summerpsyche

this won't have happy ending, not even in pararel

cw// smoking, mention of death and monster


mungkin dewa kecantikan tersenyum ketika ia lahir, mungkin apollo memberinya berkat yang kemudian lahir dalam bentuk han taesan. aku bisa lihat semuanya, lewat cahaya yang menyinarinya samar-samar di tengah musim panas di kota keras yang sering kehujanan ini. tampan, dia adalah yang agung dengan semua berkat di dalam dirinya. untuk semua tutur dan caranya memperlakukan setiap yang pantas diperlakukan dengan dan layak, selayak-layaknya manusia. dan aku temukan diriku di dalam sana.

di dalam mata han taesan yang selalu memandangiku dengan penuh. selalu, selalu, selalu kutemukan diriku di dalam sana berbalut imaji indah yang menggerogoti ku.

taesan dan semua kemuliaan yang dimilikinya tersenyum kepadaku sambil menghembuskan asap rokok yang di sesapnya beberapa saat lalu. kami duduk berdua saja, di rerumputan, di hadapan sebuah danau yang memantulkan cahaya dari teriknya matahari di musim ini.

entah aku, atau entah taesan yang hilang. tak ada yang ingin tau. pun kami hanya tetap duduk berdua saja. taesan dengan rokoknya, dan aku dengan pikiranku.

“katanya ada yang pernah mati di sini,” dia buang abu rokoknya sambil menatap danau yang menyilaukan mata buat dia sipitkan sedikit matanya yang kelam itu.

“kenapa?” tanyaku sembari menatapnya yang kini selesai dengan satu rokoknya dan berbaring diatas rerumputan, berhadapan langsung dengan sang cahaya yang tidak berbaik hati di musim ini. tapi han taesan adalah han taesan.

“mungkin dunia tidak berbaik hati dengannya,” dia ambil jeda sebentar untuk menoleh ke arahku yang menunduk menatapnya, menghalangi cahaya matahari yang hendak menyapanya.

“tapi bisa jadi juga, dia terlalu berbaik hati kepada dunia yang tidak begitu pantas untuk diberi hati.” dia tertawa meledek setelahnya.

tetapi aku diam saja. menatap matanya. selalu, selalu, selalu kutemukan diriku di dalam sana dengan penuh.

aku takut. aku takut. aku takut.

dan taesan tau.

dia bangun lalu mendekat ke arahku yang masih terus menatapnya. taesan tepat di depan wajahku ketika kulihat pantulan diriku sendiri di dalam kelam matanya yang penuh dengan kerinduan dan harapan. bisa kulihat ia meronta untuk dibebaskan. tapi aku tak punya apa-apa.

“musim panas selalu cocok dengan rambut coklat mu,” disisipkannya rambutku yang panjang di samping telinga sambil tersenyum yang selalu membuatku takut akan dipenuhi sesuatu yang akan menggetarkan tubuhku, untuk semua yang tidak boleh diberi untukku. “musim panas, cahaya matahari, rambut coklatmu, mereka cantik.”

“mereka cantik.” ulangnya sekali lagi. “selalu cocok untukmu yang indah.”

aku tidak menjawab, kupilih untuk memalingkan wajahku untuk kembali menatap danau di depan sana yang semakin tenang. “kamu tau, bunga-bunga di padang sana mereka mati karena ada yang memujinya cantik.”

“lalu kamu akan mati?” aku menggeleng dan dia hanya tersenyum lagi.

“aku tidak akan mati.”

“begitupula dengan aku yang tidak takut akan kematian.”

aku membencinya. membenci semua sepatah kata yang keluar dari bibirnya yang dipenuhi dengan kerinduan, aku benci menatap matanya yang menatapku dengan penuh kehangatan, aku benci dengan kedua lengannya yang berani, dan aku benci dengan isi kepalanya yang hanya ada aku di dalamnya.

kami berdua saja. dia duduk memesan rasa sakit yang tak putus dan nyaring lengkingnya, memesan rasa lapar dan asing yang tak akan pernah kuberi. sebab ia tak pernah ada di dalam sana, di dalam diriku.

sebab penyihir di padang pasir telah merebutnya sebelum aku paham apa-apa.

ada yang pernah menyebutku penyihir kecil dan aku menerimanya tanpa tau apa-apa. yang kuingat hanya ketika aku bangun dan menyadari semuanya aku telah menjadi penyihir kecilnya.

konotasi penyihir kecil selalu jadi bagian yang menyenangkan sampai ketika aku sadar bahwa penyihir kecil ini adalah bentuk dari kekecewaan sang penyihir padang pasir terhadap hidupnya. pertama kali aku menyadarinya ketika orang-orang gurun mengatakan kita hidup dengan cinta, aku mencari-cari di mana kiranya letak cinta itu berada di dalam diriku. tetapi paman gurun bilang ia ada di dalam sana sambil menunjuk di mana kekosongan itu berada.

ternyata aku sudah lama tak memilikinya sebab penyihir padang pasir telah merenggut hati yang seharusnya ada di dalam sana, dirawat dan dipupuk dengan kasih sayang, namun penyihir padang pasir merenggutnya sebab dia bilang ada monster di dalam kepalaku dan ia akan memakan hatiku.

mereka bilang cinta adalah saling memberi hati. taesan memberi hatinya kepadaku, tapi aku tak punya apa-apa untuk diberi. anehnya dia masih terus di sini. sejak lama. tanpa lelah. tanpa meminta apa-apa. dia duduk saja di situ menemaniku yang tak bisa memberi, pun tak bisa menerima.

hari semakin sore ketika aku menyadari pantulan cahaya di danau sana mulai menguning, merekah, meleleh di jantung kota.

kurasakan bahuku memberat ketika taesan mengistirahatkan kepalanya di sana, menatap genangan-genangan cahaya kuning itu berubah menjadi oranye melebur dengan langit yang menerimanya dengan lapang dada.

“taesan,” dia berguman pelan “bahagia tak akan pernah ada disekitar sini.”

benar. penyihir padang pasir benar, ada monster di dalam kepalaku.

katanya cinta dan sejenisnya mereka seram tapi isi kepalaku jauh lebih seram. mereka mimpi buruk yang dibalut dengan emosi penggeregot harap yang tak kunjung kenyang setelah melahap habis semua ego yang diberi. aku berdarah-darah untuk menahan agar sisa-sisa harapan yang hampir busuk itu tak dilahap habis olehnya yang rakus dan haus seperti monster kecil menyeramkan berbalut senyum hangat yang menyenangkan sebab aku bisa mati kapan saja.

taesan datang setelah monster kecil itu berhasil melahap semua isi kepalaku.

“aku tau.” hari semakin gelap sewaktu dia bilang, “aku tidak mencari bahagia. aku mencari kamu, mencari matamu, mencari bibirmu, mencari lenganmu, mencari pundakmu, mencari sepasang kakimu. aku mencari kamu kim leehan.”

“itu tidak akan jadi apa-apa.”

“kita memang bukan apa-apa.”

seperti yang dituliskannya pada secarik kertas dan pena yang jadi saksi, aku bisa mati kapan saja dan taesan tak takut akan kematian.

@illicitesther

perayaan senggama menjemput rindu yang hendak pulang

cw— cuma fingering, profanities, smut, porn without plot. taeshan can't out of my mind so i write this, don't expect that much. but i hope it doing well, so... enjoy.


kelau bertanya kemana akal sehat kim leehan sekarang jawabannya adalah, telah dilucuti bersama dengan pakaiannya yang berserakan di bawah lantai. dan pelakunya tidak lain dan tidak bukan adalah pacarnya sendiri, han taesan.

erangan-erangan cabul terus keluar dari mulutnya, buat lelaki yang tengah memangkunya itu semakin bersemangat menggagahi si cantik yang sudah tidak ia jamah selama beberapa minggu. semuanya dibayar dengan desah manis yang buat taeshan hampir gila saat ini, terlalu manis sampai taesan rasa dirinya bisa overdosis. atau memang ia sudah.

pun taesan tak masalah harus hilang akal, tak masalah harus melucuti kewarasannya, asal yang ada di depannya adalah leehan yang setengah telanjang dengan jarinya sibuk menggaruk bagian manis di dalam kekasihnya itu.

“taeshhh— ahnn, ahhh, hnghh enak. lagihh nghh.”

“cantik, sayang. kamu cantik banget kalau lagi sange gini.” taeshan beri kecup dari bibir hingga ketelinga sambil berbisik dengan pelan, sementara tangannya dibawah sana masih terus menggaruk kekasihnya.

desahnya begitu angkuh, sampai-sampai taeshan tunduk karenanya. berikan ciuman kupu-kupu untuk kekasihnya setiap kali ia mendesahkan namanya. taeshan tau betul, kekasihnya suka ketika terus diciumi sambil diberikan pujian sampai tolol, sampai harga dirinya habis berserekan dibawah kaki taeshan.

“taeahhh, k-kenapa berhenti. sayang aku mau keluar.” protesnya ketika taeshan tiba-tiba berhenti menggagahi bagian bawahnya yang sudah kepalang enak itu. nyawanya seolah ditarik paksa untuk kembali setelah melayang hampir menjemput nirwana.

leehan suka. suka ketika jari-jari kurus panjang milik kekasihnya itu masuk kedalamnya, menyentuh titik manis yang sulit dia dapatkan ketika melakukannya sendiri. ia suka dijamah jemari kurus kekasihnya.

“anak-anak kamu kayaknya lagi ngeliatin kita.”

kalau saja dia tidak dibuat enak tadi leehan mungkin akan cekik pacarnya itu, dia tidak lupa dengan tabiat kekasihnya yang suka melantur ketika mereka saling jamah seperti ini. taeshan selalu temukan distraksi untuk mengulur waktu, sebab ia tau leehan tidak sabaran saat mereka di atas ranjang.

taesan memang senang bermain-main, dan leehan tidak punya pilihan selain mengikutinya. sebab ia suka, suka semua bentuk afeksi intim dari kekasihnya itu.

“mereka udah cukup dewasa untuk paham kita lagi ngapain.” meskipun ia sama saja.

leehan menjawab sambil menaik-turunkan tubuhnya menggesek bagian selatannya dengan taeshan yang masih dibalut celana. pikiran cabulnya tidak bisa ditepis sekarang apalagi setelah merasakan milik sang kekasih yang sudah sama kerasnya dengan dia.

membayangkan taesan memasukinya saja sudah hampir buat dia cum kalau saja taesan tidak mengingatkan untuk tidak keluar dulu. ia mau pacarnya yang memerah teler karena kepalang sange itu keluar karena pekerjaannya. dia bisa jadi orang paling jumawa di dunia ketika leehan tidak berdaya setelah ejakulasi karena ulahnya.

setelahnya taesan berikan ciuman ke seluruh wajah kekasihnya yang turun hingga ke tulang selangkanya yang sengaja ia cium lama-lama, lalu dikecup-kecup kembali menyisakan bekas-bekas basah di sekitarnya. taesan sedikit terobsesi dengan collarbone milik kekasihnya.

leehan paling seksi saat ia menunjukkan collarbone nya.

“anak-anak kamu lagi ngeliatin kita kayak ikan tolol, tuh.” ledeknya pada penghuni akuarium di sudut kamar leehan.

“jangan ngatain mereka tolol!!!” protesnya yang buat taesan diam-diam tertawa di sela-sela kegiatan mencium leehannya sampai puas, meskipun ia tidak akan pernah.

“lah kenapa? biar sama kayak papanya yang sange sampe tolol gini.” taeshan berucap seperti itu sambil mengurut tipis-tipis penis leehan yang sudah mengeluarkan cairan pra ejekulasi sejak tadi.

“kan gapapa kalau yang bikin sange sampe tolol juga kamu.” taesan tersenyum senang, leehan selalu berhasil meraih egonya.

“suka, dibikin enak gini?”

“suka, ahhh—”

taesan menatap pelan ikan-ikan kecil yang sibuk berenang ke sana kemari menatap mereka dalam diam.

“papa kalian lagi dienakin sama ayah.”

karena setelahnya leehan dibuat mengerang nikmat karena dua jarinya kembali menerobos lubangnya dengan pasti, menyentuh kembali titik-titik manisnya.

“esanhhh, mau, mau keluar.” tangannya mengalun erat memeluk kekasihnya yang tenggelam di perpotongan leher leehan, yang sejak tadi asik menciuminya dengan tangannya yang terus memberi nikmat di bawah sana.

“udah mau keluar?” leehan hanya mengangguk sambil menatap taesan dengan sayu.

“sini sayang, aku cium sampai keluar.”

leehan hendak langsung menciumnya sebelum taesan kembali menginterupsi.

“lidahnya sayang, keluarin.”

setelahnya hanya decak basah yang bisa di dengar baik leehan maupun taesan, keduanya basah bersama dengan rindu untuk saling menjamah. mengecup setiap jejak-jejak rindu yang hendak pulang lewat senggama.

pun perenang kecil di dalam kaca sana hanya menatap bodoh pada tuannya yang dijamah sedemikian rupa di depan sana oleh seseorang yang entitasnya belakangan ini selalu dilihatnya meskipun harus kembali melupakannya tiga detik kemudan untuk kembali menatap penuh tanya apa yang sedang tuannya itu lakukan. tapi dia pikir itu bukan sesuatu yang buruk sebab tuannya tampak sangat menikmatinya lewat erangan dan tangannya yang tak berhenti mendekap sosok lain yang lebih besar diatasnya.

tingkah laku manusia memang tidak perlu dipahami sepenuhnya. ia hanya seekor ikan yang menonton pemiliknya sedang bersenggama dengan kekasihnya setelah beberapa hari melewati malam-malam panasnya sendirian.

lintang gamaliel


bumi telah berevolusi lebih dari empat miliar tahun yang lalu, tiga ratus ribu tahun yang lalu manusia mulai muncul. mereka berburu, dan meramu. hidup nomaden, dan mulai menetap. tiga ratus ribu tahun yang lalu homosapiens mulai berkembang menjadi manusia modern lalu merambat hingga era postmodern. pemanasan global, efek gas rumah kaca, dan mencairnya es di antartika, adalah efek dari evolusi bumi yang semakin modern.

semakin modern manusia semakin gila mereka, setidaknya itu kesimpulan yang berhasil minke simpulkan secara implusif dari dalam kepalanya ketika lintang beranjak dari tempatnya meninggalkan dirinya yang masih hendak menyuap mie goreng spesialnya ke dalam mulut. mungkin minke akan paham jika dia lari terbirit-birit menuju ke kamar mandi, tapi anak itu berjalan santai menuju meja yang berada di sisi selatannya.

pada akhirnya minke paham, dia baru saja memantik api manusia modern di dalam diri lintang yang seharusnya tidak pernah dia lakukan.

lintang tau dia akan menyesal setelah ini, lintang tau dia akan berada dalam masalah setelah ini, lintang tau ini adalah efek dari ucapan minke yang membuat memikirkan banyak hal yang seharusnya tidak dia pikirkan, tapi lintang harus. seperti mencangkul lobang hitam yang tidak ada ujungnya, lintang temukan dirinya berada diluar kendali.

atau dia sadar sepenuhnya.

tepat ketika dirinya berhasil duduk di depan pemuda yang terlihat tidak terganggu sama sekali makannya siang ini. lintang memperhatikannya, bagaimana caranya memegang sendok, caranya menyuap makanan, dan tatapannya yang seolah hilang entah kemana. lintang hanya temukan dirinya di depan sana. menatap dengan seksama, seperti seorang arkeolog yang menemukan fosil paling berharga dari jenis dinosaurus yang telah punah jutaan tahun yang lalu.

bedanya fosil yang dia temukan berbentuk utara lars heide. cinta-cintaan ala anak sma itu ternyata masih terus menggali bagian dalam dirinya yang enggan untuk hilang, mencoba kembali untuk ditemukan. memaksa lintang agar hilang kendali atas dirinya sendiri.

dan lintang temukan dirinya sendiri tak punya kuasa. atau tidak mau. enggan, biarkan saja dirinya mati hari ini.

“lintang gamaliel.” uluran tangannya menggantung begitu saja, sialnya orang di hadapannya itu baru sadar kalau orang yang ada di depannya sekarang bukan lagi erlangga yang tadi berpamitan sebentar untuk mengambil sesuatu.

tidak. lintang gak pernah mengharapkan uluran tangan itu dibalas. hanya sebuah formalitas. setelahnya lintang hanya temukan dirinya lagi tersenyum sambil bertopang dagu setelah uluran tangannya menganggur sepersekian detik setelahnya.

utara, utara, utara. terus berputar di kepalanya seperti serabutan ikan-ikan kecil menyerang setiap sel-sel isi kepalanya. menyenangkan dan lintang akhirnya temukan apa yang sebenarnya dia cari.

mereka membisu dengan isi kepala lintang dan isi kepala si tuan yang entah apa isinya. yang ia tau hanya senyumnya semakin melebar ketika sepasang manik hitam itu pada akhirnya menatapnya, tanpa suara.

“erlangga udah pergi duluan.” jawabannya buat lintang menggeleng perlahan dengan senyumannya yang masih bertahan.

“enggak nyari erlangga,”

lintang tau dia hampir menghela nafas, tapi entah apa yang menahannya untuk itu. padahal jika dia melakukan itu lintang yakin ia akan segera sadar dari semua pemikiran manusia modernnya yang terkontaminasi dengan semua omongan minke beberapa waktu lalu.

“lalu?” utara tak bersuara setelahnya tapi lintang menafsirkan tatapannya sebagai sebuah tanya yang harus dia jawab.

“mau kenalan sama lo,” ada jeda yang diambil untuk biarkan pemuda itu kembali taruh atensi kepadanya karena dia bersiap untuk meninggalkan lintang dari tempatnya, sama seperti yang sering dia lakukan pada yang lainnya. “dan seseorang yang ada di dalam lo.”

lintang tak punya tujuan pasti mengenai ucapannya, hanya mengikuti instruksi dari dalam kepalanya yang entah dikendalikan siapa yang pasti utara diam untuk beberapa saat sebelum memberinya tatapan yang sangat menunjukkan seorang utara yang selalu tidak punya tempat untuk orang lain.

“gak ada.”

lintang tersenyum dan kembali mengucapkan beberapa kata sebelum utara benar-benar meninggalkannya.

“tapi besok, boleh dicoba lagi 'kan?”

lintang tak pernah tau apa yang akan menunggunya di depan sana, lintang tak pernah tau, dan tidak akan bisa menebak sebab utara tak pernah jadi sama seperti namanya.

gyuvin dan semua dunia dalam genggamannya


mungkin, mungkin, mungkin, dan seribu mungkin kemudian yang kembali diucap ketika gyuvin menyadari kalau semuanya tidak akan jadi begini kalau dia lebih dulu paham apa yang sebenarnya dia mau, tahu apa yang harus dilakukannya setelah ini. tapi akhirnya gyuvin cuma bisa tertawa mengenaskan dan hampir ditertawai taesan- sahabat sejolinya sampai di lantai-lantai, kalau-kalau dia tidak paham bahwa sahabatnya itu butuh di semangati juga.

tolol sih. itu taesan lagi yang bicara di depan wajah gyuvin entah tujuannya untuk menghibur atau memang jujur mengatainya tolol. ya meskipun dia tau, tapi rasanya tetap tidak terima kalau dikatai tolol sama manusia yang gak ada bedanya sama dia. mungkin nanti gyuvin bisa jadi orang yang teriak tolol di depan wajah taesan kalau waktunya sudah ada.

bicara perihal kenapa taesan sampai mengatainya tolol, gyuvin jadi kembali ingat di mana semuanya berawal.

gyuvin sejak kecil tidak pernah diajarkan untuk jadi serakah, pun tidak pernah dipaksa untuk terus berada diposisi nomor satu. tapi gyuvin terbiasa berada dipuncak tanpa harus bersusah payah, tanpa harus mengeluarkan banyak tenaga. lahir dengan kapasitas otak yang pandai secara alamiah tanpa harus berusaha dia bisa menjajaki peringkat satu umum meski dia cuma baca materi satu jam. hampir, gyuvin hampir sempurna dalam segala hal, kecuali rasa malas dan tingkahnya yang selalu buat sakit kepala.

gyuvin terbiasa jadi nomor satu tanpa harus berusha dan sewaktu ada adik kelas yang tiba-tiba menyalip posisinya sebagai peringkat satu umum di semester pertamanya membuat ego gyuvin entah sejak kapan gyuvin ingat itu ada, tersentil tak mau kalah.

harusnya dia cuma perlu belajar lebih untuk mengambil kembali posisinya, dan itu dilakukan gyuvin di semester setelahnya. kembali jadi nomor satu. sayangnya ada yang kurang, gyuvin butuh lebih. bocah tengil itu gak seharusnya cuma mengucapkan selamat lalu melengos seolah gyuvin cuma angin lalu ketika dia dengan bangga memperlihatkan hasil akhir semester ini.

entah apa yang gyuvin mau, tapi dia tidak suka diabaikan begitu. dia butuh diakui tapi ucapan selamat itu tidak cukup. egonya tersentil, entah ego yang mana atau hanya dia yang mengada-ngada.

han yujin namanya, bocah tengil itu. dunia mungkin terkena efek gas rumah kaca, atau mungkin ini karena lapisan ozon yang semakin menipis, atau mungkin ini karena efek kalkulus yang seharusnya tidak pernah dia kenal. yujin gak perlu ketemu kim gyuvin hanya untuk semua alasan tidak jelas yang seharusnya tidak pernah ada. sebab cuma dua hal yang bisa yujin ingat dari gyuvin; tolol dan menjengkelkan.

yujin masih ingat ketika manusia jenis kim gyuvin entah dari mana berhasil mendapatkan sepatunya yang seingatnya dia simpan di dalam kelas waktu itu dia sangkutkan diatas pohon yang mau diliat dari sisi manapun yujin tidak akan menyampainya jika tidak dengan bantuan tangga dari tukang bersih-bersih. dia ingat betul senyum remeh gyuvin yang buat dia ingin mencakar wajahnya sampai puas.

setelahnya gyuvin menemukan ban motornya bocor ketika pulang sekolah dan taesan sebagi orang yang tidak pernah tidak ada dalam ceritanya itu menertawainya. tak lama yujin lewat sambil tersenyum manis melambaikan tangannya, gyuvin jelas tau siapa pelakunya.

lama-lama semua orang jadi mengambil kesimpulan kalau mereka saling membenci karena harus rebutan posis nomor satu. yujin pikir begitu, gyuvin pikir begitu. gyuvin yakin dia begitu karena belum pernah ada yang bisa melangkahinya, tapi lama-lama gyuvin sadar dia menikmati wajah kesal yujin ketika dia sengaja membeli semua stok susu almond kesukaan yujin dan meminumnya seolah itu minuman yang enak dengan yujin yang berakhir melengos dari kantin dengan alis menukik padahal taesan tau gyuvin hampir muntah ketika mencoba menelan cairan kacang itu mati-matian ke dalam lehernya.

lama-lama bukan cuma wajah kesalnya, lama-lama gyuvin tau dia terkesima melihat yujin tertawa, betulan tertawa bukan karena dia melakukan sesuatu lagi. tapi tertawa ketika mereka dihukum karena menciptakan keributan untuk berdiri hormat ditengah lapangan ketika matahari sedang panas-panasnya. yujin tertawa karena gyuvin dengan semua celotehnya perihal guru-guru yang menjengkelkan itu keluar begitu saja dan berakhir gyuvin juga ikut tertawa. hatinya berdesir dan gyuvin sadar ini yang dia cari selama ini.

sayangnya gyuvin terlalu banyak buang waktu, terlalu banyak menyalahkan egonya, terlalu banyak gak pahamnya. dan dia malah melongo waktu taesan tau kalau dia ternyata naksir yujin tanpa harus diberi tau.

“orang kayak lu mana paham soal cinta-cintaan, tapi satu dunia tau lu naksir gila-gilaan sama tu anak.” gyuvin belum paham.

“orang tolol mana yang lari turun tangga tanpa mikir kalau dia bakalan jatuh waktu dengar yujin sakit, cuma orang bodoh yang nunggu sambil ujan-ujanan cuma buat mastiin kalau yujin udah pulang, cuma orang gajelas yang rela bawa motor sendirian buat bawain catatan yujin buat lomba tanpa disuruh. cuma elo yang gatau kalau lo lagi naksir berat sama han yujin itu.” dan gyuvin cuma bisa diam seperti orang tolol.

sayangnya ketika gyuvin sadar dengan jelas tentang perasaanya dia sudah terlanjur tidak bisa berbuat apa-apa, sebab yujin ternyata sudah pacaran dengan anak kelas lain, teman seangkatannya. dan yang bisa gyuvin dengan jelas hanya jarak diantara mereka yang makin terbentang jelas. gyuvin cuma bisa meremas lengannya sendiri ketika harus melihat yujin pulang sambil menggengam tangan pria lain yang bukan dia. lalu taesan cuma menepuk pundaknya.

gak ada hal berarti yang berubah, cuma mereka sudah tidak berkelahi hanya untuk hal sepele lagi sebab gyuvin jelas tau sampai mana batasnya. tidak ada hal yang berarti kecuali gyuvin yang merasa kalau dia gak bisa bernjak dari perasaannya meskipun tau yujin sudah punya orang lain.

dan diwaktu-waktu ketika gyuvin perlahan mulai merindukan intentitas yujin disekitarnya, gyuvin terjebak hujan padahal waktu itu lagi musim kemarau tapi tiba-tiba hujan, mungkin karena miris melihat debu yang makin menebal di mobil-mobil yang terparkir di sekitar jalan dan tanah yang mulai kering kerontang seperti kurang gizi. yang pasti gyuvin ingin sujud karena tiba-tiba yujin datang berteduh dihalte bersamanya. yujin gak sadar kalau ada gyuvin di situ ketika dia menggigil kedinginan dan gyuvin yang mendadak melepaskan hoodie nya untuk yujin yang kaget dengan keberadaan orang lain di sini.

“Buat apa?”

“gak ada yang bisa tanggung jawab kalau lo tiba-tiba hipotermia di sini.” hiperbola tapi tidak apa-apa.

“hahahaha, masih aja. tapi makasih.” ucapnya sebelum memakai hoodie kebesaran milik gyuvin yang buat tubuh kecilnya tenggelam di sana, dan gyuvin kesenangan bukan main dan bingung harus sujud kepada siapa.

“tumben pulang sendirian.” gyuvin jelas ingin menggali informasi.

“emang kenapa kalau gue pulang sendiri, kak?”

“gak apa-apa sih, tapi biasanya kan lo sama,” kalimatnya berhenti sebentar dia bersumpah tidak ingin menyebut nama lelaki yang berhasil melangkahinya dua langkah untuk yujin. “cowok lo.” tapi yang satu ini tai sekali ketika gyuvin mengucapkannya.

“lah, bukannya semua udah tau ya?” gyuvin kebingungan.

“gue udah putus dari sebulan yang lalu sama dia.” anak itu dengan santai menjelaskan seolah dia tidak kenapa-napa.

“kok bisa?” seharusnya gyuvin tidak perlu bertanya, salahkan hujan yang buat gyuvin semakin semangat.

“biasalah. gue sama dia udan ngerasa enggak kompatibel untuk hubungan ini. terus ya gitu, dia tiba-tiba punya pacar padahal sama gue belum putus, kan hitungannya gue diselingkuhin ya? tapi yaudah sih, gue juga udah mikirin buat putus dari jauh-jauh hari, jadi waktu ketahuan gue gak perlu nyari alasan yang lebih masuk akal buat udahan.” pemuda di sampingnya cuma mengangguk-ngangguk.

gyuvin gak pernah berniat jahat atau berniat untuk jadi jahat, tapi gyuvin diam-diam merasa lega. gak semua hal ada dalam genggamannya meskipun dia selalu bisa jadi nomor satu meski nggak berusha, dan untuk semua dunia yang ada di dalam genggamannya dan coba untuk dia raih, gak harus sekarang, gak perlu buru-buru, masih ada nanti.

mungkin, mungkin, mungkin dia punya kesempatannya dan gak harus sekarang.***


suara debur ombak bersorak setiap kali menyapa bibir pantai menemani langkah sunyi kaki telanjang mereka yang dibiarkan menyapa lembutnya pasir pantai, semilir angin juga turut ikut serta menerbangkan surai mereka dengan acak. dingin yang terasa menyenangkan ini dibiarkan menyapa mereka berkali-kali yang perlahan mulai menjauh dari keramaian.

mereka berhasil menjauh dari keramaian, meninggalkan banyak sorak kepala yang mencari kewarasan ditengah lautan manusia yang asik terbawa oleh setiap alunan musik yang dibawakan sang pementas. bersorak gembira seolah-olah senang hanya akan datang hari ini, habiskan semua tenagamu, habiskan semua kewarasanmu, habiskan semua kesenanganmu, luruhkan penatmu, luruhkan sedihmu, malam ini kita berpesta.

berdiri bersebelahan biarkan angin pantai berhembus melewati jarak diantara mereka, menyisakan jeda untuk menikmati suara debur ombak yang berpadu dengan angin malam. menjadi melodi-melodi yang dirindukan; hendak membawa pulang pada malam-malam yang sepi-sunyi di tengah keramaian.

keenan alihkan pandangannya pada biru yang diterpa cahaya remang tengah menatap lurus ke depan sana, menatap ombak yang mengecup bibir pantai berkali-kali seolah-olah ada rindu yang harus dibayar tuntas. seperti bersenandung di dalam kepala keenan temukan dirinya berdiri di taman bunga, entah siapa yang harus dia puja, suara ombak yang menyapa bibir pantai atau biru langit yang semakin menawan hampir membuatnya bertekuk lutut.

ah, atau mungkin sudah.

biru langit tak perlu melakukan apa-apa untuk membuatnya jatuh di kedua lutut untuk memujanya, sebab keenan telah lama menjatuhkan dirinya untuk memuja biru langit, menggadai jiwanya pada penyihir di ujung jelaga.

konon ombak datang bersama rindu yang hendak mencapai bibir pantai, tapi malam ini sepertinya ombak pantai tidak datang bersama rindu dia datang bersama gejolak asmara yang hampir melebur bersama pasir pantai yang menyerapnya.

tidak pernah keenan temukan dirinya memuja sebanyak ini, hampir hilang kewarasan hanya untuk menatapnya dari samping. alisnya yang tebal, bulu matanya yang panjang, hidungnya yang mancung, dan bibirnya yang dipenuhi kerinduan, biru langit lebih dari itu semua, lebih dari sekedar yang rupawan untuk membuatnya bersimpuh di kedua lutut. biru langit adalah dia dan isi kepalanya yang menawan keenan athaya rahardian untuk memujanya.

bagi biru langit cinta bisa jadi apa saja; sehelai daun yang luruh dari rantingnya, sebuah akar yang berkelana menjauh untuk menemukan kehidupan, bunga-bunga yang bermekaran di musim semi, atau bunga-bunga yang perlahan luruh untuk digantikan dengan bunga baru, kepada hujan yang menyapa tanah, kepada burung dan nyanyiannya di gereja, ikan-ikan di laut, buku-buku usang yang rindu untuk dijamah, cat pada palet warna yang rindu untuk menyapa kuas dan kanvas, matahari yang rindu untuk menyapa lewat celah-celah jendela, cinta adalah mereka, cinta bisa jadi apa saja, dan kita bisa jadi cinta itu sendiri.

biru langit jatuh cinta pada melodi ombak malam yang bersenandung bersama angin malam dengan merdu, biru langit jatuh cinta pada sunyi yang tidak sepi tengah bersama mereka. biru langit jatuh cinta pada apa-apa yang di rasakan, bukan pada apa yang mereka lihat. kepalanya dibiarkan menoleh setelah puas menatap ombak gelap di depan sana dan temukan keenan hilang dalam tatapnya, biru tertawa ciptakan bulan sabit yang menawan di mata keenan, sunyi ini yang buatnya jatuh cinta.

“suara ombaknya bikin tenang, ya?” tanyanya kemudian kembali menatap ombak yang masih saling berlomba menyapa bibir pantai.

“gak ada yang lebih tenang dari kamu,” keenan pada akhirnya bersuara ikut menatap ke depan, biarkan seluruh indranya merasakan apa yang seharusnya dirasakan.

“salah.” sangkalnya. “aku enggak pernah setenang itu, kita tidak pernah setenang itu.” suara ombak itu dibiarkan untuk menjeda mereka, “tapi bisa diredam.” sambungnya kemudian.

“aku mau jadi peredam itu.” balasnya yang membuat biru menggeleng setelah beberapa saat sembari mengulum bibirnya sendiri.

“kamu bukan alat.”

“lalu?”

“memang kita apa?”

“kita bisa jadi apa saja,” ada banyak jeda dalam setiap konotasi percakapan mereka, lama namun menyenangkan. “jadi apapun kita, enggak masalah.”

biru langit tertawa untuk sesaat, buat keenan ikut menertawakan mereka.

“terlalu melankolis.” “tapi, jadi apapun kita enggak masalah, juga enggak buruk.” mereka kembali tertawa, sepertinya pasir pantai halus ini hendak ditumbuhi bunga.

“keenan,”

“ya?”

“my blue itu aku, ya?”

“kata siapa?”

“kata aku.”

lagi-lagi keenan hanya bisa tertawa semakin mendekat buat jarak diantara mereka semakin sedikit, buat angin malam itu kehabisan celah untuk bergabung diantara mereka.

“kenapa ngerasa kalau itu kamu?”

biru mengangkat bahunya, “entah, cuma ngerasa kalau itu aku.”

biru bisa rasakan tangan besar keenan mengusap kepalanya dengan pelan, “anak pintar. iya, itu kamu.”

“daripada diusap kenapa enggak peluk aku aja? aku enggak kedinginan sih, tapi boleh dan mau kok dipeluk.” biru langit dan isi kepalanya-lah yang menawan keenan.

keenan bawa mereka kedalam sebuah pelukan hangat di pinggir pantai, dengan sayup-sayup suara musik diseberang sana terdengar ikut menemani mereka.

kepala biru yang tadinya dibiarkan bertumpu di pundak keenan itu menjauh, beralih untuk menatap keenan setelah beberapa menit terdiam sembari mendengarkan lagu itu dengan seksama. tangannya dibiarkan mengalun di leher keenan.

“aku ingat tahun lalu waktu acara ulang tahun kampus, kamu pernah bawain lagu ini.”

film favorit dari sheila on 7

“memang kamu waktu itu ada di sana? perasaan enggak ada.”

biru mengangguk, “aku ada di sana. tapi di samping panggung, waktu itu yumna jadi panitia acaranya kan. aku di samping panggung waktu itu pas kamu dan band kamu tampil, cuman sebelum kalian selesai aku pulang duluan.”

keenan tertawa sebentar menjentik hidung biru dengan main-main. “yang itu juga buat kamu.

biru menggeleng tidak setuju. “enggak. lagu itu salah keenan.”

keenan kebingungan, bingung harus membalas apa, hanya bisa menaikkan satu alisnya.

“sejak awal memang kamu pemeran utamanya. cuma kamu.”

bersamaan dengan itu lagu yang mereka maksud selesai, disambung dengan musik menenangkan yang berasal dari seorang perempuan, dalam dan menenangkan.

keenan tak sanggup untuk sembunyikan senyumnya, sepertinya telinganya memerah kalau biru tidak salah liat. pelan-pelan kepalanya dibiarkan menunduk menyatukan dahi mereka, biru tersenyum ketika keenan menutup matanya dan mengusap-usap hidung mereka dengan lucu, dalam hati berharap untuk tidak dibangunkan jika ini hanya mimpi, tapi keenan sadar sepenuhnya.

langkah selanjutnya berhasil buat keenan angkat wajahnya untuk menatap biru dengan sedikit kaget, biru baru saja mengecup pipinya pelan dan saat ini hanya tertawa melihatnya kebingungan. dia mengangkat kedua tangannya untuk menangkup wajah biru, saling menatap, dan keenan lagi-lagi temukan biru yang pemberani.

“biru,”

yang dipanggil ikut menatap kemudian sadar kemana tatapan keenan tertuju kemudian mengarahkan tangannya yang sedari tadi mengalun di leher keenan untuk merapikan beberapa helai rambut keenan yang panjang, menyisirnya ke samping, tau betul kemana tatapan keenan yang hampir hilang itu.

“iya, keenan boleh cium. cium biru, keenan sekarang. take everything from me and i'll be yours already. aku birumu, kan?”

keenan hilang bersama satu senyuman dan dua kecup yang akhirnya menemukan pelabuhannya, saling meraih, mendekap, hilang, melebur bersama ledakan gejolak asmara yang kian terasa menyenangkan. bersorak bersama debur ombak yang sepertinya juga ikut berbahagia menyaksikan mereka.

di dunia yang ini biru adalah pemberani, dan di dunia yang ini juga keenan adalah pemenangnya. mereka pemenangnya.

cinta mungkin bukan perihal yang mudah, cinta mungkin tidak selamanya menyenangkan, dan cinta mungkin adalah mereka yang mencoba untuk menjadi satu sama lain, dan di dunia yang ini keenan bertaruh untuk satu dunia, bertaruh untuk biru, bertaruh untuk mereka, bertaruh agar dekap ini menjadi selamanya, selamanya yang abadi.

sebab rumah butuh sepasang lengan yang berani, sebab rumah butuh sepasang mata, sepasang pipi, sepasang bibir, dan berpasang-pasang rindu di rak-rak sepatu yang tak takut akan penantian panjang untuk pulang.

sama seperti catatannya di langit malam; rindu menuntunku pulang.

mereka akan jadi rumah untuk pulang.


“jadi, apa yang ngebuat lo sampai ke sini?” percakapan pertama yang dibuka oleh keenan setelah sepuluh menit berdiam diri menatap cahaya lampu dari lantai tiga, menikmati angin malam yang menusuk tulang seolah hendak melucuti jiwa-jiwa yang kedinginan, kesepian, dan mendamba hangat di tengah kota yang telah lama kehilangan kehangatannya.

malam samudra tidak langsung menjawab, membiarkan pertanyaan itu terbawa dinginnya angin malam. membiarkan pertanyaan itu menguap bersama kepulan asap rokok miliknya, yang entah sudah berapa lama, entah sudah berapa banyak, malam tak lagi menghitung berapa banyak jumlah nikotin yang disesapnya malam ini. hanya membiarkan dirinya tenggelam dalam dinginnya malam yang sama seperti namanya, menenggelamkan dan tak tertolong.

keenan meraih satu bungkus rokok dari dalam saku celananya, meraih korek api yang berada di sebelah malam yang bersandar pada pembatas balkon menyalakan satu untuknya sembari menanti jawaban malam untuk pertanyaannya. bisa keenan rasakan euforia sekali sesap yang dimiliki nikotin ini ketika dirinya menyesap dan menghembuskan asap rokoknya yang kemudian hilang bersama jawaban-jawaban yang dia inginkan. keenan bukan perokok aktif, dia hanya sesekali menyentuh nikotin itu dalam waktu-waktu tertentu seperti malam ini, mereka berdua saja tenggelam bersama beribu pertanyaan dan jawaban yang ditenggelamkan pada malam yang dingin di tengah hiruk-pikuk perkotaan yang menyesakkan napas.

“gue habis dari makamnya kak senja.” jawab malam setelah lama memberi jeda biarkan keenan langsung menghentikan aktivitasnya untuk menoleh menatap malam yang masih terus menyesap sebatang rokoknya tanpa menoleh untuk menatap keenan yang kemudian tertawa lalu kembali menyesap rokok di tangannya.

“kak senja gak marah lo baru datang sekarang, dari dulu kemana aja?”

malam menggeleng ikut tersenyum getir, “kayaknya dia marah, karena adiknya baru datang setelah empat tahun. ada yang habis datang juga karena makamnya bersih, ada bunga baru.”

“hari ini ulang tahunnya kak senja.”

“gue bahkan udah lupa kapan gue ulang tahun, nan.”

“karena lo tenggelam, sama seperti nama lo yang pekat itu.” malam tertawa mendengar nada sarkasme dari keenan untuknya.

“kayaknya mereka berhasil sematkan doa lewat nama yang mereka kasih ke gue.” malam sesap rokok itu dalam-dalam dan menghembuskan-nya dengan pelan ”malam samudra, isn't too dark?

keenan hanya mengangguk enggan membantah, matanya kembali menatap lampu-lampu yang menghiasi malam ini perlahan mulai luruh satu-persatu hari semakin larut tapi sepertinya mereka baru akan memulai percakapan yang sebenarnya.

“gue enggak tau doa apa yang mereka sematkan lewat nama yang terlalu pekat itu, yang gue tau hanya mereka berhasil menghancurkan gue lewat doa yang mereka sematkan lewat nama ini.” rokoknya tak lagi disesap dibiarkan terjepit lewat celah jemarinya yang perlahan termakan kobaran apinya yang memabukkan.

“dendam lama lo itu memang enggak pernah mati, ya.” keenan menambahkan, kedua tangannya bersandar pada pembatas balkon sudah menghentikan aktivitasnya sejak tadi, dia cukup dengan dua batang, tak ingin menambah.

malam semakin sunyi, lampu-lampu dari bangunan tinggi yang tadinya menghiasi gelapnya malam dengan cahayanya mulai luruh kembali termakan gelapnya malam yang kian sunyi, padat kota yang perlahan mulai ikut terlelap hendak menjemput pagi yang penuh kebohongan.

i was messed up. lo tau, gue sama yesha.”

keenan mengangguk, “sejak gue ngeliat lo berdua ciuman di toilet waktu itu. there's something between you and yesha, tapi gue enggak pernah nanya karena keliatannya kalian memang enggak mau ditanya.”

malam kembali menyesap sebatang rokoknya sebelum kembali melanjutkan percakapan mereka yang menggantung, “gue, yesha, we argue tentang hubungan kita. dia akhirnya nanyain pertanyaan yang selama ini selalu coba gue hindari. dia nanya kita sebenarnya apa, kita sebenarnya lagi ngapain, dan semua pertanyaan-pertanyaan yang sampai sekarang pun enggak gue tau jawabannya. dan gue dengan semua ego yang gak seharusnya gue pakai itu bilang apa status itu penting and it's over.”

malam kembali mengingat-ingat perseteruannya dengan yesha, yang berujung pada malam samudra yang malam ini terlihat kacau, keenan bisa tau kalau beberapa minggu ini anak itu tidak merawat dirinya dengan benar yang bisa dia liat dari kantung matanya yang menghitam dan rambutnya yang tidak serapi biasanya.

“setelahnya yesha bilang dia mau selesai dari semua hubungan yang kami berdua sendiri pun enggak bisa nyebut itu apa. gue sadar kalau gue ngambil keputusan yang salah. it's hurting me than before ketika gue menyadari kalau selama ini, selama sama yesha gue selalu menangin ego gue tanpa mikir yesha gimana. and finally he's done with me, it's over, dan gue nemuin diri gue sendiri ketakutan kehilangan dia.”

malam menyadarinya ketika kamarnya perlahan mulai terasa dingin, dingin yang biasanya yesha tak biarkan datang bersama mereka ketika mereka bersama. malam meyadarinya ketika dirinya meringkuk kedinginan setiap malam dan merindukan dekap hangat milik yesha, malam menyadarinya ketika tak ada lagi yesha yang selalu ramai dengan semua ceritanya meskipun malam tak akan membalas banyak. perlahan-lahan dia temukan dirinya meringkuk ketakutan merindukan yesha. merindukan hangat yang telah lama hilang dari dalam dirinya tenggelam bersama rasa kecewa yang membawanya.

“lo tau malam, yesha was right when he chose to leave you. gak ada orang yang benar-benar tangguh, dan lo dengan semua ketakutan lo itu pada akhirnya membuat yesha berhenti. yesha jauh lebih tangguh dari lo, tapi lo bahkan enggak pernah memberi dia alasan kenapa dia harus tetap tinggal sama lo. enggak ada orang yang mau hidup dalam ketidakpastian, malam.” keenan mengambil jeda mengetuk jari-jarinya pada pembatas balkon yang menimbulkan melodi abstrak di tengah sunyi nya percakapan mereka, “meskipun satu-satunya hal yang pasti di dunia ini itu, ya ketidakpastian itu sendiri.”

malam tertawa mendengar keenan yang terdengar sangat pelan dan dalam ketika berbicara serius, “lo tau kadang gue ngerasa kalau kita punya banyak kesamaan, tapi sebenarnya gue cuma sedang menyangkal. sibuk menyangkal kalau keenan yang gue kenal udah jalan lebih jauh dari gue yang kelihatannya juga berjalan jauh juga tapi nyatanya gue enggak pernah beranjak, lo melangkah maju sedangkan gue tertinggal jauh.”

it took a long time for me to accept the fact that i'm afraid to lose yesha, gue takut dengan kenyataan kalau yesha ninggalin gue. nan, gue gak tau tapi rasanya gue sekarat, it's hurt. it's hurting me more than when my dad leave with his new lover, more than when my mom leave with her new family, more than when kak senja leave me alone in our house. it's more, and more hurt when i imagine that he will smile and happy with his life with someone new and it's not me. nan, gue gak tau harus apa.”

“lo pengecut.”

“gue tau.”

“samudra, lo pernah dengar kalimat kalau cinta cuma untuk mereka yang berani? gue pikir itu benar. cinta bukan perihal yang mudah, cinta gak akan jadi apa-apa kalau cuma ada satu orang yang berani dan satu orangnya lagi sibuk lari dari rasa sakit. rasa sakit yang seharusnya enggak berdampak apapun untuk seseorang yang enggak tau apa-apa.” keenan kemudian berbalik berlawanan arah dengan yesha, mengandarkan punggungnya pada pagar balkon dengan udara yang kian mendingin pukul dua pagi.

i know that it's hard for you to accept that you're i love with yesha, with all the things happen before. but, yesha doesn't deserve you, malam yang penakut, malam yang sibuk lari dari rasa sakitnya, malam yang bahkan enggak bisa untuk mengakui perasaannya sendiri. yesha pantas untuk orang yang lebih berani dari malam samudra.”

jeda menjemput mereka dini hari, membiarkan setiap cemohan keenan masuk kedalam telinganya bersama dengan angin malam yang menyapa kulit mereka dengan dingin.

jeda yang membuat malam samudra merasa semakin kecil, semakin tidak berdaya. mengamuk dalam hati kecil nya.

see?, bahkan lo enggak bisa mengakui perasaan itu buat diri lo sendiri.”

frustasi

“gue sayang sama yesha nan, gue sayang sama dia! jauh sebelum gue sama dia make out for the first time. i'm already fall in love with yesha when i first time saw him smile. tapi gue dengan segala ego gue nolak buat ngaku. and when he say it's was over gue sadar kalau gue selama ini cuma ngebiarin ketakutan gue ngambil alih segalanya. gue cuma terlalu takut kalau nanti yesha bakalan ninggalin gue sama kayak mereka, nan.”

“lo bahkan belum nyoba.”

“udah telat.”

“lo bahkan belum mulai apa-apa, enggak ada jawaban yang datang dengan cuma-cuma.”

should i?

“lo terlalu banyak tanya.”

tawa yang akhirnya mengudara bersama angin pukul dua dini hari itu membuat keenan tersenyum melihat tawa malam yang telah lama menguap itu, tak banyak yang tau selain keenan bahwa malam yang terlihat tangguh itu nyatanya selama ini berjalan di jalan berduri dan penuh luka, sibuk berlari dari rasa sakit yang telah bertulang dibelakangnya.

malam ikut berbalik menyandarkan punggungnya pada pembatas balkon, menatap lampu remang yang menghiasi kamar lamanya pada tempat yang pernah disebutnya rumah, rumah yang pernah disinggahi nya sebelum semua penghuninya berbalik meninggalkan tempat yang mereka sebut rumah, meninggalkan malam sendirian dalam angan-angan keluarga bahagia yang tak pernah jadi nyata untuknya.

“lo sama biru gimana?”

keenan menoleh, “gue sama biru baik-baik aja.”

“waktu itu gue sengaja ninggalin buku lo di taman.” keenan kebingungan, malam tertawa mengingat-ingat.

“maksud lo?”

“gue liat biru lagi di taman fisip bareng yesha waktu itu, setelah gue tau ternyata lo naksir biru. sebenarnya cuma mau nyoba peruntungan aja naro buku itu di dekatnya, dan ternyata beneran diambil sama dia.” malam masih tersenyum mengingat bagaiman dia sengaja meninggalkan buku itu agar biru bisa melihatnya, “lo berutang sama gue perihal itu.”

keenan menggigit bibirnya sebentar sebelum kemudian melempar bungkus rokoknya dari dalam kantong kearah malam yang kemudian melenguh sakit dan menunduk untuk mengambil bungkus rokok keenan dan memasukkannya kedalam sakunya. “seenggaknya itu berhasil, lo bisa lebih dekat sama biru.”

“ya, thanks for that.”

setelahnya mereka tenggelam dalam pikiran masing-masing, larut dalam isi kepala masing-masing bersama dengan malam yang kian larut membawa sunyi bersamanya.

“keenan,”

“ya?”

“jangan biarin biru nunggu kelamaan.”

“iya, tau. memang gue elo.”

“tai.”


terjebak di malam-malam yang hangat bersama malam bukan lagi hal yang aneh untuk yesha. saling memberi pangut tanpa tahu siapa yang memulai, selalu jadi hal yang enggak pernah mereka lewatkan. saling merengkuh, saling mengikat, saling menyebut nama satu sama lain, saling memberi nikmat.

kamar dari pria yang punya tatto di leher itu sudah tidak asing lagi, selalu jadi saksi pergelutan hangat mereka sampai pagi tiba, sampai yang satunya sadar kalau mereka pergi terlalu jauh untuk hanya sebuah hubungan yang hanya ingin senang-senang nya saja.

yesha menatap kelam samudra, ada gundah yang mengakar dalam hatinya, semakin sesak, semakin tak tertahan. sebelum malam ingin melanjutkan pangutan mereka, yesha menatap kelam samudra yang menenggelamkannya, mencari-cari jawaban yang dia cari di dalam sana, tapi naasnya yesha selalu gagal untuk menemukan jawabannya, karena malam selalu sama seperti namanya.

“malam, kita sebenarnya apa?” lima menit dan malam tidak memberi jawaban sama sekali, yesha tau kalau tidak akan pernah ada jawaban atas pertanyaannya.

“kenapa tiba-tiba nanya gitu?”

mungkin ini buah dari kecongkakkannya, mungkin ini bayaran atas semua keserakahannya, mungkin ini semua bentuk dari ego yang dia pelihara dan dibiarkan menjadi racun yang pada akhirnya meracuninya.

are you serious? kamu bahkan masih nanya setelah semua ini?”

“yesha,”

“gue bahkan enggak bisa bilang kalau gue cemburu tiap lo sama yang lain, malam! karena kita enggak pernah jadi apa-apa.”

“lo bisa yesha, lo bisa bilang ke gue kalau lo cemburu, lo bisa larang gue deket sama siapa aja kalau lo enggak suka, lo bisa marah kalau gue ngelakuin hal yang enggak lo suka, lo bisa.”

“kenyataannya enggak, kita bahkan enggak pacaran. but you always act like we're in that relationshit, you treat me like i'm your boyfriend, even we're not

“yesha, sebenarnya lo mau ngomongin apa sih?” yesha sadar betul malam itu untuk pertama kalinya malam meninggikan suaranya.

you know that i'm already fell for you. lo tau semuanya, we did everything. lo lo nyium gue, we make out. tapi lo enggak pernah bilang sama sekali, satu kalipun, kalau lo suka sama gue. gue tau kita gak pernah ngomongin ini, tapi kita terlalu enggak jelas, malam. i can't find an answer why we have to stay like this.

ada banyak hal yang harus yesha sesali setelah ini, tapi dia memilih untuk untuk menolak ketika yesha hendak menariknya ke dalam sebuah pelukan, hal yang selalu malam lakukan untuk mengakhiri semuanya, mengakhiri perdebatan, mengakhiri amarah yesha, mengakhiri semua keinginan yesha untuk mereka.

malam diam ketika untuk pertama kalinya yesha menolaknya, untuk semua hal yang mereka lakukan, untuk semua hal yang seharusnya tidak mereka lakukan.

“gue tau dari awal seharusnya gue enggak berharap apapun sama lo, tapi lo ngelakuin semua hal yang orang kayak kita enggak harus lakuin.”

“memang status itu penting?”

padahal yesha tidak meminta banyak

padahal yang yesha mau hanya sebuah pengakuan

yesha cuma butuh pengakuan

dan hanya sebuah pengakuan, hanya untuk sebuah pengakuan dan malam bahkan tidak bisa memberinya satu jawaban yang akan membuatnya untuk tetap tinggal.

yesha adalah dia yang selalu mencari jawaban namun malam adalah dia yang terbiasa tidak memberi jawaban.

ada kecewa yang datang tanpa diundang malam itu, ada sedih yang pada akhirnya terasa semakin nyata bersandar pada punggung dinginnya, ada sadar yang seharusnya tidak yesha kubur dalam-dalam.

“samudra, it's enough. gue tau kalau pada akhirnya hubungan ini cuma bakalan jadi racun, tapi lo ngebuat gue ngerasa enggak apa-apa untuk ngasih makan ego gue, kalau gue bisa jadi penawar buat hubungan beracun ini. tapi nyatanya enggak, gue enggak akan pernah bisa jadi penawar buat hubungan ini.”

dalam hubungan ini mereka hanya saling memberi makan ego, saling melahap satu sama lain sampai lupa ada bagian dari ego yang seharusnya tidak diberi makan, sebab dia akan menjadi serakah. menjadi apa-apa yang seharusnya tidak diberi campur tangan ego.

can't we just sit down? gue enggak mau berantem. lo cuma lagi capek,”

“gue capek sama hubungan ini!!!” “lo sadar enggak sih? apa yang kita lakuin dua tahun ini, we're doing nothing. and i think it's enough.”

“yesha, dengerin gue dulu.”

“dua tahun samudra, dua tahun gue nunggu buat dengerin lo. dua tahun gue nunggu lo buat ngasih gue alasan kenapa kita harus kayak gini, dua tahun dan enggak pernah. lo enggak pernah biarin gue tau siapa lo, dua tahun ini gue bahkan enggak kenal lo siapa samudra!!!”

yesha tidak pernah suka menangis karena hal bodoh seperti ini, tapi entah kenapa rasanya tetap menyesakkan sampai ke dada. dia enggak pernah tau kalau jatuh cinta pada malam sama dengan menerjunkan diri ke tempat tak berdasar. ternyata suka dan cinta enggak pernah jadi hal yang semudah itu untuk mereka.

keterdiaman malam juga tidak perlu jawaban lagi, karena pada akhirnya mereka tidak membutuhkan jawaban lagi. mereka cuma tentang hanya memilih untuk tetap meminum racun atau membebaskan diri, dan yesha jelas tahu apa pilihannya.

“gue tau kita enggak pernah jadi apa-apa, tapi gue mau kita selesai. selesai untuk semua hal yang gue enggak tahu itu pernah ada atau cuma gue yang nganggep itu ada. gue selesai.”

yesha meninggalkan malam dengan semua kenyataan, dengan semua fakta baru yang enggak pernah dia coba untuk cari tahu.

yesha cuma ingin untuk dicintai namun sayangnya jatuh cinta pada malam samudra tidak lebih dari sekedar bunuh diri.

pada akhirnya yesha memilih untuk menyelesaikan mereka yang tidak pernah dimulai.

sama seperti namanya, malam akan selalu jadi tempat paling gelap untuk yesha yang kerap mendambakan matahari. sama seperti namanya, samudra akan selalu jadi tempat paling dalam yang tidak akan pernah yesha jangkau.

mereka usai sebelum utuh.


terjebak di malam-malam yang hangat bersama malam bukan lagi hal yang aneh untuk yesha. saling memberi pangut tanpa tahu siapa yang memulai, selalu jadi hal yang enggak pernah mereka lewatkan. saling merengkuh, saling mengikat, saling menyebut nama satu sama lain, saling memberi nikmat.

kamar dari pria yang punya tatto di leher itu sudah tidak asing lagi, selalu jadi saksi pergelutan hangat mereka sampai pagi tiba, sampai yang satunya sadar kalau mereka pergi terlalu jauh untuk hanya sebuah hubungan yang hanya ingin senang-senang nya saja.

yesha menatap kelam samudra, ada gundah yang mengakar dalam hatinya, semakin sesak, semakin tak tertahan. sebelum malam ingin melanjutkan pangutan mereka, yesha menatap kelam samudra yang menenggelamkannya, mencari-cari jawaban yang dia cari di dalam sana, tapi naasnya yesha selalu gagal untuk menemukan jawabannya, karena malam selalu sama seperti namanya.

“malam, kita sebenarnya apa?” lima menit dan malam tidak memberi jawaban sama sekali, yesha tau kalau tidak akan pernah ada jawaban atas pertanyaannya.

“kenapa tiba-tiba nanya gitu?”

mungkin ini buah dari kecongkakkannya, mungkin ini bayaran atas semua keserakahannya, mungkin ini semua bentuk dari ego yang dia pelihara dan dibiarkan menjadi racun yang pada akhirnya meracuninya.

“//are you serious?// kamu bahkan masih nanya setelah semua ini?”

“yesha,”

“gue bahkan enggak bisa bilang kalau gue cemburu tiap lo sama yang lain, malam! karena kita enggak pernah jadi apa-apa.”

“lo bisa yesha, lo bisa bilang ke gue kalau lo cemburu, lo bisa larang gue deket sama siapa aja kalau lo enggak suka, lo bisa marah kalau gue ngelakuin hal yang enggak lo suka, lo bisa.”

“kenyataannya enggak, kita bahkan enggak pacaran. //but you always act like we're in that relationshit, you treat me like i'm your boyfriend, even we're not//”

“yesha, sebenarnya lo mau ngomongin apa sih?” yesha sadar betul malam itu untuk pertama kalinya malam meninggikan suaranya.

“//you know that i'm already fell for you//. lo tau semuanya, //we did everything//. lo lo nyium gue, //we make out//. tapi lo enggak pernah bilang sama sekali, satu kalipun, kalau lo suka sama gue. gue tau kita gak pernah ngomongin ini, tapi kita terlalu enggak jelas, malam. I can't find an answer why we have to stay like this.”

ada banyak hal yang harus yesha sesali setelah ini, tapi dia memilih untuk untuk menolak ketika yesha hendak menariknya ke dalam sebuah pelukan, hal yang selalu malam lakukan untuk mengakhiri semuanya, mengakhiri perdebatan, mengakhiri amarah yesha, mengakhiri semua keinginan yesha untuk mereka.

malam diam ketika untuk pertama kalinya yesha menolaknya, untuk semua hal yang mereka lakukan, untuk semua hal yang seharusnya tidak mereka lakukan.

“gue tau dari awal seharusnya gue enggak berharap apapun sama lo, tapi lo ngelakuin semua hal yang orang kayak kita enggak harus lakuin.”

“memang status itu penting?”

//padahal yesha tidak meminta banyak//

//padahal yang yesha mau hanya sebuah pengakuan//

//yesha cuma butuh pengakuan//

//dan hanya sebuah pengakuan, hanya untuk sebuah pengakuan dan malam bahkan tidak bisa memberinya satu jawaban yang akan membuatnya untuk tetap tinggal//

//yesha adalah dia yang selalu mencari jawaban namun malam adalah dia yang terbiasa tidak memberi jawaban//

ada kecewa yang datang tanpa diundang malam itu, ada sedih yang pada akhirnya terasa semakin nyata bersandar pada punggung dinginnya, ada sadar yang seharusnya tidak yesha kubur dalam-dalam.

“samudra, //it's enough.// gue tau kalau pada akhirnya hubungan ini cuma bakalan jadi racun, tapi lo ngebuat gue ngerasa enggak apa-apa untuk ngasih makan ego gue, kalau gue bisa jadi penawar buat hubungan beracun ini. tapi nyatanya enggak, gue enggak akan pernah bisa jadi penawar buat hubungan ini.”

dalam hubungan ini mereka hanya saling memberi makan ego, saling melahap satu sama lain sampai lupa ada bagian dari ego yang seharusnya tidak diberi makan, sebab dia akan menjadi serakah. menjadi apa-apa yang seharusnya tidak diberi campur tangan ego.

“//can't we just sit down?//gue enggak mau berantem. lo cuma lagi capek,”

“gue capek sama hubungan ini!!!” “lo sadar enggak sih? apa yang kita lakuin dua tahun ini, //we're doing nothing. and i think it's enough.//”

“yesha, dengerin gue dulu.”

“dua tahun samudra, dua tahun gue nunggu buat dengerin lo. dua tahun gue nunggu lo buat ngasih gue alasan kenapa kita harus kayak gini, dua tahun dan enggak pernah. lo enggak pernah biarin gue tau siapa lo, dua tahun ini gue bahkan enggak kenal lo siapa samudra!!!”

yesha tidak pernah suka menangis karena hal bodoh seperti ini, tapi entah kenapa rasanya tetap menyesakkan sampai ke dada. dia enggak pernah tau kalau jatuh cinta pada malam sama dengan menerjunkan diri ke tempat tak berdasar. ternyata suka dan cinta enggak pernah jadi hal yang semudah itu untuk mereka.

keterdiaman malam juga tidak perlu jawaban lagi, karena pada akhirnya mereka tidak membutuhkan jawaban lagi. mereka cuma tentang hanya memilih untuk tetap meminum racun atau membebaskan diri, dan yesha jelas tahu apa pilihannya.

“gue tau kita enggak pernah jadi apa-apa, tapi gue mau kita selesai. selesai untuk semua hal yang gue enggak tahu itu pernah ada atau cuma gue yang nganggep itu ada. gue selesai.”

yesha meninggalkan malam dengan semua kenyataan, dengan semua fakta baru yang enggak pernah dia coba untuk cari tahu.

yesha cuma ingin untuk dicintai namun sayangnya jatuh cinta pada malam samudra tidak lebih dari sekedar bunuh diri.

pada akhirnya yesha memilih untuk menyelesaikan mereka yang tidak pernah dimulai.

sama seperti namanya, malam akan selalu jadi tempat paling gelap untuk yesha yang kerap mendambakan matahari. sama seperti namanya, samudra akan selalu jadi tempat paling dalam yang tidak akan pernah yesha jangkau.

mereka usai sebelum utuh.

content warning; mention about car accident, trauma, panic attack, characters death.


peluk hangat yang dipenuhi dengan kegelisahan itu segera menyambut keenan ketika dirinya keluar dari mobil, dekapan yang kian mengerat itu buat keenan balas memeluk beri tenang kepada wanita yang tidak lagi semuda ketika dia masih kecil. wanita yang pertama kali mengajarkannya untuk merangkak, wanita yang pertama kali mengajarkannya mengeja, wanita yang pertama kali mengajarkannya berhitung, wanita yang namanya keenan sebut pertama kali dalam hidupnya.

dia mama, satu-satunya milik keenan.

cemas yang ditunjukkan air muka wanita yang mulai dipenuhi kerutan itu membuat keenan merasa bersalah. “kamu kemana? keenan tidak kenapa-kenapa kan?”

keenan menggeleng, “keenan enggak apa-apa mama, tadi keluar sebentar. masuk ke dalam ya? di luar dingin, udah tengah malam. keenan juga mau ngomong sesuatu, boleh kan, ma?”

wanita paruh baya itu mengangguk sambil tersenyum dengan mata yang terus menatap keenan. dia lama tak memperhatikannya, keenan yang dulu selalu merengek itu kini tingginya sudah jauh melewatinya, keenan yang selalu merengek itu kini sudah semakin dewasa, semakin mirip dengan figur yang telah lama tidak bersama mereka.

mereka sampai di ruang tamu keenan membaringkan dirinya di pangkuan sang mama di sofa yang ukurannya tak seberapa itu, mencari posisi yang membuatnya nyaman. rambutnya yang mulai memanjang itu diusap berikan nyaman yang rasanya tak pernah berubah, masih sehangat ketika keenan pertama kali menyadarinya.

“ma, kalau adek masih ada sekarang dia udah SMP, ya?” usapan pelan di pada surai keenan, mengulum senyumnya sembari mengangguk ketika emosi yang telah lama dibiarkan itu kembali menyapanya.

keenan tidak pernah membahas mereka, ini pertama kalinya. mereka tidak pernah membahas ini sebelumnya, luka lama yang keluarga kecil mereka miliki itu tidak pernah disinggung oleh sesiapapun diantara mereka. luka lama yang tidak pernah mereka coba untuk ulik, luka lama yang di dinginkan untuk kemudian mencair dan mencoba mengambil alih keberadaan mengingatkan bahwa luka itu masih ada di sana, tak beranjak.

pelik rasanya ketika menyadari tangan keenan bergetar kecil ketika meraih lengannya untuk di genggam, figur yang semakin beranjak dewasa itu diam-diam menyimpan banyak pelik di dalam hatinya sama seperti dirinya. “selepas kejadian itu keenan enggak berani untuk naik mobil, setiap diantar mama ke sekolah pakai mobil keenan takut, takut sampai rasanya mual tapi keenan tau mama sama takutnya. kalau keenan takut nanti mama gimana, keenan pikir kalau keenan lawan semua rasa takutnya keenan bakalan baik-baik saja begitu juga mama. ternyata perasaan itu enggak bisa bohong, keenan rasanya hampir mati karena rasa takut yang terus berulang setiap harinya tapi enggak ada tempat untuk kabur.”

“mungkin nanti keenan akan terbiasa, dan ternyata enggak pernah. waktu pertama kali mama minta untuk keenan belajar bawa mobil, keenan takut, takut sekali. tapi dibandingkan dengan takut keenan sekarang sadar kalau waktu itu keenan marah, marah kepada diri sendiri karena ternyata keenan enggak bisa untuk mengatasi rasa takut itu. meskipun pada akhirnya keenan bisa meskipun harus nahan mual dan pusing, tapi tetap keenan enggak pernah menang dari rasa takut itu.”

tangannya yang masih bergetar kecil itu masih menggenggam tangan halus mama nya. mengabsen setiap jarinya dengan pelan.

“sedih rasanya setiap keenan jemput mama dari kantor kita basah-basahan karena hujan, karena keenan enggak pernah berani untuk bawa mobil di garasi itu. keenan bisa bawa mobil sendiri karena keenan pikir kalau sendiri enggak akan ada yang kenapa-kenapa, kecuali keenan.”

“kenapa mikir begitu, keenan enggak seharusnya mikir begitu. sayang mama enggak mau keenan berfikir seperti itu.” pada akhirnya air mata yang sedari tadi wanita itu tahan ditumpahkan juga.

“mama, mama jangan nangis ya? ini bukan salah mama, keenan yang penakut itu bukan salah mamah.” keenan bangun dan mengusap setiap air mata yang jatuh membasahi wajah yang tidak lagi muda itu.

“keenan yang masih sepuluh tahun itu mau untuk dimaafkan ma, dia mau untuk jadi lebih berani tapi keenan enggak pernah membiarkan dia karena keenan yang penakut. setiap ketakutan itu datang keenan selalu salahkan dia, sibuk menyalahkan dan membiarkan dia terjebak dalam rasa bersalah itu. keenan sibuk menyalahkan dia sampai lupa kalau mungkin sebenarnya dia hanya meminta untuk dimaafkan. mama, keenan mau untuk dimaafkan, dia ingin untuk dimaafkan.”

wanita paruh baya itu menggeleng kemudian merengkuh keenan ke dalam pelukannya.

“kakak, mama minta maaf. maaf karena belum pernah bilang ini ke kakak. maaf karena enggak tau kalau selama ini ternyata kakak tanggung semuanya sendirian, dan membiarkan mama berfikir kalau kakak baik-baik saja,”

“kakak harus tau, kalau kakak adalah kakak terbaik yang mama punya, kakak paling berani yang adek punya, dan kakak, kakak akan selalu jadi kebanggaan ayah. maaf karena membiarkan kakak yang masih sepuluh tahun hidup dalam rasa bersalah. mama mau kakak lepaskan semua itu, kakak enggak pantas untuk semua perasaan bersalah dan rasa takut yang ada di hati kakak.”

mungkin memang sejak awal ini bukan salahnya, bukan pula salah mama, mungkin sejak awal memang ini bukan salah siapa-siapa dan tidak ada yang pantas untuk disalahkan.

mungkin memang sekarang adalah waktunya untuk keenan menerima, dan memaafkan dia si sepuluh yang jauh tertinggal di belakang sana. dan keenan yang sekarang memiliki keberanian untuk menatap dan memaafkannya sebab mereka tidak pernah bersalah, dan rasa takut yang menjeratnya selama ini sudah sepantasnya untuk dilepaskan.

dan rasa takut yang memenjarakannya selama bertahun-tahun itu perlahan akan mulai terbebas hilang sama dengan setiap waktu yang terlewati meninggalkan dia yang masih sepuluh tahun tertinggal dengan bebas di belakang sana.


sunyi membungkam mereka ketika biru berhasil duduk di samping kemudi dengan keenan yang mengatupkan jari-jarinya secara perlahan pada kendali mobil, membuat biru diam-diam memperhatikan gerak-gerik gundah yang tak kunjung keenan ungkapkan.

biru biarkan keenan bergulat dengan isi kepalanya beberapa saat untuk kemudian meraih lengan kiri keenan yang terus mengetuk gundah, rasakan hangat yang selimuti setiap celah jemarinya yang sedikit basah untuk menoleh dan temukan biru yang sedang menatapnya dengan sorot mata yang seolah hendak meraih keenan dari segala gundah yang menyelimuti hati dan pikirannya.

“a-aku telfon malam, biar dia bawa motornya ke sini.” kalimat berusaha keenan ucapkan dengan rancu sembari tangan kanannya coba tuk meraba di mana letak ponselnya.

“keenan, aku enggak takut.” ibu jemarinya mengusap pelan jemari keenan dengan senyum pelan.

“gimana kalau nanti kita—, gimana kalau aku—” biru tersenyum menggeleng pelan, jemarinya yang tidak lebih besar dari keenan itu masih terus mengusap pelan coba memberi tenang dari semua kalimat menggantung milik keenan yang penuh kegusaran.

“keenan tau tidak kalau rasa takut yang kamu kubur dalam-dalam itu sebenarnya tidak menjerat kamu, tidak juga mencoba untuk membuat kamu merasa semakin tidak berdaya setiap harinya. bagaimana kalau sebenarnya rasa takut itu hanya meminta untuk dilepaskan, meminta untuk dimaafkan.”

tak ada balasan dari yang lebih tua, dan biru juga tidak mengharapkan keenan untuk membalas, “keenan, kamu enggak butuh keberanian untuk melawan rasa takut itu. tapi kamu butuh keberanian untuk memaafkan rasa takut itu, sebab jauh di dalam sana dia juga ketakutan dan ingin dimaafkan.”

“datang ke sini sambil bawa mobil yang memberi kamu banyak hal yang enggak menyenangkan untuk diingat sendiri tanpa alasan adalah bukti kalau kamu diam-diam juga ternyata ingin untuk memaafkan dia. kamu, keenan, kalian enggak pernah bersalah.”

keenan menatap tepat pada mata biru yang pencarkan binar hangat dan keberanian yang tidak pernah keenan miliki sebelumnya, belaian hangat di lengannya masih terus mencoba untuk meleberukan setiap perasaan gundah yang telah lama menumpuk.

“biru,”

“iya?”

“dia mau, dia mau untuk dimaafkan.”

senyumnya mengembang begitu rasakan jemari besar keenan menggenggamnya dengan erat, beri sedikit usapan secara bergantian.

”kamu tahu kepada siapa maaf itu harus sampai, keenan.” biru masih bisa temukan ragu yang tak tersampaikan dari keenan, “kamu bisa taklukkan dia sama seperti kamu menaklukkan setiap orang dengan musik kamu.”

“terima kasih.”

biru mengangguk pelan biarkan senyumnya semakin melebar yang membuat keenan ikut membalas senyumnya.

keenan mencoba melahap, ikut memakan setiap rasa takutnya bersamaan dengan pedal gas yang perlahan mulai diinjak perlahan luruh bersama dengan perasaan lega yang perlahan mulai menyapa bersama angin malam yang lewat dari kaca mobil yang dibiarkan terbuka sedikit.

melaju perlahan memecah bising perkotaan keenan menoleh menatap biru yang terlihat sangat tenang dengan satu tangannya yang masih setia bertengger di pahanya memberi tahu bahwa mereka akan baik-baik saja.

biru adalah bentuk dari semua keberanian yang sanggup menaklukkan keenan, biru adalah bentuk dari semua tenang yang sanggup menaklukkan keenan, biru adalah semua bentuk yang sanggup taklukkan keenan.

keenan jatuh bersimpuh di kedua lutut untuk memuja biru, takluk dalam semua bentuk yang dimiliki biru.