yang tidak pernah menjadi


“ahh-”

lenguh pelan yang keluar dari bibirnya dibersamai dengan malam yang capai puncaknya. malam diam sebentar biarkan yesha menatapnya dengan mulut terbuka mengatur kembali napasnya yang hampir direnggut setelah ciuman-ciuman panjang dan hentakan dalam yang menghantarkan nikmat ke seluruh tubuh, yesha barkan malam merapikan poninya yang lepek karena keringat.

“enghh- pelan-pelan keluarinnya jangan langsung ditarik.” yesha mendesah pelan ketika malam keluarkan miliknya yang mengganjal dirinya, biarkan dia merasa kosong karena terlanjur rasakan penuh dan hangat menyelimuti dirinya.

“baju gue tadi ditaro di mana?” butuh waktu dua puluh menit untuk yesha kembalikan warasnya untuk mencari di mana letak bajunya yang ditanggalkan begitu saja, dia tak ingat di mana meletakannya karena kepalang naik dan malam tak membiarkan dirinya mengingat apa pun kecuali dirinya sendiri.

“lo mau balik? di luar lagi hujan.” dia diberi pertanyaan kembali dari malam yang mencoba untuk meraih sebungkus rokok di meja nakas samping tempat tidurnya.

no, gue kan bilang jangan ngerokok sebelum gue keluar dari sini. lo mau gue mati di sini apa gimana.”

yesha tidak tahan dengan bau rokok yang seolah akan menghirup habis napasnya yang menyengat hidung hingga ke tenggorokan, dia tidak pernah berkawan baik dengan nikotin yang katanya membuat candu itu.

“sorry,”

suara petir yang tiba-tiba menyambar membuat yesha sedikit terlonjak dari selimut yang menyelimuti tubuh telanjangnya, masih melirik-lirik di mana kiranya dia menanggalkan pakaiannya di ruangan yang luas ini. petir masih menyusul setelahnya membuat yesha memilih menyelimuti seluruh tubuhnya untuk meringkuk coba hilangkan gelisah yang mulai ikut ke dalam selimutnya- selimut milik malam.

“masih taku petir?” yesha enggak menjawab di dalam sana tapi malam tau itu jawaban untuk iya, karena pemuda itu sama sekali tidak berkutik.

tidak seharusnya dia lakukan itu, tapi nalurinya memenangkannya malam ini. dia menarik yesha yang mulai keringat dingin ke dalam pelukannya, membiarkan satu lengannya menjadi bantalan untuk yesha, biarkan hangat dari sentuhan kulit mereka hantarkan rasa aman untuk yesha.

ini racun, tapi yesha kepalang tak bisa menolong dirinya sendiri. toh, sebtulnya juga sudah sejak lama dia menikmati racun yang sialnya selalu membuatnya terlena, lupa akan diri, lupa akan mereka.

detak jam di meja nakas malam ini jadi teman sama seperti di malam-malam sebelumnya, di malam-malam mereka tenggelam dan hilang menuju puncak bersama.

lelah dan kantuk segera menyerangnya tanpa ampun begitu rasakan gelisah itu perlahan digantikan dengan hangat yang malam hantarkan lewat sentuhan kulitnya. yesha coba untuk lawan kantuknya, dia coba alihkan dengan menatap malam yang entah memikirkan apa menatap langit-langit kamarnya dalam dia.

malam dan perpaduan remang cahaya dari lampu tidur itu seolah sedang menertawainya, menertawai yesha dengan kemuakannya sendiri. malam memang tak banyak bicara, dan yesha juga tak mengharapkan malam untuk mendadak banyak bicara. yesha hanya menunggu sebentar sampai jam di meja nakas itu berdetak lebih keras.

“malam...”

“ya?”

“happy birthday.”

dua tahun, dua kali ucapan selamat, dua kali pemuda itu hanya diam tanpa sepatah kata. yang yesha tahu hanya selepas itu dia tertidur lelap, ada banyak lelah yang datang.

yesha tak butuh balasan atau apapun sebab sejak awal yesha paham, dia tidak berekspektasi apa-apa. biarkan saja si nelangsa itu berkawan dengannya, nanti juga muak.

mereka juga tidak akan pernah menjadi apa-apa.