summerpsyche


“ahh-”

lenguh pelan yang keluar dari bibirnya dibersamai dengan malam yang capai puncaknya. malam diam sebentar biarkan yesha menatapnya dengan mulut terbuka mengatur kembali napasnya yang hampir direnggut setelah ciuman-ciuman panjang dan hentakan dalam yang menghantarkan nikmat ke seluruh tubuh, yesha barkan malam merapikan poninya yang lepek karena keringat.

“enghh- pelan-pelan keluarinnya jangan langsung ditarik.” yesha mendesah pelan ketika malam keluarkan miliknya yang mengganjal dirinya, biarkan dia merasa kosong karena terlanjur rasakan penuh dan hangat menyelimuti dirinya.

“baju gue tadi ditaro di mana?” butuh waktu dua puluh menit untuk yesha kembalikan warasnya untuk mencari di mana letak bajunya yang ditanggalkan begitu saja, dia tak ingat di mana meletakannya karena kepalang naik dan malam tak membiarkan dirinya mengingat apa pun kecuali dirinya sendiri.

“lo mau balik? di luar lagi hujan.” dia diberi pertanyaan kembali dari malam yang mencoba untuk meraih sebungkus rokok di meja nakas samping tempat tidurnya.

no, gue kan bilang jangan ngerokok sebelum gue keluar dari sini. lo mau gue mati di sini apa gimana.”

yesha tidak tahan dengan bau rokok yang seolah akan menghirup habis napasnya yang menyengat hidung hingga ke tenggorokan, dia tidak pernah berkawan baik dengan nikotin yang katanya membuat candu itu.

“sorry,”

suara petir yang tiba-tiba menyambar membuat yesha sedikit terlonjak dari selimut yang menyelimuti tubuh telanjangnya, masih melirik-lirik di mana kiranya dia menanggalkan pakaiannya di ruangan yang luas ini. petir masih menyusul setelahnya membuat yesha memilih menyelimuti seluruh tubuhnya untuk meringkuk coba hilangkan gelisah yang mulai ikut ke dalam selimutnya- selimut milik malam.

“masih taku petir?” yesha enggak menjawab di dalam sana tapi malam tau itu jawaban untuk iya, karena pemuda itu sama sekali tidak berkutik.

tidak seharusnya dia lakukan itu, tapi nalurinya memenangkannya malam ini. dia menarik yesha yang mulai keringat dingin ke dalam pelukannya, membiarkan satu lengannya menjadi bantalan untuk yesha, biarkan hangat dari sentuhan kulit mereka hantarkan rasa aman untuk yesha.

ini racun, tapi yesha kepalang tak bisa menolong dirinya sendiri. toh, sebtulnya juga sudah sejak lama dia menikmati racun yang sialnya selalu membuatnya terlena, lupa akan diri, lupa akan mereka.

detak jam di meja nakas malam ini jadi teman sama seperti di malam-malam sebelumnya, di malam-malam mereka tenggelam dan hilang menuju puncak bersama.

lelah dan kantuk segera menyerangnya tanpa ampun begitu rasakan gelisah itu perlahan digantikan dengan hangat yang malam hantarkan lewat sentuhan kulitnya. yesha coba untuk lawan kantuknya, dia coba alihkan dengan menatap malam yang entah memikirkan apa menatap langit-langit kamarnya dalam dia.

malam dan perpaduan remang cahaya dari lampu tidur itu seolah sedang menertawainya, menertawai yesha dengan kemuakannya sendiri. malam memang tak banyak bicara, dan yesha juga tak mengharapkan malam untuk mendadak banyak bicara. yesha hanya menunggu sebentar sampai jam di meja nakas itu berdetak lebih keras.

“malam...”

“ya?”

“happy birthday.”

dua tahun, dua kali ucapan selamat, dua kali pemuda itu hanya diam tanpa sepatah kata. yang yesha tahu hanya selepas itu dia tertidur lelap, ada banyak lelah yang datang.

yesha tak butuh balasan atau apapun sebab sejak awal yesha paham, dia tidak berekspektasi apa-apa. biarkan saja si nelangsa itu berkawan dengannya, nanti juga muak.

mereka juga tidak akan pernah menjadi apa-apa.


ada banyak jeda yang dibiarkan berlalu, sejak sampai di sebuah cafe yang letaknya tidak jauh dari kampus itu. keenan maupun biru belum ada yang berani bersuara, bahkan latte yang dipesan keduanya dibiarkan begitu saja seolah hening yang dibiarkan datang begitu saja akan segera menghabisinya.

dua puluh menit di tengah keterdiaman dan biru yang tidak menatap keenan sama sekali pada akhirnya membuat si pemuda jakung itu membuka suara, meluruhkan segala hening yang hampir nyaman diantara mereka. “aku nggak tau harus mulai dari mana. tapi kupikir aku harus jelasin semuanya ke kamu. aku dan mba daiyan, menejer thestvr enggak pernah punya hubungan apa-apa, soal foto yang mereka claim sebagai bukti itu, bukan cuma dari aku aja, tapi dari kami berempat. waktu belinya juga barengan sama anak-anak thestvr lainnya.”

belum ada respon yang berarti dari biru kecuali dia yang mulai sesekali kembali menatap keenan. dia tau biru kebingungan, biru teralu asing dengan situasi seperti ini dan keenan tidak apa-apa jika harus menjelaskan seberapa banyak. “mba daiyan punya pacar,”

“sudah?”

kenan tidak menjawab, ikut kebingungan.

“aku mau pulang.” dan keenan juga tidak punya banyak alasan untuk tetap menahan biru, setelahnya minuman yang dipesan itu bahkan tidak habis seperempatnya ketika mereka berjalan menuju pintu, mungkin mengutuk mereka berdua karena meninggalkannya begitu saja.

keenan pikir biru mungkin marah, tapi hangat yang melingkari pinggangnya di tengah perjalanan itu membuat gundah yang bergemuruh di dalam sana perlahan mereda. bisa dia rasakan pelukan itu perlahan mengerat entah untuk alasan apa tapi keenan cukup yakin, ada hal lain yang menganggu isi pikiran yang lebih muda.

beberapa tetes air yang jatuh dari langit menyapa kaca helm keenan yang hampir tenggelam dalam pikirannya sendiri karena untuk pertama kalinya mereka larut dalam pikiran masing-masing. dan terkutuklah keenan yang lupa untuk membawa mantel di musim hujan seperti ini. “biru, hujannya mungkin bakalan deras. kita neduh sebentar gak apa-apa?”

“boleh ngebut aja? basah sedikit nggak apa-apa.” tapi keenan tidak mendengarkan sebab hujan terlanjur mengamuk tidak ingin menunggu seolah ada rindu yang harus dibayar tuntas. dia menepikan motornya di depan ruko yang sepertinya sudah tutup dari siang tadi, ruko berlantai dua itu sedikit bersembunyi dibalik pohon mangga yang tumbuh dengan gagah di depannya. keenan melepas helmnya dan biarkan biru berdiri tepat disampingnya.

“dingin enggak? maaf, aku lagi enggak pakai jaket dan kita malah kehujanan.” biru cuma menatapnya sebentar lalu menggeleng tidak apa-apa.

mereka kembali dikusai hening yang hanya diisi dengan suara angin yang menyatu dengan hujan seolah sedang menyombongkan diri pada jiwa yang tengah dihampiri gundah itu. sampai pada biru yang pada akhirnya berbalik untuk menghadap keenan yang sedikit terkejut dengan pergerakannya, “keenan, aku kedinginan. boleh peluk sebentar?”

ada sedikit rasa bersalah yang langsung menghampiri keenan begitu saja. namun dia segera merengkuh biru, menariknya ke dalam dekapan yang hampir menenggelamkan seluruh tubuhnya. pundak kirinya terasa memberat ketika biru letakkan kepalanya untuk bersandar di sana. keenan mungkin kebingungan, tapi hanya ini yang sanggup dia berikan sekarang. buat biru nyaman dalam dekapannya.

“aku enggak marah dengan keenan. mungkin iya, tapi sedikit. aku sedang kecewa dengan diri sendiri, laporan hasil observasi aku selama sebulan tadi enggak diterima karena aku salah catat hasilnya, dan ada beberapa bagian yang keliru. terus tadi di lab juga beberapa kali ditegur karena enggak fokus, itu memang salahku sih. tapi mendadak rasanya aku capek sendiri, dan mungkin keenan ikut bingung juga.” biru bergerak sedikit untuk memperbaiki posisinya senyaman mungkin, hujan masi betah menyapa diluar sana.

“keenan, aku masih boleh cerita?”

“boleh biru,”

“enggak apa-apa, kayak begini?”

“kayak begini, gimana?”

“ini,” biru sedikit mengeratkan pelukannya membiarkan keenan tertawa tanpa suara, “sambil peluk keenan, kalau ada yang liat gimana?”

“ya enggak apa-apa, biarin aja mereka liat.” sebenarnya yang ini tidak beitu lucu tapi biru biarkan dirinya tertawa entah untuk apa, mungkin karena keenan.

“aku boleh lanjut cerita lagi?”

“kamu bisa cerita sebanyak yang kamu bisa, biru.”

“aku dari kecil terbiasa untuk disuruh ini itu. les piano, les renang, ikut bimbel sana sini, aku terbiasa disetir untuk ngelakuin sesuatu. lalu karena aku merasa baik-baik aja meskipun kadang capek juga tapi aku tetap nggak masalah, karena dari dulu memang seperti itu. terus aku pikir ya akan tetap begitu-begitu aja, ternyata setelah selesai sma aku dibiarkan untuk pilih jurusan sendiri, aku yang terlanjur terbiasa disetir malah kelabakan. karena mami dulunya belajar biologi jadi aku secara gamblang milih biologi juga, dan belakangan ini aku mendadak mempertanyakan diri aku sendiri. apa aku benar-benar mau melakukan ini? apa aku bisa lewati semuanya? apa yang bisa aku capai nantinya? semua pertanyaan-pertanyaan itu mendadak menyerbu aku, dan aku kehilangan jawaban atas diriku sendiri.”

dengan perlahan biru sejajarkan wajahnya dengan keenan yang sedari tadi mendengarkan dengan seksama. “nggak perlu dijawab.” lalu keenan hanya tertawa menatapnya.

“kadang kalau capek pertanyaan-pertanyaan seperti itu memang sering muncul di kepala. cuma pertanyaannya lagi, kamu masih mau atau berhenti dari segala rasa capek kamu itu?” yang lebih muda gelengkan kepalanya pelan.

“yumna kadang sampai nangis kalau kerja laporan, terus yesha kalau kelabakan sama tugasnya suka ngabisin jelly dua bungkus. aku ada janji sama mereka buat wisuda bareng.” keenan cuma berikan usapan pelan di puncak kepalanya, tapi sepertinya semua gundah itu tersapu bersama dengan usapan tangan milik keenan.

“kalau kamu lagi capek, istirahat aja. jangan biarin pikiran-pikiran jelek itu malah bikin kamu makin capek. jeda sebentar untuk diri sendiri, jeda sebentar untuk sekedar napas. jangan maksain diri sendiri. biru kalau capek istirahat, ya? atau minta keenan untuk peluk seperti ini lagi juga enggak apa-apa.” yang terakhir itu diucapkan dengan sedikit nada bercanda yang membuat keenan melenguh karena mendapati dirinya dicubit pelan oleh biru.

“bilang maaf ya ke kak daiyan karena aku enggak sempat balas chat nya.”

“ngomong-ngomong tadi kamu sempat bilang kalau lagi marah tapi sedikit sama aku itu kenapa?”

biru mendengus pelan, “enggak usah dibahas!” lalu kembali menenggelamkan wajahnya diperpotongan leher keenan, malu.

“bilang dong, cemburu ya?” biru harus tau kalau keenan adalah penggoda ulung.

“diamm.”

“jadi, biru cemmburu nih?”

“iya semburu. kenapa? enggak boleh?”

“ngapain cemburu sama dia, orang punya cowok.”

“kan aku enggak tau, ihh!!”

“di coba pelan-pelan dulu, biru enggak apa-apa kan?”

mungkin angin dan hujan sore itu merasa tersaingi dengan hangat dan gemuruh detak yang hampir seirama yang coba untuk disembunyikan meskipun dikatakan atau tidak mereka jelas sama-sama tau apa yang mereka inginkan. keenan tak ingin buru-buru, dan biru tak masalah dengan itu.


arbie fabian pernah mengutuk dunia dan seisinya sebab patah hati, bian pernah mengutuk setiap harinya yang terasa begitu berat sebab luka di hatinya tak kunjung reda, bian pernah marah pada semesta yang membiarkan dirinya ketika erlangga narajengga mematahkannya begitu saja, meninggalkan bian dengan luka di hatinya.

mereka dulu hanya remaja yang naif, atau mungkin hanya bian saja yang naif. membiarkan dirinya terbuai dengan semua perlakuan manis jengga yang sialnya terasa sangat nyata itu, meskipun dia jelas tahu jengga bukan anak baik. pikiran naif remajanya memanipulasi dirinya sendiri untuk berfikir mungkin jengga sudah berubah karenanya, berfikir kalau jengga tidak akan sejahat itu padanya.

kenyataanya manusia tidak pernah berubah karena orang lain. pada kenyataannya jengga memang bukan anak baik, pada kenyataannya jengga memang jahat, pada kenyataannya dia hanya menjadi bahan permainan sekumpulan orang-orang brengsek yang menargetkan dirinya tanpa alasan.

“lo gila, ya?!” amarah remaja yang meletup-letup sebab merasa dikhianati tidak bisa ditahan begitu saja, rasanya seperti ditikam di siang bolong ketika sekumpulan manusia brengsek itu menertawai kebodohannya yang mau-mau saja ditipu dengan perhatian jengga.

“karena lo udah tau, gue rasa kita harus putus.”

bukan, bukan itu yang bian inginkan. setidaknya dia harus menunjukkan sedikit rasa bersalah, sebab bian dan sedikit egonya mungkin bisa saja memafkannya tapi ternyata tidak. ternyata jengga tetap memilih untuk menjadi jahat di dalam ceritanya.

setelahnya yang bian tau hanya ada kecewa di dalam hatinya, kecewa yang perlahan-lahan menorehkan luka yang mendalam, lalu narajengga membiarkan luka itu menganga begitu saja.

brengsek. narajengga brengsek.

tidak ada memori yang baik setelahnya selain bian yang menjadi lebih sering mengutuk semesta dan seisinya karena membiarkannya begitu saja, membiarkan bian tenggelam dalam rasa sesak dan patah hatinya.

ternyata benar, bagian paling tidak menyenangkan dari jatuh hati adalah patah itu sendiri. dan bian pikir rasa sakit ini tidak akan pernah berakhir.

ternyata setelah dua tahun dilewati bian tetap baik-baik saja. dan rasa sakit yang bian pikir tidak akan berakhir itu ternyata berakhir juga.

bian juga tidak tahu sejak kapan rasa itu habis. mungkin sejak pertama kali bian menghapus nomor ponsel lelaki jakung itu, mungkin ketika bian menyadari kalau dia tidak bisa datang dan meminta sebuah pelukan untuk menghilangkan penatnya di hari-hari yang berat lagi, mungkin sejak bian sadar tidak ada lagi yang menunggunya di depan pintu kelas, mungkin sejak bian sadar kenapa dia masih menunggu di halte depan sekolah kitika hujan turun padahal sudah tidak ada lagi jengga yang akan datang menjemputnya sambil hujan-hujanan, atau mungkin sejak pertama kali bian sadar kalau dia sudah lupa bagaimana suara tawa jengga yang kerap kali menggema di dalam kepalanya.

jengga dan tawanya perlahan menjadi sesuatu yang asing dan mulai usang untuk bian yang perlahan mulai beranjak. beranjak dari semua rasa sakit dan sesak yang membelenggu hatinya setelah sekian lama.

sampai diwaktu mereka bertemu kembali tidak akan ada lagi rasa sakit yang menghampirinya. jengga masih tetap sama, tidak ada yang berubah kecuali parasnya yang semakin rupawan dan terlihat lebih dewasa dari sebelumnya, jengga yang ditemuinya hari ini tengah menggandeng tangan orang lain.

anehnya tidak ada lagi rasa marah atau kecewa di dalam hatinya. anehnya lagi bian bisa beri satu senyuman dengan hati yang ringan untuk jengga. sebab jengga dan semua ceritanya tentang bian sudah berakhir sejak lama, sejak bian memutuskan untuk tidak lagi melihat kebelakang, melihat mereka yang usai tertinggal di halaman belakang buku yang perlahan mulai usang.

pada akhirnya bian menyadari bahwa mungkin jengga pernah menjadi penjahat dalam ceritanya, jengga pernah menjadi alasan kenapa bian sering marah dan mengutuk semesta dan seisinya, jengga pernah menjadi penyebab patah hatinya, meskipun begitu jengga tetap pernah menjadi bagian yang paling menyenangkan di dalam ceritanya.

pada akhirnya rasa sakit yang bian pikir tidak akan pernah berakhir itu kini telah usai. menyisakan bian yaang perlahan mulai beranjak dari tempatnya, menanggalkan semua rasa sakit yang mulai asing dimakan waktu.


@illicitesther 2023


menjadi satu diantara puluhan manusia bukanlah hal yang biru sering lakukan, menjadi satu diantara puluhan orang yang rela mengantri lama bukanlah hal yang sering dia lakukan, menjadi satu diantara keramaian yang padat bukanlah sesuatu yang sering dia lakukan.

entah sejak kapan tapi biru menyadarinya, ada banyak jiwa-jiwa yang baru yang tumbuh dalam dirinya. menjadi jiwa yang baru. entah dia bisa atau tidak, tidak ada yang tahu.

menjadi jiwa yang baru adalah konotasi yang bersemayam menimbulkan banyak pertanyaan di kepalanya beberapa jam ini, tapi melihat senyum yumna yang merasa sangat semangat membuat biru sedikit tidak memikirkannya, ada juga yesha yang sore ini terlihat lebih keren dari biasanya, tapi biru tau ada banyak sendu yang tertahan di dalam sosok kerennya itu, biru tidak memaksa yesha untuk bercerita dan biru juga tidak akan mencari tahu, dia akan menunggu sampai yesha mau bercerita. tidak semua hal bisa diceritakan sekarang, mereka juga butuh waktu.

entah ini lagu ke berapa, entah ini lagu milik siapa, entah siapa yang ada di panggung sana, biru tidak tau tapi dia memilih mencoba untuk menikmati euforia yang baru pertama kali dia rasakan. berbeda dengan dirinya yang masih berusaha untuk beradaptasi dengan situasi yang baru, yumna justru terlihat bebas ikut bernyanyi dengan satu tangannya sibuk bertengger di bahu yesha, yesha sendiri biru juga tau anak itu pandai bersenang-senang.

lengan kiri yesha meraih pundaknya agar mereka bertiga saling berdekatan, “jangan kayak anak ilang cil,” yesha masih memakai sapaan itu sampai sekarang, yesha memanggilnya seperti itu sejak tahun pertama mereka masuk sekolah menengah, dia bilang anak sekolah dasar harusnya belum sma dia bercanda dalam konteks tinggi badan biru yang dulu belum setinggi sekarang.

“woi, woi, woi, anak thestvr. itu mereka.” itu yumna yang heboh melihat orang-orang urakan yang sering dia lihat di kampus terlihat jauh lebih keren dari atas sana.

suara teriakan orang-orang yang menyebut nama band mereka saling menyahut, berlomba menjadi yang paling keras, beberapa diantara menyebut setiap dari mereka membuat yumna melongo sebentar, “gue enggak tau mereka punya fans sebanyak itu,”

malam itu bintang-bintang seolah malu menampakkan diri kalah dengan bintang-bintang yang bersinar dipanggung sana, sejak tadi ada satu bintang yang terus mencuri perhatian biru, pemuda yang hanya bermodalkan kaos putih dan topi hitam menghiasi kepalanya itu terlihat bersinar lebih dari siapapun malam ini, entah kenapa setiap gerakan yang dilakukannya seolah menghipnotis semua tatapan agar tertuju padanya, padahal yang dia lakukan hanya menyetel gitar listriknya sebelum di gunakan.

“today is our frist performing after releasing our new album, the language of flower.”

suara yang terucap dengan pelan namun tegas itu membuat semua orang bersorak entah untuk apa. biru temukan dirinya terdiam tanpa sepatah kata menatap pemuda dengan topi yang bertengger apik di kepalanya itu seolah tidak tampak seperti orang yang pernah biru temui di kampus, sisi yang baru pertama kali dilihatnya.

“ i hope everyone enjoys it, enjoys what it feels like to be in love. tonight we're gonna falling in love again and again, deeper and deeper. this is for you, my blue.”

“anjir ini mah beneran lagu jatuh cinta.” celoteh yumna yang masih sedikit merinding melihat sisi lain dari orang yang kerap kali dilihatnya di kampus.

biru sejak awal tak punya banyak hal untuk dikatakan, ada banyak tanya yang singgah, ada banyak bingung yang datang, dan semua kegelisahan-kegelisahan itu tidak datang bersama jawaban yang dia inginkan.

sebagian dari bentuk jujur yang di maksud keenan tadi mungkin ini, keenan diatas sana bagaikan jiwa baru yang tidak pernah biru jamah sebelumnya, menjadi bagian-bagian baru yang membingungkan.

gerimis tiba-tiba ikut dalam festival ini bersama mereka, menambah kesan dramatis yang menyenangkan, kesan yang membuat gairah jatuh cinta mereka semua semakin berlabuh bersama dengan nyanyian sang bintang di depan sana.

biru bisa rasakan bagaimana perasaan jatuh cinta yang mereka sampaikan lewat lagu itu, matanya tidak bisa melihat dengan jelas beberapa saat sebelum dia mengusap matanya yang disinggahi beberapa tetes gerimis, dan entah perasaannya saja atau memang keenan di depan sana sedang menatapnya sambil terus memainkan petikan jarinya dan mengucap setiap lirik lagu itu dari bibirnya.

seolah waktu berhenti begitu saja tanpa perlawanan, biru hanya bisa diam. ada banyak perasaan yang datang dalam satu waktu, sulit untuk diproses. yang biru tau hanya malam ini keenan pemeran utamanya.


ada banyak tatap yang kerap dia temui, ada banyak semu yang kerap kali datang. beratus-ratus pasang tatap yang yang menatapnya malam ini, hanya satu yang sanggup keenan arungi, menjadi satu diantara ratusan pasang mata dan keenan berhasil menemukannya.

beratus-ratus pasang tatap yang dia temui malam ini tapi yang sanggup dia arungi hanya sepasang tatap itu, yang sedari tadi hanya diam entah menatap apa, entah dirinya atau perasaanya saja.

berkedip sebentar, dan keenan pastikan sepasang tatap itu juga tengah menatapnya. beratus-ratus pasang mata yang ditemuinya malam ini tapi yang dapat dia tatap hanya dalam bentuk biru langit, keenan temukan dirinya jatuh sedalam-dalamnya.

keenan temukan pemeran utamanya diantara ratusan tatap.

karena malam ini mereka rayakan festival tatap dalam parade jatuh cinta milik keenan.


© illicitesther 2023


trigger warning; car accident, trauma, panick attack.

content warning; blood, violence.


kakinya perlahan mundur lima langkah ke belakang setelah dirasa kerumunan massa semakin banyak, semakin sulit bergerak, semakin sulit bernafas. beberapa warga yang tinggal di sekitaran sana sudah ikut membantu, beberapa mahasiswa juga ikut turun tangan, pihak berwajib baru saja tiba setelah mendapat panggilan dari salah satu warga sekitar, samar-samar biru bisa lihat darah yang berceceran di aspal, dan mobil penumpang yang tidak bisa di sebut baik lagi, agak merinding sebenarnya.

orang-orang semakin ramai dan biru bukan orang yang akan tinggal lebih lama di tengah keramaian jadi langkah kakinya semakin mundur meninggalkan yesha dan yumna yang kepalanya masih terlihat dari posisinya berdiri, netranya menatap orang-orang yang berdatangan dengan wajah yang penuh tanda tanya, ada juga yang datang dengan wajah yang cemas, simpati orang lain berbeda-beda.

ada orang lain yang mematung tidak jauh dari posisinya, sudut matanya sebenarnya sudah menangkap sosok itu sedari tadi, anehnya dia sama sekali tidak bergerak dari tempatnya membuat kelam biru menoleh untuk melihatnya. air muka itu tidak pernah dilihat biru sebelumnya, sosok yang nafasnya seolah tercekat di tenggorokan itu segera berbalik dengan langkah yang buru-buru menjauh dari kerumunan tanpa ingin melihat lebih dekat lagi.

mungkin biru bisa tidak peduli, mungkin biru tidak perlu merasa butuh untuk mengambil langkah, mungkin biru tidak perlu untuk mengikuti langkah buru-buru itu, mungkin dia tidak perlu meninggalkan yesha dan yumna, dan semua kemungkinan-kemungkinan yang tidak perlu itu sebenarnya tidak perlu kalau saja orang itu bukan orang yang dikenal nya, orang yang belakangan ini tiba-tiba mengikutkan namanya dalam absen harian milik biru yang seharusnya tidak ada dia di dalamnya.

langkah kaki yang terburu-buru itu masuk kedalam toilet fakultas yang tidak jauh dari sana, toilet jadi kosong-kosongnya karena situasi barusan. histeria yang meninggalkan tempat lain, menyisakan orang-orang yang lebih memilih untuk tidak ikut andil dalam kecemasan.

lengannya yang bisa biru lihat tengah bergetar itu memutar keran dengan buru-buru, membasuh wajahnya dengan air yang mengalir dari tangannya menyisakan wajahnya yang terlihat lebih putih dari biasanya, sosok yang menatap pantulan dirinya dari cermin itu terlihat kesulitan mengambil nafas, tangannya mengepal bergetar hebat menopang tubuhnya yang seolah-olah tidak kuat menahan massa tubuhnya sendiri.

“keenan?” biru melupakan semua ragu yang datang dari kepalanya, menghampiri sosok tinggi yang sepertinya terkejut mendapati ada sosok lain yang mengikutinya.

“biru,” nafasnya tercekat, biru tau pemuda itu kesulitan bahkan untuk memanggil namanya, ada cemas yang menyerbunya ketika tatapan mata pemuda itu enggan menatapnya.

“b-biru, bisa keluar sebentar?” biru tau seharusnya dia tidak boleh menolak ketika si tinggi itu memintanya untuk keluar, bukan malah meraih tangannya yang makin bergertar hebat.

“keenan,” tangan yang lebih tua enggan menerima genggaman itu, tapi biru tau kalau dia harus lebih berani.

“kenan, liat aku! keenan liat mata aku,” netra kelam yang sedari tadi bergerak liar enggak menatapnya itu akhirnya mau menatap biru ketika menangkup wajah keenan dengan kedua tangannya memastikan si yang lebih tinggi itu menatap tepat di matanya. “ini biru,”

perlahan tapi pasti tangan yang masih terus bergetar itu meraihnya ikut memegang kedua tangan biru yang memberi usapan pelan di kedua pipinya, memberi hangat di tengah cemas yang semakin menggila di siang hari.

pemuda itu masih terus kesusahan mengambil nafasnya, seolah-olah lupa bagaimana caranya untuk bernafas, “pelan-pelan keenan, enggak apa-apa, kamu enggak kenapa-kenapa, ada biru di sini.”

biru tidak tahu apa yang sedang dia lakukan, dia tidak pernah mengalami hal semacam ini, yang dia tahu sekarang hanya memastikan kalau keenan tahu dia tidak sendirian, dan tidak apa-apa untuk membagi kecemasannya itu.

meskipun pemuda itu sudah lebih bisa mengontrol nafasnya tapi gemetar yang masih biru rasakan di tengah pegangan keenan tidak lantas membuatnya bisa tenang begitu saja, apalagi ketika keenan dengan pelan berbisik meminta untuk biru memeluknya dan menenggelamkan wajahnya di perpotongan leher biru, dia tau kalau keenan tidak sedang baik-baik saja.

ada basah yang menyapa kulit lehernya dan yang bisa dia lakukan hanya memberi pemuda itu usapan pelan di punggung, membiarkan tubuhnya tenggelam di dalam pelukan keenan.

i've been in a car accident before, when i was ten.”

biru bisa dengar suara pelan itu menyusul setelah beberapa tarikan nafas yang terasa sangat mencekat di leher, “buat ngelindungun gue yang belum bisa untuk ngelindungin diri sendiri waktu itu, ayah ngorbanin dirinya sendiri.”

pelukan itu makin mengerat pada setiap cerita yang keluar dari sesakan nafas milik keenan, butuh banyak keberanian dan ketakutan yang hampir megakar untuk bisa jujur perihal yang satu ini, dan biru tau kalau keenan diam-diam menyimpan semua ketakutan-ketakutannha sendirian.

“harusnya ayah nolongin mama yang waktu itu kondisinya juga sama, padahal waktu itu sebelum berangkat gue janji sama mama kalau gue bakalan jadi kakak yang bisa nolongin mama dan adiknya, tapi kenyataannya gue engga—”

“keenan, jangan di terusin kalau enggak bisa. enggak apa-apa.”

mereka diam dalam dekapan untuk beberapa saat sebelum keenan kembali mengudarakan suaranya, “waktu ngeliat situasi di depan tadi. enggak tau, semuanya mendadak berhenti dan yang bisa gue ingat cuma bau darah dan ketakutan gue waktu kejadian itu. suara mama yang kesakitan, dan suara ayah yang masih nyoba untuk nenangin gue padahal dia sendiri lagi sekarat. semua memori-memori itu terulang, setelahnya gue lupa gimana caranya untuk nafas—”

“gue takut.”

“keenan, aku enggak tau seberapa buruk yang kamu rasakan setiap kenangan-kenangan enggak menyenangkan ini muncul. aku enggak tahu seberapa takut kamu waktu itu, enggak tahu seberapa gila ketakutan kamu setiap malam. keenan, aku enggak tau apa-apa perihal semua kesedihan dan semua ketakutan-ketakutan yang ada di dalam diri kamu, dan berapa lama kamu nanggung semuanya sendirian. yang aku tau sekarang cuma mau kamu tau kalau kamu bisa bagi semua ketakutan-ketakutan dan rasa sedih kamu itu ke aku.”

biru ikut menenggelamkan dirinya di tengah pelukan keenan, menghirup pelan wangi dari pemuda yang belakangan ini harumnya makin terasa familiar.

“keenan aku di sini, enggak kemana-mana.”

sebab biru sudah jatuh pertama kali jauh sebelum si tuan rupawan.


© illicitesther 2023



content warning; mention about death character.


mas hesa pernah bilang kalau SMA bakalan jadi lebih seru kalau kita naksir orang, anak SMP yang masih sering ke rental PS sambil bawa es cekek mana percaya omongan mas hesa yang banyak bohongnya itu. si bungsu yang diajari mba anin untuk jumawa itu cuma tertawa terbahak melihat mas nya di roasting habis-habisan sebab baru saja putus dari pacarnya karena mereka sebentar lagi ujian sekolah. lagian dia enggak percaya kalau bakalan suka sama seseorang setelah masuk SMA nanti, entalah anak SMP yang cuma kepikiran main itu mana kepikiran sampai sana. enggak pernah tau kalau hidup kadang kayak ampas kalau sudah bercanda.

mungkin karena keseringan melihat mbaknya yang jumawa soal percintaan itu juga membuat jio jadi ikut-ikutan jumawa, padahal mas hesa sudah sering bilang untuk enggak terlalu ngikutin sifat jumawa si sulung. tapi mbak anin yang rela panjat pohon demi ngambilin layangannya yang nyangkut, mbak anin yang enggak takut buat negur teman-temannya waktu nyinggung soal keluarga mereka yang enggak utuh lagi itu, mbak anin enggak takut untuk orasi di depan kantor DPR itu sudah terlanjur terlihat hebat di mata jio yang belum melihat kalau ternyata mbaknya diam-diam nelangsa.

hidup kadang banyak bercanda baru kemarin di temenin mbak anin untuk formulir pendaftaran SMP sekarang sudah enggak ragu untuk mengambil formulir dan memilih SMA mana yang dia minati. diam-diam mbaknya sedih karena enggak lama lagi si bungsu sudah tidak marah kalau supermie pedasnya yang sengaja dibikin dingin itu dimakan mas hesa, enggak lama lagi si bungsu sudah tidak ngadu ke mbak anin kalau mie nya dimakan mas hesa, tau-tau si bungsu sudah bisa cuci baju sendiri, tau-tau si bungsu sudah bisa numis kangkung, tau-tau dia sudah bisa melihat kalau ternyata mbak yang jumawa itu banyak nelangsanya.

hidup memang banyak bercanda nya, awal masuk SMA masih yakin kalau dia enggak akan naksir siapa-siapa meskipun ada gendhis gadis dengan senyum lugu yang terang-terangan bilang naksir sama jio meskipun jio juga dengan terang-terangan menunjukkan kalau dia sama sekali enggak tertarik. lama-lama dia nyerah juga meskipun marah masih tetap baik ke jio, tapi mungkin karena gendhis masih baik sama dia kebaikan itu mendadak datang jadi karma, karena mendadak jio temukan dirinya jatuh dalam cinta sepihak, sama seperti yang pernah gendhis alami ke dia. bedanya mungkin karena yang satu ini datang sebagai karma, nelangsanya jadi lebih berasa.

bermula dari jio yang masih awal kelas sepuluh belum tumbuh setinggi sekarang lagi beli jeruk peras di samping pagar kesusahan mengambil pesanannya, pagar tembok yang hampir semeteran lebih itu jadi penghalang antara dia dan gerobak jualan mas-mas, jeruk perasnya enggak punya akses lain selain dioper dari atas.

“lain kali minumnya boneto cil, jangan es jeruk peras.” untung saja waktu itu enggak panas atau mungkin satu tendangannya mendarat di tulang kering orang yang enggak dikenalnya.

sama seperti film-film yang sering ditonton mbak anin ketika pemeran utama bertemu untuk pertama kalinya, mendadak semuanya berjalan lambat yang bisa dia lihat cuma wajah orang yang lebih tinggi darinya itu menyodorkan es jeruknya sambil senyum tengil, yang bisa jio lakukan cuma bilang makasih lalu pergi sambil mengingat-ingat kembali nama yang tertera di papan nama orang tadi.

tamada rumi aswatama, dan label kuning bertanda X di samping kanannya membuat jio baru sadar kalau ada teman seangkatannya yang setinggi itu.

enggak cuma itu, jio juga ingat wangi parfum yang dipakai pemuda jakung itu, mirip wangi parfum yang biasa masnya pakai.

jio pikir yang satu itu cuma akan jadi begitu saja, tapi lama-lama jadi makin kepikiran, lama-lama jadi penasaran, lama-lama jadi tahu kalau ternyata dia anak kelas sebelah, lama-lama jadi sering liat pemuda itu lalu lalang, lama-lama jio jadi suka pulang lambat untuk melihat dia main basket dengan kawan sejawat nya, lama-lama jio jadi suka menunggu di depan halte lalu setelah mada lewat baru ikut masuk jalan lewat koridor tujuh langkah dibelakangnya, lama-lama jadi sering curi-curi pandang setiap apel pagi, lama-lama urutan absen pun dia tau.

padahal jio pikir itu cuma naksir sesaat yang tidak akan bertahan lama, lupa kalau ternyata waktu itu dunia lagi serius bercanda sama yang satu itu, tau-tau sudah kelas dua belas dan masih begitu-begitu saja, siapa yang ngira kalau akan bertahan selama itu.

enggak banyak yang berubah kecuali tinggi badannya yang bertambah, mada juga makin tinggi tapi sudah enggak setinggi dulu waktu dia ngambilin es jeruk perasnya, sekarang jio sudah bisa ambil sendiri.

mas hesa benar waktu bilang SMA bakalan jadi lebih seru kalau kita naksir orang, enggak ingat gimana caranya dia berakhir main basket melawan kelas tama dan teman-temannya, yang jio tau waktu itu itu menikmati permainannya dia lumayan dalam main basket karena sering diajari mas hesa yang memang bisa segalanya itu, jadi enggak heran kalau dia dapat beasiswa sampai ke luar negeri.

sambil menyelam minum air, mungkin itu yang dilakukan jio waktu itu diam-diam curi pandang ke mada yang setengah kaus nya hampir basah karena keringat, dasinya udah enggak tau hilang ke mana, bajunya juga udah enggak dimasukin ke dalam lagi entah sejak kapan. jio lupa kalau sambil menyelam minum air nya jangan kebanyakan nanti keselek karena setelahnya bola oranye dengan garis hitam itu menabrak bahunya sampai bikin oleng, enggak ada pilihan lain selain salaman sama lantai semen.

yang lain pada panik karena hantaman bolanya memang lumayan keras, sisanya cuma ketawa-ketawa (yang ini sudah pasti teman kelasnya), dia enggak kenapa-kenapa sih cuma tetap aja sakitnya bukan main dia sampai kesusahan buat bangun.

jio menerima asal uluran tangan yang berniat membantunya untuk bangun karena masih kagok dengan rasa sakit yang tiba-tiba datang tanpa aba-aba, “wah, lo makin tinggi ya.”

suara yang tidak asing lagi itu menyapa telinganya untuk beberapa saat, ada mada yang menatapnya masih dengan senyum tengilnya, bedanya kali ini suaranya makin berat, juga rahang-rahangnya yang kelihatan lebih tegas, seolah-olah dunia yang suka bercanda ini mengejeknya lagi karena yang bisa jio lihat cuma mada yang makin kelihatan seperti pemeran utama dalam sebuah drama karena cahaya matahari sore waktu itu terlihat lewat disampingnya, siapa yang enggak makin naksir kalau sudah begini.

“mbak, aku makin tinggi, ya?”

mbak anin yang lagi asik makan nasi pakai tumis kangkung itu agak melongo di buat adiknya karena datang-datang bertanya perihal sesuatu yang belakangan ini sering mbaknya singgung sambil tersenyum, dengan binar matanya yang membuat mbak anin berdoa dalam hati semoga si bahagia mau berteman baik dengan si bungsu.

manusia itu pelupa, mereka pelupa, lagi-lagi lupa, lupa kalau senang dan bahagia tidak pernah datang sendirian.

awal semester dua meskipun hampir kehabisan waktu, jio masih mengira kalau dia akan punya peluang, peluang setidaknya untuk mengenal sedikit lebih banyak tentang mada dari apa yang dia tau.

“lo juga baca buku itu?” mungkin memang jio punya kesempatan, “meskipun bahasanya lumayan bikin mikir, tapi kalau dibaca pelan-pelan pasti bisa paham dikit-dikit.”

“lo juga suka ba—”

“madaaaa, udah belum?”

“sebentar ini lagi ngobrol, coba deh lo baca bukunya carlos maria yang rumah kertas, kayaknya lo bakalan suka, bukunya lebih tipis dari le petit prince kayaknya lo bakalan suka.”

“nanti bakalan gue coba baca,” ada banyak tanya yang singgah di kepala jio hari itu, tapi entah kenapa semuanya seolah setuju untuk tidak memberikan jawaban sama sekali.

“duluan ya, pacar gue nunggu.” ternyata dunia yang brengsek ini mau mada sendiri yang memberi jawaban.

jio pikir dia akan kehabisan waktu kalau tidak mengambil peluangnya secepatnya ternyata dia sudah kehabisan waktu tanpa tau kalau dia sudah kehabisan waktu itu sejak lama, jio menatap dua punggung yang membelakanginya itu tengah berjalan beriringan sambil tertawa entah membahas apa, patah hati enggak pernah jadi hal yang menyenangkan.

tenyata selain banyak bercanda di dunia yang banyak sedihnya ini juga ternyata mereka enggak punya peluang.

seperti ombak pantai yang kembali menyapa batu karang, jio juga menyapa patah hatinya kembali.

jio enggak tahu kalau butuh waktu selama itu cuma untuk menjemput patah hatinya kembali dan buku rumah kertas itu cuma dibeli dan tidak pernah dibaca, dibiarkan begitu saja tersusun rapi bersama dengan buku-buku nya yang lain.

mbak anin enggak tau apa yang terjadi hari itu, jio pulang dengan mata sembab dan meringkuk masuk kedalam pelukannya sambil menangis kecil.

mbak anin enggak tau apa yang sampai membuat adik kecilnya itu menangis, ada sedih yang juga menyambutnya, sekuat-kuatnya dia menjaga adiknya tetap banyak hal yang diluar kendalinya, hidup memang brengsek, tapi anin sanggup melawan dunia yang brengsek ini untuk kedua adiknya.

“sedih ya? adek, di dunia yang banyak sedihnya ini semoga mbak anin dan mas hesa bisa jadi tempat pulang dari semua bentuk sedih yang kamu rasakan. ada mba dan mas hesa yang akan melawan dunia yang sedih ini untuk jio.”

“jio juga bisa lawan dunia yang banyak sedihnya ini untuk mba dan mas hesa.” anin tidak bisa untuk tidak tertawa sambil memeluk erat si bungsu sambil mengusap kepalanya karena si adik itu bicara seolah bisa melawan dunia dengan suara bergetar menahan sedih yang tidak terbendung.

ternyata mereka sudah sejauh dan sekuat ini.

“mba?”

“iya?”

“ayo ke makamnya bunda.”

pada kenyataannya patah pertama jio bukan mada. sebab patah pertama sudah datang sebelum mada singgah di sanggar hati si bungsu, di dunia yang ini di mana mereka enggak punya peluang tidak ada yang bisa jio lakukan kecuali berharap dalam hati.

berharap di cerita lainnya nanti mereka akan punya nasib yang lebih baik dan di dunia yang banyak sedih nya itu lagi mereka akan punya peluang.


© illicitesther 2023



warnings! explicit contain, profanities, jadi tolong bijak dalam membaca.


suara debam pintu hanya jadi angin lalu ketika ketika tangan itu menariknya bahkan sebelum dia benar-benar menyadari apapun, toh dia tidak peduli juga. meraih yesha kedalam sebuah pangutan hangat yang memabukkan, tidak ada yang bisa yesha lakukan kecuali mengalunkan tangannya dan menerima semua apa-apa yang diberikan yang lebih muda.

sama seperti menggadai jiwa kepada penyihir diujung jelaga, yesha juga menggadai jiwanya kepada penyihir kedalam bentuk teman kelasnya. parasnya tidak pernah semenyihir itu sebelum mereka menjadi seperti ini, semua sentuhannya tidak pernah sememabukkan itu sebelum mereka menjadi seperti ini, mereka hilang kendali dalam mencari nikmat, mencari hangat, gagal dalam menemukan akal, dan berakhir menjadi racun.

tidak ada yang tahu pasti kapan hubungan teman kelas yang mereka jalani menjadi sesuatu yang lebih intim, tidak ada yang tahu pasti sampai kapan mereka akan menjadi seperti ini, tidak ada yang tahu pasti. yang mereka tahu hanya saling mencoba mendominasi satu sama lain, saling mencoba untuk mencemooh satu sama lain. basah, kulum, jilat, mereka bahkan tidak mencoba untuk mempertahankan kewarasannya, memberi makan ego untuk saling memberi nikmat.

ada deru napas yang saling bersahutan setelah ciuman yang entah seberapa lama, entah seberapa dalam. yang lebih muda senyum tipis sembari tangannya mengusap bibir tipis yang terlihat mengkilap di bawah cahaya remang yang hampir menanggalkan seluruh kewarasannya.

“enggak sabaran banget.” ucapnya setelah nafasnya yang sebelumnya tersendat itu kembali normal, yang ditanya tidak langsung memberi jawaban. tangannya sibuk menjajah setiap bagian wajah yang lebih tua, mengutuk dalam hati mengapa kewarasannya tidak pernah menyisakan tempat untuk orang yang sekarang ada dibawahnya.

“kenapa lama banget datangnya?”

yang lebih tua mendengus pelan, “lo pikir aja jam segini jalanan se-macet apa.”

dia tertawa menatap ekspresi tidak terima yang menggebu-gebu dari yang lebih tua, satu jarinya masih sibuk menggambar abstak di wajah yang lebih tua, sesekali tangannya menepikan poni yang dirasa menghalangi pandangannya. pergelutan hangat yang hampir berlanjut itu terjeda sebab suara dering telfon dari meja nakas membuat yang lebih muda mengutuk, yesha hanya tersenyum.

“kenapa?”

ada nada sarkastik yang keluar dari mulutnya pertama kali setelah panggilan itu dijawab, anak itu enggak pernah sabaran untuk hal yang satu ini.

yesha duduk menyandarkan punggungnya di sandaran tempat tidur menatap punggung polos pemuda di depannya, mungkin dia satu diantara orang beruntung yang bisa menatap punggung polos anggota band yang belakangan ini namanya mulai banyak dikenal, padahal dulunya hanya band kampus biasa.

tidak tahu pasti apa yang mereka bicarakan lewat telepon seluler itu, dia lebih tertarik menatap pemuda tanpa kain yang menutupi setengah badannya itu berbalik satu tangannya bersandar pada meja sedangkan tangan satunya di samping telinga memegang ponsel sembari menatapnya dalam. mungkin ini yang orang maksud hilang akal dalam tatapan.

malam pada akhirnya berjalan kearahnya setelah lima menit hanya saling tatap sembari membalas seseorang dari seberang sana, membiarkan kepala yang lebih muda bersandar di pahanya. tangannya memainkan rambut yang lebih muda dalam remang kamarnya, ini hanya satu diantara puluhan malam yang mereka lewati bersama di mana yesha dan malam berada tanpa jarak.

tangannya bergerak mengusap tinta hitam yang mewarnai leher yang lebih muda, tulisan vertikal yang sudah ada selama hampir setahun itu diusap, selalu menjadi bagian paling menarik untuknya.

malam bangun membuat yesha sejajar dengan posisi lehernya, tahu betul yesha menyukai tattonya. jadi dia membiarkan yesha untuk mengecupnya, membubuhi setiap hurufnya dengan kecupan, seolah huruf-huruf itu akan hilang jika dibiarkan begitu saja tanpa kecupan.

“enggak, kemarin juga gitu lagian.”

pembahasan abstrak yang yesha enggan pahami itu masih terus berlangsung tapi dia lebih memilih untuk terus memuja huruf-huruf yang menghiasi leher malam, diam-diam menghirup wangi dari yang lebih muda, diam-diam jatuh dalam kenyamanan, diam-diam jatuh ke dalam dasar samudra, melanggar apa-apa yang seharusnya tidak boleh dia lampaui.

telfon itu berakhir, ponsel merek mahal itu di lempar begitu saja seolah tak ada harga dirinya, malam lebih tertarik dengan pemuda yang asik menenggelamkan wajahnya di perpotongan lehernya. tangannya bergerak meraih pemuda itu, menatap tatapan yang seolah memohon untuk dirinya, malam selalu punya tempat untuk hilang akal kepada yang satu ini.

“suka banget sama tattonya?” yang lebih tua hanya mengangguk pelan, enggak menyangkal sebab tahu tuan muda arogan itu suka sekali dipuji.

“so, you wanna beg for that tatto?”

yang lebih tua menggeleng menyisakan tanya di dalam kepala yang lebih muda. suara deru napas mereka saling bersahut tapi tidak ada yang mau bersuara sama sekali, yang lebih tua malah menumpukan dagunya bahu yang lebih muda, mencoba meraih telinga malam.

“you said, that you like my tatto.”

“yeah. but, i wanna beg for you not for that tatto.”

yesha tahu betul bagaimana cara melucuti kewarasan si tuan arogan itu, sebab yesha adalah manifestasi dari segala bentuk kearoganan yang dimiliki malam.

mereka hilang akal bersama dengan deru napas yang saling memburu, malam memilih untuk ikut melucuti kewarasannya sendiri, yesha ikut menanggalkan kewarasannya yang tersisa sedikit, mereka sama-sama hilang di malam-malam yang selalu dilewatkan dengan menanggalkan kewarasan, hanya menyisakan mereka yang saling menyerukan nama satu sama lain sepanjang malam.

mereka bukan apa-apa, bukan sesuatu yang bisa diceritakan, mereka tidak pernah menjadi apa-apa, dan bukan apa-apa yang harus dipertanyakan, sebab mereka hanya dua ego yang saling memberi makan.

menjadi apa-apa yang seharusnya tidak perlu, sebab mereka hanya kemungkinan -kemungkinan yang tidak akan pernah terjadi.


© illicitesther 2023


hujan tiba-tiba menyapa sore itu, menyisakan genangan-genangan di tanah yang terserap kemudian kembali lagi. hujan selalu punya cerita tersendiri untuk setiap orang, entah itu cerita yang menyenangkan atau cerita yang sama sekali tidak menyenangkan untuk dicerita. tapi hujan selalu punya tempat untuk setiap orang yang ingin berkenalan dengan mereka tanpa takut untuk basah, tanpa takut kalau terkadang hujan datang bersama angin dan petir. hujan suka berkawan dengan orang pemberani, hujan bisa jadi teman cerita yang baik ditemani dengan secangkir teh, hujan bisa jadi teman untuk membaca buku di dekat jendela ditemani rintik-rintik yang menyapa kaca jendela, hujan bisa jadi teman tidur untuk mereka-mereka yang selalu terjaga, hujan selalu bisa jadi teman yang bersahabat dan keenan berterima kasih kepada hujan yang bisa dia ajak untuk berteman hari ini.

ada biru yang menadahkan tangannya untuk menyapa bulir-bulir hujan yang jatuh dari atas atap, matanya beberapakali menatap ponsel yang ada di sebelah tangannya, sudut matanya menangkap sosok yang ikut berdiri disampingnya, ikut menadahkan satu tangannya menyapa hujan yang datang tanpa permisi sore itu.

“kenapa belum pulang?”

“ini mau pulang, dari tadi pesan mobil tapi di tolak terus padahal hujannya udah enggak sederas tadi.” keenan menatap lurus pada biru yang bicara sesekali meliriknya, ada rasa canggung yang datang tapi bisa dilewati begitu saja.

“mau gue anter?” biru menatapnya dengan tatapan seolah hendak bertanya dengan kepala sedikit miring.

“memang boleh?”

“boleh kok asal lo mau, tapi pakai motor enggak apa-apa? nanti beli mantelnya di toserba depan, mau?”

hari itu langit mendung dan hujan turun seolah-olah sedang bersedih, tapi sore itu keenan melihat matahari pagi yang sedang bersinar terang tersenyum kepadanya sambil mengangguk pelan.

“mau,” “enggak ngerepotin, kan?”

keenan menggeleng, “tunggu bentar di sini gapapa? gue ambil motor dulu di parkiran.”

setelahnya pemuda dengan jaket denim itu pergi menuju parkiran, biru baru sadar kalau keenan lebih sering memarkirkan motornya di fmipa ketimbang diparkiran fakultasnya sendiri.

hujan mulai reda sore itu tapi masih bisa untuk membuat orang-orang basah kuyup ketika keenan sampai di hadapannya dengan matic merahnya, “tasnya taruh di dalam bagasi aja, sini.”

biru kemudian menyodorkan tasnya membiarkan keenan menyusunnya di dalam bagasi setelah mengeluarkan sebuah helm yang diberikan untuknya, helm yang mungkin kebetulan dibawanya hari itu.

“bisa pakenya?” keenan bertanya setelah melihat biru agak kesusahan untuk mengancingkan helmnya.

“bisa tolong dikaitin? aku agak susah kaitinnya.” biru langsung bergerak mendekat kearah keenan ketika pemuda itu mengangkat tangannya hendak membantu.

“nah udah,”

“terima kasih.” pemuda jakung itu hanya tersenyum kemudian membiarkan biru naik keatas motornya sebelum hujan betulan membuat mereka basah kuyup jika terus tinggal.

pantulan suara hujan yang menabrak kaca helm itu mengiringi perjalanan mereka yang lebin banyak menyisakan hening , biru tidak mau menganggu fokus keenan untuk mengemudi memilih untuk menatap punggung keenan saja, entah untuk alasan apa. hujan masih terus jatuh membasahi mereka, tapi anehnya biru malah bisa mencium wangi tubuh pemuda di depannya yang langsung membuatnya sedikit menjauhkan kepalanya karena merasa dia sangat dekat, tapi entah kenapa wanginya tidak hilang sama sekali dan biru tidak tahu kalau wangi parfum bisa setenang itu.

mereka sampai di toserba ketika keenan memarkirkan motornya tepat di depan parkiran yang di sediakan pihak toserba, “keenan mantelnya beli dua atau satu aja?”

biru hendak berlari masuk kedalam toserba sebelum tangan keenan mendahuluinya, pemuda itu melepas kemeja denimnya kemudian diletakkan di atas kepala yang lebih muda, yang menerima perlakuan itu hanya bisa diam menatap keenan yang tersenyum simpul kearahnya. “nanti sakit.”

“berdua,”

“eh?” yang lebih tinggi kebingungan.

“kalau gitu pakainya berdua, enggak adil kalau aku enggak sakit terus nanti keenan yang sakit.” biru berucap pelan hampir tidak bisa terdengar kalau saja jarak keenan jauh sedikit.

keenan lagi-lagi hanya bisa tertawa sambil ikut masuk kedalam kemejanya yang sudah direntangkan biru.

ah, padahal mereka cuma perlu masuk ke dalam toserba dan membeli mantel.

biru tidak pernah tau kalau hujan-hujanan diatas motor dengan mantel bisa jadi sangat menyenangkan karena dia tidak perlu takut untuk basah. “seneng, ya?”

“iya!!” keenan bisa lihat yang lebih muda mengangguk dengan semangat dari spion motornya, biru tidak bisa menyembunyikan senyumnya.

menjadi mahasiswa yang sibuk mengerjakan tugas ini-itu sampai lupa untuk piknik dan bernafas sebentar, hari ini biru rasa dia bisa menghembuskan nafasnya dengan segar di tengah-tengah hujan yang datang menyerbu mantelnya tapi biru senang karena dia tidak akan basah.

“eh?”

biru keheranan ketika motor matic merah keenan berhenti di depan taman bermain, dia turun dan melepaskan helmnya, kemudian membantu biru dan menariknya masuk ke dalam taman bermain. keenan mengajaknya duduk di ayunan yang menggantung sepi di tengah hujan.

keenan berayun kecil sedangkan biru ikut duduk di sampingnya menatap sedikit heran, keenan sama sekali belum bicara apa-apa hanya duduk sambil berayun yang membuat biru juga jadi ikut mengayunkan dirinya pelan.

tetes hujan beberapa kali mengenai wajahnya tapi ini lebih terasa menyenangkan, seolah kembali menyapa anak kecil yang pernah hidup dalam diri mereka, menyenangkan tapi membuat biru sedih di saat yang sama, menyadari kalau selama ini dia terkadang lupa kalau ada sosok kecil yang dalam dirinya yang merindukan masa kanak-kanaknya.

“kadang kita ngerasa udah terlalu dewasa untuk kayak begini, sampai lupa kalau kadang-kadang jadi dewasa enggak selalu harus jadi sedewasa itu, sampai lupa kalau dalam diri kita ada anak kecil yang enggak bakalan hilang sampai kapanpun, padahal sesekali bermain dengan anak kecil itu bisa jadi obat dari segala rasa capek jadi orang dewasa.”

“jadi dewasa enggak pernah segampang itu, ya?” biru mengayunkan dirinya pelan, dia tidak tahu apa yang keenan pikirkan di dalam kepalanya.

“enggak pernah ada hal yang mudah, yang kadang kita lakuin cuma mencoba untuk melakukan yang terbaik, sampai lupa kalau enggak semua hal yang keliatan baik itu baik juga untuk kita.”

tidak ada yang bersuara setelahnya baik biru maupun kenan, yang ada hanya suara decitan besi berkarat dari ayunan mereka. volume hujan juga semakin meredah keenan bisa lihat awan-awan perlahan mulai jadi lebih cerah. “maaf ya karena tiba-tiba bawa lo ke sini.”

biru berayun sambil menggeleng pelan, “aku seneng diajak ke sini. apa ya, kayak udah lama enggak ngajak anak kecil dalam diri aku buat main dan hari ini rasanya menyenangkan, harusnya aku berterima kasih sama keenan.”


biru sampai di depan rumahnya ketika hujan hanya menyisakan gerimis dan air menggenang sepanjang jalan, biru memberikan helmnya kepada keenan dan mengambil tasnya yang ada di dalam bagasi motor keenan.

“kalau gitu aku masuk duluan, ya? sekali lagi makasih udah nganterin pulang.” keenan mengangguk membalas senyuman.

“makasih juga karena udah mau gue ajak main enggak jelas di taman gitu.” biru cuma bisa mengangguk sambil mengulum senyum sambil melambaikan tangannya kearah keenan yang mulai menyalakan mesin motornya.

“biru,” suaranya pelan tapi biru mendengarnya jadi dia berhenti melambai untuk mendengar dengan seksama, tapi keenan sepertinya malah seperti sedang berpikir untuk mengatakan sesuatu.

“keenan?” “boleh enggak habis ini gue ngechat elo?”

biru diam beberapa saat di tempatnya, “tapi kalau lo enggak suka—”

“boleh,” keenan langsung tersenyum lebar ketika melihat biru yang mengangguk dengan sedikit malu dan langsung berbalik masuk kedalam pagar rumahnya meninggalkan keenan yang masih tetap di sana sampai biru menghilang dibalik pintu.

ada banyak hal yang masih belum bisa biru jelaskan tentang beberapa hal, tapi dia tahu pasti apa yang membuatnya mendadak meninggalkan keenan setelah mengatakan kalau dia boleh menghubungi biru setelah ini, dan setelah membuka tasnya biru baru dia lupa sesuatu.

“jaketnya keenan.”


illicitesther ©2023


kalau bicara tentang kim gyuvin, enggak banyak yang bisa yujin ceritakan selain gyuvin si ketua MPK, gyuvin si anak basket, gyuvin yang merangkap jadi anggota paskibra yang tahun lalu lolos seleksi sampai provinsi, gyuvin jago matematika, gyuvin si rangking satu, gyuvin yang punya banyak pengagum dari awal dia masuk SMA, dan gyuvin si teman kelasnya. ada kalanya waktu kelas mereka kosong yujin diam-diam menatap gyuvin yang asik berbincang dengan haruto di depan pintu kelas, dia jadi mikir kalau sebenarnya mereka enggak pernah ngobrol dengan baik, mereka enggak dekat dan yujin sedikit berkecil hati dengan fakta itu.

dia mengobrol dengan baik kepada semua kepala di dalam kelas kecuali gyuvin yang entah kenapa selalu sulit diajak untuk sekedar mengobrol biasa, paling bisa mereka cuma ngobrol nanyain piket, nanyain tugas, atau cuma saling senyum kalau enggak sengaja saling tatap atau yujin yang mendadak kikuk dan enggak tahu harus ngapain karena merasa dia harus dekat dengan semua teman kelasnya, tapi entah kenapa yang satu itu susah sekali untuk sekedar disentuh.

beberapa kali mereka sekelompok tapi enggak ada percakapan yang berarti, enggak ada percakapan yang bisa membuat yujin menganggap kalau mereka dekat.

seharusnya yujin enggak perlu pusing, seharusnya yujin baik-baik saja, seharusnya juga dia enggak perlu se-desparate itu, tapi selalu ada titik di mana setiap kali yujin menatap pemuda jakung itu yang dia pikirkan hanya bagaimana caranya untuk punya relasi yang baik dengannya.

dua tahun mereka sekelas dan yujin enggak pernah se-desparate itu dan baru menyadarinya setelah memperhatikan kalau semua teman kelasnya bisa mengobrol santai dengan gyuvin sedangkan mereka saling sapa pun jarang.

kalau-kalau gyuvin enggak suka sama dia, tapi yujin masih menaruh ini pada opsi paling terakhir diantara opsi yang sebenarnya enggak pernah ada.

mereka beberapa kali makan siang di kantin bersama dengan teman kelas lainnya, tapi jarak diantara mereka malah semakin senyata itu di mata yujin, anak kecil itu juga sedikit lagi menangis mikirin gimana kalau selama ini gyuvin benci sama dia.

yujin enggak pernah diajari untuk menyepelekan orang lain, si bungsu yang lahir dari keluarga yang mengajarinya untuk terus rendah hati itu juga enggak pernah diajari untuk tidak memilih teman. yujin kecil sedari awal diajari untuk meminta maaf lebih dulu ketika bersitegang dengan temannya, tapi yang satu ini lebih sulit dari yang yujin kecil sering lakukan, sebab dia enggak tahu di mana letak kesalahannya.

“kalau ada yang enggak suka kamu gimana?” enggak tahu dapat inisiatif dari mana dia bertanya seperti itu, mungkin ini juga reaksi dari kefrustasiannya sendiri.

“kenapa? ada yang enggak suka sama lo? mana orang nya? yang mana?” satu hal yang yujin lupa kalau temannya yang satu itu terlalu menggebu-gebu.

“bukan gitu, aku cuma tanya kalau ada yang enggak suka sama kamu gimana cara ngadepinnya?”

“gampang. enggak usah dipikirin, toh enggak penting. mau aku minta maaf sampai jungkir balik juga dia tegap enggak akan suka sama aku, kan?” ah, lagi-lagi yujin lupa kalau mereka dibesarkan dengan cara yang berbeda. Hanni yang dibesarkan dari keluarga yang keras, ayahnya mantan jendral sebelum pensiun, kedua kakaknya kemudian mengikuti jejak sang ayah. sedari kecil mereka diajarkan dengan cara yang sama kerasnya meskipun dia anak perempuan, mungkin itu juga sebabnya hanni selalu terlihat lebih dominan diantara teman perempuan yang lainnya tapi itu juga enggak menurunkan feminitas dirinya, yujin suka bagaimana hanni selalu tau bagaimana caranya bersikap dalam setiap situasi, mirip seperti kakaknya.

setelahnya yujin memilih untuk menjatuhkan kepalanya ke meja sambil menghela nafas, mungkin memang seharusnya dia enggak usah berlebihan, tapi tetap saja rasanya tetap enggak mengenakkan.

“enggak usah terlalu dipikirin juga, apa yang kamu pikirin itu enggak selamanya benar.”

seharusnya setelah itu yujin juga enggak perlu kepikiran lagi, hanni ada benarnya. tapi kenapa waktu selalu datang bersama dengan kejutan-kejutan yang datang diwaktu yang enggak benar.

pelajaran sosiologi rabu hari ini mereka dibagi kelompok dengan diundi, entah karena memang sedang hari sialnya, atau ada maksud lain yang datang entah dari mana, yujin sekelompok dengan gyuvin dan dua orang teman lainnya. mereka diberi tugas untuk membuat mading, bagian enggak mengenakkannya adalah dia dan gyuvin disuruh untuk menjaga bahan-bahan untuk membuat mading mereka dan dua orang tadi pergi itu membeli barang yang masih kurang.

sebenarnya enggak ada yang masalah dengan itu, masalahnya ada di yujin karena merasa atmosfer diantara mereka sangat menyesakkan padahal yang lebih tua beberapa bulan darinya itu terlihat biasa saja, bahkan enggak terusik sama sekali, dia fokus membaca bagian-bagian penting yang harus mereka ambil untuk pembahasan mading mereka. yujin juga sama tugasnya tapi fokusnya jadi terbagi.

“kamu enggak suka aku, ya?”

ada jeda yang cukup lama sebelum si yang lebih tua itu menatapnya, rasanya tatapan enggak butuh waktu selama itu, tapi ini sudah lebih dari dua menit gyuvin hanya diam menatapnya.

beneran enggak suka aku, ya.

rasanya tetap nyelekit meskipun si jakung itu enggak perlu bicara lagi.

“kenapa mikir gitu?”

eh

kayaknya gyuvin memang orang yang gemar membuat orang lain jadi berpikir berkali-kali, sebab belum menjawab pernyataannya yujin malah dibuat berpikir lagi.

“apa ya-, habisnya kamu di kelas bicara sama semuanya tapi sama aku cuma sesekali, jarang bahkan. kita juga beberapa kali sekelompok kok, ini bukan yang pertama tapi kamu juga masih begitu-begitu aja. aku sedih, bingung juga, kalau aku punya salah tolong di kasih tau, ya? biar aku bisa minta maaf.”

padahal waktu itu yujin sama sekali enggak ngelucu tapi si yang paling tua malah tertawa, yujin diam memperhatikan bagaimana cara pemuda itu tertawa membuatnya tertegun untuk beberapa saat, dia enggak pernah lihat gyuvin seperti itu juga jadi paham kenapa setiap hari valentine mejanya selalu dipenuhi surat dan cokelat berbentuk hati.

tapi dia aneh banget, yujin enggak akan pernah paham sama isi kepala pemuda itu, karena enggak lama setelah dia tertawa tangannya ikut mengusap puncak kepala yujin.

enggak tau tapi mendadak hawa disekitar yujin jadi panas.

“jangan pernah mikir gitu,” jawabnya santai, yujin malah sedikit kesal. “kamu yang enggak mau ngobrol sama aku!”

setelahnya mungkin juga itu alasan kenapa yujin menganggap setiap kata yang keluar dari mulut hanni enggak pernah salah.

“aku beberapa kali mau ngajak ngobrol kok, cuma kamu sibuk ngobrol sama yang lain jadinya yaudah mungkin belum waktunya buat ngobrol sama kamu. lagipula liat kamu ngobrol sama yang lain walaupun enggak sama aku juga bikin seneng kok.”

yujin enggak paham. tapi hanni selalu benar, enggak semua hal yang kamu pikirkan itu selamanya benar.

ada jeda panjang yang sengaja diambil yang lebih tua, membuat yujin jadi malu dan sedikit merasa bersalah karena sudah menuduh yang enggak-enggak.

“jangan sama yang lain dulu.”

kita enggak akan pernah tau isi kepala orang lain sebelum dia sendiri yang mengutarakan isi kepalanya. dan yujin enggak berhasil menangkap maksud dari gyuvin.

“karena kita enggak pernah ngobrol dengan baik, kamu mau enggak kalau aku mau kenal kamu lebih dekat lagi?”

“kenapa harus tanya aku dulu? semua bisa dekat sama aku. aku enggak milih teman, enggak baik.”

lagi-lagi yang lebih tua ketawa, “aku tau, tapi yang ini bukan itu.”

“terus apa?”

“aku mau kamu kenal aku lebih dekat juga, karena aku mau kita lebih dekat dari teman.”

“sahabat?” yang lebih tua geleng kepala enggak setuju.

gyuvin dan semua yang ada di dalam dirinya terlanjur menjadi enigma yang sulit untuk yujin pahami.

“aku mau jadi orang yang bisa dengar cerita kamu lebih banyak dari yang lain. aku mau nemenin kamu berjam-jam baca buku di gramedia tiap sabtu, aku bisa kasih beberapa rekomendasi buku yang mungkin belum pernah kamu baca aku mau nemenin kamu les tiap kamis, aku bisa nunggu di cafe seberang terus kita pulang bareng. aku mau nemenin kamu yang nangis di perpustakaan, kamu bisa sandar di pundak aku sampai ngerasa tenang dan ketiduran. aku mau jadi apa-apa yang kamu butuhkan, aku bisa jadi semua bentuk teman yang kamu mau. tapi sebelum itu semua aku harus dapat persetujuan dari kamu.”

sekat tipis yang terasa menghalangi itu kian tidak terasa namun tetap ada, yujin enggak pernah tau kalau gyuvin tau sebanyak itu tentang dia lebih dari yang yujin bayangkan.

menjadi bungsu yang punggungnya ditanami ekspektasi enggak pernah menjadi perihal yang mudah, menjadi bungsu yang langkahnya selalu diikuti bayang-bayang kakaknya enggak pernah jadi hal yang mudah.

enggak ada yang tahu kalau sebenarnya si bungsu ini juga diam-diam sedih, dan enggak bisa membendung kesedihannya sendirian. dia enggak sekuat si sulung, enggak ada yang tahu kalau si kecil yang suka tantang wahana ini sebenarnya juga takut terjatuh.

ternyata selama ini ada yang sering melihat dia nangis di perpustakaan.

“jadi, boleh enggak aku kenal lebih dekat lagi sama kamu?”

mungkin gyuvin terlanjur jadi enigma tapi yujin bukan orang yang takut untuk bermain teka-teki. dan senyum malu-malu yujin hari itu juga jadi bukti kalau dua tahun mengagumi yujin sama dengan menunggu setangkai bunga untuk mekar.

dan mungkin hari itu kelopaknya perlahan mulai bermekaran.


illicitesther ©2023

summertime; in the rain, you stretched out your hand.

____

ada banyak malam yang dilewati hanya dengan menatap langit-langit kamar, ada beberapa malam yang hanya dilewati dengan satu pejaman mata, ada beberapa malam yang dilewati dengan berisik, ada beberapa malam yang dilewati dengan tenang. selalu ada banyak cara untuk melewati malam namun bian lebih suka melewati malam diiringi dia yang suaranya semerdu burung di pagi hari, setenang hembusan angin yang menenangkan seluruh tubuh.

selalu ada waktu kosong sepulang sekolah, selalu ada banyak waktu untuk bersantai, selalu ada banyak waktu untuk melakukan lebih banyak hal tapi bian lebih memilih duduk di pojok cafe dengan cahaya matahari yang perlahan mulai meredup. cafe yang sama sekali bukan tempatnya untuk berantai, yang bukan dia. bian tidak menyukai kulit ayam tapi selalu berhasil menghabiskan kulit ayamnya ditemani dia yang suaranya semerdu burung gereja dengan petikan gitar dan rambut panjangnya yang memesona, seperti karakter anime yang keluar dari buku komik yang sering dia baca.

tiramisu yang mulai cair, sisa-sisa makanan di piring, jiwa-jiwa muda yang saling berlomba untuk menarik perhatian si dia yang suaranya semerdu burung gereja, selalu ada banyak kesempatan untuk bian ikut dengan mereka menjadi seperti mereka tapi bian adalah dia yang terbiasa, lebih suka untuk menatap punggung orang lain berbalik membelakanginya tanpa harus menoleh untuk melihatnya.

tertinggal dibelakang menatap sang tuan rupawan yang dipuja-puja, menjadi dia yang selalu terbelakang, selalu tak punya banyak keberanian, selalu dengan keraguan, selalu menjadi dia yang lebih suka menatap punggung seseorang.

sekolah menengah yang katanya selalu punya cerita apik bagi bian mungkin hanya sebuah dongeng, alih-alih cerita apik yang dia dapati hanya dirinya yang hampir hilang kewarasan karena belajar, dibanding teman sekolahnya kakak vokalis dari sebuah band cafe ternyata lebih menarik perhatiannya. menjadi dia yang selalu menghabiskan waktu di keramaian padahal tenaganya selalu habis di tengah keramaian.

selepas si dia yang suaranya semerdu burung gereja berbalik mengakhiri musik indahnya yang menghipnotis, bian melangkahkan kakinya keluar dari cafe menatap sekeliling yang mulai menggelap, berjongkok di sudut cafe memberi seekor kucing ayam yang selalu sengaja di beli lebih untuk si manis berbulu hitam di sudut cafe, seolah memang sedang menunggunya untuk datang setiap saat.

mengusap kepala si manis sebelum pergi meninggalkannya, meninggalkannya sepasang yang tengah menatap.

hari-hari belajar dengan keras kebali dimulai, ujian semester. membuatnya tak bisa kemana-mana kecuali hanya untuk belajar meninggalkan kebiasaannya menghabiskan waktu di cafe selama enam bulan terakhir.

ah, hari ini dia menyanyikan lagu apa lagi, ya?

hari ini dia pakai baju apa?

hari ini apa dia mulai dekat dengan jiwa-jiwa muda yang lebih berani?

hari ini apa masih ada kesempatan?

pintu dibuka, seseorang tengah bernyanyi di depan sana, tapi bukan dia yang suaranya semerdu burung gereja, bukan si tuan rupawan. tetapi bian memilih untuk menunggu memesan seperti biasanya, berharap dia bisa melihat si tuan rupawan setelah berhari-hari berlalu. jam menunjukkan hampid pukul tujuh malam ketika bian melirik arloji di tangannya.

untuk pertama kalinya dia menyisakan kulit ayam yang tidak terlalu diminatinya.

langit sendu tiba-tiba turun hujan, seolah sedang ikut sedih bersama bian yang sedikit lesu menatap kucing hitam yang menatapnya dengan polos seperti biasa di sudut cafe. bian berjongkok mengelusnya sembari memberi makan seperti biasanya.

“halooo, ketemu lagi. kamu apa kabar? semoga baik. hari ini hujan enggak seperti biasanya, enggak seperti biasanya dia juga gak ada. aku kayaknya ngelewatin banyak hal seminggu ini.”

seolah paham kucing hitam itu mengeong menanggapinya, membuat bian tersenyum mengelus pelan kepala kucing itu, ekornya bergoyang-goyang kesana-kemari menikmati setiap elusan tangan bian, seolah menantikannya sejak lama.

“dia kesepian selama kamu gak datang.”

sebuah lengan ikut mengusap si kucing hitam yang masih asik sendiri, membuat bian terdiam. tahu betul itu suara milik siapa.

“aku rasa dia cukup sedih karena kamu gak mengunjungi dia satu minggu ini.”

sekon berubah menjadi detik, detik jadi menit, ada banyak yang berlalu ketika bian menatap pemuda dengan rambut panjang itu, ada banyak yang berhenti, seakan waktu berjalan begitu lambat hanya untuk memastikan apakah ini nyata.

“ulangan, seminggu ini ulangan semester.” perlu banyak keberanian untuk mengucapkan beberapa kata.

seperti mimpi yang dilewatinya setiap malam, banyaknya biar berharap semoga ini bukan mimpi.

“jengga, narajengga.” untuk pertama kalinya bian menerima uluran tangan dari si tuan rupawan, dia yang suaranya semerdu burung gereja mengulurkan tangan memperkenalkan namanya di hadapan bian.

“fabian.”

ada senyum yang terukir dengan jelas di wajah si tuan rupawan, senyum yang membuat bian semakin berharap semoga hari ini bukan mimpi atau hanya delusi semata.

“salam kenal Arbie Fabian.”

kenyataannya si tuan rupawan tak pernah benar-benar memunggunginya.