summertime; in the rain, you stretched out your hand.

____

ada banyak malam yang dilewati hanya dengan menatap langit-langit kamar, ada beberapa malam yang hanya dilewati dengan satu pejaman mata, ada beberapa malam yang dilewati dengan berisik, ada beberapa malam yang dilewati dengan tenang. selalu ada banyak cara untuk melewati malam namun bian lebih suka melewati malam diiringi dia yang suaranya semerdu burung di pagi hari, setenang hembusan angin yang menenangkan seluruh tubuh.

selalu ada waktu kosong sepulang sekolah, selalu ada banyak waktu untuk bersantai, selalu ada banyak waktu untuk melakukan lebih banyak hal tapi bian lebih memilih duduk di pojok cafe dengan cahaya matahari yang perlahan mulai meredup. cafe yang sama sekali bukan tempatnya untuk berantai, yang bukan dia. bian tidak menyukai kulit ayam tapi selalu berhasil menghabiskan kulit ayamnya ditemani dia yang suaranya semerdu burung gereja dengan petikan gitar dan rambut panjangnya yang memesona, seperti karakter anime yang keluar dari buku komik yang sering dia baca.

tiramisu yang mulai cair, sisa-sisa makanan di piring, jiwa-jiwa muda yang saling berlomba untuk menarik perhatian si dia yang suaranya semerdu burung gereja, selalu ada banyak kesempatan untuk bian ikut dengan mereka menjadi seperti mereka tapi bian adalah dia yang terbiasa, lebih suka untuk menatap punggung orang lain berbalik membelakanginya tanpa harus menoleh untuk melihatnya.

tertinggal dibelakang menatap sang tuan rupawan yang dipuja-puja, menjadi dia yang selalu terbelakang, selalu tak punya banyak keberanian, selalu dengan keraguan, selalu menjadi dia yang lebih suka menatap punggung seseorang.

sekolah menengah yang katanya selalu punya cerita apik bagi bian mungkin hanya sebuah dongeng, alih-alih cerita apik yang dia dapati hanya dirinya yang hampir hilang kewarasan karena belajar, dibanding teman sekolahnya kakak vokalis dari sebuah band cafe ternyata lebih menarik perhatiannya. menjadi dia yang selalu menghabiskan waktu di keramaian padahal tenaganya selalu habis di tengah keramaian.

selepas si dia yang suaranya semerdu burung gereja berbalik mengakhiri musik indahnya yang menghipnotis, bian melangkahkan kakinya keluar dari cafe menatap sekeliling yang mulai menggelap, berjongkok di sudut cafe memberi seekor kucing ayam yang selalu sengaja di beli lebih untuk si manis berbulu hitam di sudut cafe, seolah memang sedang menunggunya untuk datang setiap saat.

mengusap kepala si manis sebelum pergi meninggalkannya, meninggalkannya sepasang yang tengah menatap.

hari-hari belajar dengan keras kebali dimulai, ujian semester. membuatnya tak bisa kemana-mana kecuali hanya untuk belajar meninggalkan kebiasaannya menghabiskan waktu di cafe selama enam bulan terakhir.

ah, hari ini dia menyanyikan lagu apa lagi, ya?

hari ini dia pakai baju apa?

hari ini apa dia mulai dekat dengan jiwa-jiwa muda yang lebih berani?

hari ini apa masih ada kesempatan?

pintu dibuka, seseorang tengah bernyanyi di depan sana, tapi bukan dia yang suaranya semerdu burung gereja, bukan si tuan rupawan. tetapi bian memilih untuk menunggu memesan seperti biasanya, berharap dia bisa melihat si tuan rupawan setelah berhari-hari berlalu. jam menunjukkan hampid pukul tujuh malam ketika bian melirik arloji di tangannya.

untuk pertama kalinya dia menyisakan kulit ayam yang tidak terlalu diminatinya.

langit sendu tiba-tiba turun hujan, seolah sedang ikut sedih bersama bian yang sedikit lesu menatap kucing hitam yang menatapnya dengan polos seperti biasa di sudut cafe. bian berjongkok mengelusnya sembari memberi makan seperti biasanya.

“halooo, ketemu lagi. kamu apa kabar? semoga baik. hari ini hujan enggak seperti biasanya, enggak seperti biasanya dia juga gak ada. aku kayaknya ngelewatin banyak hal seminggu ini.”

seolah paham kucing hitam itu mengeong menanggapinya, membuat bian tersenyum mengelus pelan kepala kucing itu, ekornya bergoyang-goyang kesana-kemari menikmati setiap elusan tangan bian, seolah menantikannya sejak lama.

“dia kesepian selama kamu gak datang.”

sebuah lengan ikut mengusap si kucing hitam yang masih asik sendiri, membuat bian terdiam. tahu betul itu suara milik siapa.

“aku rasa dia cukup sedih karena kamu gak mengunjungi dia satu minggu ini.”

sekon berubah menjadi detik, detik jadi menit, ada banyak yang berlalu ketika bian menatap pemuda dengan rambut panjang itu, ada banyak yang berhenti, seakan waktu berjalan begitu lambat hanya untuk memastikan apakah ini nyata.

“ulangan, seminggu ini ulangan semester.” perlu banyak keberanian untuk mengucapkan beberapa kata.

seperti mimpi yang dilewatinya setiap malam, banyaknya biar berharap semoga ini bukan mimpi.

“jengga, narajengga.” untuk pertama kalinya bian menerima uluran tangan dari si tuan rupawan, dia yang suaranya semerdu burung gereja mengulurkan tangan memperkenalkan namanya di hadapan bian.

“fabian.”

ada senyum yang terukir dengan jelas di wajah si tuan rupawan, senyum yang membuat bian semakin berharap semoga hari ini bukan mimpi atau hanya delusi semata.

“salam kenal Arbie Fabian.”

kenyataannya si tuan rupawan tak pernah benar-benar memunggunginya.