summerpsyche

Only Fools Fall For You


Jake terkejut saat seseorang mendobrak pintu uks dengan sangat keras, Jay terhenti di sisi kiri pintu berpegangan menetralkan deru nafasnya yang memburu, Jake langsung mengalihkan pandangannya ketika Jay menatapnya dengan tatapan tajamnya di depan sana.

Jake tak pernah membicarakan soal ini, tapi tatapan Jay itu terkadang sangat menakutkan.

Mungkin itu juga sebab dia bisa mendominasi seisi sekolah, dia punya power dalam dirinya dan semua orang bisa melihat itu.

Jake merutuk dalam hati ketika Jay perlahan berjalan mendekat kearahnya, Jake yang merasa sedikit terusik bergerak sedikit dari duduknya merapal doa dalam hati agar penjaga uks segera datang.

Masih sibuk dengan pikirannya yang lebih muda kembali di buat dengan terkejut ketika merasakan bagian belakang tangan Jay kini bersentuhan dengan dahinya.

“Kalau tau sakit tuh gak usah datang ke sekolah, jangan di paksa.”

Jay kini duduk menyamakan tingginya dengan Jake, kemudian meraih sesuatu dari kantong jas osisnya.

Sebuah plester kompres untuk orang dewasa, dia membukanya perlahan kemudian menempelnya tepat di dahi jake yang masih terdiam membisu seolah semua kalimat yang bersarang di dalam kepalnya mendadak menghilang entah kemana.

Kesadarannya kembali di ambil alih ketik dia mulai merasakan dingin di dahinya yang perlahan mulai menjalar, kemudian menatap Jay yang masih dalam posisinya.

“Ayo pulang.”

“Hah?”

“Pulang, lo gak usah sekolah. Soal izin lo nanti biar gue yang urus.”

Jay yang sudah berdiri kini kembali beralih menatap Jake yang masih terdiam di tempatnya sembari meremat celananya membuat Jay menghela nafas.

“Lo lagi sakit gak mungkin sekolah Jake, pulang sekarang gue anterin.”

Dia sedikit di buat kesal dengan Jake yang menggeleng pelan.

“Jake.”

“Gak mau, di rumah gak ada orang. Lebih baik di sini nanti ada petugas UKS yang temenin.”

“Lo kalau sakit rewel Jake, jangan nyusahin petugas UKS.”

“Sama aja kalau di rumah gak ada orang.”

“Ada gue. Gue yang bakal temenin lo sekarang pulang jangan banyak tanya lagi.”

Jay segera menarik lengan Jake membawanya keluar dari UKS menuju parkiran sekolah, Jay pamit sebentar untuk mengambil motornya.

Bolehkah jake merutuki dunia dan seisinya sekarang? semalam dia sudah memantapkan hatinya bahwa tidak akan lagi berurusan dengan OSIS, Jay dan antek-anteknya. Namun seolah semesta suka sekali melihatnya menderita hari ini dia justru mendadak demam dan sekarang malah terjebak dengan Jay yang semalam nomor ponselnya sudah ia blok.

Jay kemudian datang menyerahkan sebuah helm kearahnya, Jake munjuk dirinya.

“Panas, itu helm punya Sunghoon nanti di kembaliin.”

•••

Sekatang Jake semakin tidak tahu harus berbuat apa lagi, sekarang Jay sudah ada di dalam kamarnya duduk di karpet berbulu bersandar membelakanginya pada sisi tempat tidur, sedangkan dia tengah berbaring dengan selimut dan plester kompres di dahinya.

Bingung harus menyuruh Jay pulang atau tetap tinggal bersamanya, pasalnya jika Jay pulang dia akan sendirian di rumah.

Sendirian di rumah yang tak bisa di bilang kecil ini adalah hal yang paling tidak di sukainya, apalagi sekarang dia sakit dan itu membuatnya makin kesusahan.

“Kalau mau sesuatu bilang aja, gue di sini.”

“Kenapa repot-repot mau ngerawat gue?”

Yang di terma Jay dari pernyataannya barusan justru tanya perihal kenapa dia harus repot-repot merawat Jake yang sedang sakit.

“Gak ada yang bisa ngerawat lo selain gue.”

“Sok tau, ada bunda.”

“Tapi bunda lagi pergi.”

Jake menghela nafasnya, “Please Jay berhenti bikin gue pusing sama sikap lo. Semalam lo marah sama gue soal rundown acara debat calon ketos dan sekarang lo bersikap seolah gak ada apa-apa. Gue gak ngerti.”

“Lo gak perlu ngerti soal gue, cukup ngerti sama diri lo sendiri.”

Jake terdiam lagi, sungguh dia sangat benci di buat banyak berfikir.

“Lo gak jelas.”

“Sikap gue selama ini apanya yang gak jelas.” Jay kemudian melirik jake yang menghadap kearahnya.

“Lo keliatan kayak ngebenci gue, tapi hari ini lo malah nemenin gue di sini.”

“Gue cuma mau lihat sampai dimana lo bertahan sama diri lo sendiri, sampai kapan lo bertahan sama sikap lo yang gak bisa nolak permintaan orang lain.”

Tidak ada orang yang lebih membingungkan dari pada Jay saat ini, banyak pertanyaan-pertanyaan yang kembali muncul dalam kepalanya.

Jay itu bagaikan puzzle tersulit untuk Jake selesaikan bagian-bagiannya terlalu rumit, bahkan jake sempat menyerah untuk menyelesaikannya dan sekatang puzzle itu seolah kembali di buka seolah memaksa jake untuk menyelesaikannya segera.

“Jake, gue cuma mau lo nyuarain suara lo lebih lantang. Lo bisa bilang iya kalau lo mau enggak ya buat enggak, jangan pernah maksain diri lo buat ngelakuin hal lo sendiri gak mau.”

Jay kemudian meraih tangan Jake yang sedari tadi terdiam, “Perasaan gak enakan lo itu bisa jadi bumerang buat diri lo sendiri nantinya, jangan ngeiyain apapun cuma karena lo ngerasa gak enak buat nolak.”

“Tolong, dengerin diri lo sendiri.” Jay tersenyum di akhir kalimatnya sambil mengelus tangan jake yang ada dalam genggamannya.

“Sekarang jujur jake kenapa waktu itu lo mutusin gue?”

Lidahnya mendadak kelu untuk menjawab, Jake seolah di todong dengan pertanyaan dari Jay.

Ingatannya kembali diajak berkelana ke hari-hari sebelum semuanya serumit ini.

Jake kehilangan kuasanya untuk menjelaskan apa yang harus dia jelaskan, sedangkan Jay masih menunggu membuat Jake rasanya tak ingin hari ini ada dia ingin segera melompat ke hari berikutnya.

“Ternyata bener karena permintaan cewek itu?” lagi-lagi membuat Jay mengangguk paham.

Semua ketidak jelasan mereka hari ini perlahan mulai menemukan titik terang, ketidak jelasan yang membuat mereka harus berakhir dan ketidak pahaman jay atas semua kejadian yang perlahan seolah menyerangnya diam-diam.

“Ahra, cewek itu gak bisa lo percaya gitu aja jake, dia bilang dia sakit dan butuh gue? bullshit dia gak pernah punya riwayat penyakit apapun.” Jay terdiam sebentar kemudian tertawa, menertawai permainan gadis licik itu.

“Sampe sekarang Ahra masih baik-baik aja tuh, Jake lo tau lo jadi kayak orang tolol yang bisa percaya sama dia cuma karena dia tiba-tiba jadi baik dan nangis cerita omong kosong tentang dia sendiri.”

Jake mengerutkan keningnya tidak terima Jay mengatainya tolol, walaupun kenyataannya bisa di bilang begitu tetap saja Jake tidak terima di katai begitu saja.

“Gue tau gue selalu kehabisan kata-kata tiap berargumen sama lo, tapi berhenti ngatain gue tolol, gak becus dan sebagainya atau lo-”

“Lo apa?” Jay justru menantang Jake yang kini terduduk menatapnya penuh dengan raut kebencian. “Apa hmm? mau balikan?”

“Tolol.”

Jay tertawa dengan respon ketus yang diberikan Jake, kemudian tangannya yang masih memggenggam tangan jake di gunakan untuk menarik jake agara mendekat kearahnya.

“Lo sekarang udah berani ngatain gue tolol?”

“Lo emang tolol, bego, jelek, bodoh lo selalu ngebuat gue marah sama lo, lo sering buat gue nangis gara-gara tugas OSIS lo itu.”

“Bodohnya lagi gue yang masih tetap sayang sama lo.”

anoyzume ©2021

Satu diantara Kemungkinan-kemungkinan.

little bit angst, unrequited love.


Sunghoon tak bisa menjelaskan bagaimana perasaannya ketika dirinya duduk canggung di sebuah kursi di dalam ruangan yang tertutup seorang diri.

Dia hanya melihat sekelilingnya yang terasa sangat hampa, kosong tak ada siapapun di sini selain dirinya yang di soroti cahaya, lighting dari si penyusun acara.

Sebetulnya dia tak begitu paham bagaimana dirinya bisa terjebak dalam situasi ini, dia tak tahu-menahu. Sunghoon hanya tengah duduk enteng dengan laptopnya menonton acara reality show kesukannya tiba-tiba di tarik teman sekalasnya untuk menjadi 'si pemberi kesan' dalam acara tahunan kampusnya.

Dia itu tipe orang yang tak bisa menolak sama sekali, selalu tak ada celah untuknya bisa menolak, perasaan tidak mengenakkan ketika hendak menolak permintaan seseorang itu kerap kali menghantuinya dan itu sangat menyiksanya, dia tak punya pilihan untuk menolak atau dia akan merasa bersalah dalam jangka waktu yang lama.

Teman sekelasnya membuat stand dimana seseorang akan secara acak masuk kedalam ruangan ini untuk di berikan kesan oleh sunghoon, atau hanya sekedar mengobrol santai, sunghoon sendiri tak begitu keberatan sebenarnya dia orang yang suka memperhatikan orang lain, meskipun bukan pembicara yang handal, dia hanya akan mengatakan apapun yang ada di dalam kepalanya sebisa mungkin.

Dan sebetulnya sunghoon tak habis pikir bagaimana stand seperti ini memiliki banyak peminat padahal isinya hanya mengobrol santai dan di berikan kesan atau pesan, apalagi bayarannya cukup mahal untuk anak perantau seperti sunghoon ini.

Lagi-lagi entah kenapa semakin lama sunghoon merasa semakin gugup, pemasaran orang seperti apa yang akan datang kepadanya kali ini, cukup lama dan itu membuatnya sedikit nervous. Tadi sunghoon sempat terkejut saat mendapati beberapa pentolan kampus datang duduk di depannya dan berbicara empat mata dengannya, sunghoon merasakan banyak perasaan baru ada beberapa diantaranya yang seringkali memberi aura mencekam yang mendominasi membuatnya sedikit takut, namun seiring dengan obrolan mereka itu perlahan menjadi lebih bebas, dia juga sempat bertemu dengan orang-orang yang sangat easy going meberi rasa nyaman untuk mengobrol sesekali bercanda untuk mencairkan suasana.

Dia dapat pengalaman baru dan ini cukup menyenangkan, karena dia dapat bertemu dan mengobrol dengan banyak orang.

Hal yang paling sulit di lakukannya dulu.

Merasa tenggorokannya agak serat sunghoon mengambil air minum yang sudah di sediakan khusus untuknya tepat di samping kursi yang dia duduki, tepat setelah dia meminum airnya lightingnya tiba-tiba padam dan membuat sunghoon buru-buru menyelesaikan acara minumnya dan memperbaiki posisi duduknya.

Seseorang masuk tetapi sunghoon belum bisa melihat wajahnya karena taka ada cahaya sama sekali di sini, sunghoon meremat kain celananya untuk menghilangkan rasa gugupnya, detak jantungnya berpacu lebih cepat, dia tak akan terbiasa dengan situasi ini.

Kemudian lampu kembali di nyalakan, sunghoon sedikit menutup matanya untuk mengurangi cahaya yang masuk ke matanya kemudian melihat dengan jelas sosok di depannya yang kini tersenyum canggung, dan sunghoon balas dengan senyum yang tak kalah kaku.

“Hai?” sapa orang itu lebih dulu.

“Halo.”

Pemuda itu tertawa sebentar, “Lo kaku banget.” sunghoon hanya menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, “Lee heeseung, gue heeseung, lo?”

Sunghoon mendadak kikuk, dia mendadak tak terpikirkan untuk memperkenalkan dirinya lebih dulu, “A-ah itu, sunghoon, Park Sunghoon.”

Pemuda bernama Lee heeseung itu kemudian mengangkat alis dan bahunya paham, “Okay, mr. Park.”

“Then?” lanjutnya membuat sunghoon sedikit bingung. Seolah mengerti dengan raut wajah sunghoon yang sekarang ini sepertinya terlihat seperti orang tolol yang tak paham apa-apa, “Kesan dan pesan lo ke gue, di depan sana tadi di tulis.”

Sunghoon kemudian kembali mengangguk paham dan pemuda itu justru tertawa melihat tingkah yang lebih muda terlihat sangat canggung, “take it slow, lo gak perlu buru-buru, lo bisa ngomong pelan-pelan gak perlu sampe keringatan kayak gitu.”

Sunghoon ingin membenturkan kepalanya ke lantai sekarang juga karena ketahuan sangat gugup sampai berkeringat, kemudian kembali tersenyum.

“Kita bisa ngobrol lebih dulu, pesan kesannya biar belakangan aja, i'll go first.”

Sunghoon tidak heran lagi kenapa Lee heeseung ini bisa jadi sangat terkenal menjadi idaman orang-orang, dia kelewat pengertian dan selalu mementingkan kenyamanan orang lain lebih dahulu.

“Gue lee heeseung, FISIP semester lima, hobi gue baca buku, gue lumayan jago di bidang atletik kayak futsal, basket, volly pokoknya bola kecil bola besar gue bisa.” dia tertawa sebentar, “kalau di non atletik juga lumayan lah gak buruk-buruk amat, nomor absen gue pas SMA delapan belas, apalagi ya.., oh gue prebem atau mungkin lo udah tau?”

Sunghoon mengangguk untuk pertanyaan terakhir, “Sekarang, lo bisa mulai bagian lo.”

“Park sunghoon, Pariwisata semester tiga.” ucapannya hanya terhenti sampai situ membuat heeseung mengangkat alisnya sebelah. “Saya gak tau harus perkenalan kayak gimana.” sunghoon meringis dalam hati dia terlihat sangat bodoh sekarang.

Lagi-lagi heeseung hanya tertawa kemudian mengangguk, “Gak apa-apa kita baru ketemu, maklum lo jelas gak tau harus ngapain karena kita baru kenal.”

“Lo bisa pake lo-gue gak perlu pake saya jangan formal-formal banget kayak lagi ngomong sama pejabat tinggi.”

“Maaf banget, gue bingung mau ngapain.”

“Gak usah minta maaf, lo gak salah apa-apa santai aja.”

“Kita satu sekolah pas SMA.” ungkap sunghoon kemudian membuat lelaki itu diam sebentar.

“Really? Lo anak SMA Garuda juga?” Sunghoon hanya mengangguk.

“Gue sering liat lo jadi pemimpin upacara tiap senin, jalan kesana-kemari keliling sekolah pakai alameter osis, nama lo sering di sebut-sebut guru sebagai contoh siswa teladan, seksi sibuknya sekolah apalagi kalau ada acara sekolah di jamin lo bakal jadi yang paling sibuk di banding kepala sekolah, kebanggaan SMA Garuda, the perfect one.”

Sunghoon bisa liat senyum cerah menghiasi wajah heeseung sepanjang dia bercerita, “Gue gak sebegitu, i'm not the perfect one.”

“Mungkin cuma sebagian kecilnya, dan lo kayaknya tahu banyak tentang gue.”

“Kebanggaan sekolah sendiri masa gak kenal.”

“Gak banyak anak SMA Garuda yang lanjut kuliah di sini dan awalnya gue yakin kalau gue kenal keseluruhannya, tapi kayaknya gue ngelewatin satu orang.” heeseung terlihat sedikit canggung setelahnya dan sunghoon hanya mengangguk paham.

Dia tak tersinggung sama sekali, pun tak ada gunanya jika dia tersinggung. Meskipun itu mengenai hatinya sedikit. “Wajar, gue bukan siswa yang menonjol, gue malah bersyukur gak begitu banyak yang kenal gue.”

“Kenapa?”

“Gue cuma, gimana ya jelasinnya, gue cuma pengen jadi sunghoon yang baru, makin sedikit orang yang kenal gue makin tenang hidup gue, dan makin sedikit yang kenal sama gue, gue bisa ngebatasin orang-orang yang boleh masuk di hidup gue kayak lo tahu people getting weird day by day.”

i see, lo ternyata cukup hati-hati dan tertutup padahal kalau di lihat dari wajah lo, lo keliatan anak yang terbuka sama siapa aja tapi ya kadang orang yang kelihatan kayak gitu belum tentu beneran kayak gitu.”

“Gue boleh tanya kenapa lo milih masuk jurusan pariwisata.”

Lagi-lagi sunghoon hanya bisa mengangguk, sekarang justru dia yang malah kelihatan seperti klien, “Dari kecil gue bukan orang yang sering pergi-pergi gitu, tapi gue tertarik sama banyak-banyak tempat di dunia, setelah itu gue pengan jadi guide tour berinteraksi sama orang asing itu menarik banget buat gue, dan ya gue mungkin punya peluang yang lebih besar di jurusan ini.”

“Lo beneran punya pekuang besar, gak usah ragu-ragu gitu ngomongnya, jangan pesimis.”

“Lo mau cerita apa lagi? biar gue yang dengerin lo, gue bisa jadi pendengar yang baik. Mau lo curhat juga gak apa-apa, lo dari tadi dengerin cerita orang terus biarin kali ini gue yang dengerin lo, ayo.”

Sunghoon menahan senyumnya dia juga rasanya ingin menangis mendengar ada seseorang yang mengatakan hak seperti ini padanya membuat sesuatu di dalam hatinya sedikit tergerak. “Gue boleh jujur-jujuran?”

“Sure, why not.”

i have crush on you on high school, itu sekitaran semester dua kelas sepuluh, waktu itu lo kelas sebelas gue lumayan tahu banyak hal tentang lo karena itu, gue sering curi-curi pandang.”

“Lo bener-bener orang yang selalu ngebuat gue ngerasa kayak wah banget, dulu tiap ngeliat lo itu kayak sumpah gue suka mikir, orang ini boleh jadi punya gue sih, but now semuanya udah lebih terkontrol gue udah berhenti.”

Sunghoon kembali menerawang dirinya saat SMA dulu dimana dia masih sering curi pandang dengan kakak kelasnya yang bernama lee heeseung, selalu beridiri paling depan saat upcara agar bisa leluasa melihat heeseung yang selalu menjadi pemimpin upacara, datang sangat pagi dan menunggu di halte tepat di depan sekolah menunggu heeseung lewat dengan motornya lalu dengan buru-buru berjalan masuk agar bisa mengikut di berjalan di belakang heeseung saat di koridor sebisa mungkin berjalan tanpa suara agar tidak ketahuan.

Mengintip di balik jendela ketika heeseung lewat, atau sekedar mencari alasan seperti membuang sampah keluar kelas agar bisa melihat heeseung yang tengah olahraga di tengah lapangan bersama teman kelasnya.

“Kenapa berhenti?”

Heeseung menanti cukup lama untuk mendapat jawaban dari pertanyaannya kali ini, tidak menampik jika dia sedikit penasaran dengan jawaban dari seseorang di depannya, orang di depannya ini selalu punya kejutan di setiap jawaban yang dia berikan dari pertanyaan heeseung.

“Karena gue sadar, ada batas yang jelas antara gue sama lo. Jujur gue takut buat ngebanyangin bisa ngobrol berdua sama lo kayak gini rasanya kayak gak nyata.”

“Gue sering berandai gimana jadinya kalau gue sama lo ya pasti gue bakal seneng banget dan mendeklarasikan diri gue sebagai orang yang paling beruntung, tapi sedetik setelahnya waktu gue ngeliat lo lagi ada banyak mata yang juga ngeliat ke elo, tatapan yang sama kayak yang gue punya.”

“Itu ngebuat gue sadar banyak hal, yang mau elo itu bukan cuma gue. Apalagi ngeliat orang-orang yang juga suka sama lo rasanya gue ada di barisan paling belakang, gue bukan anak populer, gak pinter, gak punya prestasi bisa-bisanya halu buat jadi pacar lo gue terlampau biasa buat lo dan itu gak mungkin banget.”

“Singkatnya sih gue sadar diri, itu udah cukup buat gue berhenti sebelum nelan lebih banyak kenyataan pahit yang gak seharusnya gue tau.”

Heeseung di buat terdiam dengan jawaban sunghoon, anak itu dia selalu punya kejutan di tiap detiknya membuat heeseung kehilangan banyak kata di kepalanya, sunghoon dia lebih dari apa yang dia bayangkan.

Sunghoon itu terlalu realistis, tak mau banyak berharap, dia tahu bagaimana caranya untuk menahan dirinya agar tak jatuh kedalam jurang bernama ekspektasi.

Dan bagaimana tatapan canggung yang tadi menatapnya saat pertama kali masuk keruangan ini itu kini berubah menjadi tatapan yang lebih mantap dan tak ada keraguan di dalamnya, membuat heeseung diam-diam tersenyum dalam hati.

Orang yang lebih banyak diam dan menyembunyikan diri dari dunia luar itu memang sebuah kejutan, heeseung tak bisa membaca pikirannya karena orang itu memang sama sekali tidak tertebak.

“Gak perlu merasa bersalah, jangan di jadiin beban, gue cuma mau ngungkapin hal yang gue fikir gak bisa gue ungkapin sepanjang hidup gue, that amazing.

“Dua puluh menit terakhir.” sebuah suara menginterupsi membuat sunghoon dan heeseung saling pandang.

“Gue udah bisa kasih pesan dan kesan buat lo, seperti kebanyakan yang lo tahu the perfect one, lo selalu bisa mengontrol orang lain tanpa ngebuat mereka ngerasa terintimidasi, dan dari obralan tadi ini momen yang berharga buat gue lo ngasih gue kesempatan buat cerita lo mau dengerin gue, dan lo sama sekali gak nuntut apa-apa.”

“Pesannya, bentar lagi lo KKN.” sunghoon tertawa di akhir kalimatnya yang di sambut gelak tawa dari heeseung.

“Padahal gue udah lupa, tapi lo malah ngingetin.”

“Lo gak ketebak, dan gue sama sekali gak bisa nebak apapun soal lo, kayak lo beneran hal baru yang jarang gue temuin, I'm so lucky to be able to have such casual conversation with the person who once had a crush on me.

“Lo ngebuat gue sadar kalau gue harus lebih realistis kayak lo, gue suka sama cara berfikir yang bener-bener realistis dan lo mau damai sama realita yang kadang memang gak pernah sesuai dengan kemauan kita.”

Time is almost up, I just want to say thank you for ever paying attention to me, trust me you are amazing, just let go of thoughts about you that are too ordinary, you are great for being brave choose your own path, you don't doubt yourself and that is the important point.

Sunghoon hanya tersenyum, sembari memperhatikan heeseung yang mulai bersiap untuk pergi dari tempatnya, “this is the best day i can meet you, semoga lain kali kita bisa ketemu lagi dan bicarain lebih banyak hal lagi, See you Park sunghoon.”

See you.

Sunghoon menatap punggung heeseung yang perlahan mulai menjauh, diam-diam tersenyum, dia berdamai dengan dirinya sendiri.

Lampu itu kemudian kembali mati lalu sedetik kemudian kembali hanya menerangi sunghoon seorang diri yang masih terduduk, sembari menunduk sunghoon tertawa menyadari air matanya mengalir begitu saja.

Sunghoon pernah begitu menginginkan lee heeseung dalam hidupnya, tapi dia tak pernah berani memimpikannya karena rasanya sangat tidak mungkin.

Selamanya Lee heeseung akan menjadi bulan yang sangat terang dan sunghoon juga selamanya hanya akan menjadi salah satu dari ribuan bintang yang mengliling bulan.

Sunghoon hanya sebuah cahaya redup diantara ribuan cahaya yang bersinar terang.

Sunghoon dan heeseung itu hanya salah satu diantara kemungkinan-kemungkinan yang tidak akan pernah terjadi.

anouzume ©2021

Konstelasi, Akhir Sebuah Kisah.

angst, hurt comfort, major character death.


“Gistha, gue serius ayo putus.”

“Gue udah bilang gavin, kita putus tapi lo harus pacaran sama Thirza.”

“Jangan gila lo.”

“Gue serius Gavin, please kali ini aja tolongin gue. Tiga bulan aja.”

“Fine, masalah kita selesai kan?.”

“Iya, tiga bulan itu gue mohon buat dia senyum terus.”

Mungkin Gavin memang bodoh, mengiyakan tanpa tahu apa yang akan terjadi kedepannya.

Bodoh karena seenaknya mempermaikan perasaan orang lain demi keuntungannya sendiri.

Pun, bodoh karena tak menyadari wajah khawatir Gistha setelah kepergiannya.

Bintang maaf, gue cuma bisa ngelakuin ini buat lo.


“Jangan panggil aku Thirza.”

Alis yang lebih tua terangkat sebelah, tak menerima pernyataan dari si yang lebih muda yang tengah menekuk wajahnya, bibirnya maju beberapa senti, persisi seperti bebek.

“Lo lebih cocok di panggil Thirza, lebih manis.”

Gavin tersenyum puas mendapati yang lebih muda memerah hingga ke telinga, sangat manis.

Padahal Gavin termasuk salah satu mahasiswa yang cukup terkenal dia di kenal hampir ke semua fakultas, dia juga kenal banyak orang tapi kenapa dia bisa melewatkan sosok manis dari ranah Sastra Indonesia ini yang notabene nya gedung fakultas mereka bersebelahan.

“Namaku Bintang, panggil Bintang kalau Thirza nanti aku di kira cewek.”

“Memang nama Thirza cuma buat cewek? lo lebih manis kalau di panggil Thirza. Apalagi mukanya merah gitu jadi pengen gue sayang.”

Setelahnya Gavin mendapati dirinya mabuk, dia hampir kehilangan kesadarannya ketika melihat senyum malu-malu itu berpadu dengan rona wajahnya yang semerah buat Persik.

Hari itu Gavin mendapati bahwa dia bisa mabuk tanpa alkohol.


“Loh kak Gavin ngapain di sini?”

Pertanyaan itu di tujukan untuk pemuda yang tengah bersandar pada pilar koridor dengan kedua lengan bersilang dada.

“Nungguin Thirza.”

Gavin tertawa mendapati ekspresi yang sesuai dengan apa yang dia bayangkan ketika kembali menyebut nama orang itu.

“Bintang, B-I-N-T-A-N-G di garis bawahi, kalau perlu di tulis pake font bold yang bold banget.”

Lagi-lagi Gavin dibuat tertawa kala si manis megeja namanya dengan sangat kerasa dan lantang, seolah kesabarannya benar-benar hanya sebatas di panggil dengan nama tengahnya.

“Itu nama kesayangan dari gue tau, biarin gue jadi satu-satunya orang yang bisa manggil lo Thirza.”

Bintang menggeleng pelan, memilih untuk pergi mendahului si kakak tingkatnya yang penuh dengan keajaiban itu.

Tapi sepertinya bintang melupakan fakta jika Gavin bisa menjangkaunya sangat mudah dengan kaki panjangnya.

“Gue serius waktu gue bilang gue bakal jadi satu-satunya orang yang bakal manggil lo Thirza.”

“Gue bukan orang yang suka maksa tapi kalau itu elo gue bakal maksa, mau benteng sekeras apapun yang udah lo bangun bakalan tetap gue runtuhin, karena gue Gavin Deva Bumantara yang tekatnya sekeras baja.”

Gavin tak pernah tahu bahwa itu benar-benar berhasil memporak-porandakan benteng yang telah di bangun bertahun-tahun.

Pada kenyataannya Bintang tak akan pernah bisa menolak datangnya degupan di dada yang menggelitik hingga ke perut.

Apa yang bisa kamu lakukan ketika orang yang sejak lama kamu kagumi tiba-tiba datang menghampirimu dengan seperti itu.


“Kenapa muka pacarnya Gavin murung banget kayak gitu? kok jelek banget.”

“Gaviiiiiiiiin!!!”

“Bercanda sayang, coba cerita sini kenapa?”

“Gak apa-apa, hari ini kayak capek banget aja gitu, tugas-tugas aku banyak yang di delay padahal aku ngerjainnya hampir stres karena deadline.”

Gavin hanya tertawa sebentar sebelum kemudian memberi kode untuk bintang agar menghadapnya dan membantunya melepaskan seat belt yang sudah terpasang apik pada si manis.

Kemudian Bintang kembali mengkode Gavin tak mengerti apa yang harus dia lakukan setelahnya.

“Kalau kamu ngerasa tugas-tugas yang kamu kerjain sampai hampir stres itu sia-sia kamu salah besar, itu justru membuktikan kalau kamu itu orang yang bisa di percaya dan bertanggung jawab.”

*“Ngerasa capek banget dan ngeluh itu gak apa-apa, everyone must feel tired , tapi gak semua orang yang capek bisa istirahat kayak kamu saat ini, kamu bisa duduk santai karena tugas kamu di delay dan nanti kamu bisa langsung kumpul.”*

Gavin tersenyum ketika melihat si manis mulai menarik sudut bibirnya, “Makasih.”

“Jangan makasih sama aku, makasih tuh sama dosen kamu yang ngasih waktu buat nafas sebentar.”

“Tapi dia tetep ngeselin sih.”

“Hari ini mau makan apa?”

Drive thru* aja gimana? kita makan di rumah aja aku mau langsung rebahan abis makan.”*

“Dasar baboon.”

“Ish, tapi kak Gav makasih.”

“Thirza bisa gak kalau ngomong gitu jangan senyum.”

“Lah kenapa?”

“Langitnya sampe mendung, minder liat senyum kamu lebih cerah dari mereka.”

Setelahnya hanya di isi dengan tawa keduanya menggema di bersamai dengan suara musik yang menemani perjalanan mereka siang itu.

Biarlah untuk kali ini Bintang menikmati semuanya.

Setidaknya untuk kali ini saja.

Bintang can't help fall in love with him.


Gavin hampir kehilangan kewarasannya ketika dirinya tak memdapati kabar si manis yang tiba-tiba menghilang tanpa kabar seolah di telan bumi.

Dia mencari, namun tak seorangpun yang mau memberinya kejelasan seolah semua teman Bintang sepakat untuk menyembunyikannya.

Seolah memang hari ini dirinya di buat sangat naik turun emosinya, dia merasa sangat senang dan lega ketika mendapati telfon dari nomor yang sudah di nanti-nantinya, itu Bintang, Thirzanya.

“Kemana aja? Kenapa baru telfon sekarang? Dari kemarin aku tanya temen kamu mereka kayaknya kompak bilang gak tau atu memang sengaja gak mau ngasih tau aku?”

“Pelan-pelan bicaranya Gaviiiin.”

“Aku gak kenapa-kenapa kok, kemarin cuma ada acara keluarga sebentar. Gavin nanti bisa ya kita ketemu di Festival Kota Lama, aku mau naik bianglala, mau ya temenin aku pulang? kita bahas tentang Konstelasi.”

“Iya sampai ketemu di sana ya ganteng.”


Gava tidak akan pernah melupakan bagaimana binar cerah yang terpancar jelas dari manik si yang lebih muda, dia terlihat sangat antusias melihat lampu-lampu yang menyala menerangi setiap sudut pasar malam ini.

Sangat ramai karena acara ini hanya di gelar setiap tiga tahun sekali, setiap hari itu tiba semua warga akan merasa sangat antusias karena tempat ini akan sangat penuh dengan cerita dan cahaya penerang.

Yang lebih tua tak bisa terlalu banyak bertanya ketika melihat yang lebih muda sangat antusias, biarlah dia membiarkannya menikmati suasana festival ini dulu, perihal kenapa wajah yang biasanya merona semerah buah persik itu kini seolah kehilangan warnanya.

“Mau cerita apa? tadi di telfon katanya mau cerita.”

Setelah menaiki bianglala mereka mulai berputar menuju tempat tertinggi dengan perlahan, mereka duduk bersebelahan menghadap lagit malam bertaburan bintang.

Sangat cerah, bahkan Gavin sendiri tidak tahu kalau bintang-bintang bisa secerah itu.

“Aku cuma mau cerita soal Konstelasi rasi bintang, aku gak tau kenapa aku bisa suka banget sama rasi bintang, mungkin karena nama aku kali ya?”

“Aku sampai-sampai punya keinginan buat nulis buku yang isinya bahas soal rasi bintang tapi dalam bentuk cerita gitu, aku mau liat di halaman terakhir itu ada nama aku di dalamnya.”

“Kalau aku sih cuma suka liatin aja bintangnya, kadang nyusun bentuknya kalau keliatan gitu gak terlalu tertarik sih tapi menarik buat di bahas.”

“Kalau aku paling suka rasi bintang Andromeda, kebanyakan orang tau tempat yang paling banyak bintangnya itu Galaksi Bimasakti, padahal yang paling banyak itu Andromeda.”

*“Kalau Galaksi Bimasakti punya 100-400 miliar bingang, Andromeda punya kira-kira satu triliun bintang.”

“Aku paling banyak di sana hihihi.”

“Banyak banget, jadi kalau aku mau nyari kamu harus ke galaksi bimasakti atau ke Andromeda dlu?”

“Gak gitu konsepnya.”

Selanjutnya kembali di isi dengan tawa yang menemani heningnya malam diatas bianglala yang terus berputar.

“Kak makasih ya buat semuanya, aku ngerasa bahagia banget ada orang yang mau dengerin cerita panjang lebar aku soal rasi bintang padahal orang kebanyakan selalu muak kalau aku cerita soal itu mulu.”

Gavin hanya diam memberikan ruang untuk Bintang untuk terus berbicara.

“Makasih karena meskipun kakak pacaran sama aku karena Gistha yang minta.”

Tak ada yang bisa dia lakukan selain tubuhnya menegang seketika mendengar penuturan Bintang, Gavin tak pernah tau jika Bintang mengetahuinya.

“Tapi gak apa-apa, anggap aja aku gak pernah tau soal itu, malam ini biarin semuanya berlalu anggap aku gak tahu apa-apa. Aku tahu maksud Gistha baik dia sahabat aku.”

“Sekali lagi makasih kak Gavin udah mau nemenin aku pulang.”

Kalimat itu di sertai dengan gerakan tangan Bintang yang menggenggam tangan besar Gavin, tangan yang perlahan mulai mendingin itu memyelimuti lengannya.

Butiran bening itu perlahan mulai keluar dari mata Gavin membasahi pipinya, penglihatannya mulai mengabur, sedari tadi dia menahan tangisnya tapi semuanya pecah begitu saja ketika kepala Bintang besandar dengan perlahan di bahunya.

Bintangnya pulang, dan Gavin menemaninya.


“Bintang sakit keras gue gak tahu harus gimana Vin, dia sahabat baik gue dan gue denger sendiri dokter bilang umurnya gak akan lama lagi gue takut gak bisa ngasih kenangan yang baik buat dia. Satu-satunya fakta yang gue tahu baru-baru ini dia suka sama lo Vin dari dulu bahkan sebelum gue.”

“Jadi gue mohon kali ini Vin, tolong buat Bintang bahagia gue gak mau Bintang pergi dengan sedih, cuma elo yang bisa gue harapin, tolong buat kenangan indah sama Bintang.”

anouzume ©2021

Ethan Lee


sunghoon tidak pernah terfikirkan bahwa hidupnya bisa mendadak serumit ini, tubuhnya mendadak kaku, tangannya basah akibat keringat.

meskipun sering curiga dengan heeseung, sunghoon tak pernah terfikirkan kalau ethan lee iti benar-benar lee heeseung, tetangganya, teman dekatnya, orang yang sering dia curhati tentang seberapa sukanya dia dengan ethan.

otaknya mendadak malfungsi ketika membaca bubble chat yang di kirim oleh heeseung untuknya setelah sekian hari menghilang tanpa kabar seolah di telan bumi.

sinting.

sunghoon rasanya kepalanya hampir pecah ketika mendengar suara bel di depan rumahnya mulai di bunyikan beberapa kali, orang tuanya tak ada di rumah, hanya ada dia seorang diri, tak ada yang bisa membantunya untuk membuka pintunya.

dengan langkah yang ragu memutar kenop pintu, mengintip dengan perlahan sosok tinggi yang tengah berdiri dengan tegap tepat di depannya ketika dia berhasil membuka seluruh pintu.

nafasnya tercekat, heeseung menatap tepat pad matanya membuat sunghoon merasakan kecanggungan yang mendadak menyerang mereka untuk pertama kalinya.

itu ethan lee.

heeseung menggaruk tengkuknya canggung, “boleh gue masuk?”

sunghoon berdehem sebentar kemudian mempersilahkan heeseung untuk masuk kedalam rumahnya, mereka masuk kedalam kamar sunghoon, sebetulnya ini adalah hal yang biasa mereka lakukan heeseung sudah sering masuk kedalam kamarnya, namun untuk pertama kalinya sunghoon merasa aneh.

ada emosi baru yang datang menghampiri mereka, dan sunghoon tak tahu harus menyebutnya apa.

sunghoon menutup pintunya dengan perlahan kemudian mendudukkan dirinya diatas tempat tidurnya di samping heeseung.

sunghoon kemudian melirik heeseung yang melakukan sedikit pergerakan menaruh kedua tangannya kebelakang sebagai tumpuan.

yang lebih tua terkekeh padahal tak ada yang lucu sama sekali, kekehan dari pemuda di sampingnya itu kembuat sunghoon sedikit terpana, dia tak pernah mau mengakui kalau sahabatnya itu memang sangat tampan padahal memang dia sangat tampan.

“sejujurnya, gue gak tau harus mulai semuanya dari mana, lo pasti kaget.”

yang lebih muda mengangguk sebentar, “lo bisa mulai dari manapun.”

“gue ethan, ethan lee. penyanyi yang gak berani munculin wajahnya di depan publik, kalau kata jay sih, cupu.”

sunghoon tak mau menyela lebih memilih untuk diam dan mendengarkan semua cerita heeseung sampai selesai.

“semua tebakan lo tentang ethan itu bener, dia orang yang gak bisa terus terang tentang perasaannya sendiri. itu sebabnya dia nulis lagu buat ngungkapin rasa sukanya buat seseorang.”

sunghoon membatin dalam hati, sangat beruntung seseorang yang berhasil menaklukkan hati sahabatnya, pasti sangat terharu jika mengetahui jika semua lirik indah itu adalah untuknya.

“gue suka nulis lagu semenjak sadar gue suka sama dia, itu sekitaran waktu SMA kelas sepuluh, dan baru berani ngirim salah satu lagu ciptaan gue waktu kuliah semester pertama, awalnya gue kira lagu itu bakal dapat respon yang biasa atau justru kurang baik.”

“tapi ternyata boom, gue gak berekspektasi bakal serame itu, dan ya lanjut sampe sekarang, mereka masih suka ethan meskipun gak berani munculin wajahnya kedepan publik, termasuk elo.” dia tertawa kemudian melirik sunghoon yang menyimak ceritanya dengan serius.

“menurut gue lo keren, lo berani ngungkapin perasaan lo lewat lagu. dan jujur semua karya lo emang sekeren itu liriknya selalu nyampe di hati, lo gak cupu sama sekali enggak, lo hebat tau.” bibirnya maju beberapa senti seolah tak terima dengan heeseung yang tidak berbangga diri.

“tapi bisa lo jelasin kenapa foto gue bisa jadi sampul album elo? gue tau gue ganteng tapi rada ngeri juga, gue sempat panik tau.”

heeseung tertawa lagi tawa yang tampan membuat sunghoon terpana dan bingung dalam satu waktu, jujur dia tak bisa menebak makna dari tawa heeseung yang itu.

“gue lupa bilang kalau orang yang gue suka itu gak peka, kelewat gak peka.”

dasar gak jelas sunghoon membatin dalam hati.

dia di buat merengut saat heeseung dengan sengaja menjawir hidungnya dengan gemas, “tebakan lo semuanya benar tentang album khusus buat lo emang iya, bahkan dari album debut gue semua buat lo.”

sunghoon menatapnya aneh dan bingung di saat yang bersamaan, sungguh heeseung tak habis pikir butuh waktu berapa lama sunghoon bisa mencerna semua kalimatnya dengan benar.

“orang yang di taksir ethan itu elo, lemot.”

“HAH?”

“iya gue suka sama lo.” heeseung kemudian meraih puncuk kepala sunghoon untuk di usap dengan gemas membuat sang empu bersemu.

sunghoon dengan perpaduan warna jingga dari langit sore hari itu adalah perpaduan paling sempurna, paling indah, dan paling memabukkan.

“udah baca lirik lagunya kan?” sunghoon hanya mengangguk untuk menanggapinya, dia masih sangat kaget dengan fakta yang baru saja di ketahuinya.

“i didn't think you'd fall in love with me but i love you for 10000 years.” lagi-lagi dia tekekeh setelah menyanyikan beberapa lirik lagunya, “tentang perasaan gue gak usah lo pikirin, di sini gue cuma mau ngungkapin perasaan gue aja, tau gak hun gue sesuka itu sama lo sampai gak gau gimana cara buat ngungkapinnya, dan gue ingat lo suka dengerin lagu gue nyoba nulis buat ngungkapin semuanya.”

“tentang perasaan gue itu urusan gue, lo gak usah terlalu mikirin itu, yang penting gue udah ngungkapin semuanya ke elo, gue lega banget.”

“gue balik dulu mau rapihin barang-barang gue, jangan lupa mandi.”

heeseung berdiri hendak keluar sebelum gerakan sunghoon dengan cepat mendahuluinya, heeseung belum sempat mencerna semuanya ketika tubuhnya sudah berbaring diatas tempat tidur dengan sunghoon yang berada diatasnya.

raut wajahnya terlihat frustasi, wajahnya yang memerah berpadu dengan warna jingga langit sore membuat heeseung tersenyum menatapnya dari bawah, kemudian dengan perlahan merapikan helaian rambut yang menutupi mata.

dari dulu sampai sekarang heeseung tak pernah melihat orang lain selain sunghoon, hanya dia. semua tingkah lakunya yang terkadang sangat acak membuat heeseung selalu melihat kearahnya enggan untuk menatap yang lain.

heeseung tak bisa menjelaskan seberapa besar rasa sukanya kepada sunghoon, terlalu banyak sampai dia sendiri tidak tahu bagaimana cara untuk mengendalikannya.

“tau gak sih, gue hampir stres mikirin elo.”

tepat setelah kalimat frustasi itu keluar heeseung mengerjap beberapa saat, merasakan bibirnya bertubrukan dengan milik yang lain hanya sebuah kecupan yang lama sebelum kemudian heeseung memangutnya, menyesap bibir bagian bawah sunghoon bergantian.

sunghoon sendiri jangan di tanya sudah sejak lama dia memimpikan ini, dadanya seolah dipenuhi dengan sesuatu yang meledak-ledak, terlalu menyenangkan, sunghoon membalas semua pangutan yang di berikan heeseung, mengecap rasa setiap afeksi yang di berikan untuknya.

dia hampir gila dengan perasaan yang membuncah, meledak-ledak seperti kembang api, dan di sela-sela pangutannya dia dapat merasakan heeseung tersenyum kemudian mengeratkan pelukan di pinggangnya membawa sunghoon duduk diatas pangkuannya dengan dia sendiri bersandar di kepala ranjang.

tautan keduanya terlepas dengan kening yang masih menempel, saling menyelami netra masing-masing.

“so, park sunghoon will you be my 10000 years?”

sebuah pertanyaan yang telah di tunggunya setelah sekian lama akhirnya datang, sunghoon tersenyum kemudian mengangguk pelan kembali mendekatkan wajahnya untuk memangut yang lebih tua, membawanya kedalam afeksi yang lebih dalam, lebih intim.

dan siapalah mereka yang berani menolak satu sama lain, mereka melembur bersama dalam gejolak yang memabukkan, menyambut akhir dari sebuah penantian.

Jendral Marah


Hanan memarkirkan motornya di halaman rumah berlantai dua dengan halaman rumah yang luas di tumbuhi rerumputan hijau juga beberapa tanaman hias yang telah di tata sedemikian rupa, hanan melirik sebentar sebuah motor yang asing di matanya terparkir apik di halaman rumah ini.

namun hanan tak begitu ambil pusing, mungkin teman bang yesha, pikirnya.

dan tanpa ragu mengetuk pintu sebentar lalu di balas dengan suara yesha dari dalam sana untuk menyuruhnya segera masuk, saat masuk kedalam langsung di sambut dengan yesha yang tengah berkutat dengan laptop abu-abu miliknya.

“datang juga lo, langsung keatas aja kasian anaknya sakit bukannya minum obat tapi malah minta lo terus.” hanan tertawa menanggapi guarauan dari yesha.

“bunda kemana bang?” tanyanya setelah memperhatikan keadaan rumah yang cukup kosong, biasanya setiap kali dia datang bunda selalu ada di rumah.

“keluar bentar ada urusan, sekalian beliin satya soto, dia sakit banyak mau kayak orang lagi ngidam.” yesha tertawa “gak lo bikin ngidam beneran, kan?”

hanan hampir tersedak ludahnya sendiri, “istigfar bang.”

“becanda elah, udah keatas sana ada yasa juga lagi jengukin satya.”

satu alis hanan terangkat sebelah mendengar nama yang kerap kali di dengarnya kala menonton siaran perlombaan sirkuit di televisi, seharusnya dia sadar kalau motor yang di depan tadi itu milik si akun verified.

dan benar saja tepat saat hanan sampai di depan pintu, seseorang membukanya dari dalam sosok yang beberapa inchi lebih tinggi darinya itu menatapnya sebentar.

“hanan?”

hanan berdehem sebentar sebelum menangguk membuat orang tersebut mengangkat bahu dan alisnya dengan santai, “yasa temennya yesha, salam kenal, gue duluan temennya satya.”

hanan memandang datar sebentar agak tersinggung dengan gaya bicara pemuda di depannya, namun tak begitu ambil pusing langsung masuk kedalam kamar milik si manis yang di dominasi dengan warna pastel.

kedua bibirnya naik begitu saja mengukir wajah tampan hanan begitu melihat buntalan selimut diatas kasur itu tengah membelakanginya.

langkah kakiknya berjalan dengan pelan tanpa menimbulkan suara, namun agak terkejut ketika semakin dekat dia melihat sosok di balik buntalan itu sedikit bergetar, dan sekarang hanan bisa mendengar suara isakan perlahan meluai menyusul membuat hanan sedikit panik.

“satya, kenapa?” tak ada jawaban yang langsung membuat hanan meraih selimut yang menutupi seluruh tubuh satya.

meraih lengan satya membawanya kedalam dekapannya, sementara yang di dekap langsung membalas dengan erat menyembunyikan wajahnya di balik dada bidang hanan.

“satya.”

tak ada jawaban hanya suara isakan yang semakin mengeras di sertai dengan tarikan nafas yang tersendat akibat hidung tersumbat, jika saja satya tak sakit dia mungkin akan malu mengeluarkan suara itu.

“satya, kalau di panggil itu nyaut.”

“jendral jangan marah.” satya semakin membenamkan wajahnya pada dada hanan sesekali mengendus baunya meskipun agak sulit karena hidungnya tersumbat.

“enggak marah.” tangan besar hanan kini mengusap punggung satya yang masih sedikit bergetar, hanan bisa merasakan suhu tubuh satya yang memang lebih panas dari biasanya.

“kalau enggak marah, kenapa di panggil satya, marah kan?”

“enggak, makanya kalau lagi bicara itu liat orangnya.” kemudian mencoba untuk mengangkat wajahnya agar mau menatapnya namun anak itu saat sakit memang lebih sedikit keras kepala.

sangat bebal, tidak mau mendengarkan.

“satya.”

“jendral jangan panggil satya.” satya kemudian mengangkat wajahnya mengadah untuk melihatnya.

bekas air mata menjejak di wajahnya yang lebih pucat dari biasanya dengan hidung yang memerah. “iya makanga liat sini, kecil.”

“gak marah kan?” hanan menggeleng menanggapinya kemudian mengusap jejak air mata juga keringat yang membasahi dahinya membuat rambut satya sedikit lepek.

“lain kali kalau di bilangin itu di dengar, aku gak ngelarang kamu buat makan eskrimnya tapi aku bilang kamu harus tau batasan, eskrimnya bisa di simpan buat besok, aku cuma gak mau kamu sakit kayak gini.”

satya mengangguk yang di sertai dengan menarik napasnya yang tersumbat sebentar kemudian kembali memeluk hanan dengan erat.

“tadi sama yasa ngapain aja?”

“gak ngapa-ngapain, dia datang jenguk satya aja.” jelas satya yang membuat hanan hanya mengangguk paham.

“jangan cemburu sama kak yasa.”

“siapa yang cemburu.”

“aku, kan jendral memang cemburuan, kayak yang kemarin waktu aku di ajakin kak yasa ke partynya.”

“itu mah kamu aja yang pergi gak bilang-bilang.”

“yang bener?”

“hmm.”

“berarti boleh dong pergi sama kak yasa lagi.”

“gak ada yang nyuruh kamu buat pergi sama dia, dia punya pacar jangan cari masalah.”

“bilang aja cemburu.”

“enggak.”

“iya jendral cemburu.”

“enggak.”

“kalau memang gak cemburu, cium.” satya menengadahkan wajahnya menatap hanan membuat jarak mereka semakin menipis.

hanan ikut memajukan wajahnya, menyatukan dahi mereka, satya bisa merasakan nafas hanan mulai menyapu kulitnya membuat satya menutup matanya sebentar untuk menikmati setiap kehangatan yang di berikan hanan untuknya.

satya terus menantikannya namun setelah beberapa menit berlalu hanan tak melakukan gerakan apapun, kini malah menjauhkan wajahnya membuat satya menatapnya bingung penuh tanda tanya.

yang lebih tua kini menyentil dahinya membuatnya mengaduh, “kamu kecil gak boleh cium-cium.”

“jendral aku sudah dewasa udah boleh cium, sekarang ayo cium.”

“siapa yang ngajarin?”

“di ajarin azka, katanya aku udah boleh ciuman sama hanan karena udah tujuh belas.”

“kamu kecil kayak gini dewasa dari mananya.” hanan memgeratkan pelukannya membuat satya semakin tenggelam dalam peluknya dengan dagu yang di tumpukan di atas kepala satya.

“jendraaaaaal ayo cium.” satya yang merengek itu sebenarnya membuat hanan hampir kelepasan namun tersadar setelah beberapa saat.

“kenapa jadi minta cium terus?”

satya tampak berfikir sebentar sebelum kemudiam menghela nafas sebentar, “sebenarnya aku habis nonton drama, orang kalau kayak aku sama hanan itu pasti ciuman, tapi kenapa kita enggak?”

“yang kayak kita memang kayak apa?”

“ish, hanaaaaaaaan.”

“aku nanya, kecil.”

“yang kayak kita, aku sayang hanan, hanan sayang aku, iya kan?”

tatapan polos yang di berikan satya itu membuat hanan tertawa, sungguh kenapa satyanya sangat polos?

hanan memilih untuk tidak menjawab kemudian dengan gerakan cepat mengecup bibir satya beberapa detik kemudian menyudahinya sebelum satya sadar apa yang baru saja hanan lakukan.

“iiiih, itu apaaa? jendraaaal.”

“cium kan?”

“enggak berasa, lagiiii mau yang lama yang berasa.”

“sembuh dulu sana baru minta cium yang lama.”

“ish.”

Suara Untuk Hanan ; Setelahnya

angst, hurt comfort.


ada begitu banyak andai yang mengawali setiap penyesalan, andaikan saja hanan tak pernah setakut itu dia mungkin masih memggenggam satya saat ini, masih melihat senyum manis yang selalu di berikan satya untuknya meskipun dia sama sekali tak membalasnya.

andai saja waktu bisa di putar hanan ingin kembali memutar hari dimana satya masih ada.

andai saja bisa di rubah dia ingin dia saja yang pergi, bukan satya.

andai saja semuanya tak begini hanan tak akan berakhir dengan sebuah flashdisk di tangannya memutas sebuah rangkaian video yang di berikan azka beberapa hari lalu dengan tangan bergetar menahan tangis.

“dari satya.” katanya waktu itu.

videonya di mulai dengan penampakan wajah satya yang begitu dekat dengan kamera, dia tertawa sebentar kemudian mundur lalu duduk perlahan.

tangannya di infus, dengan selang pernafasan yang melekat di hidungnya satya masih sanggup tersenyum lebar hingga matanya tertutup ikut tersenyum

nafas hanan tecekat di setiap sekonnya, dia tengah menyiksa diri.

“halo kak hanan, kalau video ini sudah sampai di tangan kak hanan itu artinya kita gak bisa ketemu lagi.” senyum itu masih terlihat dengan jelas di wajah satya membuat hanan tersiksa setengah mati

“kakak ingat gak waktu aku bilang aku mau nyanyi buat kakak seenggaknya sekali aja, sekarang aku mau nyanyi buat kak hanan.”

hanan ingat, dia mengingat semuanya dengan jelas.

“judul file ini nantinya 'suara untuk hanan' aku udah nyuruh azka kalau nama filenya gak boleh di ganti, karena suara ini memang buat hanan.”

hanan masih terus menonton tanpa suara, tapi matanya menyiratkan semuanya, tercetak jelas di dalam sana.

“maaf banget rekamannya harus pakai baju kayak gini, soalnya udah gak bisa ganti lagi hehehe, lagu ini buat hanan orang yang paling satya kagumi satu dunia eh satu galaksi deng.”

selanjutnya itu di isi dengan bait pertama dari lagu yang dinyanyikan satya, suaranya merdu menjadi candu tersendiri untuk hanan.

di sela-sela dirinya menyanyi satya melirik sebentar kearah samping melirik kearah azka yang selalu menemaninya hingga saat ini.

hanan tak melihatnya tapi hanan tahu azka saat itu sama seperti dirinya saat ini, tersiksa.

suara merdu satya memenuhi ruangannya hanan memutarnya dengan volume penuh, kemudian menatap keluar sana dimana hujan turun dengan begitu kerasnya.

seolah sedang mengejek hanan yang di selimuti rasa penyesalan.

lagu itu berakhir dengan satya yang sedikit terengah namun masih bisa tersenyum.

“suara aku udah gak sebagus dulu tapi semoga masih enak di dengar.”

persetan, ini adalah suara terindah yang pernah hanan dengar.

“aku juga udah gak bisa nyanyi lama-lama lagi gak bisa nafas hehe, apalagi selang ini malah makin buat aku susah nafas, tapi gak apa-apa aku masih bisa tahan buat sebentar lagi.”

“kak hanan setelah ini hidup dengan baik ya? makan-makanan sehat, minum vitamin, rajin olahraga... jangan sakit kayak satya.”

satya menunduk sebentar saat mengatakan kalimat terakhirnya, kemudian kembali mengangkat wajahnya sambil tersenyum, senyum yang berbeda kali ini.

satya menangis dalam senyumnya, “video ini aku kasih buat kak hanan bukan buat apa-apa serius, kakak jangan marah aku cuma mau wujudin keinginan terakhir aku buat kak hanan.”

“maaf karena satya datang mengusik kehiduapan hanan yang tenang, maaf cuma itu yang bisa aku lakuin supaya kak hanan bisa ingat aku, aku cuma mau kak hanan ingat satya, satya yang sayang sama kak hanan.”

satya mengusap air matanya seperti anak kecil di dalam sana, membuat sesuatu di dalam diri hanan meronta, di ingin menghapus air mata satya, tak seharusnya satya yang menangisinya.

“videonya udahan ya kak, bentar lagi dokter datang, selamat tinggal kak hanan, aya sayang kakak.”

karena dalam cerita ini jika ada orang yang harus menangis, itu artinya hanan yang seharusnya menangis.

•••

hujan deras membasahi seluruh kota pukul dua malam dini hari tak mengurungkan niat hanan untuk menghentikan dirinya.

pakaiannya basah kunyup oleh hujan, jalanan yang sepi di sertai suara berisik hujan menjadi irama pengiring kesedihannya malam ini.

mengendarai motor seperti orang kesetanan di tengah hujan, hanan tak peduli dia hanya punya satu tujuan malam ini.

kaki panjang hanan melangkah perlahan dengan sebuah bucket bunga yang telah basah di guyur hujan.

berjalan dengan sempoyongan menuju sebuah makam yang masih baru, bunga-bunga yang menyelimutinya masih terlihat segar bahkan setelah beberapa hari terlewati.

untuk pertama kalinya hanan datang bersimpuh di hadapan pusara satya menangis dalam diam di temani dengan derasnya hujan yang seolah tak ingin reda untuk menemani hanan.

tak peduli dengan bajunya yang kotor dengan tahan hanan memeluknya berteriak mengeluarkan semua kesedihan yang telah di tahannya selama berhari-hari.

tangisnya tumpah juga, meremat tanah yang telah bercampur bunga di sekitarnya.

dia tak pernah punya kesempatan untuk memeluk satya bahkan di saat terakhirnya.

“aya, rasanya aku hampir gila, aku rindu setengah mati.”

“kamu jahat aya, kamu pergi tanpa mau ngasih tau aku.”

“maaf, aya maafin hanan.”

malam ini hanan menangisi satya menangisi dirinya sendiri.

“kamu bilang kamu selalu nunggu aku buat pulang ke kamu, aya aku mau pulang, mau pulang ke kamu.”

satya telah pulang tanpa tahu kenyataan bahwa dia tak benar-benar jatuh sendirian.

00:00


sunghoon mulai panik, menatap sekitarnya dengan tangan mengepal berkeringat, dia tak pernah pergi selarut ini bahkan bersama heeseung sekalipun.

ini hampir jam dua belas malam dan dia belum berada di rumah, ponselnya mati total tak bisa menghubungi bundanya yang kemungkinan mulai panik mencarinya.

“jun... ayo pulang.” sunghoon menarik lengan baju pemuda yang terlihat asik berbincang dengan kawannya.

“santai aja kali, tenang baru jam berapa.” pemuda yang sedari tadi berbincang dengan junho menimpali.

demi apapun, sunghoon bukan mereka yang biasa keluar hingga selarut ini dia tidak sebebas itu, dan rasanya sunghoon hampir menangis ketika junho meraih pingangganya membuat tubuh mereka berdempetan, tak berjarak sama sekali.

“bukannya kamu seneng aku ajakin pergi kayak gini karena heeseung gak pernah ngijinin kamu? nikmatin aja.”

selepas kalimat itu keluar dari bibir junho otaknya mendadak malfungsi, junho mengcup pipinya sebentar di hadapan semua teman-temannya yang mana di tanggapi sorakan oleh mereka, sunghoon ingin menangis.

belum sempat dia memproses semuanya mereka di kejutkan dengan kedatangan beberapa motor yang berhenti dengan kasar tetap di samping mereka, sunghoon berbalik menatap seseorang yang kini melepas helemnya.

heeseung berjalan kearahnya dengan tatapan datar.

“lepasin tangan lo.”

junho mengangkat alisnya mengejek, kini malah mengeratkan rangkulan tangannya pada pinggang sunghoon, sunghoon tak tahu harus bagaimana heeseung yang ada di hadapannya kali ini berbeda, tak ada senyum yang selalu menyambutnya ketika mereka bertemu.

“sans bro, cowok lo sendiri yang mau, ngomong-ngomong cowok lo manis. sayang banget lo datang kecepatan gue baru nyoba pipinya.”

semuanya berlalu dengan sangat cepat ketika tinju heeseung mendarat tepat di wajah junho membuat sudut bibirnya berdarah, junho meludah memegangi rahangnya yang terasa seperti bergeser dari tempatnya.

teman-teman heeseung yang tadi datang bersamanya melerai mencoba menghindari pertengkaran, “gak akan selesai kalau sama dia seung, mending lo bawa pulang sunghoon sekarang dia kayak ketakutan.”

yunseong membuka suara membuat heeseung langsung melirik kearahnya tanpa ekspresi, dia menarik sunghoon untuk segera ke motornya memakaikan jaketnya dengan hati-hati pada sunghoon.

“heeseung...”

“Pulang.”

•••

rasanya aneh ketika sepanjang perjelanan hingga sampai di depan gerbang rumahnya tak ada sepatah katapun yang keluar dari bibir heeseung, padahal pemuda itu selalu punya cerita ketika mereka berdua mereka tak pernah diam jika sedang berboncengan untuk sekedar menelusuri kota di sore hari.

tapi malam ini berbeda rasanya sangat sepi, hanya ada suara kendaraan yang saling menyalip heeseung bahkan mengendarakan motornya dengan kecepatan cukup tinggi padahal biasanya dia lebih suka melambatkan laju motornya ketika mereka bersama.

dan ketika mereka sampai di depan rumah sunghoon bisa melihat bundanya beridiri di depan pagar dengan wajah khawatir dan ayahnya berdiri di sampingnya.

“sunghoon dari mana saja? kamu buat bunda khawatir, kenapa telfonnya gak bisa di hubungin?” bunda menangkup wajah sunghoon memperhatikan setiap incinya.

“maaf, handphone sunghoon mati.”

“dari mana saja kamu? jam berapa sekarang.” sunghoon menunduk mendengar suara lantang ayahnya.

“heeseung minta maaf karena bawa sunghoon sampai selarut ini.”

sunghoon menatap heeseung yang kini menunduk di hadapan ayahnya, sambil terus mengucapkan kata maaf.

“lelaki macam apa yang mengingkari janjinya sendiri? ini yang kamu bilang mau serius sama anak saya? baru saya suruh kamu untuk tidak membawa dia sampai selarut ini saja sudah tidak bisa. bagaimana bisa saya mau percaya kamu kalau seperti ini?”

“saya salah om, saya minta maaf.”

sunghoon tak pernah tau kalau heeseung pernah membuat pernjanjian dengan ayahnya.

“ayah, heeseung gak salah, ini salah sunghoon.”

“Kamu diam! masuk kedalam rumah.” sunghoon tersentak kemudian langsung menunduk, dia cukup tahu diri telah membuat kesalahan.

sunghoon menolak ketika bunda membawanya untuk masuk namun bunda memaksa ini bukan waktu yang pas untuk memberontak ayahnya sedang marah besar.

dan ketika masuk kedalam rumah sunghoon segera berlari menuju ke kamarnya yang berada di lantai dua, membuka jendela dan melihat keluar, heeseung sudah memakai helemnya diatas motor kemudian melaju dengan kecepatan tinggi tanpa melirik, padahal heeseung selalu melirik ke jendela kamarnya dimana sunghoon selalu memperhatikannya ketika pulang mengantarnya.

malam itu heeseung pergi meninggalkan sunghoon dengan sejuta rasa bersalah, berkali-kali mengucapkan kata maaf yang tak bisa di dengarkan heeseung.

jake benar dia memang mudah goyah.

Part of kama sutra — ketiga


“heeseungie, hoonie mau lagi.”

tak ada jawaban dari heeseung ketika kalimat itu keluar dari bibir si manis dengan wajah berkeringat, memerah menahan gairahnya yang masih menggebu-gebu.

dia memilih untuk melepaskan tautan mereka membuat sunghoon melenguh—merengek tak terima ketika milik heeseung tidak lagi memenuhinya.

“k—kenapa di keluarkan?”

heeseung tak menjawab kali ini duduk berhadapan dengan sunghoon yang kini menghadapnya dengan kedua kaki bertumpu pada paha memperlihatkan penis kecilnya yang memerah menegang malu-malu.

“lebih dekat sayang.” ucap heeseung dengan suara seraknya membuat sunghoon mengerjap sebentar.

selama menjalani kehidupan kotor—erotis nya sunghoon tak pernah mendapati partnernya memanggilnya dengan sebutan seperti itu, ini pertama kalinya dan sunghoon bisa merasakan pipinya memanas dengan gairah yang kembali memuncak.

“u-uuh.” sunghoon kebingungan otaknya mendadak berhenti bekerja.

“kubilang lebih dekat, apa itu kurang jelas.”

“sebut lagi.”

“lebih dekat sunghoon.”

si manis menggeleng, “yang tadi, panggil seperti yang tadi.”

heeseung menaikkan sebelah alisnya menatap sunghoon dengan smirknya, “saya bukan cenayang yang bisa langsung menebak kata yang kamu maksud.”

“u-uuh ituuuu, panggil itu...”

“lebih jelas sunghoon atau kamu saya tinggalkan.”

“sayang, panggil sayang lagi.”

heeseung tertawa puas dalam hati, “sunghoon sayang kemari duduk lebih dekat.”

sedetik kemudian sunghoon sudah duduk diatas pangkuan heeseung mengalungkan kedua tangannya dengan erat memyembunyikan wajahnya di perpotongan leher sang dominan, menghirup aroma parfum heeseung yang tertinggal di tubuhnya meskipun mereka telah melewati beberapa jam yang panas dan penuh keringat.

sunghoon tak bisa lagi untuk menjelaskan bagaimana rasanya ketika heeseung balas memeluk pinggangnya dengan erat dan mengecup pelipisnya beberapa kali, dadanya di penuhi perasaan membuncah, seolah sesuatu di dalam perutnya meletup-letup.

“aku harus melanjutkan pekerjaanku, masih banyak yang harus aku lakukan.” heeseung hendak beridiri tetapi sunghoon menahannya dengan kembali mengeratkan pelukannya.

“ikut, aku bisa duduk di pangkuanmu selama kau mengerjakan perkejaan sialanmu itu.” sunghoon mendengus di akhir kalimatnya.

heeseung sendiri tak banyak bertanya langsung mengangkat tubuh sunghoon yang cukup ringan, membawanya keluar dari ruangan itu menuju ruang kerjanya yang beberapa jam lalu sempat terlupakan.

•••

sunghoon menumpukan kepalanya di pundak heeseung menatap rak-rak buku yang mengelilingi ruangan ini dengan tangan yang masih memeluk heeseung erat, kakinya yang menggantung beberapa kali di goyangkan kesana kemari untuk menghilangkan rasa bosan karena heeseung benar-benar fokus bekerja dengan sunghoon di pangkuannya.

mereka masih bertelanjang bulat, omong-omong.

si manis menatap bosan matanya mengerjap mengantuk beberapa kali, sunghoon tak suka buku dan tidak akan pernah menyukainya, maka bisa di simpulkan dengan jelas bahwa sunghoon tak menyukai ruangan ini.

namun lain cerita jika dia harus duduk di pangkuan heeseung tanpa pakaian, rasanya ini bisa jadi ruangan favoritnya jika mereka kembali melakukan kegiatan sebelumnya di ruangan ini, seperti rimming contohnya.

membayangkannya saja sudah membuat sunghoon basah, apalagi penisnya yang sedari tadi cukup tegang tapi sunghoon bisa menahannya, dia harus bertindak pelan-pelan.

sebetulnya banyak sekali pertanyaan yang bercabang di kepalanya tentang pemuda yang tengah memangkunya ini, diam-diam sunghoon memperhatikannya. heeseung punya rahang tegas, hidung mancung, mata besar, dan bibir yang sexy, dada yang bidang sunghoon bisa bersandar dengan nyaman di sini.

padahal jika dulu dia di suruh untuk menjelaskan tentang lee heeseung dia hanya akan menjawab,

“si kacamata besar idiot yang membiarkan dirinya di tindas para bajingan menjijikkan di dalam kelasnya.”

dan sekarang jika di lihat mereka benar-benar dua orang yang berbeda, sangat jauh berbeda.

“kau tidak bosan menatapku seperti itu?” sunghoon kemudian menatap heeseung yang kini sedikit menunduk untuk menatapnya.

“tidak, kau tampan sangat tampan tapi akan lebih tampan jika kita melakukan sesuatu yang seperti tadi misalnya?” sunghoon berucap santai sambil tangannya bermain di wajah si tampan.

“hormon mu meledak-ledak tak terkendali.”

“kau yang membuatnya kehilangan kontrol, jadi kau harus bertanggung jawab.” sunghoon sengaja bergerak menggesek penisnya pada paha heeseung membuatnya mengerang tertahan.

heeseung berdecak sebentar sebelum kemudian menarik sunghoon untuk berhadapan dengannya menatap tepat pada matanya yang memohon seperti anak kucing, benar-benar tidak terkontrol.

dia kemudian meraih lengan sunghoon untuk di kalungkan lagi pada lehernya, menatap lekat sunghoon yang juga tanpa henti menatapnya, tangannya bergerak pelan mengusap kulit lembut sunghoon membuat sang empu mengerang kecil.

usapan-usapan itu kemudian terus merambat semakin keatas dari bawah pinggang hingga di depan dada sunghoon, tangan heeseung kemudian meletakkan kedua tangannya di dada sunghoon.

heeseung berhenti lalu menatap sunghoon serius, “ikuti aku.”

si tampan itu kemudian mempertemukan kening mereka, saling bertemu menatap satu sama lain dalam. heeseung meremas sensual dada sunghoon kemudiam menghirup dan menghembuskan nafasnya.

entah tau dari mana sunghoon mengikutinya menghirup dan menghembuskan nafasnya seiringan dengan heeseung.

sunghoon tak pernah melakukan ini sebelumnya, hanya dengan remasan dan hembusan nafas sensual sunghoon merasa dirinya hampir gila tubuhnya panas seolah terbakar, apalagi tatapan dalam heeseung benar-benar menghipnotisnya.

heeseung tak melakukan apapun kecuali meremas dadanya sensual tapi rasanya sunghoon hampir sampai dengan hirup dan hembusan nafas erotis itu, rasanya seperti melayang.

“hh-heeseung, haahh ugh.”

heeseung menikmati setiap gerakan tangannya yang meremas dada sunghoon, menikmati tiap desahan yang keluar dari bibir sunghoon, sangat menggoda membuat sesuatu di dalam dirinya bangkit.

“angh, enak huhu heeseung lagii.”

heeseung tak banyak bertanya dia hanya melakukan apa yang di minta sunghoon, hembusan nafas mereka masih terus beriringan bersama dengan tatapan yang saling menyelami iris masing-masing.

rasanya heeseung hampir gila melihat sunghoon dengan nafas putus-putus mendesah kenikmatan di depan wajahnya sambil terus menatapnya.

“little slut.” sunghoon mengangguk hendak mencium heeseung namun heeseung menghindarinya.

“sayang.” nafsunya kian tidak terkontrol ketika heeseung berucap sambil menatapnya dalam.

“hh-heeseung.”

“little slut atau sayang?”

“s-sayang.”

“sayang mau keluar?”

sunghoon mengangguk ribut bagai lampu hijau untuk heeseung, membuat remasan di dada sunghoon semakin sensual dengan hembusan nafas yang teratur.

hidung mereka bersentuhan heeseung bernafas pelan di depan wajah sunghoon sehingga sunghoon bisa merasakan hembusan nafas hangat heeseung menerpa kulitnya.

sunghoon merasa aneh, dia tidak mengerti dengan dirinya sendiri, bagaimana bisa dia hampir sampai ketika heeseung sama sekali tidak memasukinya.

dan tepar ketika heeseung menciumnya dengan pelan, tubuh sunghoon merespon dengan getaran lemah dia sampai pada putihnya dengan ciuman heeseung.

setelah beberapa menit dengan ciuman panas mereka heeseung melepaskan tautan mereka secara sepihak membuat sunghoon hendak meraih heeseung kembali dengan merengek tidak terima.

“seharusnya kamu yang memuaskan saya, bukan malah sebaliknya.” heeseung terkekeh sebentar kemudian menyisihkan rambut sunghoon yang lepek karena keringat.

“Aku bahkan bisa melayani semalaman.”

•••

sunghoon mengerjap pelan mengucek matanya ketika baru bangun dari tidurnya, sepertinya dia tertidur sangat lama karena ketika dia bangun heeseung sudah tidak ada ada di sampingnya.

dengan buru-buru sunghoon meraih celana pendek dan kemeja kebesaran yang ada di lemarinya, berjalan dengan cepat-cepat berjalan melewati akuarium berisikan hewan ganas yang masih membuat sunghoon merinding melewatinya dia bahkan tak berani melirik, namun persetan mencari heeseung lebih penting saat ini tudak peduli dengan bagian bawahnya yang masih terasa nyeri dia berjalan cepat-cepat menelusuri anak tangga mansion yang sialnya sangat panjang, sunghoon merutuk dalam hati.

“hadang mereka di perairan manila jangan sampai lepas, ingat jangan sentuh mereka sebelum saya sampai.”

tepat setelah kalimatnya selesai heeseung mematikan telfonnya secara sepihak, kemudian berbalik menatap sunghoon yang beridiri tak jauh dari sampingnya bertopang dagu pada pembatas anak tangga terakhir.

heeseung tersenyum sebentar kearahnya lalu berbalik hendak keluar membuat sunghoon melotot, apa-apaan?

“kau mau kemana?”

“bruke akan mengantar saya ke bandara sekarang.”

“hah?”

“saya harus buru-buru.”

sunghoon mengikuti langkah kaki heeseung keluar dari mansion, bruke —lelaki berkulit gelap yang di temuinya beberapa waktu lalu, telah menunggu heeseung dan membukakan pintu membiarkan heeseung masuk kedalam sana.

“kau meninggalkanku?!” ucapnya gak terima.

“aku akan kembali dalam 20 jam.”

dan tanpa menunggu balasan sunghoon mobil sedan hitam itu telah melaju meninggalkan sunghoon di dalam mansion di tengah hutan.

sunghoon kemudian menatap sambil mendengus memandangi seluruh bagian mansion saat di lihat dari luar, beberapa pelayan berlalu lalang. rasanya cukup aneh ketika sunghoon menyadari dalam sekejap mata kehidupannya seolah berubah total, tapi toh dia tidak peduli-peduli amat.

mobil sedan berwarna silver tiba di depan mansion saat sunghoon hendak masuk yang mana membuatnya segera berbalik menatap mobil itu behenti kemudian sosok wanita dengan sepatu boots dan jaket kulit keluar dari dalam mobil itu.

“w-wow santai, turunkan senapan kalian sebelum aku melubangi kepala kalian lebih dulu.”

gadis itu memgakat kedua tangannya menatap keatas sana membuat sunghoon ikut melihat, matanya sedikit membola ketika mendapati beberapa pengawal mansion menodongkan senapan dari celah-celah dinding mulai menurunkan senapannya membuat sunghoon mengerjap pelan, semuanya terjadi dengan sangat cepat.

wanita itu kemudian menatap sunghoon dari atas sampai bawah dengan tatapannya tajamnya, membuat sunghoon merasa tidak nyaman.

“pemandangan seperti ini adalah hal yang biasa, tak perlu seperti itu dan jangan menatapku seperti kau habis melihat hantu.” ucap gadis itu panjang lebar.

lalu berjalan santai kemudian merangkul sunghoon sok akrab berjalan masuk kedalam mansion, para pelayan menunduk padanya dan sunghoon mulai paham orang ini adalah kenalan heeseung.

“aku tak menyangka dia benar-benar membawamu kemari.”

“maksudmu?”

“kau tidak sadar ya jika lelaki sialan itu tengah menyandramu?”

The Gamer

cw //harsh words, nsfw, anal sex, handjob, blowjob, used vibrator, please be careful, read own your risk.

© anouzume


“Shit hoon, aku lagi main.”

heeseung mendesah tertahan ketika sunghoon dengan sengaja mengelus pelan celananya dengan sensual, abai dengan heeseung yang terus-terusan menyuruhnya agar berhenti.

sunghoon tak pernah suka saat dia di abaikan, apalagi jika heeseung mulai lupa dunia karena bermain game. pemuda itu akan sangat sulit untuk di alihkan perhatiannya, dan sunghoon punya senjata rahasia untuk itu.

jari-jari lentik mengusap kepemilikan heeseung yang masih terbalut celana, mengusap sensual secara perlahan, sunghoon mendengus ketika heeseung kini malah lanjut fokus dengan gamenya.

suara tembak-tembakan yang berasal komputer yang ada di hadapan heeseung memenuhi ruangan minim pencahayaan ini.

“mati lo.” heeseung berucap dengan serius kemudian menembaki lawannya habis-habisan membuatnya tertawa puas.

“senjatanya seung, ambil.” seseorang di seberang sana mengintrupsi.

sunghoon mendengus kali ini dia bersumpah akan mengambil alih perhatian heeseung sepenuhnya.

tangannya menarik resleting celana heeseung perlahan, memperlihatkan miliknya yang sedikit membesar karena elusan sensualnya tadi.

“sunghoon astaga, jangan dulu aku lagi main.” namun sunghoon enggan mendengarkan.

kini beralih mengocok pelan penis heeseung, sesekali mengelus lubang uretranya, berniat untuk semakin menggoda heeseung.

“sshh—” satu desahan tertahan keluat begitu saja dari mulut heeseung.

sunghoon tersenyum miring, kali ini dia tidak akan kalah. tangannya semakin gencar mengocok perlahan naik-turun secara teratur.

“heeseung anjir ngapain diem di tempat aja, tolol itu musuh di belakang elo bangsat.” heeseung tersentak mendengar umpatan dari salah satu temannya di seberang sana, Jay.

melihat heeseung yang kembali terfokus dengan gamenya alis sunghoon menukik, mempercepat kocokannya.

“ahhh pelan-pelan, hoon.” namun sunghoon tak peduli, kocokannya semakin cepat dan semakin cepat, membuat heeseung beberapa kali kehilangan fokusnya.

“anjing seung lo kenapa gak fokus gini sih, open mic bangsat cepetan, nanti lo mati gara-gara mendadak jadi noob gini.”

heeseung tanpa berpkir panjang, menyalakan micnya. “mencar-mencar.” jelas heeseung.

“sekarang kenapa malah mencar sih, lo kalau gue tinggalin bisa mati lo, soalnya mendadak jdi noob banget.”

“justru kalau lo ngikut terus makin gampang kita kalah bego.”

“lah iya juga.”

“ahh sunghoon berhenti dulu, habis ini kita main.” ucapnya tanpa menatap sunghoon yang sedari tadi mengemis untuk di perhatikan.

si manis menatap heeseung tak suka, padahal penisnya sudah tegang parah tapi sempat-sempatnya dia hendak menundanya demi game sialan itu.

sunghoon kini beralih yang pada awalnya duduk di samping heeseung kini berada tepat di selangkangan heeseung dengan wajahnya yang berhadapan langsung dengan penis tegang milik heeseung.

meraihnya dengan jemari lentiknya, mengendus dan mengecup-ngecup penis heeseung pelan dari bawah hingga kepala penisnya, mengecup dan menjilatinya sesekali membuat heeseung kelepasan untuk mendesah kenikmatan.

heeseung mengerang kenikmatan ketika merasakan benda lunak basah tak bertulang itu menjilat lubang uretranya meninggalkan kesan yang menakjubkan hampir membuat heeseung kehilangan kewarasannya.

“sungghoon berhenti dulu.”

si manis tak mendengarkan kini malah memasukkan setengah dari penisnya kedalam mulutnya.

heeseung bisa merasakan hangat dan basah mulai menyelimutinya, “heeseungiee ayo ngewe.”

sunghoon merengek dengan mata memohon seperti anak anjing di bawah heeseung.

shit.

“buka celana kamu dulu.” dan tanpa di suruh dua kali sunghoon langsung menurunkan celana trainingnya dengan mudah dalam sekali tarik memperlihatkan penis merah mudanya yang lebih kecil di bandingkan milik heeseung mulai menegang, lucu.

heeseung kemudian mengintrupsinya untuk membelakangi heeseung dengan kedua tangan bertumpu pada meja, membuatnya telihat menungging di hadapan heeseung.

tangan besar heeseung kemudian beralih mengambil sesuatu di dalam lacinya, membuka sebotol lube dan mengolesnya perlahan pada lubang berkendut sunghoon.

jari-jarinya menggoda lubang sunghoon dengan mengelusnya pelan memasukkan ujung jarinya lalu mengeluarkannya begitu saja membuat sunghoon merengek.

“hheunggg, masuk.”

heeseung tersentum remeh sebentar lalu mengambil sebuah vibrator irena berwarna pink dari dalam lacinya, memasukkannya dengan kasar kedalam lubang sunghoon mengontrolnya dengan kecepatan penuh membuat sunghoon mendeking.

“aahh.”

“Aku mau lanjut main.” ucapnya sambil menatap sunghoon remeh.

sunghoon mengumpat dalam hati, ini hukuman untuknya karena menganggu heeseung yang sedang bermain.

“lo habis ngapain sih, brisik banget.”

“biasa anak kucing gue, minta kawin.” pemuda itu tertawa di akhir kalimatnya.

“sejak kapan lo punya kucing?” pemuda di seberang sana bertanya heran.

“kucing gede, udahlah fokus sekarang kita bantai semuanya.”

“gas lah.”

mereka kemudian melajutkan permainan mereka, heeseung melupakan sunghoon yang masih terus menungging bergetar dengan vibrator menyumpal lubangnya.

“hnng h-heseungh.”

“brisik sunghoon, aku lagi open mic.” ucap heeseung tegas dan pelan, membuat sunghoon bungkam menahan desahannya.

sunghoon mati-matian menahan desahannya dengan menggigit bibirnya, bagian bawahanya terasa sangat menakjubkan vibrator dengan kecepatan tinggi dengan lubangnya adalah perpaduan yang gila, rasa nikmati sekaligus sakit menyerangnya bersamaan sunghoon rasanya hampir gila di buatnya.

susah payah sunghoon memutar badannya dengan tubuh bergetar, duduk bertumpu di depan penis heeseung yang sempat di abaikannya dengan kedua pahanya membuatnya sedikit menungging.

sunghoon menggelinjang pelan meraih penis tegang heeseung, mengecupnya pelan membuat heeseung meliriknya sebetar kemudian kembali menatap layar komputernya.

“hhngmff.” desahannya tertahan dengan penis heeseung yang kini menutupi mulutnya.

sunghoon menutup matanya menikmati sensasi yang semakin membakar gairahnya untuk melakukan hal yang labih lagi.

“fuck, sunghoon.” heeseung mengumpat pelan saat kembali menunduk mendapati tubuh sunghoon menggelinjang, nafasnya terputus-putus memakan penis heeseung.

sepertinya sunghoon memang benar-benar berniat untuk menggodanya.

Heeseung kemudian menarik tangan sunghoon membuatnya berhenti memakan penis heeseung, kini beralih dengan tubuh masih bergetar hebat duduk di pangkuan heeseung.

sunghoon merengek menggesek kemaluan mereka sembari menahan desahannya membuat heeseung terkekeh tampan yang mana membuat sunghoon langsung berfantasi heeseung akan segera mengganti vibrator itu dengan penisnya sendiri.

“look at you sunghoon, sangean.”

bukannya marah mendengar kalimat mencemooh dari heeseung, gairahnya justru semakin terpancing.

“hhangg hueee, m-mau heeseung.”

“kamu mau apa, sayang?”

dengan tubuh bergetar sunghoon mengalungkan kedua tangannya di leher heeseung masih terus menggesek-gesek bagian bawahnya.

“m-mauhh heeseung, mau hhseungjh masuk di sini, ganti dengan penisnya heeseung huee.”

heeseung kemudian beralih menarik tengkuk sunghoon membawanya kedalam sebuah ciuman yang panas, saling berperang lidah berbut silva.

ciuman dalam itu berlangsung tidak begitu lama ketika heeseung memilih untuk menyudahinya, dan berakhir menggigit cuping telinga sunghoon sensual.

“boleh tapi jangan berisik aku lagi open mic.”

“hah lo ngomong apaan sih seung?”

“gak apa-apa, arah timur lo kesana gue ke barat.” ucap heeseung pelan di bersamai dengan gerakan mengeluarkan vibrator yang masih terus bergetar itu dari dalam lubangnya.

“aaahhh, uh heeseung AAAH!?! pelan-pelan.” sunghoon memekik kaget ketika heeseung masuk tanpa aba-aba.

“siapa yang tadi mau aku masuk cepat-cepat, hmm?” ucapnta seduktif dengan satu tangannya meremat pinggang sunghoon membantu sunghoon naik turun diatas tubuhnya.

“s-sunghoonhh ahh sunghoon yang mau hngg.” sunghoon naik turun dengan kecepatan stabil.

heeseung beberapa kali menggigit leher sunghoon ketika merasakan rektum sunghoon mengetat sembari satu tangannya fokus dengan game di laptopnya.

si manis yang sedari tadi naik turun diatas pangkuan heeseung megeratkan pelukannya di leher heeseung, heeseung lalu beralih menatap sunghoon yang mendesah pelan tak karuan dengan mata sayu dan bibir bengkak memerah tebuka mengeluarkan erangan-erangan erotis.

fuck

“enak, hmm?”

di tengah kegiatan naik turunnya sunghoon mengangguk patah-patah, “i-iyhaah enak, sunghoon suka.”

heeseung lalu mengabaikan gamenya kini beralih membantu sunghoon mempercepat kegiatan memompanya, heeseung tau sunghoon akan mencapai putihnya sebentar lagi.

“mau keluar sekarang?” sunghoon mengangguk lemah menanggapinya.

heeseung semakin mempercepat gerakan tangannya, menimbulkan bunyi tabrakan antar kulit yang cukup keras.

“aaah aahh, keluar uuuh adek keluaar.”

“haahh.”

tepat pada tusukan kelimat sunghoon mencapai putihnya di bersamai dengan heeseung yang juga telah mencapi pelepasannya, tubuh sunghoon bergetar pelan merasakan cairan heeseung memenuhinya.

“emang anjing lo seung, lo kira dari tadi gue gatau lo ngapain.”

heeseung tertawa sebentar mendengar jay yang merutuk kesal, sebetulnya dia juga tahu sedari awal jay menyadari kegiatan mereka, siapa juga yang tidak akan menyadarinya? sunghoon tak pernah diam selama mereka bercinta mau sepelan apapun suaranya jay akan tetap mendengarnya meskipun samar-samar.

“makanya cari pacar, biar bisa ngewe sambil main game.”

“bangsat lo.”


kakskskshs gatauu aku nulis apaaa ksjs semoga kalian suka hehe.

terimakasih banyak juga buat cinta yang udah ngasih aku prompt ini huhu semoga kamu suka aksjsjs ilysm (っ˘з(˘⌣˘ )

356 Hari


Hidup adalah sebuah pilihan, dan di dalam hidup seseorang selalu mempunyai pilihan.

Pilihan untuk tetap tinggal

Pilihan untuk Meninggalkan

atau

Pilihan untuk tetap menunggu meskipun yang di tunggu itu bukanlah suatu hal yang pasti.

Dan dalam hidup seseorang selalu punya alasan untuk semua pilihan itu, dan Lee heeseung memilih untuk tetap tinggal dan menunggu tanpa adanya kepastian karena seseorang yang dulu selalu membuat heeseung mengukir senyum di wajahnya karena tingkah laku dan segala keajaibannya yang membuat lee heeseung tidak bisa berpaling.

Seseorang yang senyum indahnya masih basah di dalam memori, seseorang yang mengajarinya tentang cinta, seseorang yang membuatnya merasakan hal-hal yang tak pernah dia rasakan sebelumnya.

Dan heeseung memilih untuk tetap tinggal untuk menunggu seseorang itu, seseorang yang menghilang bersama janjinya, seseorang yang kabarnya kini tidak lagi terdengar telinga.

Heeseung memilih untuk tetap tinggal dan menunggu sunghoon yang menghilang bersama janji membawa semua rasa yang di milikinya, yang mana kini hanya meninggalkan sepenggal kenangan yang masih tersimpan rapi di dalam memori.

Tak peduli apa yang orang katakan tentang sunghoon yang katanya mengkhianatinya, dia masih akan tetap menunggu hingga hari dimana sunghoon kembali kepadanya tiba.

Karena dia tahu sunghoon akan kembali padanya, mereka sudah berjanji, dan heeseung tau sunghoon bukanlah orang yang ingkar.

Heeseung itu naif, menjebak dirinya sendiri dengan pemikiran bahwa sunghoon itu berwarna putih enggan melihat kenyataan bahwa semua orang punya warna hitam dalam hidupnya.

“Heeseung mau sampai kapan? mau sampai kapan kamu menunggu sesuatu yang tidak pasti?”

“Sunghoon, dia berjanji.”

“Ada dua tipe orang yang berjanji di dunia ini lee heeseung, ada yang berjanji dengan kesungguhan untuk menepatinya.

dan ada yang berjanji hanya untuk sebatas kata yang bisa di ingkari kapan saja.”

Jungwon muak, muak dengan segala kenaifannya, muak dengan heeseung yang milih untuk tidak melihat kenyataan bahwa dirinya di tinggalkan bersama janji yang kini mulai terbawa angin, mengudara, menghilang bersama rangkaian kenangan yang perlahan mulai memudar di dalam memori.

“Kamu tau seung, sunghoon di sana bisa aja udah punya kehidupan baru yang lebih baik, punya keluarga dan melupakan kamu yang di sini terpuruk karena janji yang bahkan dia sendiri mungkin sudah lupa kalau dia pernah bilang itu.”

Namun heeseung memilih abai, meninggalkan adiknya yang mulai lelah melihat dirinya yang tak pernah mau menerima kenyataan bahwa manusia bisa ingkar.

Heeseung selalu berpegang teguh pada sebuah bait tentang harapan, bahwa semua orang selalu punya harapan.

Harapan berlebihan bahwa sunghoon akan kembali kepadanya untuk menepati janjinya.

Harapan adalah sarapan yang baik, tetapi merupakan makan malam yang buruk.

Melupakan kenyataan bahwa harapan terkadang ada hanya untuk membuat seseorang tersiksa lebih lama.

•••

“Kamu rencanain apa sih? sampai-sampai mendak sok misterius kayak gini, jangan buat penasaran deh.”

Meskipun kesal suaranya tetap lembut bagaikan melodi indah yang selalu menjadi penghantar tidurnya itu kini menyapa telinga, membuat heeseung tersenyum lebar membayangkan seseorang di seberang sana itu tengah kesal dengan alis tertekuk.

“Ada deh, pokoknya rahasia, kalau kamu mau tau datang aja ke cafenya jam 7 nanti aku tunggu.”

“Memang mau ngapain sih? jangan buat aku penasaran, heeseung.”

Heeseung menahan decak gemas mendengar nada suara di sunghoon kini mulai merengek.

“Makanya datang kecil.”

“Ish.”

“Janji kamu harus datang, dan semua rasa penasaran kamu itu bakal hilang.”

Heeseung tersenyum lembut menatap sebuah cincin silver yang telihat sangat indah di dalam sebuah kotak bludru.

Malam ini heeseung akan membuktikan kesungguhannya, dia akan mengikat Sunghoon dengan cincin itu dan di hadapan tuhan.

“Iya, aku janji.”

Pada kenyataannya malam itu sunghoon tak pernah datang, menyisakan heeseung sendirian dengan seluruh Isak tangis dan perasaan kecewanya.

Pulang dengan perasaan kacau, dengan pelayan cafe yang menatapnya iba mereka telah membantu menghias ruangan itu sedemikian rupa menantikan momen dimana mereka berhasil membantu heeseung meminang sang pujaan hati.

Namun pada kenyataannya itu hanya sebuah harapan yang kini terbawa angin.

Malam itu sunghoon mengikarinya janji, menghilang tanpa jejak seolah di telan bumi.

Namun keesokan harinya heeseung masih datang dengan harapan yang sama, berharap sunghoon akan datang.

Menunggu setiap hari di tempat yang sama dengan harapan yang sama.

Dan hari ini tepat dimana heeseung datang ketempat yang sama selama 365 hari.

Masih dengan harapan yang sama bahwa sunghoon akan datang, dia masih percaya bahwa sunghoon akan datang.

“Dia masih datang?” salah seorang pelayan cafe itu berucap pelan dengan teman sesama karyawannya.

“Iya, ini hari ke 365 hari, sudah setahun dia datang dan duduk di tempat itu.” Balasnya sambil menatap heeseung yang terduduk di meja paling pojok dengan kedua tangan bertumpu pada dagu menatap kosong keluar sana.

“Sebenarnya aku kasihan sama dia, dia termakan harapannya, harapan kalau pacarnya malam itu bakal datang dan semuanya akan berjalan dengan lancar, naasnya pacarnya gak pernah datang.”

Pelayan dengan rambut di kuncir kuda itu kini ikut menatap ke pojok sana,

“Mungkin ini sebabnya orang bilang jangan pernah berharap terlalu tinggi, karena sebenarnya hal yang paling menyiksa di dunia ini itu adalah harapan.”

Heeseung mendengar semuanya, mendengar semua berita bahwa katanya sunghoon mengkhianatinya, sunghoon di jodohkan, sunghoon pergi keluar negeri, tapih heeseung memilih abaik, masih ada setitik harapan di dalam hatinya bahwa sunghoon akan datang.

Dan ketika menangkap siluet seseorang yang tengah berjalan kearahnya harapan heeseung kemudian melambung dengan tinggi, percaya sekali bahwa hari ini semua penantiannya berakhir sunghoon kembali kepadanya.

“Sung—”

“Lee Heeseung?” Pemuda tinggi itu bertanya menyebutkan namanya.

Membuat heeseung dengan harapannya yang telah melambung tinggi kembali jatuh.

“Saya lee heeseung.” Balasnya kemudian mempersilahkan orang tersebut duduk di tempatnya.

Heeseung menyadari ada raut wajah tak bersahabat dari pemuda yang kini duduk di hadapannya.

“Saya junho, Cha Junho.”

Heeseung tidak mengenal pemuda di hadapannya ini, bahkan mungkin ini kali pertama mereka bertemu, dia tidak tahu bagaimana cara pemuda itu bisa mengenalnya.

Ada beberapa menit yang mereka lewati dalam hening sebelum kemudian pemuda itu menghela nafas singkat, “Saya tidak mau berbasa-basi.”

Pemuda itu menjeda kalimatnya sebentar kemudian menatap tepat pada mata heeseung.

“Bisa kamu berhenti? Apa yang kamu lakukan itu bisa membuat dia sakit.”

Sejujurnya heeseung tak paham kemana arah pembicaraan ini berlangsung, heeseung tak pernah merasa pernah bersinggungan dengan Junho.

“Sunghoon, saya suaminya sunghoon.”

Tepat setelah kelimat itu sampai di telinganya pergerakan heeseung berhenti, jarinya yang sedari tadi bergerak gelisah terdiam, seluruh sarafnya seolah di paksa berhenti.

Waktu mendadak terasa berjalan sangat lambat, heeseung mengerjap beberapa kali berharap ini hanya sebuah delusi namun terlalu sakit bila ini hanya sebatas delusi.

Berbagai skenario berputar di dalam kepalanya bagai kaset rusak, semua kenangan itu bertubrukan hancur berkeping-keping.

Heeseung kembali melihat kilatan-kilatan memori hari-hari bersama sunghoon dulu, seperti pada hari pertama mereka bertemu di sebuah pameran seni.

Hari dimana heeseung memberanikan diri untuk mengajak sunghoon pergi bersama ke sebuah akuarium besar di pusat kota untuk melihat berbagai macam binatang laut, hari pertama mereka bergandengan.

Heeseung mengingat jelas bagaimana perasaan gugupnya saat mengungkapkan perasaannya di hadapan sunghoon ada banyak ketakutan yang singgah namun sebuah anggukan lemah dan senyum malu-malu dengan wajah semerah buah persik matang seolah menyihir segala ketakutannya.

Kenangan itu berputar sangat cepat berkali-kali membuat kepala heeseung rasanya ingin pecah, penglihatannya semakin terganggu.

“Tolong biarkan kami bahagia.”

Heeseung menatap selembar foto hitam putih yang di sodorkan junho padanya dengan pelan, heeseung tidak bodoh untuk tidak paham itu semua.

“Foto usg ini diambil dua bulan lalu dia anak saya dengan sunghoon, saya harap kamu paham apa maksud saya.”

Junho meninggalkan heeseung begitu saja dengan perasaan bercampur aduk.

Rasa marah, kecewa, sedih, dan merasa kasihan terhadap dirinya sendiri seolah bersatu di satu tempat yang sama, membuat heeseung rasanya sulit bernafas.

Tak ada yang bisa dia lakukan kecuali meremat foto hitam putih itu.

Pada kenyataannya menaruh harapan besar pada seseorang itu nyatanya sama halnya membangun jurang paling dalam untuk terjatuh.

Tepat di 365 harinya heeseung menyadari dirinya adalah orang paling naif, paling menyedihkan.

Tepat 365 hari bayangan sunghoon yang selalu menghalangi harinya untuk berlari mendadak terhenti.

Kilasan ingatan tentang senyum manis sunghoon yang pernah di ingatnya kini menjadi senyum paling manis sekaligus menjadi senyum paling menyakitkan yang pernah di lihatnya.

Masih jelas dalam ingatannya suara sunghoon yang berkata tidak akan pernah meninggalkannya.

Namun,

Tepat di 365 hari heeseung menunggu, dia mendapati dirinya ternyata sudah lama di tinggalkan.

•••

Bus kosong yang biasa di naikinya sepulang dari tempatnya menunggu sekarang mendadak sangat ramai.

Heeseung kemudian mendudukkan dirinya di tempat biasanya memasang headset dan menyandarkan kepalanya di jendela, menatap jalanan yang selalu membawa kenangan tentang sunghoon di dalam kepalanya.

Hari itu selama 365 hari heeseung menaiki bus kota untuk pertama kalinya dia menangis dalam perjalanan pulang.

Rasa sesak menghinggapi seluruh tubuhnya, perasaan sesak yang sungguh menyiksa ini seolah ingin membunuhnya.

Heeseung tak pernah membayangkan bahwa sunghoon benar-benar meninggalkannya.

Semesta sedang mempermaikannya lewat permainan rasa yang sialnya sangat menyiksa.

“Saya sudah cukup lama memperhatikan kamu yang setiap hari naik di bus yang sama, di tempat yang sama juga dengan ekspresi yang sama.

Tapi hari saya mendapati kamu menangis, setelah sekian lama akhirnya tumpah juga ya?

Saya gak berniat untuk menguntit kamu, kebetulan kita selalu naik di bus yang sama dan saya tidak bisa untuk tidak memperhatikan kamu yang selalu telihat sedih.

Kita mungkin baru berinteraksi sekarang, kamu bahkan gak tau nama saya, tapi kalau kamu butuh kamu bisa pinjam pundak saya sebentar.”

Hari itu hari dimana heeseung menangis dalam diam di pundak seseorang yang berbaik hati menawarinya pundaknya dan langit juga ikut menangis meyaksikan kesedihannya.

Langit turut bersedih menyaksikan dirinya jatuh kedalam jurang paling menyiksa bernama harapan.


special massage ( ˘ ³˘)♥

Pertama-tama makasih sudah membaca ini sampai selesai, semoga hari kalian selalu baik, jaga kesehatan jangan lupa minum vitamin, keluar rumah secukupnya saja, dan semangat terus.

Special Thanks for Naru ꒰⑅ᵕ༚ᵕ꒱˖♡

Aku gak tau harus mulai ini dari mana, tapi aku mau terimakasih banyak buat naru yang sudah berkenan ngasih aku proposal buat nulis ini, terimakasih udah mempercakan proposalnya buat aku yang tulis, gatauu mau gimana lagi aku mau terimakasih banyak buat naru banyak-banyak sekali.

Tulisanku mungkin belum sebagus yang lain, caraku buat nyampain cerita ini mungkin juga belum bagus, tapi semoga kamu suka, jaga kesehatan dan jangan lupa buat bahagia terus nanti di kasih hadiah hihun selca hehehe ( ◜‿◝ )♡

— rennasya'