356 Hari
Hidup adalah sebuah pilihan, dan di dalam hidup seseorang selalu mempunyai pilihan.
Pilihan untuk tetap tinggal
Pilihan untuk Meninggalkan
atau
Pilihan untuk tetap menunggu meskipun yang di tunggu itu bukanlah suatu hal yang pasti.
Dan dalam hidup seseorang selalu punya alasan untuk semua pilihan itu, dan Lee heeseung memilih untuk tetap tinggal dan menunggu tanpa adanya kepastian karena seseorang yang dulu selalu membuat heeseung mengukir senyum di wajahnya karena tingkah laku dan segala keajaibannya yang membuat lee heeseung tidak bisa berpaling.
Seseorang yang senyum indahnya masih basah di dalam memori, seseorang yang mengajarinya tentang cinta, seseorang yang membuatnya merasakan hal-hal yang tak pernah dia rasakan sebelumnya.
Dan heeseung memilih untuk tetap tinggal untuk menunggu seseorang itu, seseorang yang menghilang bersama janjinya, seseorang yang kabarnya kini tidak lagi terdengar telinga.
Heeseung memilih untuk tetap tinggal dan menunggu sunghoon yang menghilang bersama janji membawa semua rasa yang di milikinya, yang mana kini hanya meninggalkan sepenggal kenangan yang masih tersimpan rapi di dalam memori.
Tak peduli apa yang orang katakan tentang sunghoon yang katanya mengkhianatinya, dia masih akan tetap menunggu hingga hari dimana sunghoon kembali kepadanya tiba.
Karena dia tahu sunghoon akan kembali padanya, mereka sudah berjanji, dan heeseung tau sunghoon bukanlah orang yang ingkar.
Heeseung itu naif, menjebak dirinya sendiri dengan pemikiran bahwa sunghoon itu berwarna putih enggan melihat kenyataan bahwa semua orang punya warna hitam dalam hidupnya.
“Heeseung mau sampai kapan? mau sampai kapan kamu menunggu sesuatu yang tidak pasti?”
“Sunghoon, dia berjanji.”
“Ada dua tipe orang yang berjanji di dunia ini lee heeseung, ada yang berjanji dengan kesungguhan untuk menepatinya.
dan ada yang berjanji hanya untuk sebatas kata yang bisa di ingkari kapan saja.”
Jungwon muak, muak dengan segala kenaifannya, muak dengan heeseung yang milih untuk tidak melihat kenyataan bahwa dirinya di tinggalkan bersama janji yang kini mulai terbawa angin, mengudara, menghilang bersama rangkaian kenangan yang perlahan mulai memudar di dalam memori.
“Kamu tau seung, sunghoon di sana bisa aja udah punya kehidupan baru yang lebih baik, punya keluarga dan melupakan kamu yang di sini terpuruk karena janji yang bahkan dia sendiri mungkin sudah lupa kalau dia pernah bilang itu.”
Namun heeseung memilih abai, meninggalkan adiknya yang mulai lelah melihat dirinya yang tak pernah mau menerima kenyataan bahwa manusia bisa ingkar.
Heeseung selalu berpegang teguh pada sebuah bait tentang harapan, bahwa semua orang selalu punya harapan.
Harapan berlebihan bahwa sunghoon akan kembali kepadanya untuk menepati janjinya.
Harapan adalah sarapan yang baik, tetapi merupakan makan malam yang buruk.
Melupakan kenyataan bahwa harapan terkadang ada hanya untuk membuat seseorang tersiksa lebih lama.
•••
“Kamu rencanain apa sih? sampai-sampai mendak sok misterius kayak gini, jangan buat penasaran deh.”
Meskipun kesal suaranya tetap lembut bagaikan melodi indah yang selalu menjadi penghantar tidurnya itu kini menyapa telinga, membuat heeseung tersenyum lebar membayangkan seseorang di seberang sana itu tengah kesal dengan alis tertekuk.
“Ada deh, pokoknya rahasia, kalau kamu mau tau datang aja ke cafenya jam 7 nanti aku tunggu.”
“Memang mau ngapain sih? jangan buat aku penasaran, heeseung.”
Heeseung menahan decak gemas mendengar nada suara di sunghoon kini mulai merengek.
“Makanya datang kecil.”
“Ish.”
“Janji kamu harus datang, dan semua rasa penasaran kamu itu bakal hilang.”
Heeseung tersenyum lembut menatap sebuah cincin silver yang telihat sangat indah di dalam sebuah kotak bludru.
Malam ini heeseung akan membuktikan kesungguhannya, dia akan mengikat Sunghoon dengan cincin itu dan di hadapan tuhan.
“Iya, aku janji.”
Pada kenyataannya malam itu sunghoon tak pernah datang, menyisakan heeseung sendirian dengan seluruh Isak tangis dan perasaan kecewanya.
Pulang dengan perasaan kacau, dengan pelayan cafe yang menatapnya iba mereka telah membantu menghias ruangan itu sedemikian rupa menantikan momen dimana mereka berhasil membantu heeseung meminang sang pujaan hati.
Namun pada kenyataannya itu hanya sebuah harapan yang kini terbawa angin.
Malam itu sunghoon mengikarinya janji, menghilang tanpa jejak seolah di telan bumi.
Namun keesokan harinya heeseung masih datang dengan harapan yang sama, berharap sunghoon akan datang.
Menunggu setiap hari di tempat yang sama dengan harapan yang sama.
Dan hari ini tepat dimana heeseung datang ketempat yang sama selama 365 hari.
Masih dengan harapan yang sama bahwa sunghoon akan datang, dia masih percaya bahwa sunghoon akan datang.
“Dia masih datang?” salah seorang pelayan cafe itu berucap pelan dengan teman sesama karyawannya.
“Iya, ini hari ke 365 hari, sudah setahun dia datang dan duduk di tempat itu.” Balasnya sambil menatap heeseung yang terduduk di meja paling pojok dengan kedua tangan bertumpu pada dagu menatap kosong keluar sana.
“Sebenarnya aku kasihan sama dia, dia termakan harapannya, harapan kalau pacarnya malam itu bakal datang dan semuanya akan berjalan dengan lancar, naasnya pacarnya gak pernah datang.”
Pelayan dengan rambut di kuncir kuda itu kini ikut menatap ke pojok sana,
“Mungkin ini sebabnya orang bilang jangan pernah berharap terlalu tinggi, karena sebenarnya hal yang paling menyiksa di dunia ini itu adalah harapan.”
Heeseung mendengar semuanya, mendengar semua berita bahwa katanya sunghoon mengkhianatinya, sunghoon di jodohkan, sunghoon pergi keluar negeri, tapih heeseung memilih abaik, masih ada setitik harapan di dalam hatinya bahwa sunghoon akan datang.
Dan ketika menangkap siluet seseorang yang tengah berjalan kearahnya harapan heeseung kemudian melambung dengan tinggi, percaya sekali bahwa hari ini semua penantiannya berakhir sunghoon kembali kepadanya.
“Sung—”
“Lee Heeseung?” Pemuda tinggi itu bertanya menyebutkan namanya.
Membuat heeseung dengan harapannya yang telah melambung tinggi kembali jatuh.
“Saya lee heeseung.” Balasnya kemudian mempersilahkan orang tersebut duduk di tempatnya.
Heeseung menyadari ada raut wajah tak bersahabat dari pemuda yang kini duduk di hadapannya.
“Saya junho, Cha Junho.”
Heeseung tidak mengenal pemuda di hadapannya ini, bahkan mungkin ini kali pertama mereka bertemu, dia tidak tahu bagaimana cara pemuda itu bisa mengenalnya.
Ada beberapa menit yang mereka lewati dalam hening sebelum kemudian pemuda itu menghela nafas singkat, “Saya tidak mau berbasa-basi.”
Pemuda itu menjeda kalimatnya sebentar kemudian menatap tepat pada mata heeseung.
“Bisa kamu berhenti? Apa yang kamu lakukan itu bisa membuat dia sakit.”
Sejujurnya heeseung tak paham kemana arah pembicaraan ini berlangsung, heeseung tak pernah merasa pernah bersinggungan dengan Junho.
“Sunghoon, saya suaminya sunghoon.”
Tepat setelah kelimat itu sampai di telinganya pergerakan heeseung berhenti, jarinya yang sedari tadi bergerak gelisah terdiam, seluruh sarafnya seolah di paksa berhenti.
Waktu mendadak terasa berjalan sangat lambat, heeseung mengerjap beberapa kali berharap ini hanya sebuah delusi namun terlalu sakit bila ini hanya sebatas delusi.
Berbagai skenario berputar di dalam kepalanya bagai kaset rusak, semua kenangan itu bertubrukan hancur berkeping-keping.
Heeseung kembali melihat kilatan-kilatan memori hari-hari bersama sunghoon dulu, seperti pada hari pertama mereka bertemu di sebuah pameran seni.
Hari dimana heeseung memberanikan diri untuk mengajak sunghoon pergi bersama ke sebuah akuarium besar di pusat kota untuk melihat berbagai macam binatang laut, hari pertama mereka bergandengan.
Heeseung mengingat jelas bagaimana perasaan gugupnya saat mengungkapkan perasaannya di hadapan sunghoon ada banyak ketakutan yang singgah namun sebuah anggukan lemah dan senyum malu-malu dengan wajah semerah buah persik matang seolah menyihir segala ketakutannya.
Kenangan itu berputar sangat cepat berkali-kali membuat kepala heeseung rasanya ingin pecah, penglihatannya semakin terganggu.
“Tolong biarkan kami bahagia.”
Heeseung menatap selembar foto hitam putih yang di sodorkan junho padanya dengan pelan, heeseung tidak bodoh untuk tidak paham itu semua.
“Foto usg ini diambil dua bulan lalu dia anak saya dengan sunghoon, saya harap kamu paham apa maksud saya.”
Junho meninggalkan heeseung begitu saja dengan perasaan bercampur aduk.
Rasa marah, kecewa, sedih, dan merasa kasihan terhadap dirinya sendiri seolah bersatu di satu tempat yang sama, membuat heeseung rasanya sulit bernafas.
Tak ada yang bisa dia lakukan kecuali meremat foto hitam putih itu.
Pada kenyataannya menaruh harapan besar pada seseorang itu nyatanya sama halnya membangun jurang paling dalam untuk terjatuh.
Tepat di 365 harinya heeseung menyadari dirinya adalah orang paling naif, paling menyedihkan.
Tepat 365 hari bayangan sunghoon yang selalu menghalangi harinya untuk berlari mendadak terhenti.
Kilasan ingatan tentang senyum manis sunghoon yang pernah di ingatnya kini menjadi senyum paling manis sekaligus menjadi senyum paling menyakitkan yang pernah di lihatnya.
Masih jelas dalam ingatannya suara sunghoon yang berkata tidak akan pernah meninggalkannya.
Namun,
Tepat di 365 hari heeseung menunggu, dia mendapati dirinya ternyata sudah lama di tinggalkan.
•••
Bus kosong yang biasa di naikinya sepulang dari tempatnya menunggu sekarang mendadak sangat ramai.
Heeseung kemudian mendudukkan dirinya di tempat biasanya memasang headset dan menyandarkan kepalanya di jendela, menatap jalanan yang selalu membawa kenangan tentang sunghoon di dalam kepalanya.
Hari itu selama 365 hari heeseung menaiki bus kota untuk pertama kalinya dia menangis dalam perjalanan pulang.
Rasa sesak menghinggapi seluruh tubuhnya, perasaan sesak yang sungguh menyiksa ini seolah ingin membunuhnya.
Heeseung tak pernah membayangkan bahwa sunghoon benar-benar meninggalkannya.
Semesta sedang mempermaikannya lewat permainan rasa yang sialnya sangat menyiksa.
“Saya sudah cukup lama memperhatikan kamu yang setiap hari naik di bus yang sama, di tempat yang sama juga dengan ekspresi yang sama.
Tapi hari saya mendapati kamu menangis, setelah sekian lama akhirnya tumpah juga ya?
Saya gak berniat untuk menguntit kamu, kebetulan kita selalu naik di bus yang sama dan saya tidak bisa untuk tidak memperhatikan kamu yang selalu telihat sedih.
Kita mungkin baru berinteraksi sekarang, kamu bahkan gak tau nama saya, tapi kalau kamu butuh kamu bisa pinjam pundak saya sebentar.”
Hari itu hari dimana heeseung menangis dalam diam di pundak seseorang yang berbaik hati menawarinya pundaknya dan langit juga ikut menangis meyaksikan kesedihannya.
Langit turut bersedih menyaksikan dirinya jatuh kedalam jurang paling menyiksa bernama harapan.
special massage ( ˘ ³˘)♥
Pertama-tama makasih sudah membaca ini sampai selesai, semoga hari kalian selalu baik, jaga kesehatan jangan lupa minum vitamin, keluar rumah secukupnya saja, dan semangat terus.
Special Thanks for Naru ꒰⑅ᵕ༚ᵕ꒱˖♡
Aku gak tau harus mulai ini dari mana, tapi aku mau terimakasih banyak buat naru yang sudah berkenan ngasih aku proposal buat nulis ini, terimakasih udah mempercakan proposalnya buat aku yang tulis, gatauu mau gimana lagi aku mau terimakasih banyak buat naru banyak-banyak sekali.
Tulisanku mungkin belum sebagus yang lain, caraku buat nyampain cerita ini mungkin juga belum bagus, tapi semoga kamu suka, jaga kesehatan dan jangan lupa buat bahagia terus nanti di kasih hadiah hihun selca hehehe ( ◜‿◝ )♡
— rennasya'