the tatto in your neck


warnings! explicit contain, profanities, jadi tolong bijak dalam membaca.


suara debam pintu hanya jadi angin lalu ketika ketika tangan itu menariknya bahkan sebelum dia benar-benar menyadari apapun, toh dia tidak peduli juga. meraih yesha kedalam sebuah pangutan hangat yang memabukkan, tidak ada yang bisa yesha lakukan kecuali mengalunkan tangannya dan menerima semua apa-apa yang diberikan yang lebih muda.

sama seperti menggadai jiwa kepada penyihir diujung jelaga, yesha juga menggadai jiwanya kepada penyihir kedalam bentuk teman kelasnya. parasnya tidak pernah semenyihir itu sebelum mereka menjadi seperti ini, semua sentuhannya tidak pernah sememabukkan itu sebelum mereka menjadi seperti ini, mereka hilang kendali dalam mencari nikmat, mencari hangat, gagal dalam menemukan akal, dan berakhir menjadi racun.

tidak ada yang tahu pasti kapan hubungan teman kelas yang mereka jalani menjadi sesuatu yang lebih intim, tidak ada yang tahu pasti sampai kapan mereka akan menjadi seperti ini, tidak ada yang tahu pasti. yang mereka tahu hanya saling mencoba mendominasi satu sama lain, saling mencoba untuk mencemooh satu sama lain. basah, kulum, jilat, mereka bahkan tidak mencoba untuk mempertahankan kewarasannya, memberi makan ego untuk saling memberi nikmat.

ada deru napas yang saling bersahutan setelah ciuman yang entah seberapa lama, entah seberapa dalam. yang lebih muda senyum tipis sembari tangannya mengusap bibir tipis yang terlihat mengkilap di bawah cahaya remang yang hampir menanggalkan seluruh kewarasannya.

“enggak sabaran banget.” ucapnya setelah nafasnya yang sebelumnya tersendat itu kembali normal, yang ditanya tidak langsung memberi jawaban. tangannya sibuk menjajah setiap bagian wajah yang lebih tua, mengutuk dalam hati mengapa kewarasannya tidak pernah menyisakan tempat untuk orang yang sekarang ada dibawahnya.

“kenapa lama banget datangnya?”

yang lebih tua mendengus pelan, “lo pikir aja jam segini jalanan se-macet apa.”

dia tertawa menatap ekspresi tidak terima yang menggebu-gebu dari yang lebih tua, satu jarinya masih sibuk menggambar abstak di wajah yang lebih tua, sesekali tangannya menepikan poni yang dirasa menghalangi pandangannya. pergelutan hangat yang hampir berlanjut itu terjeda sebab suara dering telfon dari meja nakas membuat yang lebih muda mengutuk, yesha hanya tersenyum.

“kenapa?”

ada nada sarkastik yang keluar dari mulutnya pertama kali setelah panggilan itu dijawab, anak itu enggak pernah sabaran untuk hal yang satu ini.

yesha duduk menyandarkan punggungnya di sandaran tempat tidur menatap punggung polos pemuda di depannya, mungkin dia satu diantara orang beruntung yang bisa menatap punggung polos anggota band yang belakangan ini namanya mulai banyak dikenal, padahal dulunya hanya band kampus biasa.

tidak tahu pasti apa yang mereka bicarakan lewat telepon seluler itu, dia lebih tertarik menatap pemuda tanpa kain yang menutupi setengah badannya itu berbalik satu tangannya bersandar pada meja sedangkan tangan satunya di samping telinga memegang ponsel sembari menatapnya dalam. mungkin ini yang orang maksud hilang akal dalam tatapan.

malam pada akhirnya berjalan kearahnya setelah lima menit hanya saling tatap sembari membalas seseorang dari seberang sana, membiarkan kepala yang lebih muda bersandar di pahanya. tangannya memainkan rambut yang lebih muda dalam remang kamarnya, ini hanya satu diantara puluhan malam yang mereka lewati bersama di mana yesha dan malam berada tanpa jarak.

tangannya bergerak mengusap tinta hitam yang mewarnai leher yang lebih muda, tulisan vertikal yang sudah ada selama hampir setahun itu diusap, selalu menjadi bagian paling menarik untuknya.

malam bangun membuat yesha sejajar dengan posisi lehernya, tahu betul yesha menyukai tattonya. jadi dia membiarkan yesha untuk mengecupnya, membubuhi setiap hurufnya dengan kecupan, seolah huruf-huruf itu akan hilang jika dibiarkan begitu saja tanpa kecupan.

“enggak, kemarin juga gitu lagian.”

pembahasan abstrak yang yesha enggan pahami itu masih terus berlangsung tapi dia lebih memilih untuk terus memuja huruf-huruf yang menghiasi leher malam, diam-diam menghirup wangi dari yang lebih muda, diam-diam jatuh dalam kenyamanan, diam-diam jatuh ke dalam dasar samudra, melanggar apa-apa yang seharusnya tidak boleh dia lampaui.

telfon itu berakhir, ponsel merek mahal itu di lempar begitu saja seolah tak ada harga dirinya, malam lebih tertarik dengan pemuda yang asik menenggelamkan wajahnya di perpotongan lehernya. tangannya bergerak meraih pemuda itu, menatap tatapan yang seolah memohon untuk dirinya, malam selalu punya tempat untuk hilang akal kepada yang satu ini.

“suka banget sama tattonya?” yang lebih tua hanya mengangguk pelan, enggak menyangkal sebab tahu tuan muda arogan itu suka sekali dipuji.

“so, you wanna beg for that tatto?”

yang lebih tua menggeleng menyisakan tanya di dalam kepala yang lebih muda. suara deru napas mereka saling bersahut tapi tidak ada yang mau bersuara sama sekali, yang lebih tua malah menumpukan dagunya bahu yang lebih muda, mencoba meraih telinga malam.

“you said, that you like my tatto.”

“yeah. but, i wanna beg for you not for that tatto.”

yesha tahu betul bagaimana cara melucuti kewarasan si tuan arogan itu, sebab yesha adalah manifestasi dari segala bentuk kearoganan yang dimiliki malam.

mereka hilang akal bersama dengan deru napas yang saling memburu, malam memilih untuk ikut melucuti kewarasannya sendiri, yesha ikut menanggalkan kewarasannya yang tersisa sedikit, mereka sama-sama hilang di malam-malam yang selalu dilewatkan dengan menanggalkan kewarasan, hanya menyisakan mereka yang saling menyerukan nama satu sama lain sepanjang malam.

mereka bukan apa-apa, bukan sesuatu yang bisa diceritakan, mereka tidak pernah menjadi apa-apa, dan bukan apa-apa yang harus dipertanyakan, sebab mereka hanya dua ego yang saling memberi makan.

menjadi apa-apa yang seharusnya tidak perlu, sebab mereka hanya kemungkinan -kemungkinan yang tidak akan pernah terjadi.


© illicitesther 2023