Adronitis


Menjalani sebuah hubungan yang di dasari atas nama perjodohan itu memang tidak pernah semulus yang di bayangkan, awalnya sunghoon pikir ia tak akan apa-apa jika mereka membutuhkan waktu yang sangat lama untuk bisa saling mengenal dia akan menunggu, sunghoon tak apa jika mereka hanya bertukar sapa di pagi hari atau sekedar senyum canggung satu sama lain tak apa jika mereka tidur di atas kasur yang sama tapi dengan jarak yang memisah, tak apa jika dia hanya bisa menatap wajah sang suami ketika tidur.

Namun kenyataannya, semakin lama sunghoon semakin lelah dengan segala harapannya, lelah berdoa agar kelak mereka tidak akan hanya bertukar selamat pagi atau berbagai senyum canggung. Sunghoon ingin mereka bertukar senyum tulus tanpq kecanggungan dia ingin suatu saat mereka bisa berbagi cerita tanpa ada rasa canggung lagi, namun sepertinya tuhan enggan mengabulkan permintaannya dua tahun dalam pernikahan mereka tak ada yang berbeda masih sama seperti awal mereka memikah, sangat canggung.

Dua tahun dengan status pernikahan, dua tahun mereka tinggal seatap namun tak ayalnya hanya dua orang asing yang tinggal satu atap, seperti orang asing yang tak sengaja tinggal serumah atau singkatnya hanya roomate.

Sunghoon lelah dua tahun nyatanya tak membuahkan hasil, dua tahun dia bersabar dua tahun dia berharap dan dua tahun dia mencoba untuk lebih dekat dengan suaminya yang tidak membuahkan hasil apapun. Maka hari ini sunghoon menyerah, kali ini dia duduk dengan tangan yang di penuhi peluh mengetuk-ngetuk kursi beberapa kali untuk menghilangkan rasa gugupnya.

Sunghoon tidak tahu apakah ini sudah benar atau tidak, tapi dia ingin melepas segala rasa sesak di hatinya melepas segala rasa sedih yang membelenggu setelah sekian lama, sunghoon memilih menyerah dengan perasaannya sendiri.

“Sunghoon jangan gila, pisah bukan jalan satu-satunya.”

Itu kalimat terakhir yang di dengar sunghoon ketika panggilan telepon seluler itu berakhir, sehabis mereka bertukar pesan setelah sunghoon mengungkap segela keresahan hatinya jake segera menelfonnya mengatakan bahwa berpisah mungkin bukan jalan satu-satunya.

Namum sunghoon sudah menyerah, dia tidak bisa terus memperjuangkan orang yang bahkan mungkin tidak mengindahkan kehadirannya, sunghoon merasa bahwa berpisah adalah jalan terbaik untuk mereka yang memang sedari awal mereka adalah orang asing yang terpaksa tinggal seatap.

Sunghoon masuk kedalam kamar mereka meraih foto pernikahan mereka yang ada diatas meja nakas, sunghoon mengusap foto tersebut dengan pelan menatap sendu kedua orang yang saling bergandengan tangan sambil tersenyum satu sama lain itu membuat dadanya sesak menyadari bahwa di kenyataan mereka tidak akan pernah bisa seperti itu.

“Aku mau pisah.”

Di malam yang cerah hari itu sunghoon telah meyakinkan dirinya untuk menunggu heeseung pulang dan menyerahkan langsung selembar kertas pernyataan untuk mereka berpisah.

Pernyataan yang cukup untuk membuat heeseung diam membisu di tempatnya dengan sebuah tas dan sarung tangan tinju di tangannya, banyak hal yang berputar di dalam kepalanya seperti hari pertama mereka bertemu dengan penuh kecanggungan juga di hari pernikahan mereka yang terkesan cukup kaku hingga saat ini, heeseung sebetulnya paham kenapa sunghoon memilih untuk menyerahkan selembar kertas pernyataan untuk berpisah, namun heeseung menggeleng kemudian mengulurkan tangannya untuk mengambil surat itu kemudian kembali memberikannya dengan sunghoon secara pelan.

“Satu minggu, kasi aku waktu satu minggu.” Namun sunghoon memilih abai kemudian menggeleng.

“Aku mau pulang ke rumah aku, mas.”

“Kamu udah di rumah, kenapa mau pulang lagi?”

Sunghoon menggeleng matanya mulai berkaca-kaca, “Ini bukan rumah aku, mas. Rumahku ada di bandung rumah orang tuaku.”

Heeseung kembali di buat terdiam ketika melihat sunghoon mengusap air matanya diam-diam, lengan heeseung kemudian terulur untuk mengusap air mata sunghoon, “Satu minggu, kasih aku waktu untuk selesain pertandingan aku dulu. Kamu bisa pulang ke rumah orang tua kamu, tapi jangan pernah lupa rumah kamu yang sebenarnya.”

Percakapan malam itu membuat hubungan keduanya menjadi renggang, sunghoon pulang ke rumah orang tuanya seperti apa yang dia mau sedangkan heeseung semakin hari semakin sibuk dengan latihannya.

Peluh bercucuran di seluruh tubuhnya, memar di sana sini tidak heeseung pedulikan. Samsak tinju itu terus-terusan di pukuli tanpa ampun, membuat joongseong, pelatihnya memandang ngeri melihat betapa ekstrem nya latihan heeseung kali ini.

“Lo mau latihan sampai tenaga lo habis terus kalah di pertandingan atau gimana, sih? Gue tau lo semangat banget nunggu pertandingan ini tapi gak gini caranya, Lee.”

Heeseung tersadar dari kegiatannya kemudian memegangi samsak tinju yang bergerak kesana kemari kerena terlalu lama di pukuli, dia kemudian menatap samsak tersebut tidak sadar bahwa dia sepertinya berlatih terlalu berlebihan, pikirannya bekecamuk hingga tidak sadar bahwa dia memukuli samsak tinju terlalu lama.

Heeseung kemudian menatap jam dinding yang menunjukkan pukul sebelas lewat, waktu latihannya telah selesai dari 30 menit yang lalu dia kemudian membereskan barangnya bergegas untuk pulang. Jarak rumah dan tempat latihannya sebetulnya cukup jauh heeseung harus menaiki bus dan berhenti di persimpangan jalan, setelah turun dari bus dia akan berlari kecil sembari melatih pukulannya hingga sampai di depan pintu rumahnya.

Heeseung menatap rumah minimalis itu redup tak ada cahaya lampu yang biasanya masih menyala di semua bagian rumah, dia masuk kedalam rumah menaruh sepatunya di bagian rak di samping pintu menyalakan lampu yang biasanya masih menyala ketika dia pulang.

Ada rasa kosong yang menganggu ketika dia menyadari bahwa rumah ini lebih sepi dari biasanya, walaupun rumah ini sebetulnya memang sepi tapi tidak pernah heeseung merasa se sepi ini. Selesai mandi dan membereskan diri dia masuk kedalam kamar, hampa.

Tak ada lagi punggung yang selalu menyambutnya ketika dia masuk kedalam kamar, bagian pinggi tempat tidur yang biasanya di isi seseeorang itu kini kosong, mungkin ini yang seringkali sunghoon rasakan.

Heeseung merebahkan tubuhnya kemudian menghadap ke sisi kosong tempat tidurnya, biasanya sebelum terlelap dalam tidurnya heeseung akan menyempatkan diri untuk mengelus wajah cantik suaminya atau hanya sekedar menatap wajah cantiknya yang terkadang mengerut ketika memimpikan sesuatu.

Heeseung tersenyum mengingat kembali kebiasaan yang sering di lakukannya ketika sebelum tidur, “Cepat pulang ke rumah ya, hoon.”


Satu minggu tinggal di kediaman orang tuanya cukup banyak kebiasaan yang tidak pernah bisa sunghoon lupakan, seperti ketika di ruang tamu hingga larut malam menunggu seseorang dan kemudian terdiam ketika menyadari bahwa mereka tak lagi tinggal di satu atap lagi.

Awal kedatangannya seorang diri ke kediaman orang tuanya cukup membawa tanda tanya besar pada kedua orang tuanya, seperti menanyakan kenapa dia tidak datang bersama suaminya yang di jawab sunghoon dengan mengatakan bahwa dia hanya merindukan orang tuanya dan heeseung sibuk dengan pelatihannya membuat orang tuanya tak banyak bertanya lagi.

Namun seorang ibu adalah orang yang paling paham tentang anaknya sendiri, dia tidak bodoh untuk menyadari ada yang berbeda dari kepulangan anaknya ke rumah, maka hari ini di meja makan yang menyisakan mereka berdua karena sang ayah telah pergi ke kantor duluan sang ibu bertanya.

“Kamu kalau ada masalah cerita sama ibu, jangan diam aja ya, nak.” Sunghoon yang awalnya masih setia menyuapkan makanan masuk kedalam mulutnya terdiam.

“Sunghoon gak kenapa-kenapa kok, gak ada masalah apa-apa, aku pulang ya karena emang lagi kangen ibu sama ayah.”

“Sunghoon, ibu kenal kamu gak hanya setahun dua tahun. Ibu sering dengar kamu nangis tiap malam, kadang kamu larut malam di depan telvisi ngeliat ke pintu terus. Kamu ada masalah sama nak heeseung?”

Sunghoon yang terdiam pun juga menjadi jawaban iya kalau mereka tengah berada di dalam sebuah masalah yang tidak jelas jalan keluarnya.

“Ibu gak maksa kamu untuk cerita nak, tapi jangan pernah bersikap gegabah ya? Kalau ada hal yang tidak sepaham antara kamu dan nak heeseung di bicarakan baik-baik jangan ambil keputusan sendirian.”

Ada banyak hal yang kemudian di sadari sunghoon bahwa mereka memang tidak pernah membicarakan hal-hal dengan serius karena kecanggungan yang terus-terusan berada dianatara mereka.

“Aku minta pisah sama mas heeseung.”

Pernyataan yang cukup untuk membuat sang ibu berhenti dari segala kegiatannya kemudian beralih menatap putra tunggalnya yang tengah menunduk mempermaikan nasi diatas piringnya.

“Dua tahun kami nikah tapi kayak orang asing bu, gak ada alasan buat sunghoon tetap tinggal mas heeseung bukan rumahku.”

Sang ibu tersenyum kemudian berjalan mengambil tempat di samping putranya, menarik sunghoon kedalam pelukannya kemudian mengelus surai putranya.

“Sebenarnya perjodohan kamu dengan heeseung itu sempat di batalkan.” Ada jeda sebentar sebelum sang ibu kembali melanjutkan ucapannya, “Tapi heeseung menyakinkan ibu dan bundanya untuk tetap melanjutkan perjodohan kalian, dia bilang dia suka sama kamu meskipun kalian belum pernah ketemu langsung. Heeseung diam-diam sering datang ke kampus kamu untuk sekedar liat kamu kadang juga singgah ke rumah bawa makanan yang biasa kamu makan sepulang kuliah. Selama ibu kenal heeseung juga ibu tau dia itu bukan orang yang bisa terus terang tentang perasaannya tapi dia selalu punya bukti kalau dia sayang sama seseorang, di pikirkan baik-baik keputusan kamu ya, nak. Jangan nanti kamu menyesal karena perbuatanmu sendiri.”

“Tapi mas heeseung gak punya bukti kalau dia sayang sama aku bu.” Suara sunghoon teredam di ceruk leher ibunya menahan tangisnya.

“Coba ingat hal-hal kecil yang biasa dia lakukan sama kamu.”

Ingatan sunghoon kembali menerawang jauh kembali ke hari hari dimana dia masih tinggal seatap denga orang yang berstatus suaminya itu, sunghoon ingat setiap pagi sebelum pergi latihan dia selalu sempat menyiapkan sarapan untuknya yang terkadang lambat bangun, dia ingat tiap malam terkadang dia lupa memakai selimut saat pagi ketika dia terbangun tubuhnya di telah di balut selimut hangat, juga sunghoon ingat hari dimana dia meninggalkan berkas keperluan kantornya heeseung jauh-jauh datang ke kantornya untuk membawakan berkas yang tergeletak di meja makan di tengah waktu latihannya yang padat.

Sunghoon sadar selama ini dia hanya fokus pada mereka yang canggung tidak seperti hubungan rumah tangga orang lain padahal setiap orang punya caranya sendiri untuk mengungkapkan perasaan mereka tanpa harus di suarakan.

Maka dengan itu sunghoon segera bergegas ke dalam kamarnya meraih ponsel pintar miliknya, mencoba mengirimi pesan juga telfon ke nomor heeseung, sunghoon juga kemudian sadar bahwa seminggu dia mengirim pesan kepada heeseung tak ada satupun pesan yang terbaca membuatnya memutar otak dan menemukan satu kontak yang kemungkinan besar tengah bersama suaminya.

Suara dering bunyi cukup lama sebelum sebuah suara menyambut indra pendengarannya.

“Sunghoon, kenapa nelfon? Gue kira lo udah sampai di sini.”

Sunghoon sebetulnya sedikit bingung dengan ucapan dari pelatih suaminya itu.

“Heeseung dimana?”

“Lah, hari ini kan dia ada pertandingan. Gue kira dia ngajak lo buat nonton buat liat pertandingan terakhirnya.”

Sunghoon di buat banyak bertanya dalam hati, apa maksudnya pertandingan terakhir dan ajakan menonton.

“Hadiah ulang tahun pernikahan kalian yang kedua pertandingan terakhir heeseung dia bilang itu hadiah pernikahan kalian, dia pengen fokus sama kehidupan rumah tangganya dari sebulan yang lalu juga dia udah beli tempat buat ngejalanin usaha toko kue yang lo mau katanya.

Pertandingannya bentar lagi mulai, ayok nyusul kesini semangatin suami lo.”

Sambungan telfon terputus sunghoon masih tidak percaya dengan fakta yang baru saja dia ketahui, bahwasanya heeseung diam-diam membaca catatan keinginannya yang di simpan di dalam laci di samping tempat tidur.

Sunghoon mengambil hoodie maroon yang biasa heeseung pakai ketika latihan, hoodie yang sengaja sunghoon bawa entah untuk alasan apa. Hoodie bertuliskan nama heeseung dengan logo sarung tinju di bawahnya, sunghoon memakai hoodie itu kemudian lantas mengambil kunci mobilnya bergegas menuju tempat pertandingannya.


Sunghoon sampai di sebuah gedung setelah dua jam lebih melakukan perjalanan, sunghoon masuk dengan terburu-buru detak jantungnya berpacu seirama dengan langkahnya yang semakin cepat.

Butuh waktu yang lama untuk sampai ke tempat ini jalanan sempat macet membuat sunghoon berdoa dalam hati semoga dia tidak terlambat. Sunghoon masuk kedalam ruangan dimana banyak sekali penonton yang bersorak riang meneriakkan nama suaminya.

Di dalam ring sana sunghoon bisa melihat heeseung yang tengah beradu pukulan dengan lawannya, sunghoon kemudian menerobos ketempat duduk kosong di sebelah ring pertandingan.

Untuk pertama kalinya sunghoon melihat langsung bagaimana heeseung di atas ring, bagaimana dia melesakkan tinjunya ke pada lawannya juga tatapan mengintimidasi yang tidak pernah sunghoon linat sebelumnya, heeseung yang ada di atas ring tinju ini adalah orang yang berbeda.

Ada rasa nyeri melihat bagaimana memar di seluruh tubuh heeseung, di sudut pipi kiri dan kanan juga bagian hidung yang lecet dan mata kirinya yang terlihat sedikit membengkak lawannya kali ini adalah lawan yang sepadan dengannya. Berkali kali heeseung terhuyung berkali-kali juga dia membalas lawannya membuat sunghoon kadang menutup mata tak sanggup melihatnya.

Ronde kesebela berkahir mereka di biarkan beristirahat, sunghoon rasanya ingin menghampiri heeseung yang terlihat kelelahan apalagi dengan memar di sekujur tubuhnya, sunghoon tak pernah tahu bahwa pertandingan tinju akan separah ini.

Joongseong yang sedari awal menyadari kedatangannya lantas menyentuh bahu heeseung mengarahkan heeseung untuk melihat kearahnya, heeseung segara menengok bersitatap dengan sunghoon yang berada di kursi penonton, sunghoon rasanya ingin menangis ada perasaan membuncah di dalam hatinya ketika melihat heeseung dia tidak bisa menahannya kemudian mengusap air matanya sambil tersenyum kearah heeseung kemudian mengucap 'Semangat' tanpa suara di sertai dengan gerakan tangan yang membuat heeseung tersenyum mengangguk menanggapinya sebelum kembali melanjutkan pertandingan.

Pertandingan berlangsung semakin sengit membuat sunghoon kembali meringis kesakitan membayangkan betapa keras pukulan yang beberapa kali mengenai heeseung membuatnya menggigit kuku khawatir.

Kemudian pada detik terakhir heeseung berhasil menjatuhkan lawannya, yang membuat wasit langsung mengangkat satu lengan heeseung mengumumkan bahwa pertandingan ini telah di menangkan membuat beratus-ratus penonton bersorak ke girangan.

“Lee heeseung berhasil memenangkan pertandingan kelas beratnya yang juga menjadi pertandingan terakhirnya selama sepuluh tahun berkarir di dunia tinju, hal ini telah di putuskan sejak beberapa bulan lalu bahwasanya Lee heeseung akan berhenti dan fokus dengan hubungan rumah tangganya yang telah berlangsung selama dua tahun.”

Pernyataan dari sang juri yang berada di samping ring cukup membuat semua penonton terkejut mengetahui bahwa ini adalah pertandingan terakhir juga tentang heeseung yang telah menikah selama dua tahun lamanya, membuat orang banyak bertanya-tanya siapa orang yang berhasil mencuri hati si petinju legendaris ini.

Sesaat setelah heeseung turun dari ring heeseung berjalan dekat kearah penonton membuat semua menonton menatap serius heeseung yang tiba-tiba merentangkan kedua lengannya, wajah sunghoon memerah malu sebelum akhirnya berlari memeluk heeseung kemudian menangis di dalam pelukannya.

“Maaf.” Hanya itu yang mampu sunghoon katakan.

“Maaf udah ragu sama kamu, maaf karena aku bertindak tanpa minta pemdapat kamu maa—”

“Jangan minta maaf terus, ini bagian aku. Maaf karena gak pernah terus terang sama kamu, maaf dua tahun ini aku kayak gak pernah ngelakuin apapun buat kamu, maaf udah ngebuat kamu hampir nyerah sama aku, dan makasih udah mau bertahan sampai sini.

Hari ini aku ngelepas titel aku sebagai petinju untuk fokus sama kamu fokus sama keluarga kita, aku sadar dua tahun ini berjalan berat buat kamu kita mulai satu-persatu lagi, ya?.”

Sunghoon mengangguk masih terisak di salam pelukan heeseung, “Kamu harus janji, setelah ini kita bicarain semuanya bareng-bareng, di hubungan ini ada kita berdua bukan cuma aku atau kamu, jangan biarin kesalahpahaman ini terjadi dua kali.”

Heeseung tersenyum kemudian mengecup pelipis sungghoon pelan, “Selamat hari ulang tahun pernikahan kita yang kedua tahun, Lee sunhoon sorry, thank you and i love you.

Dari hari ini sunghoon belajar bahwa sejatinya cinta atau kasih sayang bukan sekedar ucapan tapi tentang pembuktian. Juga banyak orang yang mungkin sulit untuk menyuarakan perasaannya, tapi mereka selalu punya cara tersendiri untuk membuat seseorang tersebut merasa di sayangi dan berhaga.

Mungkin sunghoon sempat ragu dengan heeseung, sempat merasa bahwa mereka adalah orang asing yang tinggal seatap tapi heeseung berhasil menjawab segala keraguannya juga membuktikan bahwasanya mereka bukan orang asing yang tinggal seatap.

Fin