat gue nangis gara-gara tugas OSIS lo itu.”
“Bodohnya lagi gue yang masih tetap sayang sama lo.”