ruang temu, dekap dan gemuruh


ada banyak jeda yang dibiarkan berlalu, sejak sampai di sebuah cafe yang letaknya tidak jauh dari kampus itu. keenan maupun biru belum ada yang berani bersuara, bahkan latte yang dipesan keduanya dibiarkan begitu saja seolah hening yang dibiarkan datang begitu saja akan segera menghabisinya.

dua puluh menit di tengah keterdiaman dan biru yang tidak menatap keenan sama sekali pada akhirnya membuat si pemuda jakung itu membuka suara, meluruhkan segala hening yang hampir nyaman diantara mereka. “aku nggak tau harus mulai dari mana. tapi kupikir aku harus jelasin semuanya ke kamu. aku dan mba daiyan, menejer thestvr enggak pernah punya hubungan apa-apa, soal foto yang mereka claim sebagai bukti itu, bukan cuma dari aku aja, tapi dari kami berempat. waktu belinya juga barengan sama anak-anak thestvr lainnya.”

belum ada respon yang berarti dari biru kecuali dia yang mulai sesekali kembali menatap keenan. dia tau biru kebingungan, biru teralu asing dengan situasi seperti ini dan keenan tidak apa-apa jika harus menjelaskan seberapa banyak. “mba daiyan punya pacar,”

“sudah?”

kenan tidak menjawab, ikut kebingungan.

“aku mau pulang.” dan keenan juga tidak punya banyak alasan untuk tetap menahan biru, setelahnya minuman yang dipesan itu bahkan tidak habis seperempatnya ketika mereka berjalan menuju pintu, mungkin mengutuk mereka berdua karena meninggalkannya begitu saja.

keenan pikir biru mungkin marah, tapi hangat yang melingkari pinggangnya di tengah perjalanan itu membuat gundah yang bergemuruh di dalam sana perlahan mereda. bisa dia rasakan pelukan itu perlahan mengerat entah untuk alasan apa tapi keenan cukup yakin, ada hal lain yang menganggu isi pikiran yang lebih muda.

beberapa tetes air yang jatuh dari langit menyapa kaca helm keenan yang hampir tenggelam dalam pikirannya sendiri karena untuk pertama kalinya mereka larut dalam pikiran masing-masing. dan terkutuklah keenan yang lupa untuk membawa mantel di musim hujan seperti ini. “biru, hujannya mungkin bakalan deras. kita neduh sebentar gak apa-apa?”

“boleh ngebut aja? basah sedikit nggak apa-apa.” tapi keenan tidak mendengarkan sebab hujan terlanjur mengamuk tidak ingin menunggu seolah ada rindu yang harus dibayar tuntas. dia menepikan motornya di depan ruko yang sepertinya sudah tutup dari siang tadi, ruko berlantai dua itu sedikit bersembunyi dibalik pohon mangga yang tumbuh dengan gagah di depannya. keenan melepas helmnya dan biarkan biru berdiri tepat disampingnya.

“dingin enggak? maaf, aku lagi enggak pakai jaket dan kita malah kehujanan.” biru cuma menatapnya sebentar lalu menggeleng tidak apa-apa.

mereka kembali dikusai hening yang hanya diisi dengan suara angin yang menyatu dengan hujan seolah sedang menyombongkan diri pada jiwa yang tengah dihampiri gundah itu. sampai pada biru yang pada akhirnya berbalik untuk menghadap keenan yang sedikit terkejut dengan pergerakannya, “keenan, aku kedinginan. boleh peluk sebentar?”

ada sedikit rasa bersalah yang langsung menghampiri keenan begitu saja. namun dia segera merengkuh biru, menariknya ke dalam dekapan yang hampir menenggelamkan seluruh tubuhnya. pundak kirinya terasa memberat ketika biru letakkan kepalanya untuk bersandar di sana. keenan mungkin kebingungan, tapi hanya ini yang sanggup dia berikan sekarang. buat biru nyaman dalam dekapannya.

“aku enggak marah dengan keenan. mungkin iya, tapi sedikit. aku sedang kecewa dengan diri sendiri, laporan hasil observasi aku selama sebulan tadi enggak diterima karena aku salah catat hasilnya, dan ada beberapa bagian yang keliru. terus tadi di lab juga beberapa kali ditegur karena enggak fokus, itu memang salahku sih. tapi mendadak rasanya aku capek sendiri, dan mungkin keenan ikut bingung juga.” biru bergerak sedikit untuk memperbaiki posisinya senyaman mungkin, hujan masi betah menyapa diluar sana.

“keenan, aku masih boleh cerita?”

“boleh biru,”

“enggak apa-apa, kayak begini?”

“kayak begini, gimana?”

“ini,” biru sedikit mengeratkan pelukannya membiarkan keenan tertawa tanpa suara, “sambil peluk keenan, kalau ada yang liat gimana?”

“ya enggak apa-apa, biarin aja mereka liat.” sebenarnya yang ini tidak beitu lucu tapi biru biarkan dirinya tertawa entah untuk apa, mungkin karena keenan.

“aku boleh lanjut cerita lagi?”

“kamu bisa cerita sebanyak yang kamu bisa, biru.”

“aku dari kecil terbiasa untuk disuruh ini itu. les piano, les renang, ikut bimbel sana sini, aku terbiasa disetir untuk ngelakuin sesuatu. lalu karena aku merasa baik-baik aja meskipun kadang capek juga tapi aku tetap nggak masalah, karena dari dulu memang seperti itu. terus aku pikir ya akan tetap begitu-begitu aja, ternyata setelah selesai sma aku dibiarkan untuk pilih jurusan sendiri, aku yang terlanjur terbiasa disetir malah kelabakan. karena mami dulunya belajar biologi jadi aku secara gamblang milih biologi juga, dan belakangan ini aku mendadak mempertanyakan diri aku sendiri. apa aku benar-benar mau melakukan ini? apa aku bisa lewati semuanya? apa yang bisa aku capai nantinya? semua pertanyaan-pertanyaan itu mendadak menyerbu aku, dan aku kehilangan jawaban atas diriku sendiri.”

dengan perlahan biru sejajarkan wajahnya dengan keenan yang sedari tadi mendengarkan dengan seksama. “nggak perlu dijawab.” lalu keenan hanya tertawa menatapnya.

“kadang kalau capek pertanyaan-pertanyaan seperti itu memang sering muncul di kepala. cuma pertanyaannya lagi, kamu masih mau atau berhenti dari segala rasa capek kamu itu?” yang lebih muda gelengkan kepalanya pelan.

“yumna kadang sampai nangis kalau kerja laporan, terus yesha kalau kelabakan sama tugasnya suka ngabisin jelly dua bungkus. aku ada janji sama mereka buat wisuda bareng.” keenan cuma berikan usapan pelan di puncak kepalanya, tapi sepertinya semua gundah itu tersapu bersama dengan usapan tangan milik keenan.

“kalau kamu lagi capek, istirahat aja. jangan biarin pikiran-pikiran jelek itu malah bikin kamu makin capek. jeda sebentar untuk diri sendiri, jeda sebentar untuk sekedar napas. jangan maksain diri sendiri. biru kalau capek istirahat, ya? atau minta keenan untuk peluk seperti ini lagi juga enggak apa-apa.” yang terakhir itu diucapkan dengan sedikit nada bercanda yang membuat keenan melenguh karena mendapati dirinya dicubit pelan oleh biru.

“bilang maaf ya ke kak daiyan karena aku enggak sempat balas chat nya.”

“ngomong-ngomong tadi kamu sempat bilang kalau lagi marah tapi sedikit sama aku itu kenapa?”

biru mendengus pelan, “enggak usah dibahas!” lalu kembali menenggelamkan wajahnya diperpotongan leher keenan, malu.

“bilang dong, cemburu ya?” biru harus tau kalau keenan adalah penggoda ulung.

“diamm.”

“jadi, biru cemmburu nih?”

“iya semburu. kenapa? enggak boleh?”

“ngapain cemburu sama dia, orang punya cowok.”

“kan aku enggak tau, ihh!!”

“di coba pelan-pelan dulu, biru enggak apa-apa kan?”

mungkin angin dan hujan sore itu merasa tersaingi dengan hangat dan gemuruh detak yang hampir seirama yang coba untuk disembunyikan meskipun dikatakan atau tidak mereka jelas sama-sama tau apa yang mereka inginkan. keenan tak ingin buru-buru, dan biru tak masalah dengan itu.