di sudut kota Valeriusplein kita berbincang tentang yang lalu, dan aku melepasmu
di penghujung bulan juni di sudut kota Amsterdam dimana suhu udara perlahan mulai naik, heeseung memulai langkahnya dengan mantap berjalan kaki menatap sekitarannya yang atmosfer udaranya perlahan mulai berubah.
beberapa orang mulai keluar dari dalam rumahnya hendak membersihkan salju berwarna putih yang menutupi halaman rumah mereka sejak beberapa bulan belakangan ini, jejak-jejak es yang perlahan mulai mencair di serap tanah yang kembali memunculkan eksistensinya setelah sekian lama di gantikan oleh dinginnya salju.
heeseung tersenyum kearah seorang wanita paruh baya yang terlihat kewalahan dengan anjing miliknya yang berlari kesana-kemari terlihat sangat bersemangat menantikan pergantian musim yang kian terasa, hewan-hewan itu terlihat sangat semamgat setelah sekian lama ruang gerak mereka di batasi dengan dinginnya udara yang terkadang tidak bersahabat.
hari liburnya pun akan segera berakhir bersamaan dengan berakhirnya musim dingin kali ini, kemudian kembali lagi ke masa-masa dimana dia harus menaiki bus menuju sebuah gedung tinggi di tengah keramain kota, menyambut berkas-berkas pekerjaannya yang telah menanti sekian lama. banyak orang mulai keluar rumah untuk menikmati suhu udara yang perlahan mulai berubah, daun-daun yang awalnya tertutupi dengan salju perlahan mulai terlihat bersamaan dengan suhu udara yang kian naik, begitu juga tupai-tupai yang terlihat melintasi beberapa pohon menyambut datangnya musim semi.
tiga tahun yang lalu heeseung memilih untuk meninggalkan negara kelahirannya, memulai kehidupan barunya meninggalkan kisah lalu yang bertulang di belakangnya. meninggalkan rasa sakitnya, memulai hidupnya sendiri tanpa harus kembali terperangkap kisah lalunya yang meninggalkan luka menganga, heeseung tidak melupa dia hanya memilih untuk tidak lagi memikirkannya berdamai dengan dirinya sendiri, berdamai dengan masa lalunya, berdamai dengan kenyataan bahwa sunghoon meninggalkannya, kenyataan bahwa cintanya telah meninggalkannya.
benar, kata jungwon dulu, kata adiknya dulu bahwa dia hanya perlu melihat ke depan melihat realitas yang ada, bahwa hidup tak selamanya berpusat pada satu orang. semesta tidak berjalan seperti itu.
heeseung masih memilih untuk memggunakan jaket tebalnya menghalau udara yang masih cukup dingin untuk menembus kulitnya, beberapa orang juga mulai menikmati pergantian musim dengan keluar rumah, saling berbincang bersama dengan teman atau keluarga. di sekitaran taman yang dia lalui salju-salju yang perlahan menghilang memperlihatkan hijau rumput basah seperti sehabis di guyur hujan.
heeseung menghampiri gadis kecil yang tengah duduk di kursi taman dengan kedua kaki tergantung, tangannya memegang eskrim sembari menyanyi kecil membuat heeseung tersenyum.
“halo.”
gadis kecil dengan rambut kuncir itu mengerjap sebentar lalu tersenyum, “halo paman.”
“kenapa sendirian? orang tuamu kemana?” heeseung suka anak kecil dan bertemu dengan gadis kecil lucu di saat udara perlahan menghangat membuatnya tersenyum cerah.
“aku lapar jadi papa pergi membeli roti dan menyuruhku menunggu di sini.” gadis itu kembali memakan eskrimnya, seolah tak masalah di tinggalkan sendirian di tempat seperti ini.
“lalu kenapa tidak pakai baju hangat, kamu tidak kedinginan?”
gadis itu memggeleng membuat eskrimnya belepotan ke pipinya yang merah merona, “aku suka dingin!”
heeseung kembali tersenyum mendengar suara ceria gadis kecil di hadapannya itu, “tidak baik makan eskrim di cuaca seperti ini, gadis kecil kamu bisa sakit.”
“huh?! tapi aku suka eskrim!”
“kamu bisa makan permen sebagai gantinya, ngomong-ngomong paman punya permen kamu m—”
“PAPA DATANG!”
heeseung berbalik untuk melihat sosok tinggi itu datang menghampiri mereka, “papa kenapa lama sekali, hana sudah lapar.”
“antrian tadi sangat panjang, maaf membuat gadis kecil papa menunggu sangat lama.”
“untung tadi ada paman ini yang menemani hana, dia juga bilang kalau makan eskrim di cuaca seperti ini bisa membuat sakit, mirip seperti papa hihihi.”
gadis kecil itu lagi-lagi berujar dengan semangat membuat dia langsung melirik ke arah orang yang di maksud putrinya kini menatapnya tepat di mata, nafasnya mendadak tercekat tanpa sadar remasan tangannya pada kantung rotinya mengerat.
tatapan mata itu dia mengenalinya, tatapan mata seseorang yang pernah dia tinggalkan jauh di belakang sana, seseorang yang dia kira tertinggal jauh di belakangnya kini berdiri di hadapannya menatapnya dengan tatapan yang sama seperti terakhir kali.
“sunghoon.”
“terima kasih sudah mau menemani h-hana.” sunghoon mati-matian menahan getaran suaranya.
sunghoon melihat heeseung tersenyum menatap kearah hana, anaknya. “dia akan jadi gadis yang cantik, garis wajahnya mirip sekali dengan papanya.”
dia hanya bisa mengangguk patah-patah mendengar suara itu, heeseung jelas memujinya tidak ada niat lain tapi entah mengapa sunghoon merasa kalimat itu terasa sangat sarkastik untuknya.
“papa rotinya! hana mau makan.” sunghoon kemudian tersadar lalu dengan segera menunduk menyamakan tingginya dengan hana untuk membukakan rotinya.
sunghoon mengusap-usap puncuk kepala hana, “papa, boleh hana bagi rotinya dengan burung-burung di sana?”
sunghoon segera melirik kearah burung-burung merpati yang berdatangan mencari makan, dia mengangguk membuat gadis itu segera berlali kearah sekawanan hewan terbang itu dengan semangat memotong-motong sortinya untuk di bagikan kepada sang merpati.
“dia sangat mirip dengan kamu.”
“dia anakku.”
“ya, dia anakmu.”
“sejak kapan kamu tiba di Amsterdam?”
“tiga tahun yang lalu, aku gak tahu apa yang membawaku sampai ke kota ini. tapi waktu pertama kali tiba di sini rasanya aku sudah berkawan lama dengannya tidak ada ketakutan dengan tempat baru ataupun takut karena sedang di negri orang.”
“kamu tinggal di mana di sini?” pertanyaan basa-basi namun heeseung tetap menanggapinya.
“di sini aku tinggal di sebuah apartemen dekat sini, awalnya sedikit kebingungan harus tinggal di mana setelah sampai di sini. tapi seseorang yang aku temui beberapa tahun lalu di sebuah bus bilang dia punya kenalan yang tinggal di Valeriusplein, aku datang menemuinya lalu dia membantuku untuk mencari apartemen di sekitaran sini.”
heeseung tersenyum di akhir kalimatnya, menatap sunghoon yang kini menatapnya dengan berbagai tatapan yang sulit di jelaskan, ada banyak ragu di dalam sana dan heeseung memakluminya.
“heeseung.”
“iya?”
“apa saja yang sudah kamu lewati setelah aku pergi?” sunghoon tahu dia hanya membuka luka lama, tapi sunghoon tahu bahwa dia tidak boleh lari lagi kali ini.
“kamu mau jawaban yang serius atau bohong?”
“heeseung.”
“aku baik-baik saja setelah kamu pergi tanpa kabar waktu itu.”
sunghoon bisa merasakan nafasnya berhenti, “itu jawaban bohong.”
heeseung bisa melihat ekspresi wajah sunghoon yang berubah tidak terbaca, “setelah kamu pergi aku hancur, gak tersisa. aku memungut sisa-sisa diriku dengan berharap suatu saat kamu akan kembali kepadaku sama seperti janjimu yang akan datang hari itu.”
sunghoon sejujurnya tidak sanggup untuk mendengarkannya, tapi dia harus.
“365 hari, selama satu tahun itu aku datang di tempat janjian kita waktu itu tanpa absen sekalipun, selalu dengan harapan kamu akan datang sampai-sampai jungwon muak dan bilang ke aku kalau kamu gak akan datang. tapi aku, aku yang waktu itu masih terlalu berharap dengan kamu mana mau mendengarkan dia. sekalipun memang benar kamu meninggalkan aku, aku mau setidaknya untuk sekali kamu sendiri yang datang untuk menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi.”
panas matahari kian terasa, namun sepertinya suasana di antara keduanya tetap terasa dingin, heeseung yang bercerita mengenai kisah lalunya dan sunghoon yang heeseung tahu hampir menangis mendengarnya.
“tepat satu tahun aku menunggu. seseorang datang menghampiri aku, kukira itu kamu tapi ternyata dia datang mengaku sebagai suaminya sunghoon. aku hampir mengiranya bercanda waktu itu, tapi setelah dia menunjukkan selembar gambar hitam putih dengan wajah bayi yang samar-samar aku tahu kalau dia serius dengan ucapannya.”
heeseung melihat kearah hana yang tertawa riang sembari memberi merpati-merpati itu makan, “itu hana, lalu rasanya aku terjun kedalam palung mariana yang gelap. rasanya hancur, sisa-sisa harga diriku rasanya tidak ada lagi.”
“m-maaf, maaf se-seharusnya waktu itu aku datang, datang ke kamu bukan, bukan malah—”
sunghoon panik dalam setiap penjelasannya, matanya berkaca-kaca hendak menjatuhkan liquid beningnya ketika heeseung memotong ucapannya.
“gak ada yang perlu kamu jelasin lagi sunghoon, sedikit banyakanya aku mulai paham. aku enggak menuntut penjelasan, dan kamu gak harus menjelaskan. bukannya semuanya sudah lebih jelas, kamu sudah punya kehidupan baru.”
sunghoon tak bisa lagi untuk menahan air matanya, heeseung segera mencoba untuk menghapusnya namun tangan sunghoon menghalanginya, sunghoon menggegam erat tangan heeseung yang hendak menghapus jejak air matanya. rasanya sunghoon tak pantas untuk masih mendapat perlakuan baik dari heeseung sepeti ini.
seharusnya heeseung membiarkannya menangis, membiarkannya menyesali semua kesalahannya.
tetapi heeseung tetap sama, sama seperti dulu. masih heeseung yang selalu menerima sunghoon, masih menjadi dia si baik hati yang meskipun hancur berkali-kali tetap mampu berdiri tegak mengatakan bahwa dia tak apa.
“dengan kamu menangis itu malah membuat aku sakit, sunghoon.”
“kita itu kisah yang lalu, kita yang waktu itu sudah berada di lembaran-lembaran lalu yang seharusnya tidak di buka lagi. kita yang waktu itu hanya tinggal sebuah cerita, tidak ada lagi kita yang dulu. yang ada hanya sunghoon dan heeseung yang sekarang, yang punya kehidupan masing-masing, kita yang sekarang adalah kita yang tidak lagi melihat ke belakang, kita yang dulu itu sudah usai dan tidak ada lagi yang harus di sesalkan.”
bersamaan dengan es yang perlahan mulai mencair di bawah matahari yang menyembul malu-malu sunghoon menangis bagaikan anak kecil yang kehilangan hal berharga miliknya, rasanya tidak nyaman dan sesak yang menghantuinya selama bertahun-tahun mulai tersuarakan.
amarahnya, sedihnya, rasa sesalnya dan perasaan rindunya terhadap pemuda dengan mata rusa itu bercampur, sunghoon hampir kehabisan nafas akibat tangisnya kalau saja heeseung tidak segera merengkuhnya, mengusap punggungnya memberinya kalimat-kalimat penenang, mengatakan bahwa ini semua bukan salahnya, tidak ada yang harus di salahkan.
ini hanya perihal waktu, waktu yang memberi luka dan waktu yang menyembuhkan. mereka tidak salah.
“ini bukan salahmu, kamu gak harus seperti ini. sunghoon kamu tahu apa yang lebih sakit buatku saat ini?”
heeseung melonggarkan pelukannya, menatap sunghoon yang masih sedikit terisak dengan wajah merah sembab, “aku justru lebih merasa sakit ketika melihat kamu menangis di hari di mana di bertemu kembali, aku jauh lebih sakit melihat kamu seperti ini.”
sunghoon menggeleng, “jangan jadi orang baik, kamu sepantasnya marah dengan aku. kamu harusnya membiarkan aku mati menyesal bukan malah merengkuh aku.”
“lantas aku harus apa? membiarkan kamu menangis merasa bersalah seumur hidup? aku gak akan setega itu. bagaimana pun kamu orang yang pernah aku cintai sunghoon, mau se jahat apapun kamu, kamu tetap jadi orang yang pernah aku cintai. kamu orang yang pernah memberi aku bahagia, memberi aku senyum membuat aku bersyukur pernah di pertemukan dengan orang seperti kamu.”
sunghoon menggeleng lagi, tidak seharusnya heeseung mencintainya sebanyak itu, sebab sunghoon tak akan pernah bisa mencintai heeseung sebanyak heeseung mencintainya.
sunghoon tak sepantasnya di cintai oleh heeseung.
“sudah lewat tengah hari, aku ada janji dengan seseorang setelah ini. tak apa aku tinggalkan?”
sunghoon yang tangisnya sudah reda dengan berbagai kalimat penenang dari heeseung mengangguk, dia tak bisa untuk menahan heeseung lebih lama lagi.
tak seharusnya dia merasa sedih ketika heeseung harus meninggalkannya.
“tak apa, ayahnya hana sudah menunggu.”
heeseung tersenyum teringat sesuatu, “ah, ini hampir awal musim semi. waktunya untuk kumpul keluarga, titipkan salam untuk ayah hana.”
hana yang juga telah selesai dengan roti dan merpatihya kini datang, minta di gendong oleh sunghoon. sebelum pergi heeseung mengusap puncak kepala hana dengan gemas.
“jaga papamu ya gadis kecil.”
heeseung kemudian pergi kembali melewati jalan-jalan yang sebelumnya lalui, masuk kedalam area apartemennya menyapa beberapa tetangga sekaligus kenalannya dengan senyum ramah, heeseung tak pernah merasa se ringan ini sebelumnya.
dia masuk kedalam kamarnya berdiri tepat di depan cermin yang memperlihatkan seluruh tubuhnya, heeseung menatap lamat-lamat pantulan dirinya sendiri lalu melepas jaket tebalnya menyisakan turtle neck berwarna hitam di tubuhnya dengan sebuah kalung yang melingkar dengan apik heeseung melepasnya, heeseung menaruh kalung dengan mata kalung dua cincin itu di tangannya mengusapnya sebentar lalu tersenyum samar.
tangannya bergerak melepas salah satu cincin itu kemudian meraih beludru hitam dari dalam lacinya lalu memasukkan cincin itu, kembali memakai kaling yang cincinnya tersisa satu itu.
mungkin ini sama dengan heeseung melepas sunghoon, melepaskan hal terakhir yang terisa antara dia dan sunghoon.
karena jauh di dalam dirinya, sama seperti sunghoon, heeseung juga mau untuk kembali menjalani hidupnya sendiri. meninggalkan semua kisah lalu melepaskan semua rasa sakitnya.
heeseung mau berpijak, melangkah ke depan melihat realitas dunia tanpa lagi harus di bayangi-bayangi sunghoon di setiap langkahnya.
sama seperti pergantian musim dingin ke musim semi, sinar matahari yang awalnya menyembul malu-malu kini sinar terangnya perlahan mengambil alih, mencairkan sisa-sisa es untuk kemudian kembali terserap tanah menghilang tanpa jejak.
seperti musim dingin yang rela melepaskan semua saljunya demi menyambut musim semi, heeseung melepaskan sunghoon, melepaskan kisah bertulang di belakangnya, menjadikan sunghoon bagian-bagian yang telah usai tanpa ada rasa penyesalan, sebab akhir dari ceritanya hanya tentang penerimaan.
tepat di musim semi heeseung melepaskan sunghoon, melepaskan dinginnya untuk menyambut hangat yang akan segera tiba, hanya tentang waktu.
dan heeseung sudah siap untuk menantikan kisah baru dan bahagia baru berikutnya.
“Paket!!!”
heeseung tersenyum melihat minhee —orang yang pertama kali di temuinya di Valeriusplein mengangkat koper besar di susul dengan seseorang yang tertawa puas melihat minhee yang mendumal membawa barang.
“gimana rasanya sampai di Amsterdam?” tanya heeseung ketika melihat orang itu masuk.
dia hanya mengangkat bahu, “pusing, pertama kali naik pesawat keluar negeri mual. untung gak muntah dalam pesawat.”
“untung aja dia muntah abis gue jemput di bandara, kalau muntah di peswat kayaknya gua bakalan pura-pura gak kenal dia.”
“seung ini kenapa belum ada makanan dah udah laper banget nih.”
“kan katanya sampai di Amsterdam eunsang yang bakalan masak.” balas heeseung membantu minhee untuk membawa koper yang ukurannya lumayan besar itu.
“boleh pending sebentar gak? mual abis naik peswatnya masih kerasa.”
“wong kampunggg.”
heeseung merasa tawanya kali ini tanpa beban, tanpa paksaan, tawanya mengalir begitu saja.
heeseung ingin berterima kasih kepada seseorang yang dulu menawarkan pundaknya dengan sukarela, yang sukarela mengajarinya untuk menerima dirinya sendiri, menerima rasa sakit, menerima perpisahan, heeseung ingin berterima kasih kepada eunsang yang mengajarinya untuk memulai sesuatu yang baru harus di mulai dengan menerima diri sendiri, dan menerima semua luka lalu yang pernah ada.
sebab setelahnya heeseung mampu berdiri sendiri, menjadi jauh lebih baik.
sunghoon menatap belakang punggung heeseung yang perlahan mulai menghilang dari pandangannya. heeseung memilih berbalik untuk melepaskannya.
“papa huil niet.”
pada akhirnya penyesalan akan selalu datang.