this won't have happy ending, not even in pararel
cw// smoking, mention of death and monster
mungkin dewa kecantikan tersenyum ketika ia lahir, mungkin apollo memberinya berkat yang kemudian lahir dalam bentuk han taesan. aku bisa lihat semuanya, lewat cahaya yang menyinarinya samar-samar di tengah musim panas di kota keras yang sering kehujanan ini. tampan, dia adalah yang agung dengan semua berkat di dalam dirinya. untuk semua tutur dan caranya memperlakukan setiap yang pantas diperlakukan dengan dan layak, selayak-layaknya manusia. dan aku temukan diriku di dalam sana.
di dalam mata han taesan yang selalu memandangiku dengan penuh. selalu, selalu, selalu kutemukan diriku di dalam sana berbalut imaji indah yang menggerogoti ku.
taesan dan semua kemuliaan yang dimilikinya tersenyum kepadaku sambil menghembuskan asap rokok yang di sesapnya beberapa saat lalu. kami duduk berdua saja, di rerumputan, di hadapan sebuah danau yang memantulkan cahaya dari teriknya matahari di musim ini.
entah aku, atau entah taesan yang hilang. tak ada yang ingin tau. pun kami hanya tetap duduk berdua saja. taesan dengan rokoknya, dan aku dengan pikiranku.
“katanya ada yang pernah mati di sini,” dia buang abu rokoknya sambil menatap danau yang menyilaukan mata buat dia sipitkan sedikit matanya yang kelam itu.
“kenapa?” tanyaku sembari menatapnya yang kini selesai dengan satu rokoknya dan berbaring diatas rerumputan, berhadapan langsung dengan sang cahaya yang tidak berbaik hati di musim ini. tapi han taesan adalah han taesan.
“mungkin dunia tidak berbaik hati dengannya,” dia ambil jeda sebentar untuk menoleh ke arahku yang menunduk menatapnya, menghalangi cahaya matahari yang hendak menyapanya.
“tapi bisa jadi juga, dia terlalu berbaik hati kepada dunia yang tidak begitu pantas untuk diberi hati.” dia tertawa meledek setelahnya.
tetapi aku diam saja. menatap matanya. selalu, selalu, selalu kutemukan diriku di dalam sana dengan penuh.
aku takut. aku takut. aku takut.
dan taesan tau.
dia bangun lalu mendekat ke arahku yang masih terus menatapnya. taesan tepat di depan wajahku ketika kulihat pantulan diriku sendiri di dalam kelam matanya yang penuh dengan kerinduan dan harapan. bisa kulihat ia meronta untuk dibebaskan. tapi aku tak punya apa-apa.
“musim panas selalu cocok dengan rambut coklat mu,” disisipkannya rambutku yang panjang di samping telinga sambil tersenyum yang selalu membuatku takut akan dipenuhi sesuatu yang akan menggetarkan tubuhku, untuk semua yang tidak boleh diberi untukku. “musim panas, cahaya matahari, rambut coklatmu, mereka cantik.”
“mereka cantik.” ulangnya sekali lagi. “selalu cocok untukmu yang indah.”
aku tidak menjawab, kupilih untuk memalingkan wajahku untuk kembali menatap danau di depan sana yang semakin tenang. “kamu tau, bunga-bunga di padang sana mereka mati karena ada yang memujinya cantik.”
“lalu kamu akan mati?” aku menggeleng dan dia hanya tersenyum lagi.
“aku tidak akan mati.”
“begitupula dengan aku yang tidak takut akan kematian.”
aku membencinya. membenci semua sepatah kata yang keluar dari bibirnya yang dipenuhi dengan kerinduan, aku benci menatap matanya yang menatapku dengan penuh kehangatan, aku benci dengan kedua lengannya yang berani, dan aku benci dengan isi kepalanya yang hanya ada aku di dalamnya.
kami berdua saja. dia duduk memesan rasa sakit yang tak putus dan nyaring lengkingnya, memesan rasa lapar dan asing yang tak akan pernah kuberi. sebab ia tak pernah ada di dalam sana, di dalam diriku.
sebab penyihir di padang pasir telah merebutnya sebelum aku paham apa-apa.
ada yang pernah menyebutku penyihir kecil dan aku menerimanya tanpa tau apa-apa. yang kuingat hanya ketika aku bangun dan menyadari semuanya aku telah menjadi penyihir kecilnya.
konotasi penyihir kecil selalu jadi bagian yang menyenangkan sampai ketika aku sadar bahwa penyihir kecil ini adalah bentuk dari kekecewaan sang penyihir padang pasir terhadap hidupnya. pertama kali aku menyadarinya ketika orang-orang gurun mengatakan kita hidup dengan cinta, aku mencari-cari di mana kiranya letak cinta itu berada di dalam diriku. tetapi paman gurun bilang ia ada di dalam sana sambil menunjuk di mana kekosongan itu berada.
ternyata aku sudah lama tak memilikinya sebab penyihir padang pasir telah merenggut hati yang seharusnya ada di dalam sana, dirawat dan dipupuk dengan kasih sayang, namun penyihir padang pasir merenggutnya sebab dia bilang ada monster di dalam kepalaku dan ia akan memakan hatiku.
mereka bilang cinta adalah saling memberi hati. taesan memberi hatinya kepadaku, tapi aku tak punya apa-apa untuk diberi. anehnya dia masih terus di sini. sejak lama. tanpa lelah. tanpa meminta apa-apa. dia duduk saja di situ menemaniku yang tak bisa memberi, pun tak bisa menerima.
hari semakin sore ketika aku menyadari pantulan cahaya di danau sana mulai menguning, merekah, meleleh di jantung kota.
kurasakan bahuku memberat ketika taesan mengistirahatkan kepalanya di sana, menatap genangan-genangan cahaya kuning itu berubah menjadi oranye melebur dengan langit yang menerimanya dengan lapang dada.
“taesan,” dia berguman pelan “bahagia tak akan pernah ada disekitar sini.”
benar. penyihir padang pasir benar, ada monster di dalam kepalaku.
katanya cinta dan sejenisnya mereka seram tapi isi kepalaku jauh lebih seram. mereka mimpi buruk yang dibalut dengan emosi penggeregot harap yang tak kunjung kenyang setelah melahap habis semua ego yang diberi. aku berdarah-darah untuk menahan agar sisa-sisa harapan yang hampir busuk itu tak dilahap habis olehnya yang rakus dan haus seperti monster kecil menyeramkan berbalut senyum hangat yang menyenangkan sebab aku bisa mati kapan saja.
taesan datang setelah monster kecil itu berhasil melahap semua isi kepalaku.
“aku tau.” hari semakin gelap sewaktu dia bilang, “aku tidak mencari bahagia. aku mencari kamu, mencari matamu, mencari bibirmu, mencari lenganmu, mencari pundakmu, mencari sepasang kakimu. aku mencari kamu kim leehan.”
“itu tidak akan jadi apa-apa.”
“kita memang bukan apa-apa.”
seperti yang dituliskannya pada secarik kertas dan pena yang jadi saksi, aku bisa mati kapan saja dan taesan tak takut akan kematian.
@illicitesther