perihal keberanian


“jadi, apa yang ngebuat lo sampai ke sini?” percakapan pertama yang dibuka oleh keenan setelah sepuluh menit berdiam diri menatap cahaya lampu dari lantai tiga, menikmati angin malam yang menusuk tulang seolah hendak melucuti jiwa-jiwa yang kedinginan, kesepian, dan mendamba hangat di tengah kota yang telah lama kehilangan kehangatannya.

malam samudra tidak langsung menjawab, membiarkan pertanyaan itu terbawa dinginnya angin malam. membiarkan pertanyaan itu menguap bersama kepulan asap rokok miliknya, yang entah sudah berapa lama, entah sudah berapa banyak, malam tak lagi menghitung berapa banyak jumlah nikotin yang disesapnya malam ini. hanya membiarkan dirinya tenggelam dalam dinginnya malam yang sama seperti namanya, menenggelamkan dan tak tertolong.

keenan meraih satu bungkus rokok dari dalam saku celananya, meraih korek api yang berada di sebelah malam yang bersandar pada pembatas balkon menyalakan satu untuknya sembari menanti jawaban malam untuk pertanyaannya. bisa keenan rasakan euforia sekali sesap yang dimiliki nikotin ini ketika dirinya menyesap dan menghembuskan asap rokoknya yang kemudian hilang bersama jawaban-jawaban yang dia inginkan. keenan bukan perokok aktif, dia hanya sesekali menyentuh nikotin itu dalam waktu-waktu tertentu seperti malam ini, mereka berdua saja tenggelam bersama beribu pertanyaan dan jawaban yang ditenggelamkan pada malam yang dingin di tengah hiruk-pikuk perkotaan yang menyesakkan napas.

“gue habis dari makamnya kak senja.” jawab malam setelah lama memberi jeda biarkan keenan langsung menghentikan aktivitasnya untuk menoleh menatap malam yang masih terus menyesap sebatang rokoknya tanpa menoleh untuk menatap keenan yang kemudian tertawa lalu kembali menyesap rokok di tangannya.

“kak senja gak marah lo baru datang sekarang, dari dulu kemana aja?”

malam menggeleng ikut tersenyum getir, “kayaknya dia marah, karena adiknya baru datang setelah empat tahun. ada yang habis datang juga karena makamnya bersih, ada bunga baru.”

“hari ini ulang tahunnya kak senja.”

“gue bahkan udah lupa kapan gue ulang tahun, nan.”

“karena lo tenggelam, sama seperti nama lo yang pekat itu.” malam tertawa mendengar nada sarkasme dari keenan untuknya.

“kayaknya mereka berhasil sematkan doa lewat nama yang mereka kasih ke gue.” malam sesap rokok itu dalam-dalam dan menghembuskan-nya dengan pelan ”malam samudra, isn't too dark?

keenan hanya mengangguk enggan membantah, matanya kembali menatap lampu-lampu yang menghiasi malam ini perlahan mulai luruh satu-persatu hari semakin larut tapi sepertinya mereka baru akan memulai percakapan yang sebenarnya.

“gue enggak tau doa apa yang mereka sematkan lewat nama yang terlalu pekat itu, yang gue tau hanya mereka berhasil menghancurkan gue lewat doa yang mereka sematkan lewat nama ini.” rokoknya tak lagi disesap dibiarkan terjepit lewat celah jemarinya yang perlahan termakan kobaran apinya yang memabukkan.

“dendam lama lo itu memang enggak pernah mati, ya.” keenan menambahkan, kedua tangannya bersandar pada pembatas balkon sudah menghentikan aktivitasnya sejak tadi, dia cukup dengan dua batang, tak ingin menambah.

malam semakin sunyi, lampu-lampu dari bangunan tinggi yang tadinya menghiasi gelapnya malam dengan cahayanya mulai luruh kembali termakan gelapnya malam yang kian sunyi, padat kota yang perlahan mulai ikut terlelap hendak menjemput pagi yang penuh kebohongan.

i was messed up. lo tau, gue sama yesha.”

keenan mengangguk, “sejak gue ngeliat lo berdua ciuman di toilet waktu itu. there's something between you and yesha, tapi gue enggak pernah nanya karena keliatannya kalian memang enggak mau ditanya.”

malam kembali menyesap sebatang rokoknya sebelum kembali melanjutkan percakapan mereka yang menggantung, “gue, yesha, we argue tentang hubungan kita. dia akhirnya nanyain pertanyaan yang selama ini selalu coba gue hindari. dia nanya kita sebenarnya apa, kita sebenarnya lagi ngapain, dan semua pertanyaan-pertanyaan yang sampai sekarang pun enggak gue tau jawabannya. dan gue dengan semua ego yang gak seharusnya gue pakai itu bilang apa status itu penting and it's over.”

malam kembali mengingat-ingat perseteruannya dengan yesha, yang berujung pada malam samudra yang malam ini terlihat kacau, keenan bisa tau kalau beberapa minggu ini anak itu tidak merawat dirinya dengan benar yang bisa dia liat dari kantung matanya yang menghitam dan rambutnya yang tidak serapi biasanya.

“setelahnya yesha bilang dia mau selesai dari semua hubungan yang kami berdua sendiri pun enggak bisa nyebut itu apa. gue sadar kalau gue ngambil keputusan yang salah. it's hurting me than before ketika gue menyadari kalau selama ini, selama sama yesha gue selalu menangin ego gue tanpa mikir yesha gimana. and finally he's done with me, it's over, dan gue nemuin diri gue sendiri ketakutan kehilangan dia.”

malam menyadarinya ketika kamarnya perlahan mulai terasa dingin, dingin yang biasanya yesha tak biarkan datang bersama mereka ketika mereka bersama. malam meyadarinya ketika dirinya meringkuk kedinginan setiap malam dan merindukan dekap hangat milik yesha, malam menyadarinya ketika tak ada lagi yesha yang selalu ramai dengan semua ceritanya meskipun malam tak akan membalas banyak. perlahan-lahan dia temukan dirinya meringkuk ketakutan merindukan yesha. merindukan hangat yang telah lama hilang dari dalam dirinya tenggelam bersama rasa kecewa yang membawanya.

“lo tau malam, yesha was right when he chose to leave you. gak ada orang yang benar-benar tangguh, dan lo dengan semua ketakutan lo itu pada akhirnya membuat yesha berhenti. yesha jauh lebih tangguh dari lo, tapi lo bahkan enggak pernah memberi dia alasan kenapa dia harus tetap tinggal sama lo. enggak ada orang yang mau hidup dalam ketidakpastian, malam.” keenan mengambil jeda mengetuk jari-jarinya pada pembatas balkon yang menimbulkan melodi abstrak di tengah sunyi nya percakapan mereka, “meskipun satu-satunya hal yang pasti di dunia ini itu, ya ketidakpastian itu sendiri.”

malam tertawa mendengar keenan yang terdengar sangat pelan dan dalam ketika berbicara serius, “lo tau kadang gue ngerasa kalau kita punya banyak kesamaan, tapi sebenarnya gue cuma sedang menyangkal. sibuk menyangkal kalau keenan yang gue kenal udah jalan lebih jauh dari gue yang kelihatannya juga berjalan jauh juga tapi nyatanya gue enggak pernah beranjak, lo melangkah maju sedangkan gue tertinggal jauh.”

it took a long time for me to accept the fact that i'm afraid to lose yesha, gue takut dengan kenyataan kalau yesha ninggalin gue. nan, gue gak tau tapi rasanya gue sekarat, it's hurt. it's hurting me more than when my dad leave with his new lover, more than when my mom leave with her new family, more than when kak senja leave me alone in our house. it's more, and more hurt when i imagine that he will smile and happy with his life with someone new and it's not me. nan, gue gak tau harus apa.”

“lo pengecut.”

“gue tau.”

“samudra, lo pernah dengar kalimat kalau cinta cuma untuk mereka yang berani? gue pikir itu benar. cinta bukan perihal yang mudah, cinta gak akan jadi apa-apa kalau cuma ada satu orang yang berani dan satu orangnya lagi sibuk lari dari rasa sakit. rasa sakit yang seharusnya enggak berdampak apapun untuk seseorang yang enggak tau apa-apa.” keenan kemudian berbalik berlawanan arah dengan yesha, mengandarkan punggungnya pada pagar balkon dengan udara yang kian mendingin pukul dua pagi.

i know that it's hard for you to accept that you're i love with yesha, with all the things happen before. but, yesha doesn't deserve you, malam yang penakut, malam yang sibuk lari dari rasa sakitnya, malam yang bahkan enggak bisa untuk mengakui perasaannya sendiri. yesha pantas untuk orang yang lebih berani dari malam samudra.”

jeda menjemput mereka dini hari, membiarkan setiap cemohan keenan masuk kedalam telinganya bersama dengan angin malam yang menyapa kulit mereka dengan dingin.

jeda yang membuat malam samudra merasa semakin kecil, semakin tidak berdaya. mengamuk dalam hati kecil nya.

see?, bahkan lo enggak bisa mengakui perasaan itu buat diri lo sendiri.”

frustasi

“gue sayang sama yesha nan, gue sayang sama dia! jauh sebelum gue sama dia make out for the first time. i'm already fall in love with yesha when i first time saw him smile. tapi gue dengan segala ego gue nolak buat ngaku. and when he say it's was over gue sadar kalau gue selama ini cuma ngebiarin ketakutan gue ngambil alih segalanya. gue cuma terlalu takut kalau nanti yesha bakalan ninggalin gue sama kayak mereka, nan.”

“lo bahkan belum nyoba.”

“udah telat.”

“lo bahkan belum mulai apa-apa, enggak ada jawaban yang datang dengan cuma-cuma.”

should i?

“lo terlalu banyak tanya.”

tawa yang akhirnya mengudara bersama angin pukul dua dini hari itu membuat keenan tersenyum melihat tawa malam yang telah lama menguap itu, tak banyak yang tau selain keenan bahwa malam yang terlihat tangguh itu nyatanya selama ini berjalan di jalan berduri dan penuh luka, sibuk berlari dari rasa sakit yang telah bertulang dibelakangnya.

malam ikut berbalik menyandarkan punggungnya pada pembatas balkon, menatap lampu remang yang menghiasi kamar lamanya pada tempat yang pernah disebutnya rumah, rumah yang pernah disinggahi nya sebelum semua penghuninya berbalik meninggalkan tempat yang mereka sebut rumah, meninggalkan malam sendirian dalam angan-angan keluarga bahagia yang tak pernah jadi nyata untuknya.

“lo sama biru gimana?”

keenan menoleh, “gue sama biru baik-baik aja.”

“waktu itu gue sengaja ninggalin buku lo di taman.” keenan kebingungan, malam tertawa mengingat-ingat.

“maksud lo?”

“gue liat biru lagi di taman fisip bareng yesha waktu itu, setelah gue tau ternyata lo naksir biru. sebenarnya cuma mau nyoba peruntungan aja naro buku itu di dekatnya, dan ternyata beneran diambil sama dia.” malam masih tersenyum mengingat bagaiman dia sengaja meninggalkan buku itu agar biru bisa melihatnya, “lo berutang sama gue perihal itu.”

keenan menggigit bibirnya sebentar sebelum kemudian melempar bungkus rokoknya dari dalam kantong kearah malam yang kemudian melenguh sakit dan menunduk untuk mengambil bungkus rokok keenan dan memasukkannya kedalam sakunya. “seenggaknya itu berhasil, lo bisa lebih dekat sama biru.”

“ya, thanks for that.”

setelahnya mereka tenggelam dalam pikiran masing-masing, larut dalam isi kepala masing-masing bersama dengan malam yang kian larut membawa sunyi bersamanya.

“keenan,”

“ya?”

“jangan biarin biru nunggu kelamaan.”

“iya, tau. memang gue elo.”

“tai.”