summerpsyche


“gitu tu, tu anak emang suka gitu main pergi aja gak ngomong apa-apa. gak ada sopan-sopannya.” marsha menggerutu sembari matanya terus melihat belakang punggung pemuda yang baru saja menabrak salah satu temannya hingga menghilang dari pandangannya.

“yaelah sha, kayak gak tau gimana kelakuannya aja. lagian juga ngarepin apa dari anak kayak gitu.”

“yang salah kan gua, yang nabrak dia juga gua, kenapa dia yang di salahin?” pada akhirnya virgo membuka suara, membuat beberapa temannya yang masih membicarakan sosok yang sudah menghilang di balik koridor kampus.

“ya seenggaknya ngomong apa kek. ini mana mukanya jutek abis, sini, main pergi gitu aja di kiranya nabrak patung apa.”

“udah gue bilang kan, gue yang nabrak dia. itu anak jangan di salahin lah.”

“tau tuh temen-temen lu, gak suka mah gak suka aja, tapi jangan cari-cari kesalahan orang lain. jelas-jelas juga virgo yang nabrak masa harus si starr yang minta maaf, kan aneh.”

manusia itu memang aneh, kemarin virgo mendengar sendiri dari mulut teman-temannya mengatakan kalau sosok bermama starr itu sosok yang arogan, sombong, sinis, dan enggan berteman dengan siapapun.

“temen sefakultasnya juga banyak yang cerita dia kali, anaknya emang sombong abis dalam kelas gak pernah mau ngomong sama teman kelasnya kecuali pas persentasi atau ada dosen lagi ngajar. mukanya songong abis, anak teknik tuh biasa manggil dia anaknya malah gak nengok-nengok, sombong amat.”

“makanya banyak yang gak suka, sempat juga dia di musuhin sama si prisilla anak kedokteran itu soalnya doi ngesinisin prisilla.”

banyak bicara dari apa yang mereka dengar, dari apa yang orang-orang katakan.

hidup di masa di mana manusia kini hanya sekali melihat langsung berlagak seperti mengetahui semuanya memang merepotkan.

padahal hari ini virgo lihat sendiri dengan mata kepalanya, starr yang katanya sombong, arogan dan sinis itu kini duduk di pinggir trotoar dengan sebotol mineral dingin yang perlahan mulai berembun di tangannya, bercengkrama bersama dengan kakek usia 60-tahunan.

tawa yang merekah seperti bunga di pagi hari itu tak lepas dari wajah yang selalu orang nilai dengan wajah orang sombong.

tersentuh ketika dari jendela mobil dia melihat sang kakek menangis tatkala starr memberikan sebuah bingkisan dari plastik merek supermarket, starr yang katanya arogan itu dengan senang hati memeluk sang kakek yang menangis sembari berterimakasih kepada si pemilik senyum bagai bunga merkah di pagi hari.

senyumnya tak pudar sembari tangannya, mengelua punggung sang kakek yang tak lagi sekokoh dulu waktu dirinya masih muda.

diam-diam menemukan dirinya sendiri tersenyum. menyadari kalau orang-orang terlalu banyak menilai.


seperti sebuah tarikan tiba-tiba yang mengejetukan, seperti di gelitiki di sekujur tubuh, sunghoon bersumpah dia tidak pernah segugup ini hanya untuk menonton sebuah konser pertunjukan yang sudah bertahun-tahun dia lakukan.

mulas di sertai dengan keringat dingin, dan tangan jay yang tak lepas dari genggangmannya untuk memastikan dia masih benar-benar menampakan kaki di atas tanah.

lautan cahaya di sertai dengan sorakan bergemuruh dari ratusan penonton yang datang membuat dirinya tersenyum di tengah rasa mulasnya, diam-diam menarik sudut bibirnya bangga kalau dia datang ke sini untuk menonton si dia yang menuliskan semuanya tentang sunghoon lewat sebuah karya.

dia banyak mendengar suara bisik-bisik para penonton yang datang, mempertanyakan bagaiman sih ethan lee itu? semua orang penasaran tentu saja.

ketika sang pembawa acara mengambil alih, secara resmi memulai pertinjukan musik solo milik ethan, semua lampu mendadak padam hanya tinggal pencahayaan yang di bawa oleh penonton yang menerangi.

satu lampu menyoroti satu arah di bersamai dengan suara musik yang terdengar familiar, ketika sang pemeran utama bernyanyi di hadapan banyak orang untuk yang pertama kalinya semua lampu kembali menyala memperlihatan si dia yang menjadi pemeran untama dalam cerita, semua orang bersorak histeris ketika ethan tersenyum dengan lambaian tangan.

pecah semua orang bersorak, bersenandung bersama, melupakan pelik siang hari dan terbang bersama serangaikan irama yang membuat melupakan sedikit keresahan yang tertinggal.

“gila, gua gak tau kalau bakalan sepecah ini konsernya.” minhee mengangkat suara, sedikit berteriak sebab banyaknya suara yang datang silih berganti menyulitkan pendengaran.

“keren temen lu,” itu jake yang bicara pada jay yang tidak lagi mengganggam sunghoon meskipun anak itu tidak ingin melepasnya.

“gue juga kaget ternyata dia bisa sekeren itu, emang ya kalau orang udah nemuin apa yang mereka suka, apa yang mereka mau dia bakalan kelihatan keren tanpa butuh effort apapun.”

jake hanya menanggapi dengan anggukan lalu ikut mengangkat tangannya ketika semua orang mengangkat tangannya bernyanyi bersama, meskipun dia tak benar-benar hapal lirik lagunya.

kalau kata minhee sih asikin aja.


setelah menyanyikan beberapa lagu miliknya, heeseung secara resmi memperkenalkan dirinya ke depan publik sebagai ethan lee, sang musisi.

menjadi seorang penyanyi pada awalnya bukanlah tujuan heeseung, dia hanya melakukan karena sekedar suka, tetapi tanpa sadar di dalam lirik-lirik lagu yang dia tulis setiap harinya heeseung menemukan dirinya, menemukan apa yang dia ingin lakukan.

siapa sangka heeseung yang dulunya hanya main gitar untuk menghilangkan rasa bosan, dan menulis lirik lagu untuk dia yang di cintai akan membawanya pada sebuah panggung megah dengan ratusan orang yang ikut bernyanyi menyuarakan nada-nada yang dia ciptakan.

tak ada yang lebih menyenengkan dari sebuah penerimaan, di terima dan merasa di hargai.

“today, in this stage i give my world for you. MAKE SOME NOISE!!!”

semua orang ikut bernyanyi dengan alunan musik yang mengikuti, semua orang terlihat sangat menikmati, beberapa orang berteriak menikmati euforianya.

tak ada yang lebih menenangkan dari pada melihat dia yang di cinta berdiri sendirian di tengah ratusan orang, dengan senyumnya yang menyenangkan itu terus di tatap.

sunghoon selamanya selalu menjadi dia yang akan pertama kali heeseung lihat.

tak ada tempat untuk berlari selain sunghoon.

tak ada senyum yang secerah matahari pagi selain sunghoon.

dan tidak akan ada ethan lee tanpa sunghoon, si dia yang selalu di cinta.


sunghoon langsung memegang lengan jay dengan erat ketika semua orang bernyanyi bersama, pandangannya masih terus tertuju keatas panggung di mana heeseung bernyanyi dengan sangat kerennya di mata sunghoon.

“jay, kalau nanti beneran pingsan di sini tolongin gue ya,”

jay hanya tertawa menanggapi sunghoon yang memelas. cih, cinta memang pandai membuat seenggok daging manusia jadi tolol.


“e-eh, oi kok gua di tinggal sih, gua masih lemes banget ini bopong dong pegel.”

itu sunghoon yang mengadu setelah konser usai, orang-orang mulai satu-persatu meninggalkan tempatnya, termasuk mereka berempat.

“ngesot,” itu minhee yang menggerutu sembari memegangi pingganya, yang di bilang hampir patah karena kelamaan berdiri.

“emang cuma gua yang bukan jompo di lingkaran setan ini.” jake menimpali, berbalik menatap kedua temannya yang tenaga seperti habis di serap dementor.

“lingkaran setan, di kiranya sekte sesat kali. tapi lu semua emang sesat sih,” jay menggeleng kebingungan masih terus berjalan menuju parkiran mobilnya berada.

sebuah mobil sedan berhenti di dekat mereka sambil mengklakson padahal tidak ada siapa-siapa di depannya, jay melirik sebentar melihat ketiga lainnya yang melihat kearah yang sama.

“hoon, masuk sana.”

“kok gua?” sunghoon menunjuk dirinya kebingungan.

“lama.” jay berbalik kemudiam mendorong sunghoon untuk jalan.

memaksanya masuk kedalam mobil sedan tersebut, menulikan telinganya dari dekingan sunghoon yang merusak telinga.

“woi, jongseng ini gimana, buka woiii mobil orangg, ini kalau gua di culik gimana, majikan gua siapa yang ngasih makan woii.”

sunghoon memukul-mukul jendela mobil dengan sambil terus berteriak, menggerutu memandangi jay yang malah melambaikan tangan pelan kemudian meninggalkan sunghoon di dalam mobil.

yang di tinggalkan mendengus kemudian berbalik untuk memperbaiki posisinya,

“anjing!!, kirain gak ada orang.”

“LAH, KOK LU ADA DI SINI?” sunghoon melotot menunjuk heeseung yang ternyata sudah sedari tadi duduk di sampingnya.

yang di tanyai hanya mengangkat bahu, kemudian menarik paha sunghoon dan membiarkan kepalanya tidur di atas sana.

“beraaaat, woii!”

sunghoon mengaduh, membuat si pengemudi di depan sana tertawa, “berisik juga ternyata.”

“yang bilang dia kalem juga siapa,” heeseung kemudian berbalik menghadap perut sunghoon menenggelamkan wajah sembari satu tangannya memeluk sunghoon.

“gua menejer elu, bukan sopir terus gak ada planning kalau gua bakalan jadi supir lu,”

“jalan aja napa, mau pulang gue.” ucap heeseung mengeratkan pelukannya di bersamai dengan mobil yang perlahan melaju.

“itu kan bunga dari aku kenapa ada di sini?” tanya sunghoon memperhatikan sebaket bunga yang di kursi penumpang di bagian depan.

“kan bunganya buat aku, di bawa pulang lah.”

“kalau tau gitu, tadi gak usah aku gojekin dong. langsung aku bawa ke rumah aja, gojek aku bayar 50 ribu soalnya jauh.”

“lagian sok ngide banget sih.”

“iya kan, buat selamat gitu gimana sih.”

heeseung tak menjawab malah meraih tangan heeseung menuju puncak kepalanya, menuntunnya untuk mengelus seolah paham sunghoon melakukannya tanpa perlu di tuntun lagi.

sunghoon gak akan marah meskipun rambut heeseung basah dengan keringat, kemudian menunduk menatap heeseung yang juga menatapnya dari bawah.

“apa?”

“enggak.”

aneh, bisa-bisanya sunghoon merasa perutnya di penuhi kupu-kupu beterbangan di perutnya hanya karena baru menyadari kalau heeseung tidur di pangkuannya.

sunghoon bukan orang yang kuat hati, tolong.

“sunghoon udah semester berapa?”

“lagi nyusun skripsi, lagi di masa-masa stresnya nyusun skripsi,” sunghoon tertawa mendengar yeonjun menajer heeseung terkikik di depan sana.

“hati-hati stres beneran. heeseung udah wisuda duluan kan ya?”

sunghoon mengangguk, “curang dia masa ospeknya barengan dianya lulus duluan ninggalin gue, untung aja gak gue demo waktu dia wisuda karena melanggar janjinya buat lulus bareng.”

“gua masih dendam sama lu tau, —lah tidur anaknya.”

sunghoon menatap heeseung yang terlelap dengan nafas yang teratur.

“biarin, pacar lu tu dua hari gak di tidur.”

“nyari mati kali.”

lagi-lagi yeonjun di buat menggeleng, meskipun bicaranya terdengar kasar sunghoon nyatanya masih terus mengusap puncak kepala yang lebih tua, memastikan dia tidur dengan tenang.

“gimana sama heeseung?”

“gimana apanya? baik-baik aja kok.” sunghoon sedikit kebingungan.

“maksudnya, gimana rasanya pacaran sama heeseung?”

sunghoon diam sebentar memikirkan kalimat apa yang bagus untuk mendeskripsikan bagaimana rasanya berpacaran dengan heeseung, “gimana ya, awalnya aneh sih waktu sadar gue pacaran sama heeseung yang dari kecil sampai sekarang tuh sama-sama terus, tapi lepas dari itu kalau gak sama heeseung juga gua gak bisa ngebayangin bakalan sama siapa, gak ada orang lain selain heeseung.” sunghoon memelan di akhir kalimatnya sambil terus mengusap puncak kepala heeseung.

jatuh cinta dengan heeseung itu merepotkan, merepotkan sunghoon yang tak bisa lepas dari heeseung.

dari dulu sampai sekarang, heeseung masih menjadi satu-satunya tempat ternyaman untuk bersandar, lebih dari apapun, sunghoon mencintai heeseung lebih dari semua lagu tentang dirinya.

selesai.

di sudut kota Valeriusplein kita berbincang tentang yang lalu, dan aku melepasmu


di penghujung bulan juni di sudut kota Amsterdam dimana suhu udara perlahan mulai naik, heeseung memulai langkahnya dengan mantap berjalan kaki menatap sekitarannya yang atmosfer udaranya perlahan mulai berubah.

beberapa orang mulai keluar dari dalam rumahnya hendak membersihkan salju berwarna putih yang menutupi halaman rumah mereka sejak beberapa bulan belakangan ini, jejak-jejak es yang perlahan mulai mencair di serap tanah yang kembali memunculkan eksistensinya setelah sekian lama di gantikan oleh dinginnya salju.

heeseung tersenyum kearah seorang wanita paruh baya yang terlihat kewalahan dengan anjing miliknya yang berlari kesana-kemari terlihat sangat bersemangat menantikan pergantian musim yang kian terasa, hewan-hewan itu terlihat sangat semamgat setelah sekian lama ruang gerak mereka di batasi dengan dinginnya udara yang terkadang tidak bersahabat.

hari liburnya pun akan segera berakhir bersamaan dengan berakhirnya musim dingin kali ini, kemudian kembali lagi ke masa-masa dimana dia harus menaiki bus menuju sebuah gedung tinggi di tengah keramain kota, menyambut berkas-berkas pekerjaannya yang telah menanti sekian lama. banyak orang mulai keluar rumah untuk menikmati suhu udara yang perlahan mulai berubah, daun-daun yang awalnya tertutupi dengan salju perlahan mulai terlihat bersamaan dengan suhu udara yang kian naik, begitu juga tupai-tupai yang terlihat melintasi beberapa pohon menyambut datangnya musim semi.

tiga tahun yang lalu heeseung memilih untuk meninggalkan negara kelahirannya, memulai kehidupan barunya meninggalkan kisah lalu yang bertulang di belakangnya. meninggalkan rasa sakitnya, memulai hidupnya sendiri tanpa harus kembali terperangkap kisah lalunya yang meninggalkan luka menganga, heeseung tidak melupa dia hanya memilih untuk tidak lagi memikirkannya berdamai dengan dirinya sendiri, berdamai dengan masa lalunya, berdamai dengan kenyataan bahwa sunghoon meninggalkannya, kenyataan bahwa cintanya telah meninggalkannya.

benar, kata jungwon dulu, kata adiknya dulu bahwa dia hanya perlu melihat ke depan melihat realitas yang ada, bahwa hidup tak selamanya berpusat pada satu orang. semesta tidak berjalan seperti itu.

heeseung masih memilih untuk memggunakan jaket tebalnya menghalau udara yang masih cukup dingin untuk menembus kulitnya, beberapa orang juga mulai menikmati pergantian musim dengan keluar rumah, saling berbincang bersama dengan teman atau keluarga. di sekitaran taman yang dia lalui salju-salju yang perlahan menghilang memperlihatkan hijau rumput basah seperti sehabis di guyur hujan.

heeseung menghampiri gadis kecil yang tengah duduk di kursi taman dengan kedua kaki tergantung, tangannya memegang eskrim sembari menyanyi kecil membuat heeseung tersenyum.

“halo.”

gadis kecil dengan rambut kuncir itu mengerjap sebentar lalu tersenyum, “halo paman.”

“kenapa sendirian? orang tuamu kemana?” heeseung suka anak kecil dan bertemu dengan gadis kecil lucu di saat udara perlahan menghangat membuatnya tersenyum cerah.

“aku lapar jadi papa pergi membeli roti dan menyuruhku menunggu di sini.” gadis itu kembali memakan eskrimnya, seolah tak masalah di tinggalkan sendirian di tempat seperti ini.

“lalu kenapa tidak pakai baju hangat, kamu tidak kedinginan?”

gadis itu memggeleng membuat eskrimnya belepotan ke pipinya yang merah merona, “aku suka dingin!”

heeseung kembali tersenyum mendengar suara ceria gadis kecil di hadapannya itu, “tidak baik makan eskrim di cuaca seperti ini, gadis kecil kamu bisa sakit.”

“huh?! tapi aku suka eskrim!”

“kamu bisa makan permen sebagai gantinya, ngomong-ngomong paman punya permen kamu m—”

“PAPA DATANG!”

heeseung berbalik untuk melihat sosok tinggi itu datang menghampiri mereka, “papa kenapa lama sekali, hana sudah lapar.”

“antrian tadi sangat panjang, maaf membuat gadis kecil papa menunggu sangat lama.”

“untung tadi ada paman ini yang menemani hana, dia juga bilang kalau makan eskrim di cuaca seperti ini bisa membuat sakit, mirip seperti papa hihihi.”

gadis kecil itu lagi-lagi berujar dengan semangat membuat dia langsung melirik ke arah orang yang di maksud putrinya kini menatapnya tepat di mata, nafasnya mendadak tercekat tanpa sadar remasan tangannya pada kantung rotinya mengerat.

tatapan mata itu dia mengenalinya, tatapan mata seseorang yang pernah dia tinggalkan jauh di belakang sana, seseorang yang dia kira tertinggal jauh di belakangnya kini berdiri di hadapannya menatapnya dengan tatapan yang sama seperti terakhir kali.

“sunghoon.”

“terima kasih sudah mau menemani h-hana.” sunghoon mati-matian menahan getaran suaranya.

sunghoon melihat heeseung tersenyum menatap kearah hana, anaknya. “dia akan jadi gadis yang cantik, garis wajahnya mirip sekali dengan papanya.”

dia hanya bisa mengangguk patah-patah mendengar suara itu, heeseung jelas memujinya tidak ada niat lain tapi entah mengapa sunghoon merasa kalimat itu terasa sangat sarkastik untuknya.

“papa rotinya! hana mau makan.” sunghoon kemudian tersadar lalu dengan segera menunduk menyamakan tingginya dengan hana untuk membukakan rotinya.

sunghoon mengusap-usap puncuk kepala hana, “papa, boleh hana bagi rotinya dengan burung-burung di sana?”

sunghoon segera melirik kearah burung-burung merpati yang berdatangan mencari makan, dia mengangguk membuat gadis itu segera berlali kearah sekawanan hewan terbang itu dengan semangat memotong-motong sortinya untuk di bagikan kepada sang merpati.

“dia sangat mirip dengan kamu.”

“dia anakku.”

“ya, dia anakmu.”

“sejak kapan kamu tiba di Amsterdam?”

“tiga tahun yang lalu, aku gak tahu apa yang membawaku sampai ke kota ini. tapi waktu pertama kali tiba di sini rasanya aku sudah berkawan lama dengannya tidak ada ketakutan dengan tempat baru ataupun takut karena sedang di negri orang.”

“kamu tinggal di mana di sini?” pertanyaan basa-basi namun heeseung tetap menanggapinya.

“di sini aku tinggal di sebuah apartemen dekat sini, awalnya sedikit kebingungan harus tinggal di mana setelah sampai di sini. tapi seseorang yang aku temui beberapa tahun lalu di sebuah bus bilang dia punya kenalan yang tinggal di Valeriusplein, aku datang menemuinya lalu dia membantuku untuk mencari apartemen di sekitaran sini.”

heeseung tersenyum di akhir kalimatnya, menatap sunghoon yang kini menatapnya dengan berbagai tatapan yang sulit di jelaskan, ada banyak ragu di dalam sana dan heeseung memakluminya.

“heeseung.”

“iya?”

“apa saja yang sudah kamu lewati setelah aku pergi?” sunghoon tahu dia hanya membuka luka lama, tapi sunghoon tahu bahwa dia tidak boleh lari lagi kali ini.

“kamu mau jawaban yang serius atau bohong?”

“heeseung.”

“aku baik-baik saja setelah kamu pergi tanpa kabar waktu itu.”

sunghoon bisa merasakan nafasnya berhenti, “itu jawaban bohong.”

heeseung bisa melihat ekspresi wajah sunghoon yang berubah tidak terbaca, “setelah kamu pergi aku hancur, gak tersisa. aku memungut sisa-sisa diriku dengan berharap suatu saat kamu akan kembali kepadaku sama seperti janjimu yang akan datang hari itu.”

sunghoon sejujurnya tidak sanggup untuk mendengarkannya, tapi dia harus.

“365 hari, selama satu tahun itu aku datang di tempat janjian kita waktu itu tanpa absen sekalipun, selalu dengan harapan kamu akan datang sampai-sampai jungwon muak dan bilang ke aku kalau kamu gak akan datang. tapi aku, aku yang waktu itu masih terlalu berharap dengan kamu mana mau mendengarkan dia. sekalipun memang benar kamu meninggalkan aku, aku mau setidaknya untuk sekali kamu sendiri yang datang untuk menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi.”

panas matahari kian terasa, namun sepertinya suasana di antara keduanya tetap terasa dingin, heeseung yang bercerita mengenai kisah lalunya dan sunghoon yang heeseung tahu hampir menangis mendengarnya.

“tepat satu tahun aku menunggu. seseorang datang menghampiri aku, kukira itu kamu tapi ternyata dia datang mengaku sebagai suaminya sunghoon. aku hampir mengiranya bercanda waktu itu, tapi setelah dia menunjukkan selembar gambar hitam putih dengan wajah bayi yang samar-samar aku tahu kalau dia serius dengan ucapannya.”

heeseung melihat kearah hana yang tertawa riang sembari memberi merpati-merpati itu makan, “itu hana, lalu rasanya aku terjun kedalam palung mariana yang gelap. rasanya hancur, sisa-sisa harga diriku rasanya tidak ada lagi.”

“m-maaf, maaf se-seharusnya waktu itu aku datang, datang ke kamu bukan, bukan malah—”

sunghoon panik dalam setiap penjelasannya, matanya berkaca-kaca hendak menjatuhkan liquid beningnya ketika heeseung memotong ucapannya.

“gak ada yang perlu kamu jelasin lagi sunghoon, sedikit banyakanya aku mulai paham. aku enggak menuntut penjelasan, dan kamu gak harus menjelaskan. bukannya semuanya sudah lebih jelas, kamu sudah punya kehidupan baru.”

sunghoon tak bisa lagi untuk menahan air matanya, heeseung segera mencoba untuk menghapusnya namun tangan sunghoon menghalanginya, sunghoon menggegam erat tangan heeseung yang hendak menghapus jejak air matanya. rasanya sunghoon tak pantas untuk masih mendapat perlakuan baik dari heeseung sepeti ini.

seharusnya heeseung membiarkannya menangis, membiarkannya menyesali semua kesalahannya.

tetapi heeseung tetap sama, sama seperti dulu. masih heeseung yang selalu menerima sunghoon, masih menjadi dia si baik hati yang meskipun hancur berkali-kali tetap mampu berdiri tegak mengatakan bahwa dia tak apa.

“dengan kamu menangis itu malah membuat aku sakit, sunghoon.”

“kita itu kisah yang lalu, kita yang waktu itu sudah berada di lembaran-lembaran lalu yang seharusnya tidak di buka lagi. kita yang waktu itu hanya tinggal sebuah cerita, tidak ada lagi kita yang dulu. yang ada hanya sunghoon dan heeseung yang sekarang, yang punya kehidupan masing-masing, kita yang sekarang adalah kita yang tidak lagi melihat ke belakang, kita yang dulu itu sudah usai dan tidak ada lagi yang harus di sesalkan.”

bersamaan dengan es yang perlahan mulai mencair di bawah matahari yang menyembul malu-malu sunghoon menangis bagaikan anak kecil yang kehilangan hal berharga miliknya, rasanya tidak nyaman dan sesak yang menghantuinya selama bertahun-tahun mulai tersuarakan.

amarahnya, sedihnya, rasa sesalnya dan perasaan rindunya terhadap pemuda dengan mata rusa itu bercampur, sunghoon hampir kehabisan nafas akibat tangisnya kalau saja heeseung tidak segera merengkuhnya, mengusap punggungnya memberinya kalimat-kalimat penenang, mengatakan bahwa ini semua bukan salahnya, tidak ada yang harus di salahkan.

ini hanya perihal waktu, waktu yang memberi luka dan waktu yang menyembuhkan. mereka tidak salah.

“ini bukan salahmu, kamu gak harus seperti ini. sunghoon kamu tahu apa yang lebih sakit buatku saat ini?”

heeseung melonggarkan pelukannya, menatap sunghoon yang masih sedikit terisak dengan wajah merah sembab, “aku justru lebih merasa sakit ketika melihat kamu menangis di hari di mana di bertemu kembali, aku jauh lebih sakit melihat kamu seperti ini.”

sunghoon menggeleng, “jangan jadi orang baik, kamu sepantasnya marah dengan aku. kamu harusnya membiarkan aku mati menyesal bukan malah merengkuh aku.”

“lantas aku harus apa? membiarkan kamu menangis merasa bersalah seumur hidup? aku gak akan setega itu. bagaimana pun kamu orang yang pernah aku cintai sunghoon, mau se jahat apapun kamu, kamu tetap jadi orang yang pernah aku cintai. kamu orang yang pernah memberi aku bahagia, memberi aku senyum membuat aku bersyukur pernah di pertemukan dengan orang seperti kamu.”

sunghoon menggeleng lagi, tidak seharusnya heeseung mencintainya sebanyak itu, sebab sunghoon tak akan pernah bisa mencintai heeseung sebanyak heeseung mencintainya.

sunghoon tak sepantasnya di cintai oleh heeseung.


“sudah lewat tengah hari, aku ada janji dengan seseorang setelah ini. tak apa aku tinggalkan?”

sunghoon yang tangisnya sudah reda dengan berbagai kalimat penenang dari heeseung mengangguk, dia tak bisa untuk menahan heeseung lebih lama lagi.

tak seharusnya dia merasa sedih ketika heeseung harus meninggalkannya.

“tak apa, ayahnya hana sudah menunggu.”

heeseung tersenyum teringat sesuatu, “ah, ini hampir awal musim semi. waktunya untuk kumpul keluarga, titipkan salam untuk ayah hana.”

hana yang juga telah selesai dengan roti dan merpatihya kini datang, minta di gendong oleh sunghoon. sebelum pergi heeseung mengusap puncak kepala hana dengan gemas.

“jaga papamu ya gadis kecil.”

heeseung kemudian pergi kembali melewati jalan-jalan yang sebelumnya lalui, masuk kedalam area apartemennya menyapa beberapa tetangga sekaligus kenalannya dengan senyum ramah, heeseung tak pernah merasa se ringan ini sebelumnya.

dia masuk kedalam kamarnya berdiri tepat di depan cermin yang memperlihatkan seluruh tubuhnya, heeseung menatap lamat-lamat pantulan dirinya sendiri lalu melepas jaket tebalnya menyisakan turtle neck berwarna hitam di tubuhnya dengan sebuah kalung yang melingkar dengan apik heeseung melepasnya, heeseung menaruh kalung dengan mata kalung dua cincin itu di tangannya mengusapnya sebentar lalu tersenyum samar.

tangannya bergerak melepas salah satu cincin itu kemudian meraih beludru hitam dari dalam lacinya lalu memasukkan cincin itu, kembali memakai kaling yang cincinnya tersisa satu itu.

mungkin ini sama dengan heeseung melepas sunghoon, melepaskan hal terakhir yang terisa antara dia dan sunghoon.

karena jauh di dalam dirinya, sama seperti sunghoon, heeseung juga mau untuk kembali menjalani hidupnya sendiri. meninggalkan semua kisah lalu melepaskan semua rasa sakitnya.

heeseung mau berpijak, melangkah ke depan melihat realitas dunia tanpa lagi harus di bayangi-bayangi sunghoon di setiap langkahnya.

sama seperti pergantian musim dingin ke musim semi, sinar matahari yang awalnya menyembul malu-malu kini sinar terangnya perlahan mengambil alih, mencairkan sisa-sisa es untuk kemudian kembali terserap tanah menghilang tanpa jejak.

seperti musim dingin yang rela melepaskan semua saljunya demi menyambut musim semi, heeseung melepaskan sunghoon, melepaskan kisah bertulang di belakangnya, menjadikan sunghoon bagian-bagian yang telah usai tanpa ada rasa penyesalan, sebab akhir dari ceritanya hanya tentang penerimaan.

tepat di musim semi heeseung melepaskan sunghoon, melepaskan dinginnya untuk menyambut hangat yang akan segera tiba, hanya tentang waktu.

dan heeseung sudah siap untuk menantikan kisah baru dan bahagia baru berikutnya.

“Paket!!!”

heeseung tersenyum melihat minhee —orang yang pertama kali di temuinya di Valeriusplein mengangkat koper besar di susul dengan seseorang yang tertawa puas melihat minhee yang mendumal membawa barang.

“gimana rasanya sampai di Amsterdam?” tanya heeseung ketika melihat orang itu masuk.

dia hanya mengangkat bahu, “pusing, pertama kali naik pesawat keluar negeri mual. untung gak muntah dalam pesawat.”

“untung aja dia muntah abis gue jemput di bandara, kalau muntah di peswat kayaknya gua bakalan pura-pura gak kenal dia.”

“seung ini kenapa belum ada makanan dah udah laper banget nih.”

“kan katanya sampai di Amsterdam eunsang yang bakalan masak.” balas heeseung membantu minhee untuk membawa koper yang ukurannya lumayan besar itu.

“boleh pending sebentar gak? mual abis naik peswatnya masih kerasa.”

“wong kampunggg.”

heeseung merasa tawanya kali ini tanpa beban, tanpa paksaan, tawanya mengalir begitu saja.

heeseung ingin berterima kasih kepada seseorang yang dulu menawarkan pundaknya dengan sukarela, yang sukarela mengajarinya untuk menerima dirinya sendiri, menerima rasa sakit, menerima perpisahan, heeseung ingin berterima kasih kepada eunsang yang mengajarinya untuk memulai sesuatu yang baru harus di mulai dengan menerima diri sendiri, dan menerima semua luka lalu yang pernah ada.

sebab setelahnya heeseung mampu berdiri sendiri, menjadi jauh lebih baik.


sunghoon menatap belakang punggung heeseung yang perlahan mulai menghilang dari pandangannya. heeseung memilih berbalik untuk melepaskannya.

“papa huil niet.”

pada akhirnya penyesalan akan selalu datang.

Aku tahu dan kamu sama-sama tahu dan orang lain gak akan paham

___

Terkadang kita sendiri tidak paham, dari ribuan manusia di dunia ini kenapa kita bisa jatuh pada seseorang yang tidak pernah kita duga sebelumnya. Rasanya seperti di bodohi.

Dan gua gak pernah tahu kalau ternyata terjebak di dalam ruang fatamorgana bernama jatuh hati itu akan semenjerat ini, seperti di tarik paksa untuk merasakannya, perasaan itu mengendalikan kita sesukanya, bahkan ketika kamu sendiri ingin lepas dari jeratannya sebab sebenarnya jatuh cinta itu melelahkan.

Selama sekolah menengah gua menjalani kehidupan sekolah gua dengan lancar, tanpa terfikirkan kalau gua pada akhirnya akan merasakan bagaimana rasanya tertarik, terjerat, dan terjebak dengan pesona orang lain. Gua yang biasanya menganggap tertarik dengan seseorang bukanlah suatu hal yang menarik, malah menjadikan hal itu sebagai rutinitas yang gak akan bosan gua lakukan, diam-diam memperhatikan seseorang dari jauh.

Gua ingat betul waktu Azka sahabat sekaligus teman sebangku gua mendadak bertanya apakah gua pernah tertarik dengan seseorang, dan gua terdiam mengingat bahwa gua sama sekali tidak pernah tertarik dengan seseorang, tertarik dalam artian gua naksir seseorang, dan itu memang belum pernah terjadi.

Ekspresi wajah Azka waktu itu tersimpan jelas di dalam ingatan, dia terdiam menatap gua terkejut dan jadi heboh sendiri.

“Lo serius belum pernah naksir sama orang lain?”

Pertanyaan itu hanya gua tanggapi dengan anggukan, yang membuat dia semakin heboh, untungnya hari itu kelas kosong semua penghuninya pergi berkunjung ke kantin yang tepat berada di belakang kelas gua.

“Padahal kalau di liat lu tuh kayak orang yang udah punya tiga mantan, lu emang gak bisa di tebak, ya?”

Lagi-lagi pertanyaan itu hanya gua tanggapi dengan satu alis gua yang terangkat karena cukup kebingungan mendadak di tanyai seperti itu, apa gua memang orang yang sulit di tebak? atau memang gua yang gak terlalu terbuka dengan Azka.

“Ka, mau ikut gak?”

“Kemana?” pertanyaan itu kembali di jawab dengan pertanyaan.

“Main basket.”

Gua ingat betul teman Azka yang datang ke kelas hari itu datang dengan gerombolan, dia memang punya teman lebih banyak di kelas lain. Dari apa yang gua tahu, sejak embrio dia memang sudah berteman dengan Raihan yang punya banyak kenalan sana-sini dan Azka sebagai orang terdekatnya otomatis kenal dengan mereka, tak jarang dia ikut nongkrong dengan teman Raihan yang semua wajahnya sangat asing di mata gua.

Tapi gua juga masih ingat betul, teman Raihan yang datang bergerombol itu gua kenal mereka semua, beberapa kali kami sempat nongkrong bersama karena di ajak Azka, salah satu di antara mereka terus-terusan menatap gua tanpa ekspresi dengan satu tangannya masuk ke dalam kantung celananya, dan gua gak mengelak kalau hari itu mendadak gugup.

•••

Namanya Heksa Aryansah, dia orang pertama yang nyamperin gua di pinggir lapangan waktu itu. Gua gak suka main basket dan gua gak berminat untuk main, itu sebabnya gua lebih memilih untuk menonton mereka, dan itu hal yang lumayan seru karena mereka bukan sekedar bermain, mereka betulan bertanding meskipun juga bukan tanding betulan. Gua duduk sendirian di pinggir lapangan duduk di kursi tembok di bawah pohon rindang dan Heksa datang dengan bajunya yang setengah basah, rambutnya lepek karena keringat, dan nafasnya agak ngos-ngosan.

Gua memperhatikan bulir-bulir keringat yang bercucuran di sekitar kulitnya, tanpa sadar memperhatikan dia yang belum mengatakan apapun dan gua sendiri juga bukan orang yang akan bicara jika tidak di tanya lebih dulu. dan ketika dia berbalik menatap, gua terkejut seperti tertangkap basah memperhatikannya, dia tertawa kecil memperhatikan gigi putihnya yang berbaris rapi membuat gua diam tertegun.

“Azka bilang lo gak suka main basket, Aksa?”

Orang-orang jarang memanggil gua dengan nama ketika terjebak dalam sebuah percakapan, dan ketika gua menyadari kalau Heksa menyebut nama gua entah mengapa membuat gua tersenyum di dalam hati.

“Hu'um, gua gak suka olahraga yang terlalu menguras tenaga.”

Gua gak pernah menganggap kalau jawaban gua hari itu lucu, tapi Heksa tertawa dan gua masih bertanya-tanya dimana letak lucunya jawaban gua hari itu.

“Bukannya semua olahraga memang menguras tenaga?”

“Memang, tapi gua gak suka keringatan.”

“Terus lo suka olahraga apa?”

“Berenang, gua gak akan keringat kalau berenang.”

“Lo bisa ajak gua lain kali kalau mau berenang.”

Kemudian gua memandangi dia yang gak lagi mengahadap kearah gua, gua memandangi Heksa yang kini menatap kedepan sesekali berseru menonton pertandingan antara teman-temannya. Gua gak pernah tau kalau jatuh cinta bakalan jadi serumit ini.

•••

Hujan turun sepulang sekolah membuat gua mengutuk abang gua yang tak kunjung datang untuk menjemput, kami cuma punya satu motor dan abang gua yang udah punya SIM di berikan amanat dari baginda ratu untuk mengantar-jemput gua setiap harinya, kami punya mobil tapi mobil sedan keluaran lama itu lebih sering di pakai ayah untuk keluar kota. Jadilah kami hanya punya motor yang biasa di gunakan bertiga, kadang-kadang bergantian dengan abang gua untuk mengantar bunda ke pasar lama, kadang juga motor itu gua bawa tak tentu arah sekedar makan angin membuat abang gua mengamuk tiap melihat bensinnya tersisa satu batang.

Hujan semakin derasa terpantul diatas beton halte menciprati sepatu, gua memundurkan kaki gua agar tidak basah, semakin merutuk ketika hujan sepertinya tak ada tanda-tanda untuk reda, malah semakin deras apalagi di tambah dengan angin yang sesekali dinginnya menembus tulang, juga beberapa kali sambaran petir yang membuat gua langsung melepaskan ponsel dan segera menutup telinga, gua terkejut bukan main ketika membuka mata melihat Heksa sudah berdiri tepat di samping gua dengan satu tangannya meletakkan jaketnya agar menutupi kepala dan pundak gua.

Dia hanya menatap tanpa mau bicara sepatah-duakatapun, lebih memilih untuk duduk di samping dan gua merasa kalau dia berniat menemani, mungkin gua yang gede rasa atau memang dia melakukannya dengan sengaja, gua gak akan pernah mengerti kenapa pemuda itu tiba-tiba datang dan memberikan jaketnya padahal sebenarnya kami tidak sedekat itu.

Atau sebenarnya gua tahu tapi memilih untuk pura-pura tidak tahu kalau sebenarnya ada sesuatu yang tak perlu di jabarkan tapi memang benar adanya, tunas bunganya telah tumbuh dan berakar hanya tinggal menunggu untuk tumbuh lebih besar dan kelopaknya akan siap untuk bermekaran dengan indah yang kemudian akan gugur dan mati.

Mungkin hari itu juga hari di mana gua sadar kalau sebenarnya gua cukup dekat dengan Heksa.

•••

Pandangan curiga Aksa di layangkan tepat kearah gua ketika dia mulai menyadari kalau belakangan ini gua sering kedapatan tengah mengobrol dengan Heksa.

“Lu ada apa sama Heksa?”

Gua menggeleng sebagai jawaban, anak itu sepertinya tidak percaya tapi gua sudah menjawab dengan jujur kalau memang kami tidak ada apa-apa. “Ya gak ada apa-apanya.”

“Bohong kan lu? mana ada lu bisa tiba-tiba bisa sering keluar bareng Heksa, jangan kira gua gak tau.”

Tenggorokan gua mendadak perih, gua menelan ludah dengan gugup seakan sedang tertangkap basah dari acara kucing-kucingan dengan Heksa meskipun kami tidak berniat demikian, “Memang kami harus ada apa-apa dulu baru bisa keluar berdua?”

Wajah Azka mendadak cemberut, itu pertama kalinya gua melihat dia merengut dan menyadari kalau sebenarnya Azka itu lucu, pantas saja Raihan bucin setengah mampus padanya.

Semua orang juga tahu kalau mereka bukan benar-benar teman, hanya saja si Azka tolol ini selalu denial berdalih bahwa mereka hanya teman saja, padahal Raihan jelas menganggap dia lebih dari sekedar teman. Gua sebetulnya takut kalau Azka masih akan terus menyepik perasaannya dia akan menangis melihat Raihan menggandeng orang lain, apa lagi gua dengar kalau ada adik kelas bernama Juan yang terang-terangan mengaku kalau dia menyukai Raihan yang katanya keren itu.

“Iya gak juga sih, tapi aneh aja ngeliat Heksa mendadak mau jalan sama lo. Padahal dia di ajak nongkrong aja susahnya minta ampun, selalu alasannya main basket kalau enggak main skateboard.”

“Heksa bisa main skateboard?”

“Jago dia, agak sorean tuh di jalur dua dekat bandara lu kesana dah biasanya dia main sendiri di situ.”

Hari itu setelah mendengar cerita dari Azka kalau Heksa sering bermain skateboard setiap sore di jalur dua dekat bandara, gua beneran datang agak sorean dengan menenteng kantong Indomaret berisi teh kotak.

Heksa sendiri menghentikan permainannya ketika melihat gua datang mendekat, menghampiri gua yang duduk diatas kursi beton yang di dirikan diatas terotoar jalan di samping pagar bandara.

Merutuki diri sendiri yang datang tanpa alasan sambil menenteng kantong plastik, gua hanya berpakaian kaos oblong warna hitam dan celana training biasa membuat gua terlihat lebih mirip anak hilang.

“Kenapa gak bilang kalau mau kesini? padahal gua bisa jemput.”

Gua jelas lebih heran lagi mendapati pertanyaan Heksa yang sepertinya tidak kaget gua tiba-tiba ada di sini tanpa alasan yang jelas, atau hanya gua yang memang berekspektasi tinggi kalau dia akan terkejut?

“Gak apa-apa, mau aja.” gua jelas menjawab dengan jawaban yang gua sendiri juga tahu kalau Heksa gak akan membalas.

Laki-laki yang usianya hanya terpaut beberapa bulan dari gua itu tanpa mengucapkan apapun lagi membawa skateboard—nya menjauh dan memperlihatkan beberapa skill bermainnya yang membuat gua beberapa kali membuka mulut terpukau.

“Mau main?” entah keberanian dari mana gua tanpa ragu menganggukan kepala dengan semangat, dan Heksa segerak menarik gua untuk naik keatas skateboard miliknya.

Gua sesekali tertawa melihat diri gua sendiri yang benar-benar tidak tahu bagaimana caranya memggunakan benda pipih dengan roda ini, gua beberapa kali hampir keterusan tidak tahu bagaimana cara menghentikan laju skateboard kalau aja Heksa gak ngejar gua.

“Lo harus bisa jaga keseimbangan pas lagi di atas papan skateboard, cara berdirinya kaki kiri lo bisa di depan yang kanan juga bisa sebenarnya, tergantung lebih kuat kaki lo yang mana. Kalau gak bisa jaga keseimbangan bisa-bisa lo jatuh duluan sebelum skateboardnya jalan.” Heksa dengan sabar menjelaskan ke gua beberapa teknik dasar dan menjaga keseimbangan di atas papan itu gak semudah yang gua bayangkan permukaannya yang licin membuat gua agak kesusahan membuat gua tanpa sadar berpegangan di pundak Heksa yang sekarang lebih rendah posisinya.

Gua menunduk mendapati kalau satu tangan heksa berada di pinggang gua, sadar atau tidak gua malah keasikan memandangi Heksa yang sibuk menjelaskan ke gua dengan beberapa ekspresi yang belum pernah gua lihat sebelumnya, dia gak pernah bicara sebanyak itu sebelumnya.

Sore itu gua menghabiskan waktu belajar bermain skateboard dengan Heksa, langit mulai berubah jingga matahari hampir terbenam tapi kami masih duduk bersampingan di atas terotoar jalan menikmati teh kotak yang tidak lagi dingin.

Gua tersenyum melihat Heksa sesekali tertawa mendengar candaan gua yang sebenarnya gua yakin kalau itu gak lucu-lucu amat, gua memandangi wajah heksa dari samping yang terpapar sinar senja membuat gua terpana, pahatan wajahnya terlihat sangat sempurna dengan hidung mancung dan garis wajahnya yang tegas.

Ketika Heksa berbalik lagi-lagi kembali ikut memandangi gua tersenyum tanpa sadar dia ikut tersenyum membuat gua merasa jauh lebih dekat dengan Heksa.

Meskipun sebenarnya gua dengan Heksa terlalu jauh untuk di sebut dekat.

Heksa itu manusia tak banyak kata, dia hanya akan bicara ketika dia butuh. Meskipun sejujurnya gua akui ketika bersama gua Heksa akan jadi pribadi yang banyak bicara dan lebih ekspresif, itu membuat gua merasa menjadi orang yang beruntung.

Heksa itu juga suka bermain basket, gua hak tahu kalau dia sesuka itu dengan bola basket dia sampai punya ring basket di dalam kamarnya sendiri. Gua hanya memandang keluar lewat jendela ketika heksa tengah mengganti bajunya, ada mobil sedan hitam yang masuk ke dalam halaman rumahnya, mungkin orang tuanya mungkin juga itu jadi alasan kenapa waktu gua masuk rumah ini terasa sangat sepi.

“Kayaknya orang tua lo datang.”

Gua gak tahu kenapa Heksa berjalan terburu-buru kearah jendela untuk melihat kedatangan ayahnya, raut wajahnya mendadak berubah.

Heksa mencari sesuatu di dalam lacinya dan memgeluarkan sebuah MP3 dari dalam lacinya, dia memasangkan headset-nya di kedua telinga gua, dan gua sama sekali gak menolak.

“Ini lagu kesukaan gue.” dia memtur lagu itu dengan volume penuh membuat telinga gua rasanya berdengung, gua tahu dia sengaja melakukannya.

Gua memandangi Heksa dalam diam ketika dia mulai bermain basket, mendribble bola oranye itu beberapa kali sebelum membawanya masuk kedalam ring.

Gua sengaja menurunkan volume MP3 itu menjadi paling rendah, sekarang gua bisa dengar dengan jelas suara pantulan bola basket milik heksa, juga suara teriakan-teriakan dan lemparan barang pecah dari luar sana.

Heksa gak mau gua tahu kalau kalau sebenarnya rumah heksa berantakan.

Gua masih terus berpura-pura seolah masih mendengarkan musik dari MP3 milik Heksa ketika dia mulai merebahkan dirinya di samping gua, nafasnya terengah-engah gua bisa lihat beberapa bulir keringat keluar dari dahinya, suara di luar tak kunjung usai.

Gua bisa dengar mereka saling balas meneriaki satu sama lain, suara di luar sana terdengar sangat berantakan, dan Heksa memandangi langit-langit kamarnya satu tangannya meraih tangan gua mengusap jari gua dengan pelan tanpa melihat kearah gua.

Rasanya hati gua seperti di tusuk ribuan jarum ketika mendapati Heksa tak lagi menangis mendengar betapa kacaunya isi rumahnya sendiri.

Gua menangis dalam hati kenapa semesta bisa sejahat ini, gue mau merengkuh Heksa dan bilang ke dia kalau dia gak sendirian, tapi gua sadar gua gak akan bisa.

“Lu berdua aneh.” itu kalimat yang sering gua dapati dari Azka yang sering berkomentar tentang kedekatan gua dengan Heksa.

Apalagi ketika dia diam-diam mendapati Heksa sedang tersenyum mengangguk kearah gua, dan gua juga hanya menanggapinya dengan sebuah senyuman kecil, dia terlihat sangat pusing dengan jawaban yang akan gua berikan ke dia ketika dia bertanya gua dan Heksa itu sebenarnya apa.

“Gue sama Heksa gak ada apa-apa.”

Gua tahu itu mungkin jawabannya yang terlihat sangat aneh ketika gua dengan heksa dengan jelas menunjukkan perhatian lebih terhadap satu sama lain.

Tapi gua dan Heksa sama-sama tahu.

Sama-sama tahu tentang perasaan satu sama lain.

Gua tahu kalau Heksa menyukai gua.

Dan Heksa pun juga tahu kalau gua menyukai dia, sama seperti dia menyukai gua.

Gua dan dia sama-sama tahu kalau orang lain gak akan permah paham dengan hubungan antara kami.

Gua dan dia sama-sama tahu ada sesuatu yang jelas berbeda di antara gua dan heksa.

Ada batas yang terasa sangat jelas antara gua dan Heksa, dan orang lain gak akan paham.

“Aksa cepetan, buka sepatunya itu si thanos udah stay di sana dari tadi.”

Azka gua gak tahu dari mana sebutan itu dia dapatkan untuk kepala sekolah yang sedari tadi telah menunggu di musholla untuk sholat jumat berjamaah di sekolah.

Setelah melepas sepatu gua melihat kesekeliling lapangan yang terasa sepi, hanya ada beberapa siswa yang terlihat jalan mondar-mandir. salah satunya Heksa dengan Fidensa anak kelas ssebelah tengah berjalan lurus.

Dia mendapati kalau gua tengah memandangi dia, Heksa hanya tersenyum simpul dan gak ada yang bisa gua lakukan selain membalas senyumannya kemudian berjalan menuju musholla bersama Azka.

Sedangkan Heksa berjalan lurus menuju ruang ibadah yang ada tepat di depan kelas gua.

Gua dan Heksa sama-sama tahu kalau kita gak akan jadi apa-apa.

anouzume ©2022

hujan dan cerita yang belum usai


seperti hujan yang turun dari langit menyapa tanah kering yang mulai tandus, semua teman kelasnya berteriak kegirangan mendapati hujan turun di hari akhir sekolah sebelum hari libur tiba, beberapa dari mereka langsung berlarian menuju lapangan menikmati derasnya hujan sembari berlarian, masa putih abu-abu memanglah masa yang indah.

berbeda dengan sunghoon yang hanya menatap dari atas lantai dua menikmati sebuah persembahan ketika hujan turun, dia hanya penonton yang terpaksa menikmati persembahan sebab tak ada solusi lain selain menonton pertunjukan hingga selesai.

melihat minhee dan yunseong saling menggoda kemudian berlarian saling mengejar di dalam lapangan cukup untuk membuatnya terhibur, jay yang menikmati tiap rintikan hujan di tubub atletisnya sembari menggiring bola menuju ring lawan, sunghoon tahu pemuda itu sangat menikmati ketika dirinya menjadi pusat perhatian sebab sang pujaan hati sedang menontonnya di ujung koridor sana.

semuanya tampak punya cerita masing-masing di kisah dalam balutan putih abu-abu, sunghoon sendiri tak begitu yakin apakah dia punya atau memang tidak. sebab tak ada yang benar-benar membuatnya tertarik selama hampir tiga tahun masa putih abu-abu nya selain lulus cepat dan pergi sejauh-jauhnya kemana dia bisa lari.

katakanlah dia pengecut karena memang benar adanya. dia si tikus kecil yang berlagak menjadi seekor jaguar yang bisa menerkam seekor rusa.

“lo selalu marah tiap hujan turun.” matanya melirik pada sosok yang kini ikut berdiri di sampingnya.

“sok tahu.”

“raut wajah lo kelihatan jelas, apalagi setiap lo nyoba buat ngeliat langit, ekspresi yang selalu sama ketika langit mulai gelap, lo marah sama langit.”

“padahal gua rasa lo terlalu sibuk cuma buat merhatiin siswa bayangan di sekolah ini.”

dia betulan siswa bayangan, yang kehadirannya minim di ketahui selain teman kelasnya dan guru yang pernah mengajarnya, selebihnya ketika bertemu mereka akan mempertanyakan siapa sunghoon.

“justru karena lo siswa bayangan, di saat yang lain kumpul di lapangan, lo sendirian di atas sini ngebuat lo kelihatan lebih menonjol.” pemuda itu menatap sunghoon sekilas sebelum kemudian kembali menonton pertunjukan di bawah sana yang belum usai. “tanpa sadar sebenarnya lo sedang menunjukkan eksistensi lo.”

“mungkin cuma lo yang sadar.”

siswa dengan almamater osis berwarna biru itu mengangguk lalu memasukkan kedua tangannya kedalam saku almamaternya sedikit kedinginan dengan angin yang berhembus pelan, “mungkin karena gua gak pernah ngeliat orang lain selain lo.”

“gua gak suka hujan.”

“gua bisa ngajak lo baca buku atau sekedar ngobrol di dalam ruangan kalau hujan turun.”

“gua gak suka warna langit yang gelap waktu hujan turun.”

dia kemudian berdiri di hadapan sunghoon menghalangi seluruh arah padangnya dengan bahu kokohnya, membuat sunghoon mendongak untuk menatap wajah pemuda yang lebih tinggi beberapa senti darinya.

“lo bodoh.”

“menghindar dari gua dan ngatain gua bodoh gak akan ngebuat gua menganggap lo orang yang jahat dan kasar, gua selalu bilang kalau gua ngeliat lo dari arah manapun, gak cuma satu arah.”

“kenapa gak nyerah aja?”

“buat apa? kita bahkan belum mulai apapun.”

“lee heeseung.”

“park sunghoon.”

“dengerin gua, perasaan lo itu valid. hanya karena orang-orang bilang kita beda dan lo gak pantas sama gua, mereka tau apa soal kita? lantas lo membandingkan diri lo dengan orang lain, nyuruh gua buat sama orang yang lebih 'pantas'. lo gak harus membandingkan diri lo dengan orang lain karena sejak awal perbandingannya gak layak, yang gue mau cuma lo bukan yang lain.”

“buat apa gua dapat permata kalau yang gua mau itu elo.”

“lee heeseung.”

“iya?”

“gua kedinginan.”

“gua bisa meluk lo kalau lo kedinginan.”

“then, do it.”

dan ketika merasa dirinya di dekap sesuatu yang hangat, sunghoon pada akhirnya tersenyum menjatuhkan kepalanya di pundak yang lebih tinggi dengan tangannya yang memeluk si tampan dengan erat.

mungkin sesekali sunghoon harus melepaskan egonya, berhenti berteriak dengan isi kepalnya, berhenti berdebat dengan serangkaian skenario yang akan terjadi pada mereka selanjutnya.

mungkin sesekali sunghoon hanya perlu merentangkan tangan kemudian memeluk heeseung sambil tersenyum merasakan kehangatan.

sunghoon merasakan usapan di puncuk kepalanya dan dia lagi-lagi tersenyum, mungkin sudah saatnya sunghoon berhenti berbohong bahwa dia tak menginginkan heeseung.

pada kenyataannya dia menginginkan heeseung, sangat. sama seperti heeseung menginkannya.

desember semoga tanpa asap lilin yang mengepul di udara.


satya gak betulan marah waktu yesha —abangnya terus-terusan menggodanya dengan memanggilnya yaya, dia hanya kesal karena demi apapun yesha dengan mulut berisiknya itu tak akan pernah berhenti sebelum satya meneriakinya atau melapor ke bunda karena sudah tak tahan dengan yesha yang sebelas-duabelas dengan kenalpot motor.

dia juga tak marah ketika yesha mengatakan dirinya kumal dan lusuh, yesha memang sering menggodanya sehingga satya tak perlu ambil pusing untuk memikirkan kalimat yang keluar dari mulut abangnya itu. pun, juga dia tahu cara yesha memberikannya perhatian memang seperti ini, meskipun agak menjengkelkan sesekali.

menjadi putra bungsu di keluarga abimanyu membuat satya banyak mendapatkan cinta dari keluarga besarnya, menjadikan satya pribadi yang lembut juga, bahkan hingga sekarang ketika usia satya telah menginjak usia delapan belas perlakuan itu tidak pernah berubah sama sekali dan satya juga tak masalah, baginya ini adalah sebuah keberuntungan yang tak seharusnya dia sia-siakan selagi tuhan masih memberikan satya akan tetap menerimanya dengan senang hati, tak peduli dengan tanggapan orang-orang yang bilang dia manja dan kekanakan.

lantunan musik to love somebody milik michael belton menemani perjalanan mereka sore itu, mobil sedan berwarna putih itu membelah jalan yang cukup sepi. satya sendiri tak banyak tanya dirinya akan di bawa kemana meskipun kepalanya mulai pusing karena mereka tak kunjung sampai ke tujuan yang di inginkan yesha.

“abang kita mau kemana? kenapa jauh sekali? adek pusing tau muter-muter terus, kalau sampai aku muntah nanti aku muntah di bajunya abang.” ancam satya yang mulai tak tahan, demi apapun kepalanya mulai berputar dan pantatnya hampir kebas terus-terusan duduk.

“abang udah bawain kresek tuh, muntah di situ aja.”

“lagian ini kemana, kenapa jalannya jauh sekali!!”

“udah sampe, jangan berisik lagi.”

satya menatap bangunan tinggi dengan sebuah nama mall yang tertulis sangat besar di atasnya, satya langsung tersenyum cerah, yesha membawanya ke sebuah mall di ibu kota.

“yes, abang teraktir yaaaa.” dengan semangat menarik yesha yang tersenyum melihat adiknya terlihat sangat bersemangat.


padahal sepanjang perjalanan menarik yesha tadi, satya sudah mendata apa-apa saja yang ingin dia beli di dalam kepalanya, tapi ternyata yesha malah menariknya ke sebuah tempat yang entah kenapa hari ini terlihat sangat sepi. hanya ada sekitaran lima enam orang di dalamnya di tambah dengan yesha dan satya.

“abang kenapa gak bilang mau ajak aku kesini, aku bisa bawa sepatu aku sediri.” meskipun mengeluh karena tidak membawa sepatunya sendiri, satya tetap memakai sepatu yang di berikan yesha untuknya.

terkikik geli saat menyadari dirinya berjalan dengan kaku di atas ice rink, sudah lama sekali satya tak bermain ke sini padahal dulu sebelum pindah satya sering bermain skating dengan bundanya tiap akhir pekan.

satya memasukkan kedua tangannya kedalam kantong jaketnya yang lumayan tebal, menikmati rasanya kembali meluncur diatas es, dia jadi ingat pernah menangis meminta kepada bunda agar di ajari bermain skating karena hari itu yesha memamerkan keahliannya bermain skating di depan satya kecil yang menatap abangnya dengan penuh kekaguman.

“abang gak ikutan main?” tanyanya sesaat setelah berhenti tepat di depan yesha yang hanya menatapnya bermain, mirip seperti orang tua yang khawatir anaknya akan terjatuh.

“abang keluar sebentar gak apa-apa ya? nanti balik lagi, gak akan lama kok. kamu tunggu di sini aja sambil main.”

“loh, satya kenapa di tinggal? iiiiihh nda mau nanti kalau abang lupa sama aku terus abang pulang duluan gimana?”

yesha hanga menggeleng, “kamu tuh, ya abang gak akan lupa lah. tunggu aja sebentar paling nanti kamu yang gak mau pulang.”

“jangan lama-lama.”

anggukan dari yesha cukup meyakinkan satya yang betulan takut di tinggal, dia menikmati bermain skating sore ini, sesekali dia ikutan bermain dengan anak kecil yang menghampirinya mengajak bermain bersama.

satya tak merasa khawatir saat bermain dengan anak berusia delapan tahun itu, tetapi setelah ibunya memanggil dia langsung berpamitan kepada satya berharap bisa bermain bersama lagi yang hanya di tanggapi satya dengan sebuah senyuman.

barulah di saat anak itu pergi satya kemudian merasa kalau sebentarnya yesha ini sudah hampir satu jam, dia dia mulai kebingungan harus bagaimana lagi.

dia mulai lelah bermain tanpa henti, anak kecil yang tadi itu sepertinya punya kekuatan super bisa bermain tanpa henti.

“kalau aku betulan di tinggal, nanti pulang sama siapa? aku ndak bawa uang, hp nya juga ketinggalan di rumah.” monolognya dengan wajah takut dan mulai menggigiti kukunya, kemudian mendudukkan dirinya diatas es yang dingin dengan kedua kaki di luruskan ke depan.

“yesha jelleeek kemanaaa.”

“issh awas aja nanti abang jelek itu datang aku gigit.” satya menghentakkan kedua giginya kesal.

bruk

satya terlonjak kaget saat mendapati sesuatu di lempar kearahnya, dengan cepat satya melihat sebuah boneka pinguin berukuran sedang mendarat tepat di depannya.

dengan mata membulat semangat satya menarik boneka itu, “penguuu, siapa yang buang kamu huh? kasiannya.”

“kamu lucuuuu sekali kenapa di buang, awas ya nanti aku marahin orang yang buang kamu sembarangan.”

“suka gak?”

“ehh—looh jendral kenapa di sini? ihhhh kamu kenapa bisa ada di sini, shooo shooo aku gak terima jendral di sini.” satya mengerjap sebentar kemudian pandangannya berubah menjadi menajam dengan alis mengerut sembari satu tangannya mengeratkan pegangannya pada boneka pinguin yang di peluk di pinggangnya.

“aku jauh-jauh datang ke sini kok di suruh pulang, nanti kamu pulang sama siapa kalau aku gak di terima di sini, kecil?”

“abang yesha kemana?!”

“pulang kali.”

“jendral sama abang yesha sekongkonl, pengu kamu jangan mau temenan sama mereka.” hanan tertawa melihat tingkah satya yang bicara dengan boneka pinguin itu seolah dia akan membalas ucapan satya.

“kamu duduk di sini gak dingin?” satya menggeleng memperhatikan hanan yang ikut duduk di sampingnya.

“jendral kenapa duduk juga?”

“nemenin kamu lah kecil, seru gak main skating nya?”

satya mengangguk, “hu'um, tadi aku ada main sama anak kecil lucu, dia semangat sekali mainnya aku jadi gak bisa berhenti ketawa.”

“hari ini senang?”

“senang sekali.”

“suka main ke sini?”

“suka, aku udah lama gak main ke ice rink sejak pindah ke sini, padahal dulu setiap minggu pasti sekeluarga bakalan main skating, tapi sekarang papa sibuk sekali.”

“kalau bonekanya suka gak?”

“ini?” dia mengangkat boneka pinguin di tangannya.

hanan mengangguk, “jadi jendral yang buang boneka ini?! ish ish, jendral kamu harus di marahin.”

satya menyentil hanan dua kali, “tadi aku kaget tau tiba-tiba di buang kayak begitu, untungnya aku nda ada riwayat jantung.”

lagi-lagi hanan hanya tertawa sambil menggeleng, “aku tanya kamu suka apa enggak?”

“suka.”

“sekarang bonekanya punya kamu.”

satya tersenyum cerah, “apa lagi?”

“apanya lagi?”

“ada yang kurang, harusnya ada ucapan lagi.”

“aku cuma punya itu.”

“sekarang hari apa?”

“hari rabu lah kecil, kan tadi waktu di chat juga nanya itu udah aku jawab.”

“tanggal berapa?”

“delapan.”

“artinya itu hari apa?” hanan bisa melihat satya benar-benar menantikan sesuatu darinya.

“hari rabu tanggal delapan bulan dua belas.”

“jendraaaaaaal jeleeek.”

“loh aku salah apa? memang hari ini hari apa?”

“hari ini aku ulang tahun, tapi kenapa jendral tidak ingat?” ada raut sedih yang terpancar dari wajah satya saat menatap hanan.

“aku ingat kok.”

“dari semalam aku selalu tunggu jendral ucapin selamat ulang buat aku. bunda, ayah, abang, yumna, arka, azka, ratu, aulia, raihan, gael, ghalian dan hadrian semuanya kasih selamat ulang tahun untuk satya, cuma jendral yang tidak padahal satya sudah tunggu lama tapi tidak ada.”

“bahkan kak yasa yang sibuk masih sempat ngirimin aku kue dan ucapan selamat ulang tahun.”

“dia kirim kue?”

“iya!!!”

“oh, yaudah. kenyang dong kamu makan kue banyak-banyak, tapi jangan banyak makan yang manis-manis gak baik untuk kesehatan.”

“jendral gak cemburu?”

hanan menggeleng membuat satya sedikit kaget juga kebingungan. “iiiiih harusnya jendral itu cemburu tau.”

“lah ngapain cemburu sama manusia yang satu itu?”

“namanya kak yasa.”

“iya itu pokoknya.”

“terserah jendral, terus sekarang ucapan selamat ulang tahunnya mana?”

“kalau kamu minta ucapan selamat ulang tahun dari aku gak ada, kecil.”

satya kembali di buat kebingungan, tak tahu harus mengatakan apa kecuali alasan mengapa hanan gak memberinya ucapan selamat ulang tahun. mendengar pertanyaan satya hanan memudian menopang kedua tangannya ke belakang bersentuhan langsung dengan es yang dingin kemudian menatap satya yang masih menatapnya penuh denga tanda tanya.

“ngapain? cukup aku tahu kamu masih senang hari ini, masih senyum hari ini, kamu masih bisa manggil aku jendral, masih bisa ketemu sama teman-teman kamu, aja udah cukup.”

“ucapan selamat ulang tahun dari aku itu gak penting satya dan kamu gak harus khawatir kalau aku gak ngucapin selamat untuk kamu kayak yang lainnya, aku masih di sini sama kamu itu berarti gak ada hal yang harus kamu khawatirkan.”

satya lagi-lagi di buat diam tak tahu harus membalas apa.

“ayo pulang.” hanan yang sudah lebih dulu berdiri mengulurkan tangannya, yang kemudian di raih satya dengan sebuah senyuman di wajahnya.

hanan kira ketika satya meraih tangannya untuk di genggam mereka akan segara pulang, namun ternyata satya menenggelamkan dirinya di pelukan hanan, memeluk dirinya erat dengan kedua tangan mengalun di leher dengan boneka pinguin di tangan satya. satya tersenyum membalas pelukan satya yang kini mulai menggesekkan hidungnya pelan di leher hanan menghirup aroma khas yang selalu menjadi candu untuknya, satya di usianya yang ke delapan belas telah mendapatkan hadiah terbaiknya.

“jendral.”

“iya?”

satya mendongak masih dengan kedua tangannya yang mengalun di leher hanan, melirik ke sekitarnya yang sudah sepi dan tersenyum semakin mendekat wajahnya kearah hanan.

cup

“terimakasih.”

hanan terdiam merasakan kecupan singkat di pipinya, kemudian menyadari kalau satya sudah meluncur lebih dulu dengan boneka pinguin di pelukannya dengan senyum yang tak luntur di wajahnya.

“kamu belajar dari mana?”

“dari jendral.”

“jendraaaaaaal jangan diam terus di situ, ayo pulang nanti singgah beli martabak aku lapar.”

di hari ulang tahun satya, hanan tak memberi selamat pun juga tak memberi kue dengan lilin menyala di atasnya, di desember ini dia hanya memberi semoga tanpa asap lilin yang mengepul untuk membawanya pergi.

semoga satya di usianya yang semakin bertambah tak kehilangan senyumnya, semoga semesta memberinya kebahagian agar hanan selalu bisa melihat senyumnya yang menenangkan jiwa yang bergemuruh.

satya, selamat hari bahagia. terimakasih untuk semua bahagia yang datang bersama denga hadirmu, semoga kamu selalu di sertai dengan kebahagiaan, semoga yang baik.

cw // attempted suicide.


kehilangan pijkan, aksa yang malang kehilangan pijakannya. kehilangan tumpuan untuk terus berdiri, kehilangan sisa cahaya terangnya. kehilangan alasannya untuk tetap tinggal, kehilangan alasan untuk bertahan, kehilangan semua rasa yang seharusnya masih ada di dalam dirinya.

aksa kecil yang malang bagaikan kucing kecil di tengah badai salju yang kehilangan induknya, mengeong putus asa untuk mendapatkan kehangatan, meminta dengan putus asa, namun di tengah badai salju dimana semua orang menghabiskan waktu bersama hingga badai berakhir, tak ada yang menolongnya.

dia sendirian di tengah badai.

aksa cukup waras dengan pilihannya untuk berjalan kearah balkon kamar apartemennya yang berada jauh diatas tanah, kaki pucatnya yang berjalan lunglai bersentuhan langsung dengan dinginnya lantai apartemen yang sudah di huninya selama hampir dua tahun ini, bertahan hidup dari pahitnya kenyataan yang harus dia hadapi.

ketika kakinya mulai menginjak di pinggiran balkon yang tidak lagi memiliki penghalang dengan dunia luar, aksa merasakan hembusan angin yang menerpa kulitnya, rambutnya bergelombang terbawa angin sepoi-sepoi, sudah lama sekali rasanya aksa tidak menikmati bagaimana rasanya di terpa angin sepoi-sepoi yang menenangkan.

sekelebat ingatan masa kecilnya berlarian di dalam kepala, aksa yang masih belum mengenal pahitnya kehidupan tersenyum dengan riang tak ada beban di pundaknya, senyum ringan yang sudah lama sekali tak dia rasakan.

rasanya kembali sesak ketika semua memori bahagia itu datang menghampiri aksa yang kini sedang berada di ujung tanduk, seolah mengejek aksa yang hidupnya pernah di penuhi warna bahagia.

aksa tak tahu harus kemana lagi setelah ini, dia kehilangan pijakannya, kehilangan sosok wanita yang menjadi alasannya untuk tetap ingin melihat bahagia di dalam hidupnya yang hampir tak menyisakan bahagia lagi, terlalu banyak tangisan dan rasa tak terima pada semesta, kenapa hidupnya semenderita ini.

ketika semua kenangan bahagia itu tergantikan dengan memori paling mengenaskan yang pernah dia alami, aksa ingin marah bahkan di saat seperti ini pun kenangan itu masih terus menghantuinya, sejatinya kenangan itu tak akan pernah hilang dia akan selalu ada bahkan di tempat paling gelap di dunia sekalipun.

dan ketika perasaan marah itu kian tak terkontrol, aksa tak lagi bisa menahannya kemarahannya pada semesta yang mengutuknya, kemarahannya pada dirinya sendiri yang tak bisa lari dari rantai masa lalu, membawanya pada ujung rasa sakit, aksa memilih untuk menyudahi semuanya.

menyudahi rasa sakitnya, menyudahi memori-memori yang terus menghantuinya, menyudahi dirinya sendiri.

aksa memilih terjun bersama rasa sakit dan semua angan-angan tentang hari bagianya.

“maaf, maaf. tapi kamu berharga, hidupmu berharga.”

ketika dia seharusnya melebur bersama rasa sakitnya di bawah sana, aksa justru merasakan dia jatuh berdebam dengan punggung kepalanya yang di halangi oleh orang lain.

ada yang menghentikan aksa untuk mengakhiri dirinya sendiri. aksa marah, kenapa hanya untuk lepas dari semua yang menyiksanya sesulit ini, padahal aksa sudah bisa menerima bahwa dia akan berakhir hari ini.

tanpa sadar aksa meraung, mengamuk memukuli sosok itu dengan cukup brutal dengan air mata yang entah sejak kapan memghiasi wajahnya, “kenapa?!! kenapa?!! kenapa semua orang gak ngebiarin gue untuk lepas!!”

tak ada balasan yang aksa terima hanya suaranya yang terus menggema menyalahkan sosok yang kini justru merengkuhnya, memberi usapan lembut pada belakang punggungnya, membisikkan sebuah kalimat yang membuat aksa diam.

“kalau kamu menyerah hari ini tidak ada lagi hari esok untuk memulai semua yang baru.”

untuk pertama kalinya aksa merasa di rengkuh, merasakan hangat di tengah badai salju.

cw // mention about pistanthrophobia, character death.


dari semua yang pernah ada, rasa takut adalah segalanya yang paling menakutkan. takut untuk memulai, takut untuk mengakhiri, takut untuk terus berjalan, takut kehilangan pijakan, takut kehilangan arah, dan yang paling menyeramkan dari rasa takut itu adalah takut untuk kehilangan.

bagaikan nahkoda kapal di tengah laut yang kehilangan arah anginnya, seperti seekor rusa yang kehilangan jejaknya di dalam hutan yang gelap, seekor kucing yang lupa arah pulang ke rumah tuannya, semuanya mendadak terlihat sangat menyeramkan. tak ada cahaya yang bersinar dan menghangati tubuh, hanya ada kegelapan malam yang dingin menembus tulang, menghentikan pergerakan hanya bisa menggigil meraung untuk meminta kehangatan seperti kucing kecil di tengah badai salju yang kehilangan induknya.

terlantar, mengenaskan.

aksa di usianya yang baru genap lima tahun adalah segalanya. aksa yang tersenyum ceria, aksa yang tawanya terdengar merdu, aksa yang ketika tersenyum matanya ikut tersenyum bagaikan bulan sabit sempurna. aksa dengan segala kehangatannya, aksa kesayangan bunda, aksa jagoan ayah, dan aksa adik kecil nabila.

“kalau besar nanti, aksa mau jadi apa?”

“mau jadi seperti ayah, ayah hebat.”

“kenapa mau jadi seperti ayah?.”

kalau dulu pertanyaan itu akan di jawab dengan sumringah, dengan wajah bangga menjabarkan bahwa sang ayah adalah yang terbaik, pahlawan untuknya, untuk kakaknya dan untuk mama.

kalau dulu, itu adalah pertanyaan yang paling di tunggunya, untuk di jawab untuk memberitahu semua orang bahwa ayahnya adalah seorang yang membanggakan, ayahnya adalah nahkoda kapal yang berhasil berlayar di tengah badai yang datang memporak-porandakan awak kapal.

ayahnya adalah kebanggaan, dan bunda adalah orang yang selalu berada di belakang ayah untuk melindunginya, dia adalah malaikat tak bersayapnya ayah, aksa dan kakak.

sebuah rasa percaya yang amat tinggi dia tanamkan untuk sosok yang paling dia kagumi, rasa percaya yang dulunya dia yakinkan bahwa ayahnya akan selalu sama. yang selalu akan memanggil aksa sebagai jagoan. kepercayaan yang dia tanamkan sangat dalam itu membawa ekspektasinya terlalu jauh, aksa yang malang lupa bahwa pada dasarnya manusia adalah sang pengingkar handal, sang penipu ulung.

membuat aksa pada akhirnya menyadari, seharusnya ia tak pernah percaya.

dan semuanya menajadi semakin menakutkan ketika kepercayaan itu membawanya pada kenangan-kenangan paling menakutkan, menyedihkan menghantarkan aksa pada perasaan yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya. kesedihan-kesedihan itu datang bertubi-tubi membawa satu-persatu memori bahagianya, hilang di telan angan percaya.

semakin jauh, semakin gelap, semakin tak ada lagi cahaya yang tersisa, ketakutan itu semakin menghantui aksa yang sendirian menopang dirinya sendiri dari semua kekacauan yang pernah ada, bunda tersayang, bundanya kakak, bundanya aksa.

“adek nanti gak boleh sedih, jangan nangis karena bunda. aksa kuat, aksa jagoannya bunda, pahlawannya bunda. dari semua jejak yang pernah ada, aksa akan selalu menjadi jejak yang membekas tak di kekang waktu, selamanya aksa akan selalu menjadi jejak yang menjadi bukti bahwa bunda punya seorang pahlawan yang selalu melindungi bunda, kamu jagoan buat bunda, jagoannya nabila, jagoan kita semua.”

dan ketika bunda memilih untuk pulang, aksa kehilangan pijakan.

cw // mention about pistanthrophobia, character death.


dari semua yang pernah ada, rasa takut adalah segalanya yang paling menakutkan. takut untuk memulai, takut untuk mengakhiri, takut untuk terus berjalan, takut kehilangan pijakan, takut kehilangan arah, dan yang paling menyeramkan dari rasa takut itu adalah takut untuk kehilangan.

bagaikan nahkoda kapal di tengah laut yang kehilangan arah anginnya, seperti seekor rusa yang kehilangan jejaknya di dalam hutan yang gelap, seekor kucing yang lupa arah pulang ke rumah tuannya, semuanya mendadak terlihat sangat menyeramkan. tak ada cahaya yang bersinar dan menghangati tubuh, hanya ada kegelapan malam yang dingin menembus tulang, menghentikan pergerakan hanya bisa menggigil meraung untuk meminta kehangatan seperti kucing kecil di tengah badai salju yang kehilangan induknya.

terlantar, mengenaskan.

aksa di usianya yang baru genap lima tahun adalah segalanya. aksa yang tersenyum ceria, aksa yang tawanya terdengar merdu, aksa yang ketika tersenyum matanya ikut tersenyum bagaikan bulan sabit sempurna. aksa dengan segala kehangatannya, aksa kesayangan bunda, aksa jagoan ayah, dan aksa adik kecil nabila.

“kalau besar nanti, aksa mau jadi apa?”

“mau jadi seperti ayah, ayah hebat.”

“kenapa mau jadi seperti ayah?.”

kalau dulu pertanyaan itu akan di jawab dengan sumringah, dengan wajah bangga menjabarkan bahwa sang ayah adalah yang terbaik, pahlawan untuknya, untuk kakaknya dan untuk mama.

kalau dulu, itu adalah pertanyaan yang paling di tunggunya, untuk di jawab untuk memberitahu semua orang bahwa ayahnya adalah seorang yang membanggakan, ayahnya adalah nahkoda kapal yang berhasil berlayar di tengah badai yang datang memporak-porandakan awak kapal.

ayahnya adalah kebanggaan, dan bunda adalah orang yang selalu berada di belakang ayah untuk melindunginya, dia adalah malaikat tak bersayapnya ayah, aksa dan kakak.

sebuah rasa percaya yang amat tinggi dia tanamkan untuk sosok yang paling dia kagumi, rasa percaya yang dulunya dia yakinkan bahwa ayahnya akan selalu sama. yang selalu akan memanggil aksa sebagai jagoan. kepercayaan yang dia tanamkan sangat dalam itu membawa ekspektasinya terlalu jauh, aksa yang malang lupa bahwa pada dasarnya manusia adalah sang pengingkar handal, sang penipu ulung.

membuat aksa pada akhirnya menyadari, seharusnya ia tak pernah percaya.

dan semuanya menajadi semakin menakutkan ketika kepercayaan itu membawanya pada kenangan-kenangan paling menakutkan, menyedihkan menghantarkan aksa pada perasaan yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya. kesedihan-kesedihan itu datang bertubi-tubi membawa satu-persatu memori bahagianya, hilang di telan angan percaya.

semakin jauh, semakin gelap, semakin tak ada lagi cahaya yang tersisa, ketakutan itu semakin menghantui aksa yang sendirian menopang dirinya sendiri dari semua kekacauan yang pernah ada, bunda tersayang, bundanya kakak, bundanya aksa.

“adek nanti gak boleh sedih, jangan nangis karena bunda. aksa kuat, aksa jagoannya bunda, pahlawannya bunda. dari semua jejak yang pernah ada, aksa akan selalu menjadi jejak yang membekas tak di kekang waktu, selamanya aksa akan selalu menjadi jejak yang menjadi bukti bahwa bunda punya seorang pahlawan yang selalu melindungi bunda, kamu jagoan buat bunda, jagoannya nabila, jagoan kita semua.”

dan ketika bunda memilih untuk pulang, aksa kehilangan pijakan.

< cw // mention about pistanthrophobia, character death.


dari semua yang pernah ada, rasa takut adalah segalanya yang paling menakutkan. takut untuk memulai, takut untuk mengakhiri, takut untuk terus berjalan, takut kehilangan pijakan, takut kehilangan arah, dan yang paling menyeramkan dari rasa takut itu adalah takut untuk kehilangan.

bagaikan nahkoda kapal di tengah laut yang kehilangan arah anginnya, seperti seekor rusa yang kehilangan jejaknya di dalam hutan yang gelap, seekor kucing yang lupa arah pulang ke rumah tuannya, semuanya mendadak terlihat sangat menyeramkan. tak ada cahaya yang bersinar dan menghangati tubuh, hanya ada kegelapan malam yang dingin menembus tulang, menghentikan pergerakan hanya bisa menggigil meraung untuk meminta kehangatan seperti kucing kecil di tengah badai salju yang kehilangan induknya.

terlantar, mengenaskan.

aksa di usianya yang baru genap lima tahun adalah segalanya. aksa yang tersenyum ceria, aksa yang tawanya terdengar merdu, aksa yang ketika tersenyum matanya ikut tersenyum bagaikan bulan sabit sempurna. aksa dengan segala kehangatannya, aksa kesayangan bunda, aksa jagoan ayah, dan aksa adik kecil nabila.

“kalau besar nanti, aksa mau jadi apa?”

“mau jadi seperti ayah, ayah hebat.”

“kenapa mau jadi seperti ayah?.”

kalau dulu pertanyaan itu akan di jawab dengan sumringah, dengan wajah bangga menjabarkan bahwa sang ayah adalah yang terbaik, pahlawan untuknya, untuk kakaknya dan untuk mama.

kalau dulu, itu adalah pertanyaan yang paling di tunggunya, untuk di jawab untuk memberitahu semua orang bahwa ayahnya adalah seorang yang membanggakan, ayahnya adalah nahkoda kapal yang berhasil berlayar di tengah badai yang datang memporak-porandakan awak kapal.

ayahnya adalah kebanggaan, dan bunda adalah orang yang selalu berada di belakang ayah untuk melindunginya, dia adalah malaikat tak bersayapnya ayah, aksa dan kakak.

sebuah rasa percaya yang amat tinggi dia tanamkan untuk sosok yang paling dia kagumi, rasa percaya yang dulunya dia yakinkan bahwa ayahnya akan selalu sama. yang selalu akan memanggil aksa sebagai jagoan. kepercayaan yang dia tanamkan sangat dalam itu membawa ekspektasinya terlalu jauh, aksa yang malang lupa bahwa pada dasarnya manusia adalah sang pengingkar handal, sang penipu ulung.

membuat aksa pada akhirnya menyadari, seharusnya ia tak pernah percaya.

dan semuanya menajadi semakin menakutkan ketika kepercayaan itu membawanya pada kenangan-kenangan paling menakutkan, menyedihkan menghantarkan aksa pada perasaan yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya. kesedihan-kesedihan itu datang bertubi-tubi membawa satu-persatu memori bahagianya, hilang di telan angan percaya.

semakin jauh, semakin gelap, semakin tak ada lagi cahaya yang tersisa, ketakutan itu semakin menghantui aksa yang sendirian menopang dirinya sendiri dari semua kekacauan yang pernah ada, bunda tersayang, bundanya kakak, bundanya aksa.

“adek nanti gak boleh sedih, jangan nangis karena bunda. aksa kuat, aksa jagoannya bunda, pahlawannya bunda. dari semua jejak yang pernah ada, aksa akan selalu menjadi jejak yang membekas tak di kekang waktu, selamanya aksa akan selalu menjadi jejak yang menjadi bukti bahwa bunda punya seorang pahlawan yang selalu melindungi bunda, kamu jagoan buat bunda, jagoannya nabila, jagoan kita semua.”

dan ketika bunda memilih untuk pulang, aksa kehilangan pijakan.