Narasi Pertama
Sunghoon terdiam di dalam kamarnya menatap pantulan dirinya yang berada di dalam cermin. Ada banyak pertanyaan yang berkelit di dalam pikirannya saat ini, seperti orang seperti apa sosok itu, bagaimana dia harus menanggapinya, dan apakah ini semua sudah benar?
Apakah menerima perjodohan ini sudah menjadi pilihan yang paling tepat?.
Sejatinya sunghoon takut, menikah bukan soal perkara menikah lalu kemudian hidup bahagia karena menikah atas dasar perjodohan itu jauh lebih sulit untuk menjalaninya, mereka bahkan tidak saling kenal kemudian di paksa harus menerima satu sama lain itu rasanya cukup sulit.
Sunghoon terdiam dari segala lamunannya ketika sang adik menyembulkan kepalanya di balik pintu, mengintip pelan-pelan. “Kak, di suruh kebawa tamunya udah di depan.”
Dia kemudian mengangguk lalu menyuruh adiknya untuk pergi lebih dulu, sunghoon memperhatikan penampilan dirinya di depan cermin merapikan tatanan rambutnya yang sedikit rusak.
Sunghoon melangkahkan kakinya dengan pelan menuruni tangga yang langsung tepat menuju di meja perjamuan, sunghoon melangkahkan kakinya pelan meremas tangannya gugup, dirinya semakin dibuat gugup saat bunda juga dua orang lainnya yang sunghoon duga orang tua dari pemuda yang akan di jodohkannya itu menatap kearahnya sambil tersenyum.
Apalagi ketika sosok pemuda yang membelakanginya itu berbalik ikut menatap sunghoon membuatnya terkejut bukan main, nafasnya mendadak tercekat.
Di sana sunghoon bisa melihat sosok yang belakangan ini sering sekali di liput media berita, pikirannya mendadak kosong.
Kini tatapannya menuju pada pada adiknya yang tidak mengalihkan pandangan sama sekali dari orang itu, berbanding terbalik dengan adik sepupunya yang justru terlihat biasa saja.
“Tante, om, saya sunghoon senang bisa bertemu dengan anda.” Mungkin ini kebodohan pertama yang di lakukan sunghoon menyapa mereka sama seperti kolega-kolega kantornya membuat orang tersebut terkekeh.
“Gak perlu formal begitu sayang, panggil bunda dengan ayah saja. Astagah Sowon anak kamu manis banget gak kuat aku lihatnya.”
Sunghoon menunduk tersenyum malu-malu dengan pipi bersemu mendudukkan dirinya di hadapan anak dari sahabat orang tuanya.
Sunghoon tersenyum canggung tatkala tak sengaja bersitatap dengan pemuda itu yang juga membalasnya dengan senyum kecil, membuat sunghoon kembali memikirkan banyak hal.
“Semuanya sudah ada di sinikan, jadi tidak perlu basa-basi lagi.” Sunghoon melirik kearah ibunya yang kini menatap mereka bergantian.
“Jadi kapan resepsi pernikahannya dimulai?”
Sunghoon terbelak juga sedikit kaget dengan respon pemuda di hadapannya yang sepertinya tersedak air liurnya.
Sunghoon tidak menyangka kalau mereka bahkan tidak di beri waktu untuk sedikit lebih dekat sebelum menuju kejenjang yang lebih serius.