kalau bicara tentang kim gyuvin, enggak banyak yang bisa yujin ceritakan selain gyuvin si ketua MPK, gyuvin si anak basket, gyuvin yang merangkap jadi anggota paskibra yang tahun lalu lolos seleksi sampai provinsi, gyuvin jago matematika, gyuvin si rangking satu, gyuvin yang punya banyak pengagum dari awal dia masuk SMA, dan gyuvin si teman kelasnya. ada kalanya waktu kelas mereka kosong yujin diam-diam menatap gyuvin yang asik berbincang dengan haruto di depan pintu kelas, dia jadi mikir kalau sebenarnya mereka enggak pernah ngobrol dengan baik, mereka enggak dekat dan yujin sedikit berkecil hati dengan fakta itu.
dia mengobrol dengan baik kepada semua kepala di dalam kelas kecuali gyuvin yang entah kenapa selalu sulit diajak untuk sekedar mengobrol biasa, paling bisa mereka cuma ngobrol nanyain piket, nanyain tugas, atau cuma saling senyum kalau enggak sengaja saling tatap atau yujin yang mendadak kikuk dan enggak tahu harus ngapain karena merasa dia harus dekat dengan semua teman kelasnya, tapi entah kenapa yang satu itu susah sekali untuk sekedar disentuh.
beberapa kali mereka sekelompok tapi enggak ada percakapan yang berarti, enggak ada percakapan yang bisa membuat yujin menganggap kalau mereka dekat.
seharusnya yujin enggak perlu pusing, seharusnya yujin baik-baik saja, seharusnya juga dia enggak perlu se-desparate itu, tapi selalu ada titik di mana setiap kali yujin menatap pemuda jakung itu yang dia pikirkan hanya bagaimana caranya untuk punya relasi yang baik dengannya.
dua tahun mereka sekelas dan yujin enggak pernah se-desparate itu dan baru menyadarinya setelah memperhatikan kalau semua teman kelasnya bisa mengobrol santai dengan gyuvin sedangkan mereka saling sapa pun jarang.
kalau-kalau gyuvin enggak suka sama dia, tapi yujin masih menaruh ini pada opsi paling terakhir diantara opsi yang sebenarnya enggak pernah ada.
mereka beberapa kali makan siang di kantin bersama dengan teman kelas lainnya, tapi jarak diantara mereka malah semakin senyata itu di mata yujin, anak kecil itu juga sedikit lagi menangis mikirin gimana kalau selama ini gyuvin benci sama dia.
yujin enggak pernah diajari untuk menyepelekan orang lain, si bungsu yang lahir dari keluarga yang mengajarinya untuk terus rendah hati itu juga enggak pernah diajari untuk tidak memilih teman. yujin kecil sedari awal diajari untuk meminta maaf lebih dulu ketika bersitegang dengan temannya, tapi yang satu ini lebih sulit dari yang yujin kecil sering lakukan, sebab dia enggak tahu di mana letak kesalahannya.
“kalau ada yang enggak suka kamu gimana?” enggak tahu dapat inisiatif dari mana dia bertanya seperti itu, mungkin ini juga reaksi dari kefrustasiannya sendiri.
“kenapa? ada yang enggak suka sama lo? mana orang nya? yang mana?” satu hal yang yujin lupa kalau temannya yang satu itu terlalu menggebu-gebu.
“bukan gitu, aku cuma tanya kalau ada yang enggak suka sama kamu gimana cara ngadepinnya?”
“gampang. enggak usah dipikirin, toh enggak penting. mau aku minta maaf sampai jungkir balik juga dia tegap enggak akan suka sama aku, kan?” ah, lagi-lagi yujin lupa kalau mereka dibesarkan dengan cara yang berbeda. Hanni yang dibesarkan dari keluarga yang keras, ayahnya mantan jendral sebelum pensiun, kedua kakaknya kemudian mengikuti jejak sang ayah. sedari kecil mereka diajarkan dengan cara yang sama kerasnya meskipun dia anak perempuan, mungkin itu juga sebabnya hanni selalu terlihat lebih dominan diantara teman perempuan yang lainnya tapi itu juga enggak menurunkan feminitas dirinya, yujin suka bagaimana hanni selalu tau bagaimana caranya bersikap dalam setiap situasi, mirip seperti kakaknya.
setelahnya yujin memilih untuk menjatuhkan kepalanya ke meja sambil menghela nafas, mungkin memang seharusnya dia enggak usah berlebihan, tapi tetap saja rasanya tetap enggak mengenakkan.
“enggak usah terlalu dipikirin juga, apa yang kamu pikirin itu enggak selamanya benar.”
seharusnya setelah itu yujin juga enggak perlu kepikiran lagi, hanni ada benarnya. tapi kenapa waktu selalu datang bersama dengan kejutan-kejutan yang datang diwaktu yang enggak benar.
pelajaran sosiologi rabu hari ini mereka dibagi kelompok dengan diundi, entah karena memang sedang hari sialnya, atau ada maksud lain yang datang entah dari mana, yujin sekelompok dengan gyuvin dan dua orang teman lainnya. mereka diberi tugas untuk membuat mading, bagian enggak mengenakkannya adalah dia dan gyuvin disuruh untuk menjaga bahan-bahan untuk membuat mading mereka dan dua orang tadi pergi itu membeli barang yang masih kurang.
sebenarnya enggak ada yang masalah dengan itu, masalahnya ada di yujin karena merasa atmosfer diantara mereka sangat menyesakkan padahal yang lebih tua beberapa bulan darinya itu terlihat biasa saja, bahkan enggak terusik sama sekali, dia fokus membaca bagian-bagian penting yang harus mereka ambil untuk pembahasan mading mereka. yujin juga sama tugasnya tapi fokusnya jadi terbagi.
“kamu enggak suka aku, ya?”
ada jeda yang cukup lama sebelum si yang lebih tua itu menatapnya, rasanya tatapan enggak butuh waktu selama itu, tapi ini sudah lebih dari dua menit gyuvin hanya diam menatapnya.
beneran enggak suka aku, ya.
rasanya tetap nyelekit meskipun si jakung itu enggak perlu bicara lagi.
“kenapa mikir gitu?”
eh
kayaknya gyuvin memang orang yang gemar membuat orang lain jadi berpikir berkali-kali, sebab belum menjawab pernyataannya yujin malah dibuat berpikir lagi.
“apa ya-, habisnya kamu di kelas bicara sama semuanya tapi sama aku cuma sesekali, jarang bahkan. kita juga beberapa kali sekelompok kok, ini bukan yang pertama tapi kamu juga masih begitu-begitu aja. aku sedih, bingung juga, kalau aku punya salah tolong di kasih tau, ya? biar aku bisa minta maaf.”
padahal waktu itu yujin sama sekali enggak ngelucu tapi si yang paling tua malah tertawa, yujin diam memperhatikan bagaimana cara pemuda itu tertawa membuatnya tertegun untuk beberapa saat, dia enggak pernah lihat gyuvin seperti itu juga jadi paham kenapa setiap hari valentine mejanya selalu dipenuhi surat dan cokelat berbentuk hati.
tapi dia aneh banget, yujin enggak akan pernah paham sama isi kepala pemuda itu, karena enggak lama setelah dia tertawa tangannya ikut mengusap puncak kepala yujin.
enggak tau tapi mendadak hawa disekitar yujin jadi panas.
“jangan pernah mikir gitu,” jawabnya santai, yujin malah sedikit kesal. “kamu yang enggak mau ngobrol sama aku!”
setelahnya mungkin juga itu alasan kenapa yujin menganggap setiap kata yang keluar dari mulut hanni enggak pernah salah.
“aku beberapa kali mau ngajak ngobrol kok, cuma kamu sibuk ngobrol sama yang lain jadinya yaudah mungkin belum waktunya buat ngobrol sama kamu. lagipula liat kamu ngobrol sama yang lain walaupun enggak sama aku juga bikin seneng kok.”
yujin enggak paham. tapi hanni selalu benar, enggak semua hal yang kamu pikirkan itu selamanya benar.
ada jeda panjang yang sengaja diambil yang lebih tua, membuat yujin jadi malu dan sedikit merasa bersalah karena sudah menuduh yang enggak-enggak.
“jangan sama yang lain dulu.”
kita enggak akan pernah tau isi kepala orang lain sebelum dia sendiri yang mengutarakan isi kepalanya. dan yujin enggak berhasil menangkap maksud dari gyuvin.
“karena kita enggak pernah ngobrol dengan baik, kamu mau enggak kalau aku mau kenal kamu lebih dekat lagi?”
“kenapa harus tanya aku dulu? semua bisa dekat sama aku. aku enggak milih teman, enggak baik.”
lagi-lagi yang lebih tua ketawa, “aku tau, tapi yang ini bukan itu.”
“terus apa?”
“aku mau kamu kenal aku lebih dekat juga, karena aku mau kita lebih dekat dari teman.”
“sahabat?” yang lebih tua geleng kepala enggak setuju.
gyuvin dan semua yang ada di dalam dirinya terlanjur menjadi enigma yang sulit untuk yujin pahami.
“aku mau jadi orang yang bisa dengar cerita kamu lebih banyak dari yang lain. aku mau nemenin kamu berjam-jam baca buku di gramedia tiap sabtu, aku bisa kasih beberapa rekomendasi buku yang mungkin belum pernah kamu baca aku mau nemenin kamu les tiap kamis, aku bisa nunggu di cafe seberang terus kita pulang bareng. aku mau nemenin kamu yang nangis di perpustakaan, kamu bisa sandar di pundak aku sampai ngerasa tenang dan ketiduran. aku mau jadi apa-apa yang kamu butuhkan, aku bisa jadi semua bentuk teman yang kamu mau. tapi sebelum itu semua aku harus dapat persetujuan dari kamu.”
sekat tipis yang terasa menghalangi itu kian tidak terasa namun tetap ada, yujin enggak pernah tau kalau gyuvin tau sebanyak itu tentang dia lebih dari yang yujin bayangkan.
menjadi bungsu yang punggungnya ditanami ekspektasi enggak pernah menjadi perihal yang mudah, menjadi bungsu yang langkahnya selalu diikuti bayang-bayang kakaknya enggak pernah jadi hal yang mudah.
enggak ada yang tahu kalau sebenarnya si bungsu ini juga diam-diam sedih, dan enggak bisa membendung kesedihannya sendirian. dia enggak sekuat si sulung, enggak ada yang tahu kalau si kecil yang suka tantang wahana ini sebenarnya juga takut terjatuh.
ternyata selama ini ada yang sering melihat dia nangis di perpustakaan.
“jadi, boleh enggak aku kenal lebih dekat lagi sama kamu?”
mungkin gyuvin terlanjur jadi enigma tapi yujin bukan orang yang takut untuk bermain teka-teki. dan senyum malu-malu yujin hari itu juga jadi bukti kalau dua tahun mengagumi yujin sama dengan menunggu setangkai bunga untuk mekar.
dan mungkin hari itu kelopaknya perlahan mulai bermekaran.
illicitesther ©2023