di dunia yang banyak sedihnya


content warning; mention about death character.


mas hesa pernah bilang kalau SMA bakalan jadi lebih seru kalau kita naksir orang, anak SMP yang masih sering ke rental PS sambil bawa es cekek mana percaya omongan mas hesa yang banyak bohongnya itu. si bungsu yang diajari mba anin untuk jumawa itu cuma tertawa terbahak melihat mas nya di roasting habis-habisan sebab baru saja putus dari pacarnya karena mereka sebentar lagi ujian sekolah. lagian dia enggak percaya kalau bakalan suka sama seseorang setelah masuk SMA nanti, entalah anak SMP yang cuma kepikiran main itu mana kepikiran sampai sana. enggak pernah tau kalau hidup kadang kayak ampas kalau sudah bercanda.

mungkin karena keseringan melihat mbaknya yang jumawa soal percintaan itu juga membuat jio jadi ikut-ikutan jumawa, padahal mas hesa sudah sering bilang untuk enggak terlalu ngikutin sifat jumawa si sulung. tapi mbak anin yang rela panjat pohon demi ngambilin layangannya yang nyangkut, mbak anin yang enggak takut buat negur teman-temannya waktu nyinggung soal keluarga mereka yang enggak utuh lagi itu, mbak anin enggak takut untuk orasi di depan kantor DPR itu sudah terlanjur terlihat hebat di mata jio yang belum melihat kalau ternyata mbaknya diam-diam nelangsa.

hidup kadang banyak bercanda baru kemarin di temenin mbak anin untuk formulir pendaftaran SMP sekarang sudah enggak ragu untuk mengambil formulir dan memilih SMA mana yang dia minati. diam-diam mbaknya sedih karena enggak lama lagi si bungsu sudah tidak marah kalau supermie pedasnya yang sengaja dibikin dingin itu dimakan mas hesa, enggak lama lagi si bungsu sudah tidak ngadu ke mbak anin kalau mie nya dimakan mas hesa, tau-tau si bungsu sudah bisa cuci baju sendiri, tau-tau si bungsu sudah bisa numis kangkung, tau-tau dia sudah bisa melihat kalau ternyata mbak yang jumawa itu banyak nelangsanya.

hidup memang banyak bercanda nya, awal masuk SMA masih yakin kalau dia enggak akan naksir siapa-siapa meskipun ada gendhis gadis dengan senyum lugu yang terang-terangan bilang naksir sama jio meskipun jio juga dengan terang-terangan menunjukkan kalau dia sama sekali enggak tertarik. lama-lama dia nyerah juga meskipun marah masih tetap baik ke jio, tapi mungkin karena gendhis masih baik sama dia kebaikan itu mendadak datang jadi karma, karena mendadak jio temukan dirinya jatuh dalam cinta sepihak, sama seperti yang pernah gendhis alami ke dia. bedanya mungkin karena yang satu ini datang sebagai karma, nelangsanya jadi lebih berasa.

bermula dari jio yang masih awal kelas sepuluh belum tumbuh setinggi sekarang lagi beli jeruk peras di samping pagar kesusahan mengambil pesanannya, pagar tembok yang hampir semeteran lebih itu jadi penghalang antara dia dan gerobak jualan mas-mas, jeruk perasnya enggak punya akses lain selain dioper dari atas.

“lain kali minumnya boneto cil, jangan es jeruk peras.” untung saja waktu itu enggak panas atau mungkin satu tendangannya mendarat di tulang kering orang yang enggak dikenalnya.

sama seperti film-film yang sering ditonton mbak anin ketika pemeran utama bertemu untuk pertama kalinya, mendadak semuanya berjalan lambat yang bisa dia lihat cuma wajah orang yang lebih tinggi darinya itu menyodorkan es jeruknya sambil senyum tengil, yang bisa jio lakukan cuma bilang makasih lalu pergi sambil mengingat-ingat kembali nama yang tertera di papan nama orang tadi.

tamada rumi aswatama, dan label kuning bertanda X di samping kanannya membuat jio baru sadar kalau ada teman seangkatannya yang setinggi itu.

enggak cuma itu, jio juga ingat wangi parfum yang dipakai pemuda jakung itu, mirip wangi parfum yang biasa masnya pakai.

jio pikir yang satu itu cuma akan jadi begitu saja, tapi lama-lama jadi makin kepikiran, lama-lama jadi penasaran, lama-lama jadi tahu kalau ternyata dia anak kelas sebelah, lama-lama jadi sering liat pemuda itu lalu lalang, lama-lama jio jadi suka pulang lambat untuk melihat dia main basket dengan kawan sejawat nya, lama-lama jio jadi suka menunggu di depan halte lalu setelah mada lewat baru ikut masuk jalan lewat koridor tujuh langkah dibelakangnya, lama-lama jadi sering curi-curi pandang setiap apel pagi, lama-lama urutan absen pun dia tau.

padahal jio pikir itu cuma naksir sesaat yang tidak akan bertahan lama, lupa kalau ternyata waktu itu dunia lagi serius bercanda sama yang satu itu, tau-tau sudah kelas dua belas dan masih begitu-begitu saja, siapa yang ngira kalau akan bertahan selama itu.

enggak banyak yang berubah kecuali tinggi badannya yang bertambah, mada juga makin tinggi tapi sudah enggak setinggi dulu waktu dia ngambilin es jeruk perasnya, sekarang jio sudah bisa ambil sendiri.

mas hesa benar waktu bilang SMA bakalan jadi lebih seru kalau kita naksir orang, enggak ingat gimana caranya dia berakhir main basket melawan kelas tama dan teman-temannya, yang jio tau waktu itu itu menikmati permainannya dia lumayan dalam main basket karena sering diajari mas hesa yang memang bisa segalanya itu, jadi enggak heran kalau dia dapat beasiswa sampai ke luar negeri.

sambil menyelam minum air, mungkin itu yang dilakukan jio waktu itu diam-diam curi pandang ke mada yang setengah kaus nya hampir basah karena keringat, dasinya udah enggak tau hilang ke mana, bajunya juga udah enggak dimasukin ke dalam lagi entah sejak kapan. jio lupa kalau sambil menyelam minum air nya jangan kebanyakan nanti keselek karena setelahnya bola oranye dengan garis hitam itu menabrak bahunya sampai bikin oleng, enggak ada pilihan lain selain salaman sama lantai semen.

yang lain pada panik karena hantaman bolanya memang lumayan keras, sisanya cuma ketawa-ketawa (yang ini sudah pasti teman kelasnya), dia enggak kenapa-kenapa sih cuma tetap aja sakitnya bukan main dia sampai kesusahan buat bangun.

jio menerima asal uluran tangan yang berniat membantunya untuk bangun karena masih kagok dengan rasa sakit yang tiba-tiba datang tanpa aba-aba, “wah, lo makin tinggi ya.”

suara yang tidak asing lagi itu menyapa telinganya untuk beberapa saat, ada mada yang menatapnya masih dengan senyum tengilnya, bedanya kali ini suaranya makin berat, juga rahang-rahangnya yang kelihatan lebih tegas, seolah-olah dunia yang suka bercanda ini mengejeknya lagi karena yang bisa jio lihat cuma mada yang makin kelihatan seperti pemeran utama dalam sebuah drama karena cahaya matahari sore waktu itu terlihat lewat disampingnya, siapa yang enggak makin naksir kalau sudah begini.

“mbak, aku makin tinggi, ya?”

mbak anin yang lagi asik makan nasi pakai tumis kangkung itu agak melongo di buat adiknya karena datang-datang bertanya perihal sesuatu yang belakangan ini sering mbaknya singgung sambil tersenyum, dengan binar matanya yang membuat mbak anin berdoa dalam hati semoga si bahagia mau berteman baik dengan si bungsu.

manusia itu pelupa, mereka pelupa, lagi-lagi lupa, lupa kalau senang dan bahagia tidak pernah datang sendirian.

awal semester dua meskipun hampir kehabisan waktu, jio masih mengira kalau dia akan punya peluang, peluang setidaknya untuk mengenal sedikit lebih banyak tentang mada dari apa yang dia tau.

“lo juga baca buku itu?” mungkin memang jio punya kesempatan, “meskipun bahasanya lumayan bikin mikir, tapi kalau dibaca pelan-pelan pasti bisa paham dikit-dikit.”

“lo juga suka ba—”

“madaaaa, udah belum?”

“sebentar ini lagi ngobrol, coba deh lo baca bukunya carlos maria yang rumah kertas, kayaknya lo bakalan suka, bukunya lebih tipis dari le petit prince kayaknya lo bakalan suka.”

“nanti bakalan gue coba baca,” ada banyak tanya yang singgah di kepala jio hari itu, tapi entah kenapa semuanya seolah setuju untuk tidak memberikan jawaban sama sekali.

“duluan ya, pacar gue nunggu.” ternyata dunia yang brengsek ini mau mada sendiri yang memberi jawaban.

jio pikir dia akan kehabisan waktu kalau tidak mengambil peluangnya secepatnya ternyata dia sudah kehabisan waktu tanpa tau kalau dia sudah kehabisan waktu itu sejak lama, jio menatap dua punggung yang membelakanginya itu tengah berjalan beriringan sambil tertawa entah membahas apa, patah hati enggak pernah jadi hal yang menyenangkan.

tenyata selain banyak bercanda di dunia yang banyak sedihnya ini juga ternyata mereka enggak punya peluang.

seperti ombak pantai yang kembali menyapa batu karang, jio juga menyapa patah hatinya kembali.

jio enggak tahu kalau butuh waktu selama itu cuma untuk menjemput patah hatinya kembali dan buku rumah kertas itu cuma dibeli dan tidak pernah dibaca, dibiarkan begitu saja tersusun rapi bersama dengan buku-buku nya yang lain.

mbak anin enggak tau apa yang terjadi hari itu, jio pulang dengan mata sembab dan meringkuk masuk kedalam pelukannya sambil menangis kecil.

mbak anin enggak tau apa yang sampai membuat adik kecilnya itu menangis, ada sedih yang juga menyambutnya, sekuat-kuatnya dia menjaga adiknya tetap banyak hal yang diluar kendalinya, hidup memang brengsek, tapi anin sanggup melawan dunia yang brengsek ini untuk kedua adiknya.

“sedih ya? adek, di dunia yang banyak sedihnya ini semoga mbak anin dan mas hesa bisa jadi tempat pulang dari semua bentuk sedih yang kamu rasakan. ada mba dan mas hesa yang akan melawan dunia yang sedih ini untuk jio.”

“jio juga bisa lawan dunia yang banyak sedihnya ini untuk mba dan mas hesa.” anin tidak bisa untuk tidak tertawa sambil memeluk erat si bungsu sambil mengusap kepalanya karena si adik itu bicara seolah bisa melawan dunia dengan suara bergetar menahan sedih yang tidak terbendung.

ternyata mereka sudah sejauh dan sekuat ini.

“mba?”

“iya?”

“ayo ke makamnya bunda.”

pada kenyataannya patah pertama jio bukan mada. sebab patah pertama sudah datang sebelum mada singgah di sanggar hati si bungsu, di dunia yang ini di mana mereka enggak punya peluang tidak ada yang bisa jio lakukan kecuali berharap dalam hati.

berharap di cerita lainnya nanti mereka akan punya nasib yang lebih baik dan di dunia yang banyak sedih nya itu lagi mereka akan punya peluang.


© illicitesther 2023