Konstelasi, Akhir Sebuah Kisah.
angst, hurt comfort, major character death.
“Gistha, gue serius ayo putus.”
“Gue udah bilang gavin, kita putus tapi lo harus pacaran sama Thirza.”
“Jangan gila lo.”
“Gue serius Gavin, please kali ini aja tolongin gue. Tiga bulan aja.”
“Fine, masalah kita selesai kan?.”
“Iya, tiga bulan itu gue mohon buat dia senyum terus.”
Mungkin Gavin memang bodoh, mengiyakan tanpa tahu apa yang akan terjadi kedepannya.
Bodoh karena seenaknya mempermaikan perasaan orang lain demi keuntungannya sendiri.
Pun, bodoh karena tak menyadari wajah khawatir Gistha setelah kepergiannya.
Bintang maaf, gue cuma bisa ngelakuin ini buat lo.
“Jangan panggil aku Thirza.”
Alis yang lebih tua terangkat sebelah, tak menerima pernyataan dari si yang lebih muda yang tengah menekuk wajahnya, bibirnya maju beberapa senti, persisi seperti bebek.
“Lo lebih cocok di panggil Thirza, lebih manis.”
Gavin tersenyum puas mendapati yang lebih muda memerah hingga ke telinga, sangat manis.
Padahal Gavin termasuk salah satu mahasiswa yang cukup terkenal dia di kenal hampir ke semua fakultas, dia juga kenal banyak orang tapi kenapa dia bisa melewatkan sosok manis dari ranah Sastra Indonesia ini yang notabene nya gedung fakultas mereka bersebelahan.
“Namaku Bintang, panggil Bintang kalau Thirza nanti aku di kira cewek.”
“Memang nama Thirza cuma buat cewek? lo lebih manis kalau di panggil Thirza. Apalagi mukanya merah gitu jadi pengen gue sayang.”
Setelahnya Gavin mendapati dirinya mabuk, dia hampir kehilangan kesadarannya ketika melihat senyum malu-malu itu berpadu dengan rona wajahnya yang semerah buat Persik.
Hari itu Gavin mendapati bahwa dia bisa mabuk tanpa alkohol.
“Loh kak Gavin ngapain di sini?”
Pertanyaan itu di tujukan untuk pemuda yang tengah bersandar pada pilar koridor dengan kedua lengan bersilang dada.
“Nungguin Thirza.”
Gavin tertawa mendapati ekspresi yang sesuai dengan apa yang dia bayangkan ketika kembali menyebut nama orang itu.
“Bintang, B-I-N-T-A-N-G di garis bawahi, kalau perlu di tulis pake font bold yang bold banget.”
Lagi-lagi Gavin dibuat tertawa kala si manis megeja namanya dengan sangat kerasa dan lantang, seolah kesabarannya benar-benar hanya sebatas di panggil dengan nama tengahnya.
“Itu nama kesayangan dari gue tau, biarin gue jadi satu-satunya orang yang bisa manggil lo Thirza.”
Bintang menggeleng pelan, memilih untuk pergi mendahului si kakak tingkatnya yang penuh dengan keajaiban itu.
Tapi sepertinya bintang melupakan fakta jika Gavin bisa menjangkaunya sangat mudah dengan kaki panjangnya.
“Gue serius waktu gue bilang gue bakal jadi satu-satunya orang yang bakal manggil lo Thirza.”
“Gue bukan orang yang suka maksa tapi kalau itu elo gue bakal maksa, mau benteng sekeras apapun yang udah lo bangun bakalan tetap gue runtuhin, karena gue Gavin Deva Bumantara yang tekatnya sekeras baja.”
Gavin tak pernah tahu bahwa itu benar-benar berhasil memporak-porandakan benteng yang telah di bangun bertahun-tahun.
Pada kenyataannya Bintang tak akan pernah bisa menolak datangnya degupan di dada yang menggelitik hingga ke perut.
Apa yang bisa kamu lakukan ketika orang yang sejak lama kamu kagumi tiba-tiba datang menghampirimu dengan seperti itu.
“Kenapa muka pacarnya Gavin murung banget kayak gitu? kok jelek banget.”
“Gaviiiiiiiiin!!!”
“Bercanda sayang, coba cerita sini kenapa?”
“Gak apa-apa, hari ini kayak capek banget aja gitu, tugas-tugas aku banyak yang di delay padahal aku ngerjainnya hampir stres karena deadline.”
Gavin hanya tertawa sebentar sebelum kemudian memberi kode untuk bintang agar menghadapnya dan membantunya melepaskan seat belt yang sudah terpasang apik pada si manis.
Kemudian Bintang kembali mengkode Gavin tak mengerti apa yang harus dia lakukan setelahnya.
“Kalau kamu ngerasa tugas-tugas yang kamu kerjain sampai hampir stres itu sia-sia kamu salah besar, itu justru membuktikan kalau kamu itu orang yang bisa di percaya dan bertanggung jawab.”
*“Ngerasa capek banget dan ngeluh itu gak apa-apa, everyone must feel tired , tapi gak semua orang yang capek bisa istirahat kayak kamu saat ini, kamu bisa duduk santai karena tugas kamu di delay dan nanti kamu bisa langsung kumpul.”*
Gavin tersenyum ketika melihat si manis mulai menarik sudut bibirnya, “Makasih.”
“Jangan makasih sama aku, makasih tuh sama dosen kamu yang ngasih waktu buat nafas sebentar.”
“Tapi dia tetep ngeselin sih.”
“Hari ini mau makan apa?”
“Drive thru* aja gimana? kita makan di rumah aja aku mau langsung rebahan abis makan.”*
“Dasar baboon.”
“Ish, tapi kak Gav makasih.”
“Thirza bisa gak kalau ngomong gitu jangan senyum.”
“Lah kenapa?”
“Langitnya sampe mendung, minder liat senyum kamu lebih cerah dari mereka.”
Setelahnya hanya di isi dengan tawa keduanya menggema di bersamai dengan suara musik yang menemani perjalanan mereka siang itu.
Biarlah untuk kali ini Bintang menikmati semuanya.
Setidaknya untuk kali ini saja.
Bintang can't help fall in love with him.
Gavin hampir kehilangan kewarasannya ketika dirinya tak memdapati kabar si manis yang tiba-tiba menghilang tanpa kabar seolah di telan bumi.
Dia mencari, namun tak seorangpun yang mau memberinya kejelasan seolah semua teman Bintang sepakat untuk menyembunyikannya.
Seolah memang hari ini dirinya di buat sangat naik turun emosinya, dia merasa sangat senang dan lega ketika mendapati telfon dari nomor yang sudah di nanti-nantinya, itu Bintang, Thirzanya.
“Kemana aja? Kenapa baru telfon sekarang? Dari kemarin aku tanya temen kamu mereka kayaknya kompak bilang gak tau atu memang sengaja gak mau ngasih tau aku?”
“Pelan-pelan bicaranya Gaviiiin.”
“Aku gak kenapa-kenapa kok, kemarin cuma ada acara keluarga sebentar. Gavin nanti bisa ya kita ketemu di Festival Kota Lama, aku mau naik bianglala, mau ya temenin aku pulang? kita bahas tentang Konstelasi.”
“Iya sampai ketemu di sana ya ganteng.”
Gava tidak akan pernah melupakan bagaimana binar cerah yang terpancar jelas dari manik si yang lebih muda, dia terlihat sangat antusias melihat lampu-lampu yang menyala menerangi setiap sudut pasar malam ini.
Sangat ramai karena acara ini hanya di gelar setiap tiga tahun sekali, setiap hari itu tiba semua warga akan merasa sangat antusias karena tempat ini akan sangat penuh dengan cerita dan cahaya penerang.
Yang lebih tua tak bisa terlalu banyak bertanya ketika melihat yang lebih muda sangat antusias, biarlah dia membiarkannya menikmati suasana festival ini dulu, perihal kenapa wajah yang biasanya merona semerah buah persik itu kini seolah kehilangan warnanya.
“Mau cerita apa? tadi di telfon katanya mau cerita.”
Setelah menaiki bianglala mereka mulai berputar menuju tempat tertinggi dengan perlahan, mereka duduk bersebelahan menghadap lagit malam bertaburan bintang.
Sangat cerah, bahkan Gavin sendiri tidak tahu kalau bintang-bintang bisa secerah itu.
“Aku cuma mau cerita soal Konstelasi rasi bintang, aku gak tau kenapa aku bisa suka banget sama rasi bintang, mungkin karena nama aku kali ya?”
“Aku sampai-sampai punya keinginan buat nulis buku yang isinya bahas soal rasi bintang tapi dalam bentuk cerita gitu, aku mau liat di halaman terakhir itu ada nama aku di dalamnya.”
“Kalau aku sih cuma suka liatin aja bintangnya, kadang nyusun bentuknya kalau keliatan gitu gak terlalu tertarik sih tapi menarik buat di bahas.”
“Kalau aku paling suka rasi bintang Andromeda, kebanyakan orang tau tempat yang paling banyak bintangnya itu Galaksi Bimasakti, padahal yang paling banyak itu Andromeda.”
*“Kalau Galaksi Bimasakti punya 100-400 miliar bingang, Andromeda punya kira-kira satu triliun bintang.”
“Aku paling banyak di sana hihihi.”
“Banyak banget, jadi kalau aku mau nyari kamu harus ke galaksi bimasakti atau ke Andromeda dlu?”
“Gak gitu konsepnya.”
Selanjutnya kembali di isi dengan tawa yang menemani heningnya malam diatas bianglala yang terus berputar.
“Kak makasih ya buat semuanya, aku ngerasa bahagia banget ada orang yang mau dengerin cerita panjang lebar aku soal rasi bintang padahal orang kebanyakan selalu muak kalau aku cerita soal itu mulu.”
Gavin hanya diam memberikan ruang untuk Bintang untuk terus berbicara.
“Makasih karena meskipun kakak pacaran sama aku karena Gistha yang minta.”
Tak ada yang bisa dia lakukan selain tubuhnya menegang seketika mendengar penuturan Bintang, Gavin tak pernah tau jika Bintang mengetahuinya.
“Tapi gak apa-apa, anggap aja aku gak pernah tau soal itu, malam ini biarin semuanya berlalu anggap aku gak tahu apa-apa. Aku tahu maksud Gistha baik dia sahabat aku.”
“Sekali lagi makasih kak Gavin udah mau nemenin aku pulang.”
Kalimat itu di sertai dengan gerakan tangan Bintang yang menggenggam tangan besar Gavin, tangan yang perlahan mulai mendingin itu memyelimuti lengannya.
Butiran bening itu perlahan mulai keluar dari mata Gavin membasahi pipinya, penglihatannya mulai mengabur, sedari tadi dia menahan tangisnya tapi semuanya pecah begitu saja ketika kepala Bintang besandar dengan perlahan di bahunya.
Bintangnya pulang, dan Gavin menemaninya.
“Bintang sakit keras gue gak tahu harus gimana Vin, dia sahabat baik gue dan gue denger sendiri dokter bilang umurnya gak akan lama lagi gue takut gak bisa ngasih kenangan yang baik buat dia. Satu-satunya fakta yang gue tahu baru-baru ini dia suka sama lo Vin dari dulu bahkan sebelum gue.”
“Jadi gue mohon kali ini Vin, tolong buat Bintang bahagia gue gak mau Bintang pergi dengan sedih, cuma elo yang bisa gue harapin, tolong buat kenangan indah sama Bintang.”