sama seperti namanya
terjebak di malam-malam yang hangat bersama malam bukan lagi hal yang aneh untuk yesha. saling memberi pangut tanpa tahu siapa yang memulai, selalu jadi hal yang enggak pernah mereka lewatkan. saling merengkuh, saling mengikat, saling menyebut nama satu sama lain, saling memberi nikmat.
kamar dari pria yang punya tatto di leher itu sudah tidak asing lagi, selalu jadi saksi pergelutan hangat mereka sampai pagi tiba, sampai yang satunya sadar kalau mereka pergi terlalu jauh untuk hanya sebuah hubungan yang hanya ingin senang-senang nya saja.
yesha menatap kelam samudra, ada gundah yang mengakar dalam hatinya, semakin sesak, semakin tak tertahan. sebelum malam ingin melanjutkan pangutan mereka, yesha menatap kelam samudra yang menenggelamkannya, mencari-cari jawaban yang dia cari di dalam sana, tapi naasnya yesha selalu gagal untuk menemukan jawabannya, karena malam selalu sama seperti namanya.
“malam, kita sebenarnya apa?” lima menit dan malam tidak memberi jawaban sama sekali, yesha tau kalau tidak akan pernah ada jawaban atas pertanyaannya.
“kenapa tiba-tiba nanya gitu?”
mungkin ini buah dari kecongkakkannya, mungkin ini bayaran atas semua keserakahannya, mungkin ini semua bentuk dari ego yang dia pelihara dan dibiarkan menjadi racun yang pada akhirnya meracuninya.
“are you serious? kamu bahkan masih nanya setelah semua ini?”
“yesha,”
“gue bahkan enggak bisa bilang kalau gue cemburu tiap lo sama yang lain, malam! karena kita enggak pernah jadi apa-apa.”
“lo bisa yesha, lo bisa bilang ke gue kalau lo cemburu, lo bisa larang gue deket sama siapa aja kalau lo enggak suka, lo bisa marah kalau gue ngelakuin hal yang enggak lo suka, lo bisa.”
“kenyataannya enggak, kita bahkan enggak pacaran. but you always act like we're in that relationshit, you treat me like i'm your boyfriend, even we're not”
“yesha, sebenarnya lo mau ngomongin apa sih?” yesha sadar betul malam itu untuk pertama kalinya malam meninggikan suaranya.
“you know that i'm already fell for you. lo tau semuanya, we did everything. lo lo nyium gue, we make out. tapi lo enggak pernah bilang sama sekali, satu kalipun, kalau lo suka sama gue. gue tau kita gak pernah ngomongin ini, tapi kita terlalu enggak jelas, malam. i can't find an answer why we have to stay like this.”
ada banyak hal yang harus yesha sesali setelah ini, tapi dia memilih untuk untuk menolak ketika yesha hendak menariknya ke dalam sebuah pelukan, hal yang selalu malam lakukan untuk mengakhiri semuanya, mengakhiri perdebatan, mengakhiri amarah yesha, mengakhiri semua keinginan yesha untuk mereka.
malam diam ketika untuk pertama kalinya yesha menolaknya, untuk semua hal yang mereka lakukan, untuk semua hal yang seharusnya tidak mereka lakukan.
“gue tau dari awal seharusnya gue enggak berharap apapun sama lo, tapi lo ngelakuin semua hal yang orang kayak kita enggak harus lakuin.”
“memang status itu penting?”
padahal yesha tidak meminta banyak
padahal yang yesha mau hanya sebuah pengakuan
yesha cuma butuh pengakuan
dan hanya sebuah pengakuan, hanya untuk sebuah pengakuan dan malam bahkan tidak bisa memberinya satu jawaban yang akan membuatnya untuk tetap tinggal.
yesha adalah dia yang selalu mencari jawaban namun malam adalah dia yang terbiasa tidak memberi jawaban.
ada kecewa yang datang tanpa diundang malam itu, ada sedih yang pada akhirnya terasa semakin nyata bersandar pada punggung dinginnya, ada sadar yang seharusnya tidak yesha kubur dalam-dalam.
“samudra, it's enough. gue tau kalau pada akhirnya hubungan ini cuma bakalan jadi racun, tapi lo ngebuat gue ngerasa enggak apa-apa untuk ngasih makan ego gue, kalau gue bisa jadi penawar buat hubungan beracun ini. tapi nyatanya enggak, gue enggak akan pernah bisa jadi penawar buat hubungan ini.”
dalam hubungan ini mereka hanya saling memberi makan ego, saling melahap satu sama lain sampai lupa ada bagian dari ego yang seharusnya tidak diberi makan, sebab dia akan menjadi serakah. menjadi apa-apa yang seharusnya tidak diberi campur tangan ego.
“can't we just sit down? gue enggak mau berantem. lo cuma lagi capek,”
“gue capek sama hubungan ini!!!” “lo sadar enggak sih? apa yang kita lakuin dua tahun ini, we're doing nothing. and i think it's enough.”
“yesha, dengerin gue dulu.”
“dua tahun samudra, dua tahun gue nunggu buat dengerin lo. dua tahun gue nunggu lo buat ngasih gue alasan kenapa kita harus kayak gini, dua tahun dan enggak pernah. lo enggak pernah biarin gue tau siapa lo, dua tahun ini gue bahkan enggak kenal lo siapa samudra!!!”
yesha tidak pernah suka menangis karena hal bodoh seperti ini, tapi entah kenapa rasanya tetap menyesakkan sampai ke dada. dia enggak pernah tau kalau jatuh cinta pada malam sama dengan menerjunkan diri ke tempat tak berdasar. ternyata suka dan cinta enggak pernah jadi hal yang semudah itu untuk mereka.
keterdiaman malam juga tidak perlu jawaban lagi, karena pada akhirnya mereka tidak membutuhkan jawaban lagi. mereka cuma tentang hanya memilih untuk tetap meminum racun atau membebaskan diri, dan yesha jelas tahu apa pilihannya.
“gue tau kita enggak pernah jadi apa-apa, tapi gue mau kita selesai. selesai untuk semua hal yang gue enggak tahu itu pernah ada atau cuma gue yang nganggep itu ada. gue selesai.”
yesha meninggalkan malam dengan semua kenyataan, dengan semua fakta baru yang enggak pernah dia coba untuk cari tahu.
yesha cuma ingin untuk dicintai namun sayangnya jatuh cinta pada malam samudra tidak lebih dari sekedar bunuh diri.
pada akhirnya yesha memilih untuk menyelesaikan mereka yang tidak pernah dimulai.
sama seperti namanya, malam akan selalu jadi tempat paling gelap untuk yesha yang kerap mendambakan matahari. sama seperti namanya, samudra akan selalu jadi tempat paling dalam yang tidak akan pernah yesha jangkau.
mereka usai sebelum utuh.