lampaui limit; sepasang yang telah rampung


suara debur ombak bersorak setiap kali menyapa bibir pantai menemani langkah sunyi kaki telanjang mereka yang dibiarkan menyapa lembutnya pasir pantai, semilir angin juga turut ikut serta menerbangkan surai mereka dengan acak. dingin yang terasa menyenangkan ini dibiarkan menyapa mereka berkali-kali yang perlahan mulai menjauh dari keramaian.

mereka berhasil menjauh dari keramaian, meninggalkan banyak sorak kepala yang mencari kewarasan ditengah lautan manusia yang asik terbawa oleh setiap alunan musik yang dibawakan sang pementas. bersorak gembira seolah-olah senang hanya akan datang hari ini, habiskan semua tenagamu, habiskan semua kewarasanmu, habiskan semua kesenanganmu, luruhkan penatmu, luruhkan sedihmu, malam ini kita berpesta.

berdiri bersebelahan biarkan angin pantai berhembus melewati jarak diantara mereka, menyisakan jeda untuk menikmati suara debur ombak yang berpadu dengan angin malam. menjadi melodi-melodi yang dirindukan; hendak membawa pulang pada malam-malam yang sepi-sunyi di tengah keramaian.

keenan alihkan pandangannya pada biru yang diterpa cahaya remang tengah menatap lurus ke depan sana, menatap ombak yang mengecup bibir pantai berkali-kali seolah-olah ada rindu yang harus dibayar tuntas. seperti bersenandung di dalam kepala keenan temukan dirinya berdiri di taman bunga, entah siapa yang harus dia puja, suara ombak yang menyapa bibir pantai atau biru langit yang semakin menawan hampir membuatnya bertekuk lutut.

ah, atau mungkin sudah.

biru langit tak perlu melakukan apa-apa untuk membuatnya jatuh di kedua lutut untuk memujanya, sebab keenan telah lama menjatuhkan dirinya untuk memuja biru langit, menggadai jiwanya pada penyihir di ujung jelaga.

konon ombak datang bersama rindu yang hendak mencapai bibir pantai, tapi malam ini sepertinya ombak pantai tidak datang bersama rindu dia datang bersama gejolak asmara yang hampir melebur bersama pasir pantai yang menyerapnya.

tidak pernah keenan temukan dirinya memuja sebanyak ini, hampir hilang kewarasan hanya untuk menatapnya dari samping. alisnya yang tebal, bulu matanya yang panjang, hidungnya yang mancung, dan bibirnya yang dipenuhi kerinduan, biru langit lebih dari itu semua, lebih dari sekedar yang rupawan untuk membuatnya bersimpuh di kedua lutut. biru langit adalah dia dan isi kepalanya yang menawan keenan athaya rahardian untuk memujanya.

bagi biru langit cinta bisa jadi apa saja; sehelai daun yang luruh dari rantingnya, sebuah akar yang berkelana menjauh untuk menemukan kehidupan, bunga-bunga yang bermekaran di musim semi, atau bunga-bunga yang perlahan luruh untuk digantikan dengan bunga baru, kepada hujan yang menyapa tanah, kepada burung dan nyanyiannya di gereja, ikan-ikan di laut, buku-buku usang yang rindu untuk dijamah, cat pada palet warna yang rindu untuk menyapa kuas dan kanvas, matahari yang rindu untuk menyapa lewat celah-celah jendela, cinta adalah mereka, cinta bisa jadi apa saja, dan kita bisa jadi cinta itu sendiri.

biru langit jatuh cinta pada melodi ombak malam yang bersenandung bersama angin malam dengan merdu, biru langit jatuh cinta pada sunyi yang tidak sepi tengah bersama mereka. biru langit jatuh cinta pada apa-apa yang di rasakan, bukan pada apa yang mereka lihat. kepalanya dibiarkan menoleh setelah puas menatap ombak gelap di depan sana dan temukan keenan hilang dalam tatapnya, biru tertawa ciptakan bulan sabit yang menawan di mata keenan, sunyi ini yang buatnya jatuh cinta.

“suara ombaknya bikin tenang, ya?” tanyanya kemudian kembali menatap ombak yang masih saling berlomba menyapa bibir pantai.

“gak ada yang lebih tenang dari kamu,” keenan pada akhirnya bersuara ikut menatap ke depan, biarkan seluruh indranya merasakan apa yang seharusnya dirasakan.

“salah.” sangkalnya. “aku enggak pernah setenang itu, kita tidak pernah setenang itu.” suara ombak itu dibiarkan untuk menjeda mereka, “tapi bisa diredam.” sambungnya kemudian.

“aku mau jadi peredam itu.” balasnya yang membuat biru menggeleng setelah beberapa saat sembari mengulum bibirnya sendiri.

“kamu bukan alat.”

“lalu?”

“memang kita apa?”

“kita bisa jadi apa saja,” ada banyak jeda dalam setiap konotasi percakapan mereka, lama namun menyenangkan. “jadi apapun kita, enggak masalah.”

biru langit tertawa untuk sesaat, buat keenan ikut menertawakan mereka.

“terlalu melankolis.” “tapi, jadi apapun kita enggak masalah, juga enggak buruk.” mereka kembali tertawa, sepertinya pasir pantai halus ini hendak ditumbuhi bunga.

“keenan,”

“ya?”

“my blue itu aku, ya?”

“kata siapa?”

“kata aku.”

lagi-lagi keenan hanya bisa tertawa semakin mendekat buat jarak diantara mereka semakin sedikit, buat angin malam itu kehabisan celah untuk bergabung diantara mereka.

“kenapa ngerasa kalau itu kamu?”

biru mengangkat bahunya, “entah, cuma ngerasa kalau itu aku.”

biru bisa rasakan tangan besar keenan mengusap kepalanya dengan pelan, “anak pintar. iya, itu kamu.”

“daripada diusap kenapa enggak peluk aku aja? aku enggak kedinginan sih, tapi boleh dan mau kok dipeluk.” biru langit dan isi kepalanya-lah yang menawan keenan.

keenan bawa mereka kedalam sebuah pelukan hangat di pinggir pantai, dengan sayup-sayup suara musik diseberang sana terdengar ikut menemani mereka.

kepala biru yang tadinya dibiarkan bertumpu di pundak keenan itu menjauh, beralih untuk menatap keenan setelah beberapa menit terdiam sembari mendengarkan lagu itu dengan seksama. tangannya dibiarkan mengalun di leher keenan.

“aku ingat tahun lalu waktu acara ulang tahun kampus, kamu pernah bawain lagu ini.”

film favorit dari sheila on 7

“memang kamu waktu itu ada di sana? perasaan enggak ada.”

biru mengangguk, “aku ada di sana. tapi di samping panggung, waktu itu yumna jadi panitia acaranya kan. aku di samping panggung waktu itu pas kamu dan band kamu tampil, cuman sebelum kalian selesai aku pulang duluan.”

keenan tertawa sebentar menjentik hidung biru dengan main-main. “yang itu juga buat kamu.

biru menggeleng tidak setuju. “enggak. lagu itu salah keenan.”

keenan kebingungan, bingung harus membalas apa, hanya bisa menaikkan satu alisnya.

“sejak awal memang kamu pemeran utamanya. cuma kamu.”

bersamaan dengan itu lagu yang mereka maksud selesai, disambung dengan musik menenangkan yang berasal dari seorang perempuan, dalam dan menenangkan.

keenan tak sanggup untuk sembunyikan senyumnya, sepertinya telinganya memerah kalau biru tidak salah liat. pelan-pelan kepalanya dibiarkan menunduk menyatukan dahi mereka, biru tersenyum ketika keenan menutup matanya dan mengusap-usap hidung mereka dengan lucu, dalam hati berharap untuk tidak dibangunkan jika ini hanya mimpi, tapi keenan sadar sepenuhnya.

langkah selanjutnya berhasil buat keenan angkat wajahnya untuk menatap biru dengan sedikit kaget, biru baru saja mengecup pipinya pelan dan saat ini hanya tertawa melihatnya kebingungan. dia mengangkat kedua tangannya untuk menangkup wajah biru, saling menatap, dan keenan lagi-lagi temukan biru yang pemberani.

“biru,”

yang dipanggil ikut menatap kemudian sadar kemana tatapan keenan tertuju kemudian mengarahkan tangannya yang sedari tadi mengalun di leher keenan untuk merapikan beberapa helai rambut keenan yang panjang, menyisirnya ke samping, tau betul kemana tatapan keenan yang hampir hilang itu.

“iya, keenan boleh cium. cium biru, keenan sekarang. take everything from me and i'll be yours already. aku birumu, kan?”

keenan hilang bersama satu senyuman dan dua kecup yang akhirnya menemukan pelabuhannya, saling meraih, mendekap, hilang, melebur bersama ledakan gejolak asmara yang kian terasa menyenangkan. bersorak bersama debur ombak yang sepertinya juga ikut berbahagia menyaksikan mereka.

di dunia yang ini biru adalah pemberani, dan di dunia yang ini juga keenan adalah pemenangnya. mereka pemenangnya.

cinta mungkin bukan perihal yang mudah, cinta mungkin tidak selamanya menyenangkan, dan cinta mungkin adalah mereka yang mencoba untuk menjadi satu sama lain, dan di dunia yang ini keenan bertaruh untuk satu dunia, bertaruh untuk biru, bertaruh untuk mereka, bertaruh agar dekap ini menjadi selamanya, selamanya yang abadi.

sebab rumah butuh sepasang lengan yang berani, sebab rumah butuh sepasang mata, sepasang pipi, sepasang bibir, dan berpasang-pasang rindu di rak-rak sepatu yang tak takut akan penantian panjang untuk pulang.

sama seperti catatannya di langit malam; rindu menuntunku pulang.

mereka akan jadi rumah untuk pulang.