summerpsyche

Fever


Heeseung berjalan memasuki bangunan apartemen yang berada di pusat kota tak jauh dari kediamannya, kakinya dengan santai berjalan sambil menenteng kantong plastik dengan merek supermarket berisi beberapa yogurt matcha juga dengan sekotak donat dengan varian yang sama untuk kekasih manisnya yang seharian ini mendekam di dalam apartemennya karena mendapat serangan tugas mendadak dari dosennya.

Langkahnya dengan yakin masuk kedalam sebuah lift, pukul 10 malam apartemen ini memang cukup ramai karena kebanyakan penumpangnya adalah pekerja kantoran yang sering sekali lembur jadi tak heran jika dia menemukan beberapa penghuni apartemen yang juga sedang menunggu di depan lift. Heeseung masuk kedalam lift kemudian menekan tombol angka 4, heeseung berdiri canggung dengan salah seorang yang setahu heeseung adalah tetangga unit pacarnya sesekali mereka saling senyum canggung.

“Pacarnya sunghoon, kan?” Heeseung hanya tersenyum kemudian mengangguk menanggapi orang tersebut.

“Sunghoon di bawain makanan, ya? Hari ini saya gak liat dia keluar dari unitnya sama sekali kecuali waktu dia keluar buang sampah bahkan sampai pesan grab untuk pesan makan, kayaknya anaknya gak enak badan soalnya saya liat dia make bye-bye fever di dahinya.” Heeseung sejujurnya cukup terkejut dengan fakta yang di sebutkan oleh tetangga unit kekasihnya itu, pasalnya sunghoon sama sekali tidak bilang kalau dia sakit.

Pintu lift terbuka heeseung mengucap terimakasih yang di balas anggukan oleh orang itu sebelum dia dengan terburu-buru masuk kedalam memencet pin keamanan yang heeseung hafal di luar kepala, dia masuk kemudian melepas sepatunya sebelum berucap cukup nyaring. “PAKET!!”

Membuat si manis yang duduk lesehan di depan meja ruang tamu sibuk dengan layar laptopnya melirik sebelum kemudian kembali fokus dengan laptopnya, “Dasar kurir gak sopan, main nyolong masuk aja.”

Heeseung tergelak sebentar, “Iya, kan kurir hatimu.”

“Apaan sih jijay banget.” Heeseung tertawa melihat bagaimana ekspresi sunghoon yang seolah tidak suka dengan ucapannya padahal di seberang sana pipinya memerah malu di goda seperti itu.

Heeseung berjalan menghampiri kekasihnya yang benar memang memakai bye-bye fever di dahinya, heeseung segera menghampiri kekasih manisnya itu duduk di sampingnya sesudah menaruh kantung belanjaannya di atas meja.

“Kamu gak enak badan kok gak bilang-bilang.” Heeseung menyentuh pipi sunghoon dengan belakang tangannya merasakan suhu tubuh kekasihnya yang memang cukup hangat.

“Buat apa? Nanti nyampe sini juga kamu tau.” Heeseung terkekeh geli sebelum beralih memeluk pinggang ramping kekasihnya lalu meletakkan kepalanya di pundak si manis.

Sunghoon merasakan pemuda di sampingnya ini dengan kurang ajarnya menjilat lehernya hendak menggigit sebelum sunghoon menjauhkan kepala pemuda itu dari lehernya. “Sana ih aku gak suka, kakak bau rokok.”

Heeseung mencium kaosnya merasa tidak sudah tidak sebau itu, “Udah gak bau lo aku dari rumah make parfum vanilanya jungwoon, baunya manis tau.”

“Tetep aja kakak bau rokok, sana hushh jangan deket-deket aku kalau masih bau rokok. Aku gamau di cium sama orang yang abis ngerokok.” Sunghoon menggerakkan tangannya mengusir heeseung kemudian beralih mengambil kantung belajaan heeseung mengambil satu buah yogurt kemudian membuka tutupnya menghisap yogurt tersebut sebelum kembali fokus dengan laptopnya.

“Padahal udah jam 10 lewat loh, udah lewat dari jadwal yang di tentukan harusnya ini kita udah dalam kamar.” Sunghoon melirik sinis heeseung yang masih ngotot dengan jadwalnya.

“Di bilang aku gamau di apa-apain sama orang yang bau rokok, siapa suruh ngerokok terus, mati tau rasa.” Heeseung kembali dibuat tertawa dengan wajah dongkol sunghoon.

“Nanti kamu nangis lagi kalau aku beneran mati, gak tega aku liatnya. Dari pada kamu manyun manyun begitu mending balik sini biar aku cium jangan pacaran sama laptop terus.”

“Gamau selama kamu masih bau rokok, wlee.” Sunghoon menjulurkan lidahnya kearah heeseung kembali membuat pemuda itu tergelak dengan kelakuannya.

“Trus aku harus ngapain dong sayangku, udah dua minggu lo ini jadwalnya di tunda terus karna kamu sering selingkuh sama si laptop ini, belum aja ku retakkan ginjalnya.”

“Dih apaan, laptop mana punya ginjal. Makanya kakaku sayang perbanyak ngotak mending kamu ambil handuk di dalam kamar trus mandi, pake tuh sabun detol di dalam wc, baru abis itu kamu kesini.”

“Yaampun, ini udah malam sayangku masa aku mandi malam.” Heeseung menolak kemudian kembali melingkarkan lengannya di pinggang si manis yang langsung di hadiahi cubitan di perut yang membuatnya meringis kesakitan karena cubitan itu tidak main-main.

“Mandi dulu atau enggak sama sekali.”

“Siap paduka, hamba segera mandi.” Sunghoon tertawa melihat punggung pemuda itu yang kini menjauh masuk kedalam kamarnya.

Sunghoon memilih untuk membuka sekotak donat yang di bawakan untuknya tadi menyantap donat itu dalam diam sesekali kembali fokus dengan laptopnya.

3 tahun berpacaran memang bukan waktu yang sebentar untuk membuat mereka saling mengenal lebih dari siapapun, sunghoon sendiri tahu kebiasaan merokok heeseung sudah sejak dari mereka SMA. Heeseung itu kakak tingkat yang sering sekali di hukum lari di lapangan semasa sekolah menengah karena sering ketahuan merokok dengan sobat karibnya joongseong.

Heeseung itu semasa sekolah menengah juga menjadi kakak kelas yang banyak sekali pengagumnya sunghoon ingat betul kalau dia dulu sering kesal melihat heeseung yang suka sekali tebar pesona. Apalagi saat sunghoon sedang sibuk belajar di jam istirahat di kursi dekat jendela heeseung sering kali menghampirinya entah itu sekedar mengetuk jendela atau mengedipkan matanya membuat sunghoon selalu mendelik padanya.

Dasar gak jelas

Pikir sunghoon dulu, sebelum kejadian di halte bus sewaktu mereka pulang sekolah sore itu hujan turun dengan begitu derasnya membasahi kota, sunghoon yang pada dasarnya memang tidak tahan dengan kedinginan memeluk diri sendiri di halte bus sebelum seseorang datang memakaikan jaket yang lumayan tebal untuknya.

“Pake aja, gue tau lo gak tahan dingin.

Sunghoon hanya terus diam canggung masih dengan gengsi selangitnya yang masih saja kesal denga pemuda tidak jelas itu, sebelum Heeseung mendadak lari dari halte bus ke tengah jalanan membuat sunghoon berteriak kaget karena pemuda itu hampir terlindas motor namun pemuda itu abai justru terus berjalan menembus derasnya hujan membuat sunghoon kembali terkejut ketika pemuda itu kembali ke halte dengan seragam basah kuyup dan seekor anak kucing mengeong dalam dekapannya.

“Kasian dia kehujanan.

Dari situ juga sunghoon tahu kalau sebenarnya pemuda itu tidak seburuk yang di pikirkannya.

“Mikirin apasih serius amat.” Heeseung datang dengan pakaian yang sudah di ganti juga rambutnya yang basah kuyup sehabis mandi.

“Gak mikirin apa-apa, kok.”

“Bohong, kamu pasti mikirin aku iya kan? Muka kamu kalau lagi mikirin aku tuh keliatan tahu.”

“Dih sok tahu, mana ada aku mikirin orang bau rokok.”

“Udah deh, muka kamu tuh merah tiap mikirin aku. Hayoloh kamu mikir yang aneh-aneh tentang aku kan? Ngaku hayo.” Ledeknya yang di hadiahi pelototan dari si manis.

Heeseung kemudian mendekatkan dirinya duduk di belakang sunghoon melingkarkan kembali lengangannya yang selalu tertunda sejak tadi, kali ini tak ada protesan dari si manis yang asik dengan matchanya. Heeseung menghirup ceruk leher sunghoon dalam-dalam sesekali mengecupnya pelan membuat sunghoon geli.

“Kamu make sabun aku, ya?” Heeseung mengangguk di cela leher sunghoon yang masih sibuk dengan kecup-kecupnya itu.

“Padahal udah aku beliin sabun lain biar sabunku gak di pake sama kamu.”

“Gak apa-apalah, nanti juga yang beliin kamu stok sabun juga aku.” Ucap heeseung yang teredam di leher sunghoon.

Heeseung berhenti dari acara kecup-kecupnya sebelum menarik tengkuk sunghoon untuk memberinya afeksi yang dua minggu ini di tahannya, sunghoon sendiri kini tidak menolak melilih bersandar di dada heeseung yang mengalungkan lengannya di leher kekasihnya itu kemudian ikut membalas setiap afeksi yang di berikan heeseung karena sejujurnya sunghoon juga merindukan afeksi dari pemuda ini.

Sunghoon kini berbalik duduk diatas pangkuan heeseung mengikis batas diantara mereka, berciuman dengan sangat dalam dan lama seperti yang sunghoon inginkan tadi. Sunghoon mengeratkan pelukannya di leher heeseung ketika merasa pemuda itu mengangkat tubuhnya berjalan masuk kedalam kamar tanpa ada niatan untuk melepas tautan bibir mereka.

Heeseung membaringkan tubuh sunghoon diatas tempat tidur berukuran sedang itu, mengukung tubuh sunghoon, sebelum akhirnya mereka melepaskan tautan mereka ketika dirasa nafasnya sudah hampir habis. Heeseung tertawa sebelum kemudian menghapus jejak liur di bibir sunghoon.

“Bibir kamu rasa matcha.” Heeseung kemudian merebahkan tubuhnya di samping sunghoon mendekap pemuda itu dalam-dalam.

“Iyalah, orang abis makan donat sama yogurt matcha yakali bibir aku rasa lemon.”

Heeseung tertawa kemudian mengigit hidung mandung sunghoon. “Jangan di gigit! Sakit tau!!” Keluhnya.

Lama mereka terdiam dengan posisi saling mendekap saling menyalurkan rasa rindu yang dua minggu ini baru sempat tersalurkan karena kesibukan dunia perkuliahan masing-masing.

“Gimana skripsiannya kakak?”

“Ya gitu deh, kemarin aku di suruh ganti judul lagi, itu udah yang ketiga kalinya harus ganti judul. Mamah sampe pusing sendiri ngeliat aku bolak balik masuk ruang kerja papa buat ngeprint ulang.”

“Kak, kalau capek bilang ya sama aku, jangan diam aja.” Sunghoon menulis acak dengan telunjuknya di dada heeseung membuat heeseung lagi-lagi berdecak gemas sebelum mengecup puncuk kepala di manis.

“Ini aku lagi capek, mau ngecas tenaga tapi colokannya nolak terus karna aku bau rokok, di suru mandi dulu katanya baru boleh ngecas.” Sunghoon tertawa mendengarkan penuturan absrud heeseung.

“Kak, cium lagi. Aku juga mau ngecas seharian ini capek gara-gara nugas terus.”

“Mau yang lebih gak?”

Semburat merah kembali menghiasi pipi sunghoon tanpa permisi, sunghoon sendiri tidak bodoh untuk tudak tahu kata lebih yang di maksud heeseung. Dia bimbang kembali menulis acak di dada heeseung.

“Aku lagi gak enak badan, takutnya nanti kakak ikutan sakit gara-gara aku.”

“Kalau sakitnya sama kamu sih aku gak masalah.”

Heeeseung tertawa sebentar sebelum kembali menautkan bibir mereka saling memberi afeksi menjemput manis yang sudah di tahan sejak lama.

Sunghoon pikir sakit bersama mungkin juga tidak terlalu buruk.

Pulang


Di penghujung juni di tahun 2018 tepatnya pada tanggal 10 lalu heeseung ketahuan oleh orang tuanya habis beradu tenaga dengan salah seorang temannya, ibunya murka langsung menyuruh para bodyguard nya untuk menyeret heeseung pulang secara paksa.

“Lee heeseung, mau sampai kapan kamu kayak begini?, Kamu tahu gak sih, kamu bikin mama malu.” Wajah wanita paruh baya itu terlihat memerah menahan emosi.

Heeseung tidak menjawab memalingkan wajahnya yang membiru di beberapa sisi kearah lain, “Semua fasilitas kamu di sita gak ada penolakan, dan besok kamu berangkat ke Makassar urus perusahaan di sana tidak ada penolakan dan tidak ada bantahan. Kalau kamu menolak mama lepas tangan, urus diri kamu sendiri.”

“Mom, I know I was wrong but this is not the way.” Wanita paruh baya itu menggeleng, kemudian mengambil dompetnya meninggalkan heeseung dengan segala perasaan tidak terimanya.

“Ma— mamah masih ada cara lain buat hukum heeseung.”

“Ingat heeseung kamu nolak mama lepas tangan.” Wanita itu kemudian berlalu di ikuti beberapa bodyguard dengan setelah baju hitam badan kekar.

Heeseung duduk di sofa berwarna putih dengan harga selangit itu, menyandarkan kepalanya mengacak rambut frustasi, “Fuck” heeseung menatap sekeliling ruangan rumah dengan banyak interior mewah itu terlihat elegan namun terasa dingin.

“Tuan, semua keperluan anda sudah di kemas di dalam kamar tuan bisa lihat sendiri jika masih ada yang kurang.” Heeseung mendengus kasar menanggapi Paman Park, salah satu orang kepercayaan keluarganya.

Heeseung jalan menuju kamarnya beberapa kali bertemu dengan pelayan rumahnya yang menunduk hormat kepadanya namun heeseung mengabaikannya, tidak peduli dengan semua itu pikirannya berkecamuk dari sekian banyak cabang usaha keluarganya kenapa juga dia harus ke Makassar, heeseung tak tahu menau soal kota itu akan sulit beradaptasi.

Pemuda itu sampai di dalam kamarnya mendapati satu koper berukuran sedang di dekat tempat tidurnya, heeseung beralih mengangkatnya membuka koper itu kembali mengecek barang apa yang kurang, kening heeseung berkerut saat melihat lipatan kain berwarna hitam berada di lipatan paling atas kopernya, kemudian mengangkatnya memperlihatkannya pada paman Park.

“Sejadah, untuk sholat tuan.” Heeseung tertawa kemudian menggeleng, mengeluarkan sejadah itu keluar dari dalam kopernya kemudian berjalan menuju lemarinya mengambil beberapa tumpukan uang berwarna merah lalu memberikannya kepada paman Park.

“Ini uang dari gue, bukan dari tuhan.” Heeseung tersenyum sumringah, meninggalkan paman Park yang terdiam di tempatnya.

Paman Park menatap kepergian tuan mudanya itu, dia tahu betul sejak kematian ayahnya beberapa tahun silam tuan muda itu telah kehilangan kepercayaannya kepada sang pencipta, menolak semua ajaran yang paman Park coba ajarkan untuknya.

Paman park menatap tumpukan uang di tangannya itu kemudian membawanya kembali kedalam lemari dan menutupnya, dia melihat sekeliling kamar tuan mudanya menghela nafas sebentar kemudian menatap punggung sang tuan muda yang kian menjauh dengan seyum sembari berdoa dalam hati agar tuan mudanya segera menemukan jalan pulangnya.

Keesokannya heeseung telah tiba di bandara Sultan Hasanuddin Makassar, heeseung memakai kaca matanya berjalan keluar di depan sana melihat dua orang mengangkat banner bertuliskan 'Welcome to Makasar tuan heeseung' sembari berteriak. “TUAN HEESEUNG, TUAN HEESEUNG DI SINI!”

Kedua orang itu berteriak sembari menunjuk diri mereka sendiri, heeseung melepas kaca matanya menatap kearah kedua orang itu yang langsung berlari menghampirinya. “Halo tuan heeseung, perkenalkan saya Hamzah biasa di panggil anca, kalau ini ia temanku namanya Dimas biasa di panggil aco.” Ucapnya semangat sambil menunjuk seseorang di sampingnya dengan logat khas Makassar.

“Jadi puang heeseung di sini tugas kami itu jadi pemandunya puang selama di Makasar mengurus usahanya keluarga lee.” Aco menjelaskan kemudian menuntun heeseung untuk berjalan keluar dari bandara.

“Kalian udah makan?” Tanya heeseung tiba-tiba membuat kedua orang itu berbalik menatapnya.

“Sudahmi puang, kalau kita ia?”

“Kita?”

“Kalau kita itu bahasa makassarnya kamu, puang.”

Hari itu di hari pertama heeseung tiba di Makassar mereka menghabiskan waktu di salah satu warung makan yang berada di pinggir pantai, untuk mengisi kembali perut mereka.


Hari ketiga di Makassar heeseung memilih untuk melihat pekerjaan proyek keluarganya yang berada di dekat pantai, heeseung berjalan tanpa alas kaki menikmati pasir pantai yang di injaknya sesekali di susul oleh ombak kecil yang membuat kakinya basah.

Heeseung menatap sekitaran pantai yang sepi, jauh dari hiruk-pikuk kota yang menyesakkan berada di tempat ini cukup menjadi sebuah refresing dari padatnya polusi di kota sana, matanya tak sengaja menangkap seorang pemuda yang tengah memungut sampah memasukkannya kedalam karung berukuran besar.

Entah dorongan dari mana kaki heeseung melangkah mendekati pemuda itu jarak mereka kurang lebih lima meter ketika heeseung berhenti tatkala pemuda itu menegur beberapa wisatawan yang membuang sampah sembarangan.

“Tabe, janganki buang sampah sembarangan.” Maaf, jangan buang sampah sembarangan

Pemuda itu berucap sedikit sarkas membuat wisatawan tersebut sedikit kebingungan tidak paham dengan bahasa pemuda tersebut. “Don't litter, you can put the trash in the place provided. ” Heeseung membantu pemuda itu memberi tahu turis tersebut.

“Oh, i'm sorry.” Turis tersebut memungut kembali sampahnya kemudian membuangnya pada tempat yang telah di sediakan di sekitaran sisi pantai.

“Terimakasih.” Ucap pemuda itu kepada heeseung yang hanya mengangguk tersenyum menatap pemuda itu terkesima.

“Kita bukan orang sini? Dari kota?” Tanya pemuda itu kemudian yang di tanggapi dengan anggukan oleh heeseung.

“Iya, gue dari jakarta kesini ngurus beberapa hal.” Pemuda di depannya itu hanya mengangguk paham.

“Sunghoon.” Heeseung sebetulnya tidak berekspektasi tinggi bahwa pemuda di hadapannya ini akan lebih dulu mengulurkan tangan dan berkenalan dengannya.

“Heeseung.” Dia membalas uluran tangan pemuda, kelabakan saat pemuda di hadapannya itu tersenyum kearahnya. Senyum yang berhasil memabukkan heeseung pada awal mereka bertemu.

“Ternyata di sini ada yang manis juga, ya.”

Uluran tangan yang membuat keduanya bersua pada hari itu menjadi awal dimana heeseung merasa bahwa pusat dunianya kini beralih sepenuhnya kepada pemuda itu. Seolah ada magnet raksasa yang terus-terusan menarik heeseung untuk mencari keberadaan pemuda itu, seringkali diam-diam mengikuti pemuda itu yang punya kebiasaan membersihkan pantai tanpa di suruh.

Pernah sekali heeseung bertanya kenapa pemuda itu suka sekali datang kepantai dia mendapati jawaban yang tidak terduga.

“Tidak ada yang lebih indah, daripada melihat kegigihan laut yang menolak berhenti mencumbui bibir pantai. Meski berkali-kali harus menjauh terbawa arus.

Itu kata mama dulu setiap aku tanya kenapa dia suka sekali sama pantai, setiap datang kepantai itu rasanya seperti pulang, deru ombak selalu datang menyambut setiap kali aku datang kesini rasanya kayak ketemu mama lagi.”

Pulang, ya? Heeseung sendiri tidak paham apa definsi pulang untuknya.

Setelah kejadian itu banyak hal yang terjadi kepada mereka, heeseung seringkali menyisihkan waktunya untuk berjalan berdua dengan pemuda itu menikmati semilir angin di tepi pantai.

“Sunghoon, boleh tangannya gue pegang?” Pertanyaan yang menimbulkan semburat malu di pipi pemuda itu membuat heeseung berdecak gemas melihat bagaimana pemuda tersenyum malu sambil mengangguk.

Heeseung meraih tangan pemuda itu menyelipkan jarinya sunghoon diantar jari jemarinya, menggengam tangan pemuda itu dengan erat. Mereka banyak menghabiskan waktu di pantai untuk saling memberi afeksi yang membuat heeseung sadar bahwasanya perasaannya pada pemuda ini bukan sekedar perasaan suka biasa yang sering kali dia temui.

Mereka semakin dekat saking dekatnya mereka sunghoon kini berani mengajak heeseung untuk datang ke rumahnya, tanpa di tawari dua kalipun heeseung mengiyakan untuk datang.

Kini dia berada di sekitaran rumah-rumah tinggi di pesisir pantai, heeseung menatap sekeliling di sekitaran rumah-rumah tinggi itu ada masjid di tengah-tengahnya yang ramai di isi anak-anak yang mengaji selepas shalat membuat heeseung terdiam di tempatnya menatap kearah sana, sebelum kesadarannya diambil alih oleh tepukan di pundaknya membuatnya menoleh melihat sunghoon dengan sarung yang di lilitkan di pinggang di tambah sajadah yang taruh diatas pundak kanannya.

“Kak heeseung udah sholat?” Pertanyaan sunghoon yang di tujukan untuknya itu membuat heeseung terdiam menggaruk tengkuknya canggung.

“Ayok kak sholat dulu.” Sunghoon menarik tangannya namun heeseung sama sekali tidak bergeming dari tempatnya membuat sunghoon kebingungan.

“Aku gak sholat hoon.”

“Loh, kenapa? Kakak nonis?” Gelengan yang di berikan heeseung kembali membuat sunghoon kebingungan.

“Aku gak percaya tuhan, hoon.” Kalimat itu cukup untuk membuat sunghoon diam tak bergeming di tempatnya.

Ada banyak waktu yang mereka lewati dalam diam dengan canggung sunghoon sendiri sebenarnya kebingungan dengan pemuda di hadapannya ini. “Kak, kalau kakak gak percaya sama tuhan kakak gak akan pernah merasa pulang.”

“Gue gak percaya hoon, gue dulu tiap hari sholat berdoa tiap waktu tapi gak ada satupun doa gue yang terkabul, padahal gue cuma minta keluarga gue buat utuh lagi tapi nyatanya tuhan malah ngambil ayah gue. Dia justru ngebuat keluarga gue makin gak utuh.”

Sunghoon melihat bagaimana raut pemuda itu terlihat marah dia melihat guratan amarah yang bercampur di sana, sedih, marah, dan kecewa. Sunghoon kemudian mengangkat satu tangannya untuk mengelus puncak kepala heeseung kemudian tersenyum.

“Tuhan ngambil ayah kamu bukan tanpa alasan, tuhan gak ngejawab doa kamu karena mungkin masalahnya ada di sini.” Sunghoon menunjuk dada pemuda di hadapannya itu. “Kamu meragukan dia dalam hati kamu itu sebabnya waktu dia ngerebut ayah kamu kamu bukan tambah banyak berdoa tapi melupakan ajaran yang kamu pelajari dari kecil.”

Heeseung terdiam mendengar penuturan pemuda di hadapannya itu, kemudian tersadar sedari kecil dia memang banyak mempertanyakan kenapa mereka harus sholat kenapa mereka harus meminta doa kepada dia yang wujudnya bahkan tidak ada sedari dulu dia banyak meragukan tuhan sehingga tuhan mengujinya apakah dia akan terus berpegang teguh pada ajarannya sejak kecil atau justru meninggalkannya karena sejak dulu dia ragu dan sering mempertanyakannya, padahal tuhan tak seharusnya dia pertanyakan tentang tuhan.

“Tuhan itu ada, kalau kakak mempertanyakannya dia ada di sini.” Dia menyentuh sisi kepala heeseung, “dan disini, di dalam hati setiap manusia kalau dia memilih untuk percaya.” Sunghoon kemudian menaruh telapak tangannya di dada pemuda itu merasakan bagaimana detak jantung heeseung berpacu dengan cepat.

“Sunghoon, di cariko sama bapak, pulangko cepat menunggumi di sana itu.” Sunghoon, di cari sama bapak, pulang cepat udah di tungguin

Seorang pemuda dengan wajah hampir mirip dengan sunghoon menghampiri mereka, mengalihkan ekstensi mereka yang sebelumnya terpaku dalam sebuah tatapan dan kengahangatan di temani sayup-sayup angin malam.

“Kenapai?” Kenapa?

“Datang ih lagi.” Dia datang lagi

Heeseung menyadari perubahan raut wajah dari pemuda di hadapannya itu tanpa berpamitan kepadanya berjalan menuju rumahnya yang berada tak jauh dari tempat mereka. Menyisakan pemuda yang tadi dengan heeseung dia menatap heeseung lamat-lamat.

“Kita itu yang sering jalan di pantai sama sunghoon baru baku pegang tangan toh? Pacarnya ki pasti toh?” Kamu yang sering jalan di pantai sama sunghoon sambil pegangan tangan kan? Kamu pasti pacarnya kan?”

Heeseung paham apa yang di katakan pemuda di hadapannya itu namun dia tidak tahu harus menjawab apa.

“Mau ih di jodohkan itu sunghoon, kalau iya memang kita sayang itu sunghoon susulmi, ka to tidak adami lagi alasannya sunghoon untuk tolak itu sandrego karna itu hari alasannya panai 500 juta nah ini hari datangmi sandrego bawa panainya.” Sunghoon mau di jodohkan, kalau memang kamu sayang sama sunghoon susul dia, karena dia tidak punya alasan lagi untuk tolak sandrego karena waktu itu alasannya panai 500 juta dan hari ini sandrego datangmi dengan panainya

Panai atau uang panai adalah uang belanja untuk pengantin mempelai yang diberikan oleh pengantin pria merupakan tradisi adat suku Bugis-Makassar di Sulawesi Selatan.

Heeseung mencerna menerjemahkan ucapan pemuda itu dengan pelan sebemum kemudian berlari menyusul sunghoon yang kemungkinan besar telah sampai di rumahnya.

5 menit waktu yang di butuhkan heeseung untuk sampai kerumah panggung tersebut dia menaiki tangga dengan terburu-buru, berdiri di depan pintu melihat sunghoon yang menangis di hadapan ayahnya juga dengan orang-orang yang duduk diatas kursi, heeseung melihat pemuda yang bernama sandrego.

“Ndak mauka di jodohkan, pak.” Saya tidak mau di jodohkan, pak

“Tidak bisaki nak, kita sendiri yang bilang kalau sandrego sanggup kasih ki panai 500 juta dia bisa nikahiki.” Tidak bisa nak, kamu sendiri yang bilang kalau sandrego sanggup memberi panai 500 juta dia bisa menikahi kamu.

Sunghoon menggeleng menangis memeluk bapaknya yang juga sebetulnya tidak rela jika anaknya harus menikahi sandrego. “Ada pacarku pak, mauka saya menikah sama dia.” Aku susah punya pacar, saya mau menikah dengan dia.

“Siapa?”

“Saya pak, saya heeseung pacarnya sunghoon.” Heeseung berucap dengan mantap selama mendengar percakapan mereka di depan pintu heeseung telah memantapkan hatinya kepada pemuda itu.

Sunghoon berlari kearah heeseung menghamburkan dirinya di pelukan pemuda itu sambil menangis tersedu, sesekali berguman bahwa dia tak ingin di jodohkan.

“Apa ini? Sudah mika bawa panaiku sesuai yang mu mau sunghoon.” Apa ini? Saya sudah bawa panai sesuai dengan yang kamu mau sunghoon.

“Saya lee heeseung pacarnya sunghoon, mungkin terlalu tiba-tiba ka' datang tapi saya datang kesini untuk lamar anakta.”

Semua orang di dalam sana terdiam saling memandang, heeseung sendiri kini beralih melonggarkan dekapan pemuda di hadapannya itu kemudian menangkup wajah sunghoon dengan kedua tangannya, menatap sunghoon lamat-lamat kemudian memgahapus jejak air mata di pipi sunghoon dengan jarinya.

“Sunghoon maukan ngajarin gue tentang agama? Bawa gue pulang.”

Sunghoon kembali mendekap heeseung dengan erat.

Heeseung tersenyum mendapati sunghoon mengangguk di dalam pelukannya yang sesekali masih terisak.

Tanpa heeseung sadari sunghoon tersenyum dalam tangisnya, dia berhasil membawa heeseung pulang.

Cara semesta bekerja untuk setiap orang mungkin menang terlalu rumit, heeseung yang selama ini sering kali mempertanyakan soal tuhan di pertemukan dengan sunghoon yang sama sekali tidak pernah meragukan tuhan, mengajarinya bahwa kenyakinan itu sendiri sejatinya berasal dari hati yang tidak pernah meraguakann-Nya.

Dalam perjalanan mencari hakikat hidup yang sebenarnya heeseung yang sering kali tersesat kini menemukan seseroang yang mampu menuntunnya kembali ke jalan pulang pada hakikat yang sebenarnya, tentang pulang dan membawa kembali kepercayaan-Nya. Pulang bersimpuh kembali kepada yang kuasa.

Sekarang heeseung paham alasan kenapa dia datang ke kota ini adalah untuk menjemput kembali kepulangannya.

Semesta memang selalu punya skenario terbaiknya untuk mempertemukan setiap orang dan belajar banyak hal, tersmasuk pertemuan heeseung dan sunghoon juga tentang arti kata pulang.

##Fin

Dinner


Terjebak di kandang monster mungkin adalah kalimat yang paling tepat untuk sunghoon saat ini.

Ada sedikit rasa menyesal yang menyelimuti hatinya ketika dia menyadari bahwa lari dari semua masalah bukanlah hal yang tepat.

Karena pada kenyataannya dia lari dari nereka untuk menjemput neraka yang lebih menyiksa, sialnya dia lari dengan seorang iblis bertampang malaikat.

Iblis bertopeng malaikat datang padanya hari itu, mengulurkan tangan sambil tersenyum menarik sunghoon yang telah menggantung di sebuah jurang kematian. Bersikap baik padanya, memberikan semua apa yang selama ini tidak bisa sunghoon capai, dia menjanjikan sebuah kebebasan. Bebas dari nereka yang merantainya bertahun-tahun

Iblis memang sangat pandai menggoda seorang manusia yang berada diambang kewarasan hidupnya, iblis itu dulunya tersenyum kepadanya berjanji akan membawanya pada sebuah kebebasan.

Namun kenyataannya, ibilis itu berbohong.

Nyatanya sunghoon terkurung di neraka paling menyiksa.

Terkurung di tempat terpencil nan gelap, dimana tak akan ada satu orangpun yang bisa mendengar teriakannya sekeras apapun dia berteriak. Kakinya di rantai pada sebuah besi besar yang tidak memungkinkan sunghoon lari dari tempat itu, tangannya di borgol. Benar-benar terkurung.

Suara derit pintu membuat sunghoon mengalihkan pandangannya kedepan pintu, seseorang masuk dengan sebuah box hitam di tangannya.

“Good night, sunshine.” Sapanya sambil tersenyum cerah memperlihatkan deretan giginya yang rapih.

Namun sunghoon memilih abai, mendengus kasar kemudian mengalihkan kembali pandangannya kearah lain enggan melihat pemuda itu. “Come on honey, I'll bring dinner for you. “

Sunghoon menatap pemuda itu nyalang, serat akan emosi dan rasa kecewa. Dunia seolah menipunya lewat pemuda di hadapannya ini.

Dia lee heeseung tetangga barunya yang dulu terlihat sangat seperti malaikat saat menolong sunghoon yang berada diambang kewarasannya menghadapi keluarganya yang 'gila'.

Pada kenyataannya heeseung lebih 'gila' dibandingkan keluarganya.

“Honey, see what I brought for you.” Heeseung menaruh box hitam itu di meja di hadapan sunghoon, kemudian membukanya perlahan.

Bau amis memenuhi indra penciuman sunghoon membuatnya menyerengit jijik kontras dengan heeseung yang justru tersenyum lebar.

Sunghoon tidak bisa menjelaskan dengan jelas apa isi kotak hitam itu kepalanya pusing melihat isi box hitam tersebut. Di dalamnya ada beberapa potongan daging yang mengambang diatas kuah darah, juga dua bola mata yang sesekali menyembul kontras dengan warna merah darah di sekelilingnya.

Ini dinner yang di maksud heeseung

Entah itu bagian tubuh hewan atau manusia mana lagi yang di bawa heeeseung, sunghoon tak mau memikirkannya.

Heeseung kemudian memasukkan satu tangannya kedalam box itu, kemudian mengeluarkan satu bola mata yang penuhi darah kental tergeletak di atas meja, darah-darah kental itu melengket di tangan heeseung, beberapa tetes jatuh diatas lantai saat dia membawa tangannya turun dari atas meja.

“Tebak ini milik siapa, jika benar aku akan memberimu makanan sungguhan, jika salah kau tau apa yang akan kulakukan, ada dua kesempatan.”

Sunghoon menelan ludahnya kasar, permainan yang selalu ingin sunghoon hindari karena sejatinya pemuda di hadapannya ini tak punya belas kasih sama sekali ketika menghukumnya.

Sunghoon menatap mata yang di penuhi dengan darah kental itu, sesekali menatap heeseung bergantian yang kini duduk di kursi di hadapannya sambil bertopang dagu dengan tangan yang penuh dengan darah mengotori dagu dan pipinya, seolah itu hanya air biasa.

“H-hewan?”

“No honey, bukan kah sudah kuajari cara membedakan mata hewan dan manusia? Ah, sepertinya kau tidak pernah mendengarkanku ketika sedang di beri pelajaran.”

Sunghoon tak habis pikir dengan pemikiran gila heeseung, bagaimana dia menyebut bersetubuh sambil melihat koleksi tak manusiawi milik heeseung di sebut dengan pelajaran.

“Biar ku beri clue, dia tinggal di nerakamu.” Sunghoon termenung.

“Paman K-kim?” Heeseung menggeleng kemudian tersenyum berjalan kearah sunghoon yang kini tengah panik. “Heeseung p-pleease, jangan lagi.”

Heeseung mengangkat bahunya tak peduli kemudian, jongkok di hadapan sunghoon yang terbelenggu tidak bisa kemana-mana. “Pertama, You don't seem to remember that Uncle Kim has become one of my collections.”

Tangannya menunjuk kesebuah pintu di pohok kanan sana, “di dalam box kaca, satu tangan dan satu mata itu milik paman kim.”

“Kedua, waktunya terima hukuman kamu, sayang.” Heeseung mencelupkan tangannya kedalam box hitam diatas meja, kemudian kembali mengeluarkan tangannya yang kini di penuhi dengan darah.

Tangannya kini beralih, mengusap pipi putih sunghoon dengan tangannya yang di penuhi darah kini kontras dengan warna putih kulit sunghoong, dari pipi kemudian bibir.

Bibir sunghoon dilumuri darah, sunghoon terdiam menutup mulutnya tidak membiarkan darah itu masuk kedalam mulutnya lagi.

Heeseung tahu bahwa sedari tadi sunghoon enggan membuka mulutnya, maka dengan itu heeseung akan dengan senang hati membantu sunghoon untuk membuka bibirnya.

Heeseung mengeluarkan sebuah pisau modif sebesar jari telunjuk memperlihatkannya kepada sunghoon yang kini terbelak kemudian menggeleng agar heeseung tidak melanjutkam niatnya.

“Awalnya juga aku gak mau, honey. Tapi hari ini kamu kayaknya lagi gak bisa nurut sama aku, jadi enjoy your punishment.”

Heeseung mencengkram kedua pipi heeseung kemudian menggores pipi heeseung dengan pisau tadi, heeseung menggoresnya dengan perlahan menikmati bagaimana ringisan menyakitkan itu keluar dari bibir indah sunghoon yang di penuhi dengan darah.

“A-ahhk, please s-stop.” Heeseung berhenti kemudian menatap bangga goresan itu yang kini mengeluarkan darah membuat sunghoon meringis tertahan.

Heeseung kemudian menjilat goresan itu membuat sunghoon kembali menringis kesakitan merasakan perih bagaimana ludah basah heeseung bersentuhan dengan goresan di pipinya.

Kemudian heeseung mengecup bibir sunghoon yang di penuhi darah, mengecupnya berkali-kali sebelum melahap habis bibir sunghoon.

Kecipak basah terdengar dengar nyaring, sunghoon sesekali meringis menutup mata entah meringis karena perih di pipinya atau karena berbagi rasa amis dari darah dengan heeseung yang terkadang tak sengaja di telannya.

Heeseung melepaskan tautan mereka menciptakan benang silva yang kini berubah warna menjadi agak kemerahan karena mereka berciuman dengan darah.

“Kesempatan terakhir untuk jawab tebak-tebakan aku, cluenya udah aku kasih dengan jelas, mata dan nerakamu. Kalau kamu gak bisa jawab dinner kamu malam ini yang ada di box hitam itu yang pastinya ada tambahan dessert dari aku.”

Semuanya mungkin terdengar terlalu menyeramkan bagi sunghoon, dinner yang ada di hadapannya jika dia salah menebak juga dessert yang di maksud heeseung.

Dia tahu dessert yang dimaksud itu bersetubuh dengan membahas semua koleksi tak manusiawi heeseung sehabis memakan makan yang sebetulnya tidak pantas di sebut makanan oleh manusia kecuali heeseung.

Dia punya satu jawaban di dalam kepalanya, namun cukup lama Sunghoon terdiam banyak memikirkan. Hanya satu kesempatan untuk mejawab di sama dengan pilihan mati atau hidup.

“I'm waiting for your answer, sweetie.”

“A-ayah.”

Sunghoon terkejeut mendengar suara tepuk tangan heeseung. Jadi, ini alasan kenapa pemuda itu pergi sangat lama.

Sunghoon menatap mata yang tergeletak diatas meja itu dengan diam, mengabaikan heeseung yang kini berjalan menyalakan saklar lampu, kemudian membuka kulkas menyiapkan bahan makanan untuk di masak.

Kemudian kembali terkejut saat heeseung kembali menghampirinya, membuka borgol di tangannya, “Reward karena mamu berhasil nebak.” Kemudian mengecup bibirnya pelan sebelum kembali ke pantry untuk memasak makanan yang sebenarnya, untuk sunghoon.

Sunghoon menatap heeseung yang terlihat sedang serius memasak, pikirannya melayang di hari dimana dia masih melihat heeseung sebagai malaikat, rasanya heeseung di hadapannya ini bukan heeseung yang dulu di kenalnya.

Tapi inilah heeseung yang sebenarnya, monster berkedok manusia.

Atau

Iblis bertopeng malaikat.

Tak selang beberapa lama heeseung datang dengan masakannya yang dihias diatas piring dengan indah, kemudian menarik kursi lainnya untuk duduk di hadapan sunghoon yang kini menatapnya entah sedang memikirkan apa heeseung tak bisa membacanya terlalu banyak emosi di dalam sana.

Heeseung memerikan segelas air minum untuk sunghoon kemudian menyuapinya makanan yang tadi di buatnya. “Aku bawa matanya buat kamu.”

Sunghoon menyerengit bingung, tak mengerti maksud pemuda di hadpaannya ini.

“Aku bawa matanya buat kamu, karena kamu sering cerita kalau ayah kamu sering ngintipin kamu pas lagi mandi atau tidur. Hari ini aku bawa matanya buat kamu, terserah mau kamu apakan mau kamu gantung, injak-injak atau kasih makan anjing terserah kamu.

Dia gak akan pernah lihat kamu lagi, kamu bebas dan gak akan pernah takut lagi dia gak akan pernah nemuin kamu, mungkin orang perumahan bakal kaget ngeliat mayat ayah kamu tergantung di belakang rumah tanpa mata.” Heeseung tertawa membayangkan ekspresi orang-orang saat melihat mayat bergelantungan tanpa mata di sekitaran apartemen.

Sunghoon terdiam cukup lama, sesekali berhenti mengunyah. Sejujurnya sunghoon tidak peduli dengan orang yang di sebut ayahnya itu.

Bukan urusan sunghoon, justru lebih baik jika dia mati.

Pikirannya justru tertuju pada pemuda di hadpaannya ini, sunghoon mengangkat kedua tangannya kemudian menangkup wajah heeseung sesekali mengusapnya. Tanpa di jabarkan pun sunghoon tahu heeseung mencintainya.

Entah itu bisa di sebut cinta atau hanya sebuah obsesi, sunghoon tidak tahu harus menyebutnya apa.

kamu bebas dan gak akan pernah takut lagi dia gak akan pernah nemuin kamu

Iblis ini sejatinya menepati janjinya pada sunghoon, membebaskannya dari neraka yang menjeratnya selama bertahun-tahun.

Dia menepati janjinya, membebaskan sunghoon dengan caranya yang tidak manusiawi.

Dia membebaskan sunghoon dengan caranya sendiri.

Sunghoon kembali terdiam menatap wajah heeseung dengan darah yang mengering di sekitar wajah dan juga bajunya.

Sunghoon tidak tahu dengan cara apa nantinya dia bisa lari dari rantaian iblis bertopeng ini.

Atau mungkin dia akan mati di sini dengan semua kegilaan heeseung.

Namun sunghoon melupakan hal penting

Satu hal yang sunghoon lupakan bahwa seorang iblis sangat pandai menggoda seorang manusia yang berada diambang kewarasan.

Sunghoon melupakan fakta bahwasanya iblis tetaplah iblis yang pandai menggoda hanya dengan sebuah bisikan.

Not about angels


Malam tahun baru kali ini tak ada bedanya bagi Sunghoon, hanya menatap kembang api yang melambung tinggi keatas sana kemudian menguap hilang entah kemana.

Pemuda itu berada di lantai paling atas sebuah gedung apartemen yang sudah dua tahun di tempatinya itu berdiri menopang kedua lengannya di pagar pembatas balkon di temani alunan musik mellow yang kiranya sangat kontras dengan kembang api yang semalaman ini menghiasi langit berbintang malam ini.

Tak ada yang menarik bagi sunghoon malam ini, biasa saja. Tak ada yang berkesan di malam tahun barunya, sendirian di atas balkon di temani musik yang entah telah berulang berapa kali, matanya menatap kosong kedepan sana, tak ada lagi binar cerah seperti dulu. Pantulan kembang api di matanya seolah tak berarti apapun, hanya tatapan kosong.

We know full well there's just time So is it wrong to dance this line If your heart was full off love Could you give it up?

Kembali sunghoon mendengar suara musik yang terdengar samar, musik yang dulunya jika di putar sarat akan makna kini terdengar seperti hanya sebuah suara tak bermakna.

Tentang takdir dan ketetapan waktu yang telah di gariskan tuhan dalam hidup manusia.

Pikirannya kembali melalang buana kebeberapa tahun silam, di sebuah rumah sakit pada malam tahun baru.

Sirene ambulan terdengar nyaring memasuki halaman rumah sakit dengan terburu buru, para perawat dengan sigap langsung membuka belakang pintu mobil mengeluarkan dua penumpang yang bersimbah darah dengan selang oksigen masing-masing di mulutnya.

“Pasien dalam keadaan darurat, siapkan ruang operasi secepat mungkin, panggil juga dokter heeseung dan dua koass nya.” Perawat dengan name tag Ahn Yujin itu mengangguk lantas segera bergegas menuju ruangan dokter yang di maksud, tak butuh waktu lama baginya untuk sampai di ruangan dokter muda itu. Yujin mendorong pintu dengan terburu-buru menampilkan sang dokter yang tengah juga terlihat terburu-buru membereskan barang-barang miliknya.

“Dokter, korban kecelaakan di distrik gangnam kritis.” Ucapnya dengan nafas yang terengah-engah. “Perawat kim juga sudah memberitahu beberapa menit yang lalu, saya segera kesana.”

Malam tahun baru yang seharunya di lewati dengan menghambiskan waktu bersama keluarga, teman atau mungkin kekasih kini tidak berlaku untuk keluarga Park. Di malam tahun baru yang penuh sukacita justru di lewatkan keluarga Park dengan penuh perasaan cemas di rumah sakit kota, kedua putranya mengalami kecelakaan kendaraan ketika hendak menyusul mereka untuk kerumah sang nenek menghabiskan malam tahun baru dengan keluarga besar, namun ternyata takdir berkata lain.

“Dengan orang tua Sunghoon dan Sunoo?” Kedua orang yang sedari tadi menunggu di depan ruang operasi itu mengangguk kemudian menyakan bagaimana keadaan kedua anaknya, “Saudara sunghoon mengalami cidera kaki akibat kerasnya hantaman mobil, sedangan saudara sunoo sendiri masih dalam keadaan kritis.”

Hari ketiga sunghoon di rawat di rumah sakit dia harus menggunakan kursi roda karena cidera kaki yang dialaminya, dan hari ini waktu untuk mengecek kembali perkembangan kakinya yang di lakukan oleh dokter muda bernama Lee heeseung. Pertemuan pertama mereka di malam tahun baru hari itu membuat dokter muda itu mengangajukan diri untuk mengecek perkembangan korban kecelaakan malam itu entah dorongan dari mana.

“Dokter, gimana keadaan adek saya?” Sejujurnya heeseung sedikit jenuh dengan pertanyaan yang selalu di lontarkan pemuda itu ketika dia masuk kedalam ruangan, namun dia sendiri sadar bahwa sunghoon khawatir dengan adiknya. “Adik kamu masih kritis, cidera di kepala mempengaruhi kesadarannya.” Sunghoon termenung mendengar penuturan dokter muda di depannya.

“Ini salah aku.” Heeseung melihat bagaimana pemuda di hadapannya itu mengusap air matanya, dia menangis tanpa suara. Merasa bersalah pada adiknya sendiri. “Ini bukan salah kamu, malam itu sampai hari ini semua takdir yang sudah di gariskan untuk kamu, termasuk bertemu saya.” Dokter muda itu menarik lengan sunghoon menautkan jari kelingking mereka. “Dengar sunghoon, saya janji bakal menemani kamu sampai sunoo sadar, jangan pernah menyalahkan diri kamu sendiri lagi, dengan atau tidak sama kamupun malam itu bukan berarti sunoo gak akan ngalamin ini.”

Terikat sebuah janji dengan orang yang tidak terlalu di kelas itu sejujurnya cukup rumit bagi sunghoon, dia tak habis pikir bagaimana bisa dia dengan gampangnya mengiyakan janji dokter muda hari itu. Mereka jadi lebih dekat karena janji itu yang sunghoon sendiripun tidak paham maksud pemuda itu berjanji padanya, tapi mungkin ini cara semesta untuk memberinya sedikit pelajaran lewat dokter muda itu, bahwasanya dalam hidup ini banyak hal yang tidak akan pernah sejalan dengan kamu, pemuda yang juga mengajarkan bahwa kehilangan adalah satu hal yang pasti dalam hidup ini.

Sunghoon menarik nafasnya pelan, menikmati semilir angin yang dinginnya menembus tulang di temani alunan musik yang masih terus berputar.

Coz what about, what about angels They will come, they will go and make us special Don't give me up Don't give me up

Malaikat adalah mahluk yang di utus tuhan untuk membaw takdir baik dan buruk. Tuhan membawakan malaikat untuk sunghoon dalam wujud manusia, Lee heeseung. Dokter muda itu menjadi malaikat untuknya, dia menemani sunghoon tak kala saat dirinya terpuruk karena terpaksa harus berhenti menjadi figur skating karena cidera kaki yang di alaminya, mengajarinya bahwa tak apa untuk berhenti sejenak mengistirahatkan diri di perjalanan hidup yang terlalu panjang ini, tak apa untuk tertinggal sebentar.

How unfair, it's just our lock Found something real that's out of touch But if you'd searched the whole wide world Would you dare to let it go

Ketika sunghoon merasa telah menemukan seorang terkasih dan cinta sejati yang dia idam-idamkan ternyata takdir berkata lain.

“Sunghoon.” Pemuda yang terus di panggil namanya Itu berpura-pura tuli menikmati eskrim berukuran jumbo, membuat heeseung terkekeh gemas melihatnya.

“Sunghoon.”

“Hmm.”

“Park sunghoon.”

“Apa lee heeseung, kalau mau bicara, bicara aja aku denger kok.” Ucapnya sambil sesekali menyendokkam eskrim kedalam mulutnya juga membaginya dengan heeseung.

“Menurut kamu, makna sebuah kehilangan itu apa?” Sunghoon yang awalnya serius menyendok eskrim kini beralih menatap pemuda di hadapannya yang juga menatapnya.

“Kenapasih? Kok tiba-tiba banget.”

“Aku tuh nanya doang sunghoon, di jawab atuh.”

“Gatau aku gak paham.”

“Jawab sepemahaman kamu aja.”

Sunghoon kini beralih menysihkin eskrim jumbo itu kesampinganya kemudian menatap heeseung sebentar.

“Kayak yang kamu bilang kehilangan itu satu hal yang pasti dalam hidup ini, cepat atau lambat semua orang akan mengalami fase itu. Aku gak ngerti-ngerti banget soal ini yang pastinya kehilangan itu hal yang paling di hindari semua orang di dunia ini, siapa juga yang mau kehilangan? Mungkin ada tapi kita gak tahu kisah dibalik semua itu.

Kehilangan itu cuman tentang waktu, sejauh apapun kamu lari menghindarinya waktu sendiri yang akan mengahampiri kamu. Saat waktu itu tiba mungkin gak ada hal lain yang bisa kamu lakukan kecuali merelakan.”

Merelakan bukan berarti kamu sudah bisa menerima kehilangan itu, tapi kamu sudah sadar bahwa tidak ada yang bisa kamu perbuat untuk membuatnya kembali lagi. Pun, di saat itu kamu akan sadar bahwasanya merelakan adalah seni paling indah dalam menyambut kehilangan.

Sunghoon termenung saat pemuda di hadapannya itu mengusap puncuk kepalanya pelan sambil tersenyum, “Maaf.”

“Kenapa minta maaf?” Tanyanya heran

“Gak apa-apa, mau minta maaf aja.”

“Aneh banget.” Kemudian kembali mengambil eskrim jumbonya menyantapnya dengan lahap sebelum kembali teringat sesuatu, “Tahun baru nanti kita di rumah sakit ya? Tahun baru sama sunoo.”

Sunghoon melihat heeseung mengangguk kemudian tersenyum padanya lalu kembali sibuk dengan eskrimnya mengabaikan tatapan heeseung.

Malam tahun baru 2017

Sunghoon menatap adiknya yang sudah setahun ini terbaring diatas bangsal rumah sakit, sunoo berada diambang kesadarannya. Banyak rasa bersalah yang selalu muncul di dalam hati sunghoon ketika melihat sang adik yang terbaring dengan bantuan oksigen, andai saja malam itu dia mendengarkan sunoo untuk naik bus saja mereka tidak akan seperti ini.

Sunghoon berkali kali melihat ponselnya sambil mengigit kuku, 30 menit lagi untuk memyambut tahun baru tetapi orang yang di tunggunya sedari tadi bahkan belum memunculkan batang hidungnya, membalas pesan atau mengangkat telfonnya pun tidak. Ada rasa khawatir yang muncul tanpa permisi membuat sunghoon kalut dengan pikirannya sendiri tepat 10 menit sebelum menjelang tahun baru sunghoon mendapat telfon dari nomor yang sedari tadi di hubunginya dengan semangat sambil tersenyum cerah. “Heeseung, kamu dima—

“Maaf mengganggu, saya lihat ada log panggilan dari anda, nomor anda juga berada di kontak favorit. Saudara heeseung mengalami kecelakaan kendaraan dan sedang di bawa dengan ambulan menuju rumah sakit.” Senyum di wajah sunghoon menghilang.

“Pak jangan bercanda.” Tak ada tanggapan sunghoon mendengar suara-suara perawat yang membantu heeseung di seberang sana, sunghoon menggigit kukunya menahan tangis berharap ini semua hanya omong kosong, tangisnya pecah tatkala mendengar suara alat yang terdengar sangat nyaring, sunghoon tidak bodoh untuk tidak menyadari suara apa itu.

“Saudara Lee heeseung meninggal pada tanggal 1 januari 2018.”

Malam itu menjadi malam paling kelam bagi sunghoon, malam tahun baru yang harusnya di lewatinya bersama kekasih dan adiknya di rumah sakit dengan bahagia justru menjadi malam tahun baru yang di penuhi dengan tangisan sunghoon yang serat akan rasa sakit.

Maaf Kenapa minta maaf? Gak apa-apa mau minta maaf aja

Kenangan itu berputar seperti kaset rusak di dalam kepalanya, sunghoon baru menyadari bahwa heeseung sudah lebih dulu berpamitan kepadanya meminta maaf karena tidak bisa memenuhi janjinya untuk menemaninya menunggu sunoo hingga sadar.

Sunghoon menangisi kenyataan yang sangat pahit.

Sunghoon ingin menyalahkan tuhan, menyalahkan malaikat yang selalu membawa nasib menyedihkan untuknya. Tapi heeseung sering mengajarinya bahwa tak seharunya dia menyalahkan tuhan atas apa yang terjadi padanya, karena sejatinya tuhan telah menulis skenario terbaiknya untuk setiap orang.

Setiap orang akan mengalami fase kehilangan entah cepat atau lambat, siap atau tidak semua orang akan mengalaminya.

It's not about angels, angels

Sunghoon mengehembuskan nafasnya kasar mendengar lirik terakhir dari lagi yang terus-terusan.

Lirik yang simpel tapi menyimpan makna yang cukup dalam, bahwa manusia tak perlu menyalahkan tuhan dan tak perlu menyalahkan malaikat atas takdir yang tak sesuai dengan yang kita harapkan.

Mungkin memang benar merelakan adalah seni paling indah dalam menyambut kehilangan, maka hari ini sunghoon memilih untuk merelakan heeseung sudah saatnya dia bangkit lagi berhenti dari istirahat sejenaknya dan melanjutkan perjalalannya yang masih sangat panjang.

Lagu itu berhenti di gantikan dengan nada dering telfon yang segera sunghoon angkat, “Sunoo sadar.”

Tak banyak bicara sunghoon langsung mematikan telfonnya berbalik masuk kembali kedalam unit apartemennya melirik sejenak jam di ponselnya.

1 januari 2019

Sunghoon memakai jaket yang di taruh diatas sofa hendak pergi dengan terburu-buru sebelum berhenti depan sebuah pigura yang di taruh diatas meja nakasnya, sunghoon menautkan kedua tangannya berdoa dalam hati.

“Selamat tahun baru lee heeseung.”

Terimkasih telah singgah dan mengajarkan banyak hal. Dari heeseung, sunghoon belajar bahwa tak semua kisah yang berakhir tak baik tidak bisa di nikmati.

Tak ada perpisahan yang indah karena sesungguhnya perpisahan itu pergi untuk meninggalkan bukan pergi untuk kembali. Tapi tak apa tak kamu bisa menikmati rasanya berpisah dan kehilangan.