Aku tahu dan kamu sama-sama tahu dan orang lain gak akan paham

___

Terkadang kita sendiri tidak paham, dari ribuan manusia di dunia ini kenapa kita bisa jatuh pada seseorang yang tidak pernah kita duga sebelumnya. Rasanya seperti di bodohi.

Dan gua gak pernah tahu kalau ternyata terjebak di dalam ruang fatamorgana bernama jatuh hati itu akan semenjerat ini, seperti di tarik paksa untuk merasakannya, perasaan itu mengendalikan kita sesukanya, bahkan ketika kamu sendiri ingin lepas dari jeratannya sebab sebenarnya jatuh cinta itu melelahkan.

Selama sekolah menengah gua menjalani kehidupan sekolah gua dengan lancar, tanpa terfikirkan kalau gua pada akhirnya akan merasakan bagaimana rasanya tertarik, terjerat, dan terjebak dengan pesona orang lain. Gua yang biasanya menganggap tertarik dengan seseorang bukanlah suatu hal yang menarik, malah menjadikan hal itu sebagai rutinitas yang gak akan bosan gua lakukan, diam-diam memperhatikan seseorang dari jauh.

Gua ingat betul waktu Azka sahabat sekaligus teman sebangku gua mendadak bertanya apakah gua pernah tertarik dengan seseorang, dan gua terdiam mengingat bahwa gua sama sekali tidak pernah tertarik dengan seseorang, tertarik dalam artian gua naksir seseorang, dan itu memang belum pernah terjadi.

Ekspresi wajah Azka waktu itu tersimpan jelas di dalam ingatan, dia terdiam menatap gua terkejut dan jadi heboh sendiri.

“Lo serius belum pernah naksir sama orang lain?”

Pertanyaan itu hanya gua tanggapi dengan anggukan, yang membuat dia semakin heboh, untungnya hari itu kelas kosong semua penghuninya pergi berkunjung ke kantin yang tepat berada di belakang kelas gua.

“Padahal kalau di liat lu tuh kayak orang yang udah punya tiga mantan, lu emang gak bisa di tebak, ya?”

Lagi-lagi pertanyaan itu hanya gua tanggapi dengan satu alis gua yang terangkat karena cukup kebingungan mendadak di tanyai seperti itu, apa gua memang orang yang sulit di tebak? atau memang gua yang gak terlalu terbuka dengan Azka.

“Ka, mau ikut gak?”

“Kemana?” pertanyaan itu kembali di jawab dengan pertanyaan.

“Main basket.”

Gua ingat betul teman Azka yang datang ke kelas hari itu datang dengan gerombolan, dia memang punya teman lebih banyak di kelas lain. Dari apa yang gua tahu, sejak embrio dia memang sudah berteman dengan Raihan yang punya banyak kenalan sana-sini dan Azka sebagai orang terdekatnya otomatis kenal dengan mereka, tak jarang dia ikut nongkrong dengan teman Raihan yang semua wajahnya sangat asing di mata gua.

Tapi gua juga masih ingat betul, teman Raihan yang datang bergerombol itu gua kenal mereka semua, beberapa kali kami sempat nongkrong bersama karena di ajak Azka, salah satu di antara mereka terus-terusan menatap gua tanpa ekspresi dengan satu tangannya masuk ke dalam kantung celananya, dan gua gak mengelak kalau hari itu mendadak gugup.

•••

Namanya Heksa Aryansah, dia orang pertama yang nyamperin gua di pinggir lapangan waktu itu. Gua gak suka main basket dan gua gak berminat untuk main, itu sebabnya gua lebih memilih untuk menonton mereka, dan itu hal yang lumayan seru karena mereka bukan sekedar bermain, mereka betulan bertanding meskipun juga bukan tanding betulan. Gua duduk sendirian di pinggir lapangan duduk di kursi tembok di bawah pohon rindang dan Heksa datang dengan bajunya yang setengah basah, rambutnya lepek karena keringat, dan nafasnya agak ngos-ngosan.

Gua memperhatikan bulir-bulir keringat yang bercucuran di sekitar kulitnya, tanpa sadar memperhatikan dia yang belum mengatakan apapun dan gua sendiri juga bukan orang yang akan bicara jika tidak di tanya lebih dulu. dan ketika dia berbalik menatap, gua terkejut seperti tertangkap basah memperhatikannya, dia tertawa kecil memperhatikan gigi putihnya yang berbaris rapi membuat gua diam tertegun.

“Azka bilang lo gak suka main basket, Aksa?”

Orang-orang jarang memanggil gua dengan nama ketika terjebak dalam sebuah percakapan, dan ketika gua menyadari kalau Heksa menyebut nama gua entah mengapa membuat gua tersenyum di dalam hati.

“Hu'um, gua gak suka olahraga yang terlalu menguras tenaga.”

Gua gak pernah menganggap kalau jawaban gua hari itu lucu, tapi Heksa tertawa dan gua masih bertanya-tanya dimana letak lucunya jawaban gua hari itu.

“Bukannya semua olahraga memang menguras tenaga?”

“Memang, tapi gua gak suka keringatan.”

“Terus lo suka olahraga apa?”

“Berenang, gua gak akan keringat kalau berenang.”

“Lo bisa ajak gua lain kali kalau mau berenang.”

Kemudian gua memandangi dia yang gak lagi mengahadap kearah gua, gua memandangi Heksa yang kini menatap kedepan sesekali berseru menonton pertandingan antara teman-temannya. Gua gak pernah tau kalau jatuh cinta bakalan jadi serumit ini.

•••

Hujan turun sepulang sekolah membuat gua mengutuk abang gua yang tak kunjung datang untuk menjemput, kami cuma punya satu motor dan abang gua yang udah punya SIM di berikan amanat dari baginda ratu untuk mengantar-jemput gua setiap harinya, kami punya mobil tapi mobil sedan keluaran lama itu lebih sering di pakai ayah untuk keluar kota. Jadilah kami hanya punya motor yang biasa di gunakan bertiga, kadang-kadang bergantian dengan abang gua untuk mengantar bunda ke pasar lama, kadang juga motor itu gua bawa tak tentu arah sekedar makan angin membuat abang gua mengamuk tiap melihat bensinnya tersisa satu batang.

Hujan semakin derasa terpantul diatas beton halte menciprati sepatu, gua memundurkan kaki gua agar tidak basah, semakin merutuk ketika hujan sepertinya tak ada tanda-tanda untuk reda, malah semakin deras apalagi di tambah dengan angin yang sesekali dinginnya menembus tulang, juga beberapa kali sambaran petir yang membuat gua langsung melepaskan ponsel dan segera menutup telinga, gua terkejut bukan main ketika membuka mata melihat Heksa sudah berdiri tepat di samping gua dengan satu tangannya meletakkan jaketnya agar menutupi kepala dan pundak gua.

Dia hanya menatap tanpa mau bicara sepatah-duakatapun, lebih memilih untuk duduk di samping dan gua merasa kalau dia berniat menemani, mungkin gua yang gede rasa atau memang dia melakukannya dengan sengaja, gua gak akan pernah mengerti kenapa pemuda itu tiba-tiba datang dan memberikan jaketnya padahal sebenarnya kami tidak sedekat itu.

Atau sebenarnya gua tahu tapi memilih untuk pura-pura tidak tahu kalau sebenarnya ada sesuatu yang tak perlu di jabarkan tapi memang benar adanya, tunas bunganya telah tumbuh dan berakar hanya tinggal menunggu untuk tumbuh lebih besar dan kelopaknya akan siap untuk bermekaran dengan indah yang kemudian akan gugur dan mati.

Mungkin hari itu juga hari di mana gua sadar kalau sebenarnya gua cukup dekat dengan Heksa.

•••

Pandangan curiga Aksa di layangkan tepat kearah gua ketika dia mulai menyadari kalau belakangan ini gua sering kedapatan tengah mengobrol dengan Heksa.

“Lu ada apa sama Heksa?”

Gua menggeleng sebagai jawaban, anak itu sepertinya tidak percaya tapi gua sudah menjawab dengan jujur kalau memang kami tidak ada apa-apa. “Ya gak ada apa-apanya.”

“Bohong kan lu? mana ada lu bisa tiba-tiba bisa sering keluar bareng Heksa, jangan kira gua gak tau.”

Tenggorokan gua mendadak perih, gua menelan ludah dengan gugup seakan sedang tertangkap basah dari acara kucing-kucingan dengan Heksa meskipun kami tidak berniat demikian, “Memang kami harus ada apa-apa dulu baru bisa keluar berdua?”

Wajah Azka mendadak cemberut, itu pertama kalinya gua melihat dia merengut dan menyadari kalau sebenarnya Azka itu lucu, pantas saja Raihan bucin setengah mampus padanya.

Semua orang juga tahu kalau mereka bukan benar-benar teman, hanya saja si Azka tolol ini selalu denial berdalih bahwa mereka hanya teman saja, padahal Raihan jelas menganggap dia lebih dari sekedar teman. Gua sebetulnya takut kalau Azka masih akan terus menyepik perasaannya dia akan menangis melihat Raihan menggandeng orang lain, apa lagi gua dengar kalau ada adik kelas bernama Juan yang terang-terangan mengaku kalau dia menyukai Raihan yang katanya keren itu.

“Iya gak juga sih, tapi aneh aja ngeliat Heksa mendadak mau jalan sama lo. Padahal dia di ajak nongkrong aja susahnya minta ampun, selalu alasannya main basket kalau enggak main skateboard.”

“Heksa bisa main skateboard?”

“Jago dia, agak sorean tuh di jalur dua dekat bandara lu kesana dah biasanya dia main sendiri di situ.”

Hari itu setelah mendengar cerita dari Azka kalau Heksa sering bermain skateboard setiap sore di jalur dua dekat bandara, gua beneran datang agak sorean dengan menenteng kantong Indomaret berisi teh kotak.

Heksa sendiri menghentikan permainannya ketika melihat gua datang mendekat, menghampiri gua yang duduk diatas kursi beton yang di dirikan diatas terotoar jalan di samping pagar bandara.

Merutuki diri sendiri yang datang tanpa alasan sambil menenteng kantong plastik, gua hanya berpakaian kaos oblong warna hitam dan celana training biasa membuat gua terlihat lebih mirip anak hilang.

“Kenapa gak bilang kalau mau kesini? padahal gua bisa jemput.”

Gua jelas lebih heran lagi mendapati pertanyaan Heksa yang sepertinya tidak kaget gua tiba-tiba ada di sini tanpa alasan yang jelas, atau hanya gua yang memang berekspektasi tinggi kalau dia akan terkejut?

“Gak apa-apa, mau aja.” gua jelas menjawab dengan jawaban yang gua sendiri juga tahu kalau Heksa gak akan membalas.

Laki-laki yang usianya hanya terpaut beberapa bulan dari gua itu tanpa mengucapkan apapun lagi membawa skateboard—nya menjauh dan memperlihatkan beberapa skill bermainnya yang membuat gua beberapa kali membuka mulut terpukau.

“Mau main?” entah keberanian dari mana gua tanpa ragu menganggukan kepala dengan semangat, dan Heksa segerak menarik gua untuk naik keatas skateboard miliknya.

Gua sesekali tertawa melihat diri gua sendiri yang benar-benar tidak tahu bagaimana caranya memggunakan benda pipih dengan roda ini, gua beberapa kali hampir keterusan tidak tahu bagaimana cara menghentikan laju skateboard kalau aja Heksa gak ngejar gua.

“Lo harus bisa jaga keseimbangan pas lagi di atas papan skateboard, cara berdirinya kaki kiri lo bisa di depan yang kanan juga bisa sebenarnya, tergantung lebih kuat kaki lo yang mana. Kalau gak bisa jaga keseimbangan bisa-bisa lo jatuh duluan sebelum skateboardnya jalan.” Heksa dengan sabar menjelaskan ke gua beberapa teknik dasar dan menjaga keseimbangan di atas papan itu gak semudah yang gua bayangkan permukaannya yang licin membuat gua agak kesusahan membuat gua tanpa sadar berpegangan di pundak Heksa yang sekarang lebih rendah posisinya.

Gua menunduk mendapati kalau satu tangan heksa berada di pinggang gua, sadar atau tidak gua malah keasikan memandangi Heksa yang sibuk menjelaskan ke gua dengan beberapa ekspresi yang belum pernah gua lihat sebelumnya, dia gak pernah bicara sebanyak itu sebelumnya.

Sore itu gua menghabiskan waktu belajar bermain skateboard dengan Heksa, langit mulai berubah jingga matahari hampir terbenam tapi kami masih duduk bersampingan di atas terotoar jalan menikmati teh kotak yang tidak lagi dingin.

Gua tersenyum melihat Heksa sesekali tertawa mendengar candaan gua yang sebenarnya gua yakin kalau itu gak lucu-lucu amat, gua memandangi wajah heksa dari samping yang terpapar sinar senja membuat gua terpana, pahatan wajahnya terlihat sangat sempurna dengan hidung mancung dan garis wajahnya yang tegas.

Ketika Heksa berbalik lagi-lagi kembali ikut memandangi gua tersenyum tanpa sadar dia ikut tersenyum membuat gua merasa jauh lebih dekat dengan Heksa.

Meskipun sebenarnya gua dengan Heksa terlalu jauh untuk di sebut dekat.

Heksa itu manusia tak banyak kata, dia hanya akan bicara ketika dia butuh. Meskipun sejujurnya gua akui ketika bersama gua Heksa akan jadi pribadi yang banyak bicara dan lebih ekspresif, itu membuat gua merasa menjadi orang yang beruntung.

Heksa itu juga suka bermain basket, gua hak tahu kalau dia sesuka itu dengan bola basket dia sampai punya ring basket di dalam kamarnya sendiri. Gua hanya memandang keluar lewat jendela ketika heksa tengah mengganti bajunya, ada mobil sedan hitam yang masuk ke dalam halaman rumahnya, mungkin orang tuanya mungkin juga itu jadi alasan kenapa waktu gua masuk rumah ini terasa sangat sepi.

“Kayaknya orang tua lo datang.”

Gua gak tahu kenapa Heksa berjalan terburu-buru kearah jendela untuk melihat kedatangan ayahnya, raut wajahnya mendadak berubah.

Heksa mencari sesuatu di dalam lacinya dan memgeluarkan sebuah MP3 dari dalam lacinya, dia memasangkan headset-nya di kedua telinga gua, dan gua sama sekali gak menolak.

“Ini lagu kesukaan gue.” dia memtur lagu itu dengan volume penuh membuat telinga gua rasanya berdengung, gua tahu dia sengaja melakukannya.

Gua memandangi Heksa dalam diam ketika dia mulai bermain basket, mendribble bola oranye itu beberapa kali sebelum membawanya masuk kedalam ring.

Gua sengaja menurunkan volume MP3 itu menjadi paling rendah, sekarang gua bisa dengar dengan jelas suara pantulan bola basket milik heksa, juga suara teriakan-teriakan dan lemparan barang pecah dari luar sana.

Heksa gak mau gua tahu kalau kalau sebenarnya rumah heksa berantakan.

Gua masih terus berpura-pura seolah masih mendengarkan musik dari MP3 milik Heksa ketika dia mulai merebahkan dirinya di samping gua, nafasnya terengah-engah gua bisa lihat beberapa bulir keringat keluar dari dahinya, suara di luar tak kunjung usai.

Gua bisa dengar mereka saling balas meneriaki satu sama lain, suara di luar sana terdengar sangat berantakan, dan Heksa memandangi langit-langit kamarnya satu tangannya meraih tangan gua mengusap jari gua dengan pelan tanpa melihat kearah gua.

Rasanya hati gua seperti di tusuk ribuan jarum ketika mendapati Heksa tak lagi menangis mendengar betapa kacaunya isi rumahnya sendiri.

Gua menangis dalam hati kenapa semesta bisa sejahat ini, gue mau merengkuh Heksa dan bilang ke dia kalau dia gak sendirian, tapi gua sadar gua gak akan bisa.

“Lu berdua aneh.” itu kalimat yang sering gua dapati dari Azka yang sering berkomentar tentang kedekatan gua dengan Heksa.

Apalagi ketika dia diam-diam mendapati Heksa sedang tersenyum mengangguk kearah gua, dan gua juga hanya menanggapinya dengan sebuah senyuman kecil, dia terlihat sangat pusing dengan jawaban yang akan gua berikan ke dia ketika dia bertanya gua dan Heksa itu sebenarnya apa.

“Gue sama Heksa gak ada apa-apa.”

Gua tahu itu mungkin jawabannya yang terlihat sangat aneh ketika gua dengan heksa dengan jelas menunjukkan perhatian lebih terhadap satu sama lain.

Tapi gua dan Heksa sama-sama tahu.

Sama-sama tahu tentang perasaan satu sama lain.

Gua tahu kalau Heksa menyukai gua.

Dan Heksa pun juga tahu kalau gua menyukai dia, sama seperti dia menyukai gua.

Gua dan dia sama-sama tahu kalau orang lain gak akan permah paham dengan hubungan antara kami.

Gua dan dia sama-sama tahu ada sesuatu yang jelas berbeda di antara gua dan heksa.

Ada batas yang terasa sangat jelas antara gua dan Heksa, dan orang lain gak akan paham.

“Aksa cepetan, buka sepatunya itu si thanos udah stay di sana dari tadi.”

Azka gua gak tahu dari mana sebutan itu dia dapatkan untuk kepala sekolah yang sedari tadi telah menunggu di musholla untuk sholat jumat berjamaah di sekolah.

Setelah melepas sepatu gua melihat kesekeliling lapangan yang terasa sepi, hanya ada beberapa siswa yang terlihat jalan mondar-mandir. salah satunya Heksa dengan Fidensa anak kelas ssebelah tengah berjalan lurus.

Dia mendapati kalau gua tengah memandangi dia, Heksa hanya tersenyum simpul dan gak ada yang bisa gua lakukan selain membalas senyumannya kemudian berjalan menuju musholla bersama Azka.

Sedangkan Heksa berjalan lurus menuju ruang ibadah yang ada tepat di depan kelas gua.

Gua dan Heksa sama-sama tahu kalau kita gak akan jadi apa-apa.

anouzume ©2022