Discombabulate
—warning // cheating
Gaduh.
Rapat anggota himpunan mahasiswa yang kini telah usai itu masih sangat gaduh dengan beberapa cerita mahasiswa yang belum beranjak dari tempatnya, begitu juga dengan sunghoon yang belum beranjak sama sekali dari tempatnya, dia berkali-kali mengecek pada layar ponselnya berharap satu bar notifikasi muncul untuk menghilangkan semua keresahannya selama dua minggu ini.
“Masih belum di kasih kabar juga?”
Netranya memilih untuk menatap kedepan lalu mengangguk kemudian kembali terfokus pada layar ponselnya mengabaikan yujin —sahabat karibnya sedari sekolah menengah, yang kini menatapnya sambil bertopang dagu.
Sunghoon menggigiti kuku tangannya pelan tanpa sadar, hal yang sering di lakukannya ketika sedang panik memikirkan sesuatu membuat yujin yang melihatnya mendengus kemudian menarik tangan sunghoon agar dia tidak terus-terusan menggigit kuku jarinya.
“Sebenarnya gue gak pengen ngomongin ini sama lo, tapi gue gak bisa ngeliat lo dua minggu ini uring-uringan banget. Jay bilang beberapa mahasiswa yang ikut demo dua minggu yang lalu di tangkap polisi.”
Pemuda itu termangu di tempatnya setelah mendengar penuturan yujin yang semakin membuat segela keresahannya kembali memuncak membuat sunghoon pusing dan kembali merasa mual-mual. Kali ini dia beralih mengetik beberapa digit angka di ponselnya kemudian memencet ikon untuk meneruskan panggilan ke nomor yang di tujunya.
Tidak terhubung, sunghoon kembali menggigiti jari kukunya ketika panggilan itu sama sekali tidak terhubung. Kemudian kini ikut meletakkan kepalanya untuk berbaring diatas meja berhadapan dengan yujin yang bertopang dagu menatapnya malas di samping ponselnya yang masih terus mencoba untuk memanggil seseorang.
“Sunghoon, lo tau gak sih sampai sekarang gue masih gak paham apa yang lo liat dari orang itu. Sekali liat aja semua orang juga tahu kalau cowok itu gak bener, apalagi pas demo itu kita semua bisa liat dia yang berdiri paling depan, suaranya paling lantang, gue akui itu terlihat keren tapi tetep aja dia tuh gak bener hoon, pentolan kampus sering gelud sana- sini.
Apalagi sekarang lo sama dia jalan 6 bulan tanpa ketahuan orang lain, kecuali gue, itupun gue gak akan tahu kalau gue gak mergokin lo ciuman sama dia di apartemen lo.” Jelas yujin yang membuat sunghoon panik.
“Yang itunya gak usah di jelasin juga!!” Ucap sunghoon dengan kesal, kedua alisnya bertaut dengan wajah memerah, “Gimana kalau orang lain dengar?!?!”
“Bagus lah, biar mereka semua tau kalau lo itu sebenarnya udah gak jomblo lagi biar si ketua BEM itu gak ngejar-ngejar lo terus, tapi honestly gue lebih setuju lo sama ketua BEM di banding sama si badungan itu.”
Pikiran sunghoon kacau, dia tidak pernah berfikir akan kehilangan kabar pacarnya selama dua minggu, itu membuat semua fokusnya hilang bahkan ketika rapat himpunan berlangsung sunghoon sama sekali tidak mendengarkan, pikirannya melalang buana begitu jauh hingga membuatnya beberapa kali sempat di tegur dan berakhir dengan sunghoon meminta maaf.
Yujin kemudian mengusulkan mereka untuk segera pulang karena hari sudah hampir larut, yang langsung di iya-kan oleh sunghoon yang juga sudah mulai lelah dengan semua pikirannya yang mulai bercabang kemana-mana, dia butuh istirahat.
Dering telfon itu membuat sunghoon dan yujin yang sedang menikmati makanan di salah satu warung di dekat kampus mereka teralih dengan dering ponsel sunghoon yang menunjukkan beberapa digit angka, nomor baru. Yujin langsung mengambil alih ponselnya sunghoon sendiri juga tak masalah dia lebih memilih untuk melanjutkan kegiatan makannya yang sempat tertunda.
“Sunghoon?”
“Gak ada sunghoon di sini, jangan pernah telfon sunghoon lagi!!” Yujin tak sengaja mengeraskan suaranya membuat sunghoon kini beralih menatap yujin.
“Please, jin. Gue pengen ngomong sama sunghoon.”
“Lo masih ingat sunghoon ternyata, gue kira lo udah lupa kalau lo punya sunghoon.”
“Sebentar aja, kasih telfonnya ke sunghoon dulu, gue pengen ngomong sama pacar gue dulu.”
“Wah.” Sunghoon bisa melihat ekspresi wajah yujin yang berubah sangat datar, “Ada ya pacar yang seenaknya hilang tanpa kabar, lo ilang sebulan itu kemana aja Lee heeseung?! Lo fikir sunghoon apaan?”
Sunghoon yang tahu yujin kali ini sangat tersulut emosi langsung mengambil alih telfonnya, pelan-pelan mendekatkan ponselnya di telinga.
“H-halo?” Sunghoon tidak bisa mengontrol suaranya yang mendadak terbata.
“Sunghoon?”
Sunghoon terdiam beberapa saat setelah mendengar suara di sebrang sana, suara yang beberapa bulan lalu masih sering di dengarnya entah itu dari sambungan telfon atau suara pemuda itu yang datang tiba-tiba mengetuk pintu apartemennya ketika sunghoon merengek mengatakan bahwa dia merindukan pemuda itu di sambungan telfon.
Sebulan tak mendengar suara pemuda itu lagi rasanya mulai asing, rasanya sesak ketika sunghoon kembali mendengar suara pemuda itu dia menunduk kemudian menjawab pelan.
Yujin melihatnya, melihat raut wajah sedih yang terpancar di wajah sahabat karibnya itu, alasan yang selalu membuatnya sangat membenci lee heeseung, sunghoon selalu sedih ketika bersama pemuda itu dia seenaknya pada sunghoon, sunghoonnya itu terlalu lugu dalam percintaan. Sembilan belas tahun sunghoon hidup lee heeseung itu orang pertama yang berhasil menaklukkan hati sunghoon, yujin marah, sangat di luar ekspektasinya ketika mengetahui sunghoon justru jatuh hati dengan pentolan kampus, yujin tak pernah suka dengan heeseung padahal jake ketua BEM mereka secara terang-terangan mengaku bahwa dia menyukai sunghoon tapi sayang sekali sunghoon malah jatuh lebih dulu jatuh hati dengan ketua organisasi pecinta alam itu.
“Dari mana aja? Kenapa baru ngabarin sekarang?” Sunghoon bertanya sambil menunduk membuat yujin kini berhenti menatapnya dan memilih untuk kembali menyantap makanannya.
“Maaf.”
“Sumpah, demi tuhan kak sunghoon gak butuh permintaan maaf dari kakak.”
“Sebulan ini kemana aja? Kenapa baru ngabarin sekarang? Kakak udah lupa sama aku?”
“Kakak di tahan, hoon.”
Sunghoon sebetulnya tidak peduli dengan tatapan beberapa orang di tempat ini yang menatapnya dengan tatapan seolah bertanya, apa yang di lakukan seorang mahasiswa di kantor polisi seorang diri, sunghoon benar-benar tak peduli dia lebih memilih untuk mengikuti pemuda dengan seragam khas polisi itu menuntunnya menuju salah satu sel ruangan, sunghoon berterima kasih ketika pemuda itu telah selesai mengantarnya dan memberi sedikit beberapa nasihat hal apa ssja yang harus dia patuhi selama berada di tempat ini.
Sunghoon terdiam beberapa meter dari jeruji besi itu, matanya menangkap seorang pemuda dengan pakaian khas tahanan tengah bersandar di dinding ruangan itu sambil menutup mata, sepertinya tak menyadari kehadirannya.
Kakinya melangkah pelan mulai mendekat nafas sunghoon sempat tercekat beberapa kali berharap ini semua hanya mimpi tapi tak bisa karena itu benar Lee heeseung yang tengah di tahan di penjara di kota mereka, sunghoon berjongkok memegangi besi-besi pembatas rasanya dia ingin menangis saat itu juga ketika melihat heeseung kini membuka matanya mereka bersitatap, sunghoon kemudian dengan cepat megalihkan pandangannya untuk menghapus air matanya yang kurang ajarnya keluar begitu saja.
Heeseung sendiri masih mencerna semuanya, kemudian berjalan mendekat ketika melihat sunghoon berjongkok memalingkan wajahnya, heeseung tau pemuda itu menangis, rasa bersalah kembali menyelimuti dirinya ketika sunghoon kembali menatapnya dengan wajah memerah.
“A—aku bawa makanan buat kakak, di makan ya.”
Heeseung mengulum senyumnya, kemudian mengangguk. “Kesini sama siapa?”
“Aku sendiri, gak mungkin buat ngajak yujin.”
Heeseung mengangguk paham, dari awal yujin memang secara terang-terangan mengakui jika dia tidak menyukai heeseung ketika dia tak sengaja menemukan mereka berdua di apartemen sunghoon hari itu, heeseung sendiri juga sadar kenapa gadis itu sangat membenci dirinya.
“Kenapa bisa sampai kayak gini?” Heeseung diam tertegun.
“Maaf.”
“Kak, dari awal aku udah bilang gak butuh kata maaf, sunghoon cuma butuh penjelasan kenapa kakak bisa sampai di tahan padahal waktu itu kakak udah janji sama aku gak akan ikut demo lagi.” Ungkap sunghoon kemudian mengusap kasar air matanya.
Sunghoon benar-benar tidak sampai hati melihat heeseung berada di balik jeruji besi ini membuat hatinya sakit.
“Maaf, maaf hari itu kakak bohong sama kamu. Kakak kira semuanya bakal jalan kayak biasanya jadi kakak rasa gak apa buat ikut demo untuk terakhir kalinya, tapi perkiraan kakak salah polisi datang dan nangkap kami semua.”
Tangan heeseung kini beralih meraih lengan sunghoon yang sedari tadi bergetar karena menahan segala emosinya, heeseung tahu sunghoon itu pandai sekali menyimpan amarahnya.
Lengan sunghoon yang bergetar di raihnya kemudian menaruhnya untuk menangkup kedua pipinya, heeseung mengelus jari sunghoon yang kini menangkup kedua pipinya merasakan hangat yang sejujurnya cukup dia rindukan.
Satu lengannya kini beralih untuk menghapus air mata yang membasahi wajah cantik kekasihnya itu, “Jangan nangis lagi ya cantik, kamu jelek kalau nangis.” Heeseung tertawa di akhir kalimatnya membuat sunghoon menrengut di tengah tangisannya.
Heeseung rasanya ingin merengkuh pemuda itu kedalam pelukannya, menangkannya dan mengatakan bahwa ia tak perlu menangis karena dia sendiri tak apa, ini bayaran karena telah melanggar janjinya.
Heeseung ingin merengkuh sunghoon membawanya kedalam sebuah dekapan hangat yang mampu menghilangkan segala rasa resah di dalam hati, namun kali ini mereka tak bisa, mereka terhalang sebuah jeruji besi, membuat heeseung sadar bahwa apa yang selama ini di lakukannya adalah salah.
“Orang tua kakak gimana?” Pertanyaan yang cukup untuk membuat heeseung terdiam sejenak sebelum kemudian kembali mengelus jari sunghoon yang masih setia menangkup wajahnya.
“Dari awal kamu udah tahu mereka udah gak perduli sama kakak, kemarin mereka datang setelah tau kakak di tahan. Kakak di drop out, kemungkinan berenti kuliah atau enggak lanjut kuliah di kampus lain kayaknya di luar kota.”
Sunghoon lagi-lagi tak bisa untuk menahan tangisnya ketika mendengar bahwa heeseung telah di drop out dari kampus, heeseung sudah menjalani kehidupan yang cukup berat, orang tuanya berhenti peduli padanya beberapa tahun lalu, selalu di sisipkan diantara kedua saudaranya yang lebih unggul darinya, mungkin dengan fakta bahwa dia di drop out dari sekolah hanya akan membuat kedua orang tuanya menambah kebencian untuk dirinya.
“Aku gak tahu harus gimana, tapi kakak harus ingat kalau kakak selalu punya aku, ada aku yang bakal berdiri terus di samping kakak.”
Hari itu sunghoon berjanji kepada dirinya sendiri, berjanji kepada heeseung, berjanji kepada dunia bahwa ketika semua orang meninggalkan heeseung dia akan menjadi satu-satunya orang yang akan memilih untuk terus berdiri di sampingnya untuk berjalan beriringan.
Sunghoon menunggu selama enam bulan untuk heeseung bisa di bebaskan menanti heeseung tanpa mengeluh sedikitpun itu membuat heeseung kembali di serbu rasa bersalah yang teramat dalam.
Seharusnya mereka tak begini.
Sunghoon kali ini tidak tahu bagaimana ceritanya dia dan yujin berakhir di sentral bisnis —festival stan makanan, mereka duduk berdua dengan beberapa makanan pesanan mereka.
“Lo kenapa deh tiba-tiba ngajak gue ke sini?” Tanya sunghoon pada akhirnya.
“Gapapa pengen jalan sama lo aja, belakangan ini lo sibuk bolak kantor tahanan, tiap gue datang ke apart lo udah gak ada.” Tukas yujin kemudian kembali menyeruput greentea yang telah di pesannya.
Sunghoon tidak menjawab malah memilih untuk untuk menyantap makanan yang terasaji di hadapannya. Enam bulan berlalu begitu saja dengan cepat, tak terasa minggu lalu sunghoon telah menjemput heeseung di depan kantor tahanan, memeluk heeseung dengan segala perasaan yang membuncah, sunghoon bersyukur bahwa akhirnya heeseung sudah terbebas.
Pemuda itu juga seminggu ini sering mengunjungi apartemennya entah datang untuk membawa makanan atau datang untuk sekedar melepas rindu menghabiskan waktu seharian menonton serial netflix rekomendasi dari beberapa teman sunghoon yang gemar marathon film.
Sunghoon kemudian memilih untuk diam mendengarkan sesekali menanggapi segala curhatan yujin tentang betapa bosannya dia dengan segala aktivitas kampus yang membuat kepalanya hampir pecah, di tambah dengan tugas-tugas dari beberapa dosen yang tambah menyusahkannya dengan segala tugas yang mengharuskan kepala berfikir sepuluh kali lebih cepat dari biasanya.
Yujin kemudian menatap malas kearah sunghoon yang kini terfokus denga ponselnya hanya sesekali mengangguk menanggapinya, gadis itu mendengus kemudian kembali menyesap greenteanya menatap keadaan sekitar yang cukup ramai.
Lampu-lampu dengan dengan payung berbagai warna menghias di sepanjang jalan, orang-orang berlalu lalang singgah dari satu stand menuju ke—stand lain, berada di keramaian di tempat yang cukup memanjakan mata setidaknya membuat pikirannya terasa lebih fresh .
Gadis itu sibuk memperhatikan setiap orang yang datang dan pergi meninggalkan festival ini, awalnya dia biasa saja tak ada yang aneh, namun kini pandangannya tertuju pada seorang pemuda yang baru saja memasuki area sentral bisnis sambil berpegangan tangan, sesekali bertukar canda yang membuat keduanya tertawa.
Brengsek
Yujin panik, kemudian beralih menatap sunghoon yang masih sibuk mengunyah makanannya dengan mata yang tak pernah beralih dari layar ponselnya, sedikit bersyukur dalam hati ketika menyadari bahwa pemuda itu tidak menyadari kedatangannya.
Pikirannya berkecamuk apa kiranya yang harus dia lakukan agar mereka bisa segera pergi menjauh dari kawasan ini.
“Masih mau pesan apa? Makanan lo udah abis punya gue juga, kita balik yuk.” Gadis itu langsung membereskan barang-barangnya.
Setelahnya menarik sunghoon yang menatapnya bingung, “Bentar kita di sini dulu, jam 10 kita baru pulang deh heeseung bilang dia mau datang jam 10 nanti sekalian aja lagian juga di sini bagus kok.”
“Iya dia bilang jam 10, soalnya kalau sekarang lagi selingkuh.”
Ingin sekali rasanya gadis itu berucap lantang namun sadar bahwa dia hanya akan di anggap melantur atau parahnya dia dan sunghoon di sangka sepasang kekasih yang tengah bertengkar.
“Pulang yuk gue kedinginan, pengen buang air serius deh udah di ujung banget ini.”
Kedua alis pemuda bertaut, tidak biasanya yujin bersikap seperti itu, “WC umum ada kali, biasanya juga lo di situ.”
Yujin semakin panik ketika melirik kedua orang yang berusaha di hindarinya itu justru kini berjalan menuju stand makanan yang ada di dekat mereka. Yujin sebisa mungkin bergerak kesana kemari agar pandangan sunghoon terhalang oleh tubuhnya, berdoa dalam hati agar hari ini tidak berakhir buruk.
Namun baru saja selesai berdoa, doany sudah tidak di jabah ketika sunghoon memfokuskan penglihatannya dan menggeser tubuh yujin yang menghalangi pandanganny, sunghoon terdiam menatap kearah salah satu stan makanan di depannya.
Awalnya dia menolak untuk percaya namun pemandangan di depannya itu terlihat sangat nyata dimana heeseung menggandeng lengan seorang gadis. Mungkin memang tuhan ingin segera kisah ini berakhir ketika heeseung berbalik netranya juga langsung menatap sunghoon mereka berpandangan beberapa saat tenggelam dalam kelam, pikiran sunghoon berkecamuk.
Dia jadi paham kenapa yujin ngotot meminta pulang karena telah menyadari lebih dulu kedatangan kedua orang itu.
Seolah dunia memang ingin sekali menampar sunghoon dengan sebuah realita ketika heeseung memutus kontak mata mereka lalu pergi menarik lengan gadis itu agar segera meninggalkan mereka.
Mereka pulang diantarkan jay yang tiba-tiba datang menjemput karena mendapat pesan dari yujin, sepanjang jalan sunghoon hanya diam tak berniat bicara sepatah katapun sesampainya di apartemennya juga tidak, jay dan yujin hendak menawarkan diri untuk menemaninya namun sunghoon menggeleng dengan pelan mengatakan bahwa dia tak apa.
Kedua sahabatnya itu dengan berat hati meninggalkan dirinya yang ngotot mengatakan bahwa dia tak apa, sesampainya di dalam rumah sunghoon segera menuju kedalam kamar mandi mengisinya dengan air kemudian berendam dengan pakaian untuh.
Sunghoon butuh merasakan dingin ini untuk menetralkan perasaan sesak di dalam hatinya yang terasa sangat menyiksa, memang sunghoon tidak mengeluarkan air mata sama sekali tapi rasa sakit hatinya sangat luar biasa sampai-sampai dia beberapa kali menepuk dadanya untuk menghilangkan perasaan sesak yang menganggu itu.
Kini, sunghoon memilih untuk menenggelamkan seluruh tubuhnya di dalam bathtub cukup lama namun tak lama kemudian dia kembali naik mengatur nafasnya dan melirik ponselnya yang bergetar diatas meja di samping bathtub.
Itu pesan dari heeseung namun sunghoon memilih untuk menyelesaikan semuanya hari ini, sunghoon sering kali mendapat pertanyaan dari yujin perihal selama hampir setahun ini apa yang sedang sunghoon pertahankan.
Maka hari ini sunghoon bisa menjawabnya, selama ini yang dia coba pertahankan adalah perasaannya yang terlanjur jatuh kedalam jurang milik heeseung.
Namun pada akhirnya sunghoon memilih untuk menyelesaikan kisah mereka, jika ini sebuah novel mungkin ceritanya berhenti di tengah-tengah cerita yang selebihnya nanti hanya akan menjadi kertas kosong.
Sungguh menyerah dia sadar dia bukanlah seberapa di bandingkan dengan sanggar hati heeseung yang tulus dan membentang, seharusnya dalam kisah ini dia tak memaksa memasukkan namanya.
Pun juga sedari awal sunghoon tahu kebenaran yang sejujurnya hanya saja dia memilih naif, memilih untuk pura-pura tidak tahu dan bertingkah seolah dia memang satu-satunya milik heeseung.
Namun kali ini sunghoon sadar mau dia melakukan apapun dia telah kalah di sini, dia hanya bahan taruhan yang harus siap di campakkan kapan saja ketika dia sudah terjatuh.
Setelah membalas pesan heeseung, sunghoon segera menaruh ponselnya kemudian kembali bersandar di bathtub menatap langit-langit kamar mandi apartemen minimalis miliknya.
Sunghoon menghela nafasnya kasar, sebelum memilih untuk menutup matanya menikmati sensasi dingin yang mulai menusuk kulitnya.
Sejatinya beberapa orang datang dan pergi dari hidup kita hanya untuk membawa sebuah pelajaran, untuk sunghoon sendiri mungkin dia akan belajar untuk tidak terlalu naif dengan perasaannya, tak akan menyiksa diri lagi ketika ternyata rasa sakitnya akan semenyiksa ini.
Pun mungkin semesta mempertemukan mereka hanya untuk menjadi sebuah memori yang nantinya bisa sunghoon kenang sepanjang hidupnya.
Kisahnya bersama heeseung mungkin akan abadi di dalam memorinya, bahwasanya dia pernah sebegitu naifnya dengan perasaannya sendiri kemudian sadar kenaifan itu yang membawanya kedalam jurang paling dalam rasa sakit.
Bahwasanya ketika hati mulai bertindak logika tidak lagi berguna.