untuk sepuluh yang tertinggal jauh di belakang
content warning; mention about car accident, trauma, panic attack, characters death.
peluk hangat yang dipenuhi dengan kegelisahan itu segera menyambut keenan ketika dirinya keluar dari mobil, dekapan yang kian mengerat itu buat keenan balas memeluk beri tenang kepada wanita yang tidak lagi semuda ketika dia masih kecil. wanita yang pertama kali mengajarkannya untuk merangkak, wanita yang pertama kali mengajarkannya mengeja, wanita yang pertama kali mengajarkannya berhitung, wanita yang namanya keenan sebut pertama kali dalam hidupnya.
dia mama, satu-satunya milik keenan.
cemas yang ditunjukkan air muka wanita yang mulai dipenuhi kerutan itu membuat keenan merasa bersalah. “kamu kemana? keenan tidak kenapa-kenapa kan?”
keenan menggeleng, “keenan enggak apa-apa mama, tadi keluar sebentar. masuk ke dalam ya? di luar dingin, udah tengah malam. keenan juga mau ngomong sesuatu, boleh kan, ma?”
wanita paruh baya itu mengangguk sambil tersenyum dengan mata yang terus menatap keenan. dia lama tak memperhatikannya, keenan yang dulu selalu merengek itu kini tingginya sudah jauh melewatinya, keenan yang selalu merengek itu kini sudah semakin dewasa, semakin mirip dengan figur yang telah lama tidak bersama mereka.
mereka sampai di ruang tamu keenan membaringkan dirinya di pangkuan sang mama di sofa yang ukurannya tak seberapa itu, mencari posisi yang membuatnya nyaman. rambutnya yang mulai memanjang itu diusap berikan nyaman yang rasanya tak pernah berubah, masih sehangat ketika keenan pertama kali menyadarinya.
“ma, kalau adek masih ada sekarang dia udah SMP, ya?” usapan pelan di pada surai keenan, mengulum senyumnya sembari mengangguk ketika emosi yang telah lama dibiarkan itu kembali menyapanya.
keenan tidak pernah membahas mereka, ini pertama kalinya. mereka tidak pernah membahas ini sebelumnya, luka lama yang keluarga kecil mereka miliki itu tidak pernah disinggung oleh sesiapapun diantara mereka. luka lama yang tidak pernah mereka coba untuk ulik, luka lama yang di dinginkan untuk kemudian mencair dan mencoba mengambil alih keberadaan mengingatkan bahwa luka itu masih ada di sana, tak beranjak.
pelik rasanya ketika menyadari tangan keenan bergetar kecil ketika meraih lengannya untuk di genggam, figur yang semakin beranjak dewasa itu diam-diam menyimpan banyak pelik di dalam hatinya sama seperti dirinya. “selepas kejadian itu keenan enggak berani untuk naik mobil, setiap diantar mama ke sekolah pakai mobil keenan takut, takut sampai rasanya mual tapi keenan tau mama sama takutnya. kalau keenan takut nanti mama gimana, keenan pikir kalau keenan lawan semua rasa takutnya keenan bakalan baik-baik saja begitu juga mama. ternyata perasaan itu enggak bisa bohong, keenan rasanya hampir mati karena rasa takut yang terus berulang setiap harinya tapi enggak ada tempat untuk kabur.”
“mungkin nanti keenan akan terbiasa, dan ternyata enggak pernah. waktu pertama kali mama minta untuk keenan belajar bawa mobil, keenan takut, takut sekali. tapi dibandingkan dengan takut keenan sekarang sadar kalau waktu itu keenan marah, marah kepada diri sendiri karena ternyata keenan enggak bisa untuk mengatasi rasa takut itu. meskipun pada akhirnya keenan bisa meskipun harus nahan mual dan pusing, tapi tetap keenan enggak pernah menang dari rasa takut itu.”
tangannya yang masih bergetar kecil itu masih menggenggam tangan halus mama nya. mengabsen setiap jarinya dengan pelan.
“sedih rasanya setiap keenan jemput mama dari kantor kita basah-basahan karena hujan, karena keenan enggak pernah berani untuk bawa mobil di garasi itu. keenan bisa bawa mobil sendiri karena keenan pikir kalau sendiri enggak akan ada yang kenapa-kenapa, kecuali keenan.”
“kenapa mikir begitu, keenan enggak seharusnya mikir begitu. sayang mama enggak mau keenan berfikir seperti itu.” pada akhirnya air mata yang sedari tadi wanita itu tahan ditumpahkan juga.
“mama, mama jangan nangis ya? ini bukan salah mama, keenan yang penakut itu bukan salah mamah.” keenan bangun dan mengusap setiap air mata yang jatuh membasahi wajah yang tidak lagi muda itu.
“keenan yang masih sepuluh tahun itu mau untuk dimaafkan ma, dia mau untuk jadi lebih berani tapi keenan enggak pernah membiarkan dia karena keenan yang penakut. setiap ketakutan itu datang keenan selalu salahkan dia, sibuk menyalahkan dan membiarkan dia terjebak dalam rasa bersalah itu. keenan sibuk menyalahkan dia sampai lupa kalau mungkin sebenarnya dia hanya meminta untuk dimaafkan. mama, keenan mau untuk dimaafkan, dia ingin untuk dimaafkan.”
wanita paruh baya itu menggeleng kemudian merengkuh keenan ke dalam pelukannya.
“kakak, mama minta maaf. maaf karena belum pernah bilang ini ke kakak. maaf karena enggak tau kalau selama ini ternyata kakak tanggung semuanya sendirian, dan membiarkan mama berfikir kalau kakak baik-baik saja,”
“kakak harus tau, kalau kakak adalah kakak terbaik yang mama punya, kakak paling berani yang adek punya, dan kakak, kakak akan selalu jadi kebanggaan ayah. maaf karena membiarkan kakak yang masih sepuluh tahun hidup dalam rasa bersalah. mama mau kakak lepaskan semua itu, kakak enggak pantas untuk semua perasaan bersalah dan rasa takut yang ada di hati kakak.”
mungkin memang sejak awal ini bukan salahnya, bukan pula salah mama, mungkin sejak awal memang ini bukan salah siapa-siapa dan tidak ada yang pantas untuk disalahkan.
mungkin memang sekarang adalah waktunya untuk keenan menerima, dan memaafkan dia si sepuluh yang jauh tertinggal di belakang sana. dan keenan yang sekarang memiliki keberanian untuk menatap dan memaafkannya sebab mereka tidak pernah bersalah, dan rasa takut yang menjeratnya selama ini sudah sepantasnya untuk dilepaskan.
dan rasa takut yang memenjarakannya selama bertahun-tahun itu perlahan akan mulai terbebas hilang sama dengan setiap waktu yang terlewati meninggalkan dia yang masih sepuluh tahun tertinggal dengan bebas di belakang sana.