jiwa yang ditaklukkan
sunyi membungkam mereka ketika biru berhasil duduk di samping kemudi dengan keenan yang mengatupkan jari-jarinya secara perlahan pada kendali mobil, membuat biru diam-diam memperhatikan gerak-gerik gundah yang tak kunjung keenan ungkapkan.
biru biarkan keenan bergulat dengan isi kepalanya beberapa saat untuk kemudian meraih lengan kiri keenan yang terus mengetuk gundah, rasakan hangat yang selimuti setiap celah jemarinya yang sedikit basah untuk menoleh dan temukan biru yang sedang menatapnya dengan sorot mata yang seolah hendak meraih keenan dari segala gundah yang menyelimuti hati dan pikirannya.
“a-aku telfon malam, biar dia bawa motornya ke sini.” kalimat berusaha keenan ucapkan dengan rancu sembari tangan kanannya coba tuk meraba di mana letak ponselnya.
“keenan, aku enggak takut.” ibu jemarinya mengusap pelan jemari keenan dengan senyum pelan.
“gimana kalau nanti kita—, gimana kalau aku—” biru tersenyum menggeleng pelan, jemarinya yang tidak lebih besar dari keenan itu masih terus mengusap pelan coba memberi tenang dari semua kalimat menggantung milik keenan yang penuh kegusaran.
“keenan tau tidak kalau rasa takut yang kamu kubur dalam-dalam itu sebenarnya tidak menjerat kamu, tidak juga mencoba untuk membuat kamu merasa semakin tidak berdaya setiap harinya. bagaimana kalau sebenarnya rasa takut itu hanya meminta untuk dilepaskan, meminta untuk dimaafkan.”
tak ada balasan dari yang lebih tua, dan biru juga tidak mengharapkan keenan untuk membalas, “keenan, kamu enggak butuh keberanian untuk melawan rasa takut itu. tapi kamu butuh keberanian untuk memaafkan rasa takut itu, sebab jauh di dalam sana dia juga ketakutan dan ingin dimaafkan.”
“datang ke sini sambil bawa mobil yang memberi kamu banyak hal yang enggak menyenangkan untuk diingat sendiri tanpa alasan adalah bukti kalau kamu diam-diam juga ternyata ingin untuk memaafkan dia. kamu, keenan, kalian enggak pernah bersalah.”
keenan menatap tepat pada mata biru yang pencarkan binar hangat dan keberanian yang tidak pernah keenan miliki sebelumnya, belaian hangat di lengannya masih terus mencoba untuk meleberukan setiap perasaan gundah yang telah lama menumpuk.
“biru,”
“iya?”
“dia mau, dia mau untuk dimaafkan.”
senyumnya mengembang begitu rasakan jemari besar keenan menggenggamnya dengan erat, beri sedikit usapan secara bergantian.
”kamu tahu kepada siapa maaf itu harus sampai, keenan.” biru masih bisa temukan ragu yang tak tersampaikan dari keenan, “kamu bisa taklukkan dia sama seperti kamu menaklukkan setiap orang dengan musik kamu.”
“terima kasih.”
biru mengangguk pelan biarkan senyumnya semakin melebar yang membuat keenan ikut membalas senyumnya.
keenan mencoba melahap, ikut memakan setiap rasa takutnya bersamaan dengan pedal gas yang perlahan mulai diinjak perlahan luruh bersama dengan perasaan lega yang perlahan mulai menyapa bersama angin malam yang lewat dari kaca mobil yang dibiarkan terbuka sedikit.
melaju perlahan memecah bising perkotaan keenan menoleh menatap biru yang terlihat sangat tenang dengan satu tangannya yang masih setia bertengger di pahanya memberi tahu bahwa mereka akan baik-baik saja.
biru adalah bentuk dari semua keberanian yang sanggup menaklukkan keenan, biru adalah bentuk dari semua tenang yang sanggup menaklukkan keenan, biru adalah semua bentuk yang sanggup taklukkan keenan.
keenan jatuh bersimpuh di kedua lutut untuk memuja biru, takluk dalam semua bentuk yang dimiliki biru.