summerpsyche

kepada mami, satu-satunya milik abraham


abraham selama hidupnya tak pernah mengenal perempuan sebaik mami, pun mami yang hari ini usianya menjadi ganjil hanya tersenyum ketika mendapati abraham hanya diam saja ketika semua orang bersorak pada larut malam di muara night untuk merayakan hari jadinya.

sebab mami memahami abraham jauh sebelum abraham memahami dirinya sendiri. setidaknya itu yang bisa abraham pahami dengan sedikit memori yang mengguncang setiap kali melihat mami tersenyum dengan lebar, menyadari bahwa; mereka telah hidup lebih baik.

mami berjalan lebih pelan sembari membawa beberapa hadiah pemberian dari orang-orang di muara night. muara night yang mengenal mami lebih dari abraham itu mirip rumah kedua bagi mami, juga untuk abraham. tempat di mana abraham dan mami diterima tanpa tanya, tanpa jawab, tanpa harus menjadi apa-apa. pun rumah yang mereka tuju setelah muara night menjadi lebih hangat ketika abraham menemukan mami merapikan barang-barangnya dan menatap sambil tersenyum.

“mami pikir kamu gak akan datang, karena terlalu sibuk. tapi sewaktu melihat abraham di muara night mami pikir tidak ada yang perlu dicemaskan lagi. abraham ada.”

“abraham pulang.” abraham sisipkan jaketnya untuk disampirkan di sofa tua yang usianya sudah lebih tua darinya. “abraham pikir karmila sudah berhenti ngasih mami hadiah begini.” ucapnya setelah melihat salah satu bingkisan paling kecil diantara mereka.

“karmila masih sering bilang ke mami untuk tetap make up meskipun anaknya sudah dua puluh tahun, hampir dua satu.” mami tertawa ketika mengingat bagaimana sosok berambut panjang dengan wajah yang selalu dihias elok itu selalu gatal ingin menghiasnya.

abraham cuma bisa tersenyum mendengar mami merapikan sedikit hadiahnya di meja makan. mami menyiapkan sedikit kue untuk abraham di meja makan agar disantap sembari melihat mami membereskan barang-barangnya.

tahun ini tetap sama. abraham masih duduk di meja makan dan mencicipi kue ulang tahun mami di hari ulangtahunnya. mami hanya tersenyum tipis melihat abraham mencicipi kue itu tanpa suara, sebab ia tau itu satu-satunya cara abraham untuk ikut merayakannya.

abraham tak lagi merayakan ulang tahun sejak usianya empat belas. dan mami memahaminya. abraham yang empat belas mulai memahami hal-hal yang belum sempat mami ajarkan, ketika ia mulai sering menghabiskan waktunya berkutat dengan buku-buku di muara night. pemilik perpustakaan kecil itu membiarkan abraham mencerna semua buku di sana dan melahapnya sampai habis, sebab abraham yang usianya empat belas itu punya isi kepala yang ganas. gemar saling memakan, melahap hingga habis, dan buku-buku itu datang sebagai monster pelahap yang sama ganasnya.

“kuenya enak?” mami duduk tepat di hadapannya, dihalangi oleh meja makan kayu yang telah berusia lanjut. dan abraham hanya mengangguk saja sebagai jawaban. “tante maya yang beli. sengaja dia pilih kue itu, katanya tidak terlalu manis, biar abraham bisa makan juga.”

jeda panjang kemudian menyapa mereka. hanya duduk saling berhadapan dan abraham dengan sendok yang sesekali menyuap ke dalam mulutnya. pun mami yang tak punya banyak kalimat untuk diucapkan hanya mengeluarkan sesuatu dari dalam tas yang berada di sampingnya.

“mau jalan-jalan keluar gak? jalan kaki.” ia melemparkan sebungkus rokok yang langsung ditangkap oleh abraham dengan refleks. berjalan lebih dulu sembari menyalakan sebatang rokok untuk disesapnya sendiri, tak perlu menoleh untuk memastikan abraham telah mengikut dengan kepulan asap menyertainya.


abraham berumur empat tahun ketika ia menyadari ada seseorang yang kurang di dalam rumahnya. tidak seperti di rumah cika yang memiliki satu orang laki-laki dewasa yang kerap kali cika panggil ayah. mami hanya tau memasakkan makanan untuk abraham, menyuapi abraham, memandikan abraham, dan membacakan sebuah dongeng sebelum ia tidur. abraham hanya tau memanggil mami, sementara cika punya dua orang yang bisa ia panggil mama dan papa.

meski sering disuguhi dengan sebuah foto di mana mami sering menyebut orang itu adalah ayahnya, abraham tak pernah bisa memahaminya. kenapa ayahnya hanya ada di foto dan papa cika ada bermain bersama cika, menggendong cika ketika ia menangis, dan abraham cuma bisa menatap. meski papa cika sering menggendongnya tapi ada yang berbeda; yang itu bukan miliknya.

sebab satu-satunya milik abraham hanya mami.

mami hanya menjawab bahwa ayahnya akan pulang dan menggendong abraham, juga mengajaknya bermain sama seperti yang dilakukan cika dan papanya. abraham yang anak baik itu hanya tau mengangguk, dan menanti setiap pagi di depan pintu kapan kiranya ayahnya akan pulang dan menggendongnya.

hingga malam kembali tiba dan ayahnya tak kunjung datang, mami hanya meminta abraham untuk sedikit lebih sabar menanti. sebab anak baik sabarnya akan dibayar dengan tuntas.

abraham ingat dia menangi pada paruh kedua ia di sekolah dasar sebab teman-temannya selalu mengejek abraham yang hanya punya mami. abraham tak berbuat apa-apa selain menangis diam-diam di dalam toilet. cika yang pertama kali meraih kerah bajunya dan menyeret abraham ke dalam kelas dengan murka menanyakan siapa yang berani membuat abraham menangis dan seisi kelas menertawakan mereka. abraham tak masalah, tapi satu anak yang membuka suara di depan sana cukup buat ia kembali tersedu-sedu.

“abraham kan memang tidak punya bapak.” ia bisa dengar dengan begitu jelas suara anak itu bersamaan dengan kerah bajunya yang sedari tadi digenggam cika dilepaskan dengan kasar.

cika menerjang anak laki-laki itu dengan brutal yang buat seisi kelas jadi ricuh, mereka membiarkan cika mencakar wajahnya tanpa ampun. abraham tidak akan tau apa jadinya jika ia tidak menarik cika dan menyuruhnya berhenti sambil menangis.

“KAMU ITU HARUS BERANI PUKUL MEREKA AHAM! MEREKA TIDAK BOLEH BICARA SEPERTI ITU KE KAMU! IBU GURU BILANG KITA HARUS MENGHARGAI TEMAN, BUKANNYA BUAT TEMAN MENANGIS.”

“tapi mami bilang aham tidak boleh memukul teman aham.” abraham mengusap air matanya yang tidak mau berhenti, ia jongkok di hadapan cika yang amarahnya masih berada diujung kepala.

“dia itu bukan teman kamu!! kamu jangan berteman sama dia!! anak laki-laki itu harus bisa berkelahi aham! dia harus kuat! kalau aham hanya bisa menangis saja, siapa yang akan membela mami kalau mereka seperti itu?”

tinju pertamanya jatuh pada dagu seorang anak laki-laki yang kembali mengejeknya tak lama setelahnya. cika tersenyum bangga sewaktu ia berhasil melawan seseorang yang selalu mengejeknya. meski pada akhirnya mereka dihukum berdiri di depan rumah dengan kedua tangan diangkat ke atas buat tawanya tak luntur seketika, sebab cika bilang abraham harus bisa lebih kuat.


seorang ibu tua pertama kali datang mengetuk pintu rumahnya ketika abraham berusia delapan tahun dipakaikan seragamnya oleh mami. abraham tak mengenal satupun dari mereka, tapi ibu tua dengan rambut rapi yang mulai memutih dimakan waktu dan bibir merah merona itu cukup untuk buat abraham bersembunyi di balik kursi ketika ia menatapnya.

mami menyambut mereka dengan suka cita namun abraham pahami ada aura aneh yang menyelimuti mereka, abraham sesak, matanya tak berkedip sewaktu ia liat ibu tua itu menampar mami dengan keras.

“mami...” abraham coba meraih mami meski ia hanya mampu memeluk pinggang mami sewaktu itu.

“kamu pikir kamu siapa hah?! gara-gara perempuan seperti kamu rendra hidupnya celaka! memberontak dengan mimpi-mimpi tidak jelasnya.”

abraham hanya bisa dengar suara itu sembari menyebut nama mami dengan pelan, sebab mami hanya diam sewaktu ibu tua jahat menatap mereka dengan nyalang. seolah kebencian itu telah lahir sejak lama dan dipendam begitu lama hingga kentalnya membuat sesak napas.

“asal kamu tau sejak lahir rendra sudah punya semuanya. masa depan! pekerjaan! dan bahkan istri dan seorang anak! lalu kamu siapa yang berani datang entah berantah, mencoba untuk merusak keluarga arutala? perempuan seperti kamu tidak akan pernah pantas untuk arutala, ratna! sampai kapan pun. dan anak ini selamanya tidak akan pernah menjadi bagian dari arutala.”

abraham lihat dengan jelas jejak air mata mami yang jatuh pada keramik lantai rumah mereka, bahkan setelah mereka pergi meninggalkan abraham dan mami yang meringkuk menangis dengan abraham di dalam pelukannya.

pun setelah ibu tua itu pergi abraham masih bisa mendengar dengan jelas di dalam kepalanya, suara yang bergema memenuhi isi kepalanya dan suara tangis sunyi mami yang masih memeluknya.

“aham, mami di sini. enggak apa-apa mami di sini. mami punya abraham.”

abraham delapan tahun sewaktu menyadari mereka tidak diterima dan berhenti menunggu ayah pulang dan mengetuk pintu.

“kamu bisa memberi apa untuk rajendra? cinta? kasih sayang? perempuan seperti kamu tidak akan pernah pantas untuk itu. dan anak ini, kasih sayang tidak akan pernah membuat kalian hidup.”

abraham delapan tahun sewaktu menyadari mami hanya memilikinya.

“kalian tidak akan pernah pantas untuk arutala.”


pukul tiga dini hari ketika abraham habiskan satu batang rokoknya tanpa percakapan apapun yang menemui antara ia dan mami yang terlena dengan euforia kepulan asap pagi hari dengan angin malam yang menerbangkan surai panjangnya bersama dengan doa-doa yang berangkat pagi ini untuk dijamah dan diberkahi. sedang abraham rasakan angin malam menembus tulangnya pada jalan raya yang sepi di sudut kota, tempat ia besar dan dilahirkan.

“gimana kuliah kamu?” abraham tau jelas itu basa-basi yang sengaja mami lontarkan ketika satu batang rokok yang sedari tadi disesapnya tandas dan hanya menyisakan puntung yang ia buang ke sisi jalanan.

mami juga jelas tak mengharapkan jawaban apa-apa dari pertanyaannya ketika abraham hanya tertawa saja lantas kembali membakar rokok keduanya. “baik-baik aja.” namun abraham tetap menjawab meski ia tau mami tak butuh jawabannya.

“makin jago ngerokok kamu ya?”

abraham kembali hisap rokoknya sebelum membalas ucapan mami yang menatapnya dengan tawa yang bengis pada malam yang dingin di mana abraham rasakan udara menghangat secara perlahan melingkupi seluruh tubuhnya.

“belajar dari mami.” dan mami tertawa saja mendengar jawaban dari abraham yang mami tau betul, abraham memang belajar dari dirinya.

pukul tiga lewat tiga puluh menit atau lewat, abraham tak begitu pasti ketika mereka kembali kepada pagar rumah yang usianya sudah melebih abraham sendiri. tanaman yang mami rawat tak menyambut mereka pagi ini sebab mereka sedang terlelap jauh ke dalam mimpi meninggalkan kenyataan yang tengah ia pijak pagi ini bersama mami pada halaman rumah yang telah membesarkannya.

kursi tua panjang yang berada di halaman rumah itu jadi tujuan ketika mami mendudukkan dirinya lebih dulu, di bawah pohon mangga yang tangkainya dipenuhi bunga anggrek.

mami menatap abraham lamat-lamat ketika ia menyesap rokoknya dengan pelan menghembuskan asapnya hingga lenyap ditelan udara dan senyap. mami tersenyum ketika ia hanya mampu menarik sebuah kesimpulan bahwa abrahamnya kini sudah dewasa. lengan kecil abraham yang dulu dipakai untuk meraihnya ketika menginginkan sesuatu itu kini sudah lebih kokoh dari lengannya yang ia pakai untuk menimang abraham mulai dimakan usia.

abraham yang dulu sering menangis ketika inginnya tak dipenuhi sebab ia belum tau bicara itu, kini bungkam sebab ia punya pikiran sendiri yang selalu mami coba untuk selidiki. merangsak meraih abraham dan isi kepalanya yang jauh meninggalkan pikiran mami yang masih menganggap abraham baru dilahirkan.

tak ada yang akan tau bahwa mereka akan sampai pada malam ini, mami menjadi seorang ibu dan seorang anak yang dudu di sampingnya menanti obrolan apa selanjutnya yang akan mereka temui. sebab mami pada usianya yang sama dengan abraham tak akan pernah membayangkan ia akan menghadapi hari ini.

hari di mana ia punya seseorang yang ia besarkan dengan rahimnya sendiri, hari di mana mami melihat abraham seutuhnya telah tumbuh. hari di mana abraham anaknya itu semakin mirip dengan seseorang yang tak pernah hadir diantara mereka, seseorang yang namanya tak lagi pernah disebutkan, seseorang yang kini hidup di dalam diri abraham.

pun rumpangnya ruangnya di dalam diri mami yang bergetar tak akan buat segalanya berubah.

“mami tau kamu punya gitar,” abraham terdiam dengan rokok yang menyala di tangannya bergerak turun perlahan berhenti pada sisi kursi. “waktu ke kost kamu, cika belum sempat mengambil gitarnya ketika mami datang.”

isi kepalanya yang berkecamuk itu kini menjadi semakin tak terelakkan sebab abraham tau apa yang kini dihadapinya adalah apa yang tak pernah ia persiapkan sebelumnya. yang datang tanpa abraham perkirakan.

abraham selalu pandai menyembunyikan dirinya, mengasingkan pikirnya sendiri, menyamarkan wangi curiga yang bisa muncul kapan saja. tapi abraham lupa, ia lupa, lupa bahwa mami telah melahapnya lebih dulu jauh sebelum abraham bisa membaca dan merangkak.

dan ketika dingin dan senyap pagi itu menyapa tulang dan setiap relung milik abraham, ia menggenggamnya, menanti kalimat selanjutnya yang akan mami beri untuknya. abraham menanti amarah, merah yang murka atas tindakannya. tapi hangatnya senyum mami pagi ini luruhkan semua amarah dan murka yang ada ada di dalan kepalanya. seperti sebuah rumah dengan sebuah perapian di musim dingin yang temani dan coklat panas dan kue jahe, abraham temukan hanya dirinya yang direngkuh tanpa amarah.

“abraham tau apa yang buat mami marah?” abraham terdiam menjelma menjadi sunyi yang menjemput sepi pada sepersekian detik untuk direngkuh. “mami marah karena abraham tidak membiarkan mami tau apapun tentang abraham.”

abraham jadi kepompong sepanjang hidupnya. biarkan dirinya di dalam balutan, bersembunyi dari perasaan luar dan tak biarkan setitik cahaya menebus ia dan isi kepalanya. mami pikir abraham akan melunak, namun ia salah abraham semakin kokoh sepanjang waktu semenjak pertama kali ia melihatnya menangis sembari memeluk abraham yang delapan tahun waktu itu.

dunia berjalan dengan cepat, tak selambat pikirannya yang masih mengira abraham adalah anak kecilnya yang butuh untuk dituntun, yang mau mendengarkan dan menerima semua dongeng rimba yang mami ceritakan untuknya. perlahan abraham dan dirinya mengakar menjadi sesuatu yang kokoh, menjadi tameng untuk buktikan mereka hidup dengan baik.

tidak seperti yang mereka ucapkan.

“aham pikir mami gak akan suka kalau aham main gitar, sama seperti dia.”

mami menghembuskan nafasnya dengan keras menahan agar air matanya tidak keluar begitu saja, sebab ia pernah berjanji akan jadi lebih tegar sebab anaknya yang pura-pura tangguh itu menanggung beban yang sama beratnya pada punggungnya yang terlihat muda dan kokoh.

mami menggeleng tegar, “aham mau jadi apapun kamu. aham akan tetap jadi ahamnya mami. aham tidak akan jadi siapa-siapa kecuali arkana abraham. tidak jadi seperti dia, pun tidak akan jadi seperti mami. abraham hanya akan tetap jadi abraham. anak mami.”

“tapi kalau abraham jadi jadi jahat bagaimana?” pertanyaan yang meluncur begitu saja setelah abraham buang rokoknya yang belum tandas, ada sesuatu yang lebih penting pagi ini dari sebatang rokok yang memberinya ilham.

“abraham, mami tidak mengajari kamu untuk selalu jadi orang baik. tapi mami selalu berharap abraham tidak menyakiti siapa-siapa.” usapan pelan mami pada puncak kepalanya melucuti abraham dan segala isi kepalanya, sebab hangat ini melelehkan yang beku di dalam dirinya.

“meski rasa sakit itu sudah bertulang di belakang manusia. mami tetap ingin abraham berusaha untuk tidak menyakiti siapa-siapa, termasuk diri abraham sendiri.”

perlahan abraham sadari dari setiap usapan pulang dari ujung rambut, mami mulai melucuti dirinya yang lama abraham sembunyikan dibalik selimut tua miliknya yang disulam dengan penuh kesabaran dan hangat yang memenuhi kamarnya yang selalu terasa dingin setiap mami tinggalkan ia sendirian dengan isi kepalanya.

“mi,”

“iya?”

“mami jangan tinggalin aham dulu, ya?”

tepat pada ulang tahun mami malam ini, abraham hanya punya satu harapan yang ia sematkan kuat-kuat pada pada malam yang akan pergi digantikan dengan fajar untuk membawa doanya bersemayam pada tempat di mana semua doa sampai dan diselamatkan. pun mami pada usianya yang tidak lagi muda ini akan tetap mengamini setiap doa abraham yang pergi setiap malam. sebab abraham hanya punya mami pada setiap renggang di dalam jiwa. abraham yang rumpang akan selalu memiliki mami yang akan memeluknya bersama dengan doa yang hendak berpulang kepada pemiliknya.

abraham paham kalau hidup adalah pendendam yang membalaskan dendamnya pada manusia-manusia yang lahir tanpa tau apa-apa, tapi sejenak ia bisa lupakan dunia yang pendendam sama seperti dirinya, di hari yang raya di mana semua mengucap mesra, serta mulia, mami.

kepada mami, satu-satunya milik abraham


abraham selama hidupnya tak pernah mengenal perempuan sebaik mami, pun mami yang hari ini usianya menjadi ganjil hanya tersenyum ketika mendapati abraham hanya diam saja ketika semua orang bersorak pada larut malam di muara night untuk merayakan hari jadinya.

sebab mami memahami abraham jauh sebelum abraham memahami dirinya sendiri. setidaknya itu yang bisa abraham pahami dengan sedikit memori yang mengguncang setiap kali melihat mami tersenyum dengan lebar, menyadari bahwa; mereka telah hidup lebih baik.

mami berjalan lebih pelan sembari membawa beberapa hadiah pemberian dari orang-orang di muara night. muara night yang mengenal mami lebih dari abraham itu mirip rumah kedua bagi mami, juga untuk abraham. tempat di mana abraham dan mami diterima tanpa tanya, tanpa jawab, tanpa harus menjadi apa-apa. pun rumah yang mereka tuju setelah muara night menjadi lebih hangat ketika abraham menemukan mami merapikan barang-barangnya dan menatap sambil tersenyum.

“mami pikir kamu gak akan datang, karena terlalu sibuk. tapi sewaktu melihat abraham di muara night mami pikir tidak ada yang perlu dicemaskan lagi. abraham ada.”

“abraham pulang.” abraham sisipkan jaketnya untuk disampirkan di sofa tua yang usianya sudah lebih tua darinya. “abraham pikir karmila sudah berhenti ngasih mami hadiah begini.” ucapnya setelah melihat salah satu bingkisan paling kecil diantara mereka.

“karmila masih sering bilang ke mami untuk tetap make up meskipun anaknya sudah dua puluh tahun, hampir dua satu.” mami tertawa ketika mengingat bagaimana sosok berambut panjang dengan wajah yang selalu dihias elok itu selalu gatal ingin menghiasnya.

abraham cuma bisa tersenyum mendengar mami merapikan sedikit hadiahnya di meja makan. mami menyiapkan sedikit kue untuk abraham di meja makan agar disantap sembari melihat mami membereskan barang-barangnya.

tahun ini tetap sama. abraham masih duduk di meja makan dan mencicipi kue ulang tahun mami di hari ulangtahunnya. mami hanya tersenyum tipis melihat abraham mencicipi kue itu tanpa suara, sebab ia tau itu satu-satunya cara abraham untuk ikut merayakannya.

abraham tak lagi merayakan ulang tahun sejak usianya empat belas. dan mami memahaminya. abraham yang empat belas mulai memahami hal-hal yang belum sempat mami ajarkan, ketika ia mulai sering menghabiskan waktunya berkutat dengan buku-buku di muara night. pemilik perpustakaan kecil itu membiarkan abraham mencerna semua buku di sana dan melahapnya sampai habis, sebab abraham yang usianya empat belas itu punya isi kepala yang ganas. gemar saling memakan, melahap hingga habis, dan buku-buku itu datang sebagai monster pelahap yang sama ganasnya.

“kuenya enak?” mami duduk tepat di hadapannya, dihalangi oleh meja makan kayu yang telah berusia lanjut. dan abraham hanya mengangguk saja sebagai jawaban. “tante maya yang beli. sengaja dia pilih kue itu, katanya tidak terlalu manis, biar abraham bisa makan juga.”

jeda panjang kemudian menyapa mereka. hanya duduk saling berhadapan dan abraham dengan sendok yang sesekali menyuap ke dalam mulutnya. pun mami yang tak punya banyak kalimat untuk diucapkan hanya mengeluarkan sesuatu dari dalam tas yang berada di sampingnya.

“mau jalan-jalan keluar gak? jalan kaki.” ia melemparkan sebungkus rokok yang langsung ditangkap oleh abraham dengan refleks. berjalan lebih dulu sembari menyalakan sebatang rokok untuk disesapnya sendiri, tak perlu menoleh untuk memastikan abraham telah mengikut dengan kepulan asap menyertainya. — abraham berumur empat tahun ketika ia menyadari ada seseorang yang kurang di dalam rumahnya. tidak seperti di rumah cika yang memiliki satu orang laki-laki dewasa yang kerap kali cika panggil ayah. mami hanya tau memasakkan makanan untuk abraham, menyuapi abraham, memandikan abraham, dan membacakan sebuah dongeng sebelum ia tidur. abraham hanya tau memanggil mami, sementara cika punya dua orang yang bisa ia panggil mama dan papa.

meski sering disuguhi dengan sebuah foto di mana mami sering menyebut orang itu adalah ayahnya, abraham tak pernah bisa memahaminya. kenapa ayahnya hanya ada di foto dan papa cika ada bermain bersama cika, menggendong cika ketika ia menangis, dan abraham cuma bisa menatap. meski papa cika sering menggendongnya tapi ada yang berbeda; yang itu bukan miliknya.

sebab satu-satunya milik abraham hanya mami.

mami hanya menjawab bahwa ayahnya akan pulang dan menggendong abraham, juga mengajaknya bermain sama seperti yang dilakukan cika dan papanya. abraham yang anak baik itu hanya tau mengangguk, dan menanti setiap pagi di depan pintu kapan kiranya ayahnya akan pulang dan menggendongnya.

hingga malam kembali tiba dan ayahnya tak kunjung datang, mami hanya meminta abraham untuk sedikit lebih sabar menanti. sebab anak baik sabarnya akan dibayar dengan tuntas.

abraham ingat dia menangi pada paruh kedua ia di sekolah dasar sebab teman-temannya selalu mengejek abraham yang hanya punya mami. abraham tak berbuat apa-apa selain menangis diam-diam di dalam toilet. cika yang pertama kali meraih kerah bajunya dan menyeret abraham ke dalam kelas dengan murka menanyakan siapa yang berani membuat abraham menangis dan seisi kelas menertawakan mereka. abraham tak masalah, tapi satu anak yang membuka suara di depan sana cukup buat ia kembali tersedu-sedu.

“abraham kan memang tidak punya bapak.” ia bisa dengar dengan begitu jelas suara anak itu bersamaan dengan kerah bajunya yang sedari tadi digenggam cika dilepaskan dengan kasar.

cika menerjang anak laki-laki itu dengan brutal yang buat seisi kelas jadi ricuh, mereka membiarkan cika mencakar wajahnya tanpa ampun. abraham tidak akan tau apa jadinya jika ia tidak menarik cika dan menyuruhnya berhenti sambil menangis.

“KAMU ITU HARUS BERANI PUKUL MEREKA AHAM! MEREKA TIDAK BOLEH BICARA SEPERTI ITU KE KAMU! IBU GURU BILANG KITA HARUS MENGHARGAI TEMAN, BUKANNYA BUAT TEMAN MENANGIS.”

“tapi mami bilang aham tidak boleh memukul teman aham.” abraham mengusap air matanya yang tidak mau berhenti, ia jongkok di hadapan cika yang amarahnya masih berada diujung kepala.

“dia itu bukan teman kamu!! kamu jangan berteman sama dia!! anak laki-laki itu harus bisa berkelahi aham! dia harus kuat! kalau aham hanya bisa menangis saja, siapa yang akan membela mami kalau mereka seperti itu?”

tinju pertamanya jatuh pada dagu seorang anak laki-laki yang kembali mengejeknya tak lama setelahnya. cika tersenyum bangga sewaktu ia berhasil melawan seseorang yang selalu mengejeknya. meski pada akhirnya mereka dihukum berdiri di depan rumah dengan kedua tangan diangkat ke atas buat tawanya tak luntur seketika, sebab cika bilang abraham harus bisa lebih kuat.


seorang ibu tua pertama kali datang mengetuk pintu rumahnya ketika abraham berusia delapan tahun dipakaikan seragamnya oleh mami. abraham tak mengenal satupun dari mereka, tapi ibu tua dengan rambut rapi yang mulai memutih dimakan waktu dan bibir merah merona itu cukup untuk buat abraham bersembunyi di balik kursi ketika ia menatapnya.

mami menyambut mereka dengan suka cita namun abraham pahami ada aura aneh yang menyelimuti mereka, abraham sesak, matanya tak berkedip sewaktu ia liat ibu tua itu menampar mami dengan keras.

“mami...” abraham coba meraih mami meski ia hanya mampu memeluk pinggang mami sewaktu itu.

“kamu pikir kamu siapa hah?! gara-gara perempuan seperti kamu rendra hidupnya celaka! memberontak dengan mimpi-mimpi tidak jelasnya.”

abraham hanya bisa dengar suara itu sembari menyebut nama mami dengan pelan, sebab mami hanya diam sewaktu ibu tua jahat menatap mereka dengan nyalang. seolah kebencian itu telah lahir sejak lama dan dipendam begitu lama hingga kentalnya membuat sesak napas.

“asal kamu tau sejak lahir rendra sudah punya semuanya. masa depan! pekerjaan! dan bahkan istri dan seorang anak! lalu kamu siapa yang berani datang entah berantah, mencoba untuk merusak keluarga arutala? perempuan seperti kamu tidak akan pernah pantas untuk arutala, ratna! sampai kapan pun. dan anak ini selamanya tidak akan pernah menjadi bagian dari arutala.”

abraham lihat dengan jelas jejak air mata mami yang jatuh pada keramik lantai rumah mereka, bahkan setelah mereka pergi meninggalkan abraham dan mami yang meringkuk menangis dengan abraham di dalam pelukannya.

pun setelah ibu tua itu pergi abraham masih bisa mendengar dengan jelas di dalam kepalanya, suara yang bergema memenuhi isi kepalanya dan suara tangis sunyi mami yang masih memeluknya.

“aham, mami di sini. enggak apa-apa mami di sini. mami punya abraham.”

abraham delapan tahun sewaktu menyadari mereka tidak diterima dan berhenti menunggu ayah pulang dan mengetuk pintu.

“kamu bisa memberi apa untuk rajendra? cinta? kasih sayang? perempuan seperti kamu tidak akan pernah pantas untuk itu. dan anak ini, kasih sayang tidak akan pernah membuat kalian hidup.”

abraham delapan tahun sewaktu menyadari mami hanya memilikinya.

“kalian tidak akan pernah pantas untuk arutala.”


pukul tiga dini hari ketika abraham habiskan satu batang rokoknya tanpa percakapan apapun yang menemui antara ia dan mami yang terlena dengan euforia kepulan asap pagi hari dengan angin malam yang menerbangkan surai panjangnya bersama dengan doa-doa yang berangkat pagi ini untuk dijamah dan diberkahi. sedang abraham rasakan angin malam menembus tulangnya pada jalan raya yang sepi di sudut kota, tempat ia besar dan dilahirkan.

“gimana kuliah kamu?” abraham tau jelas itu basa-basi yang sengaja mami lontarkan ketika satu batang rokok yang sedari tadi disesapnya tandas dan hanya menyisakan puntung yang ia buang ke sisi jalanan.

mami juga jelas tak mengharapkan jawaban apa-apa dari pertanyaannya ketika abraham hanya tertawa saja lantas kembali membakar rokok keduanya. “baik-baik aja.” namun abraham tetap menjawab meski ia tau mami tak butuh jawabannya.

“makin jago ngerokok kamu ya?”

abraham kembali hisap rokoknya sebelum membalas ucapan mami yang menatapnya dengan tawa yang bengis pada malam yang dingin di mana abraham rasakan udara menghangat secara perlahan melingkupi seluruh tubuhnya.

“belajar dari mami.” dan mami tertawa saja mendengar jawaban dari abraham yang mami tau betul, abraham memang belajar dari dirinya.

pukul tiga lewat tiga puluh menit atau lewat, abraham tak begitu pasti ketika mereka kembali kepada pagar rumah yang usianya sudah melebih abraham sendiri. tanaman yang mami rawat tak menyambut mereka pagi ini sebab mereka sedang terlelap jauh ke dalam mimpi meninggalkan kenyataan yang tengah ia pijak pagi ini bersama mami pada halaman rumah yang telah membesarkannya.

kursi tua panjang yang berada di halaman rumah itu jadi tujuan ketika mami mendudukkan dirinya lebih dulu, di bawah pohon mangga yang tangkainya dipenuhi bunga anggrek.

mami menatap abraham lamat-lamat ketika ia menyesap rokoknya dengan pelan menghembuskan asapnya hingga lenyap ditelan udara dan senyap. mami tersenyum ketika ia hanya mampu menarik sebuah kesimpulan bahwa abrahamnya kini sudah dewasa. lengan kecil abraham yang dulu dipakai untuk meraihnya ketika menginginkan sesuatu itu kini sudah lebih kokoh dari lengannya yang ia pakai untuk menimang abraham mulai dimakan usia.

abraham yang dulu sering menangis ketika inginnya tak dipenuhi sebab ia belum tau bicara itu, kini bungkam sebab ia punya pikiran sendiri yang selalu mami coba untuk selidiki. merangsak meraih abraham dan isi kepalanya yang jauh meninggalkan pikiran mami yang masih menganggap abraham baru dilahirkan.

tak ada yang akan tau bahwa mereka akan sampai pada malam ini, mami menjadi seorang ibu dan seorang anak yang dudu di sampingnya menanti obrolan apa selanjutnya yang akan mereka temui. sebab mami pada usianya yang sama dengan abraham tak akan pernah membayangkan ia akan menghadapi hari ini.

hari di mana ia punya seseorang yang ia besarkan dengan rahimnya sendiri, hari di mana mami melihat abraham seutuhnya telah tumbuh. hari di mana abraham anaknya itu semakin mirip dengan seseorang yang tak pernah hadir diantara mereka, seseorang yang namanya tak lagi pernah disebutkan, seseorang yang kini hidup di dalam diri abraham.

pun rumpangnya ruangnya di dalam diri mami yang bergetar tak akan buat segalanya berubah.

“mami tau kamu punya gitar,” abraham terdiam dengan rokok yang menyala di tangannya bergerak turun perlahan berhenti pada sisi kursi. “waktu ke kost kamu, cika belum sempat mengambil gitarnya ketika mami datang.”

isi kepalanya yang berkecamuk itu kini menjadi semakin tak terelakkan sebab abraham tau apa yang kini dihadapinya adalah apa yang tak pernah ia persiapkan sebelumnya. yang datang tanpa abraham perkirakan.

abraham selalu pandai menyembunyikan dirinya, mengasingkan pikirnya sendiri, menyamarkan wangi curiga yang bisa muncul kapan saja. tapi abraham lupa, ia lupa, lupa bahwa mami telah melahapnya lebih dulu jauh sebelum abraham bisa membaca dan merangkak.

dan ketika dingin dan senyap pagi itu menyapa tulang dan setiap relung milik abraham, ia menggenggamnya, menanti kalimat selanjutnya yang akan mami beri untuknya. abraham menanti amarah, merah yang murka atas tindakannya. tapi hangatnya senyum mami pagi ini luruhkan semua amarah dan murka yang ada ada di dalan kepalanya. seperti sebuah rumah dengan sebuah perapian di musim dingin yang temani dan coklat panas dan kue jahe, abraham temukan hanya dirinya yang direngkuh tanpa amarah.

“abraham tau apa yang buat mami marah?” abraham terdiam menjelma menjadi sunyi yang menjemput sepi pada sepersekian detik untuk direngkuh. “mami marah karena abraham tidak membiarkan mami tau apapun tentang abraham.”

abraham jadi kepompong sepanjang hidupnya. biarkan dirinya di dalam balutan, bersembunyi dari perasaan luar dan tak biarkan setitik cahaya menebus ia dan isi kepalanya. mami pikir abraham akan melunak, namun ia salah abraham semakin kokoh sepanjang waktu semenjak pertama kali ia melihatnya menangis sembari memeluk abraham yang delapan tahun waktu itu.

dunia berjalan dengan cepat, tak selambat pikirannya yang masih mengira abraham adalah anak kecilnya yang butuh untuk dituntun, yang mau mendengarkan dan menerima semua dongeng rimba yang mami ceritakan untuknya. perlahan abraham dan dirinya mengakar menjadi sesuatu yang kokoh, menjadi tameng untuk buktikan mereka hidup dengan baik.

tidak seperti yang mereka ucapkan.

“aham pikir mami gak akan suka kalau aham main gitar, sama seperti dia.”

mami menghembuskan nafasnya dengan keras menahan agar air matanya tidak keluar begitu saja, sebab ia pernah berjanji akan jadi lebih tegar sebab anaknya yang pura-pura tangguh itu menanggung beban yang sama beratnya pada punggungnya yang terlihat muda dan kokoh.

mami menggeleng tegar, “aham mau jadi apapun kamu. aham akan tetap jadi ahamnya mami. aham tidak akan jadi siapa-siapa kecuali arkana abraham. tidak jadi seperti dia, pun tidak akan jadi seperti mami. abraham hanya akan tetap jadi abraham. anak mami.”

“tapi kalau abraham jadi jadi jahat bagaimana?” pertanyaan yang meluncur begitu saja setelah abraham buang rokoknya yang belum tandas, ada sesuatu yang lebih penting pagi ini dari sebatang rokok yang memberinya ilham.

“abraham, mami tidak mengajari kamu untuk selalu jadi orang baik. tapi mami selalu berharap abraham tidak menyakiti siapa-siapa.” usapan pelan mami pada puncak kepalanya melucuti abraham dan segala isi kepalanya, sebab hangat ini melelehkan yang beku di dalam dirinya.

“meski rasa sakit itu sudah bertulang di belakang manusia. mami tetap ingin abraham berusaha untuk tidak menyakiti siapa-siapa, termasuk diri abraham sendiri.”

perlahan abraham sadari dari setiap usapan pulang dari ujung rambut, mami mulai melucuti dirinya yang lama abraham sembunyikan dibalik selimut tua miliknya yang disulam dengan penuh kesabaran dan hangat yang memenuhi kamarnya yang selalu terasa dingin setiap mami tinggalkan ia sendirian dengan isi kepalanya.

“mi,”

“iya?”

“mami jangan tinggalin aham dulu, ya?”

tepat pada ulang tahun mami malam ini, abraham hanya punya satu harapan yang ia sematkan kuat-kuat pada pada malam yang akan pergi digantikan dengan fajar untuk membawa doanya bersemayam pada tempat di mana semua doa sampai dan diselamatkan. pun mami pada usianya yang tidak lagi muda ini akan tetap mengamini setiap doa abraham yang pergi setiap malam. sebab abraham hanya punya mami pada setiap renggang di dalam jiwa. abraham yang rumpang akan selalu memiliki mami yang akan memeluknya bersama dengan doa yang hendak berpulang kepada pemiliknya.

abraham paham kalau hidup adalah pendendam yang membalaskan dendamnya pada manusia-manusia yang lahir tanpa tau apa-apa, tapi sejenak ia bisa lupakan dunia yang pendendam sama seperti dirinya, di hari yang raya di mana semua mengucap mesra, serta mulia, mami.

kepada mami, satu-satunya milik abraham


abraham selama hidupnya tak pernah mengenal perempuan sebaik mami, pun mami yang hari ini usianya menjadi ganjil hanya tersenyum ketika mendapati abraham hanya diam saja ketika semua orang bersorak pada larut malam di muara night untuk merayakan hari jadinya.

sebab mami memahami abraham jauh sebelum abraham memahami dirinya sendiri. setidaknya itu yang bisa abraham pahami dengan sedikit memori yang mengguncang setiap kali melihat mami tersenyum dengan lebar, menyadari bahwa; mereka telah hidup lebih baik.

mami berjalan lebih pelan sembari membawa beberapa hadiah pemberian dari orang-orang di muara night. muara night yang mengenal mami lebih dari abraham itu mirip rumah kedua bagi mami, juga untuk abraham. tempat di mana abraham dan mami diterima tanpa tanya, tanpa jawab, tanpa harus menjadi apa-apa. pun rumah yang mereka tuju setelah muara night menjadi lebih hangat ketika abraham menemukan mami merapikan barang-barangnya dan menatap sambil tersenyum.

“mami pikir kamu gak akan datang, karena terlalu sibuk. tapi sewaktu melihat abraham di muara night mami pikir tidak ada yang perlu dicemaskan lagi. abraham ada.”

“abraham pulang.” abraham sisipkan jaketnya untuk disampirkan di sofa tua yang usianya sudah lebih tua darinya. “abraham pikir karmila sudah berhenti ngasih mami hadiah begini.” ucapnya setelah melihat salah satu bingkisan paling kecil diantara mereka.

“karmila masih sering bilang ke mami untuk tetap make up meskipun anaknya sudah dua puluh tahun, hampir dua satu.” mami tertawa ketika mengingat bagaimana sosok berambut panjang dengan wajah yang selalu dihias elok itu selalu gatal ingin menghiasnya.

abraham cuma bisa tersenyum mendengar mami merapikan sedikit hadiahnya di meja makan. mami menyiapkan sedikit kue untuk abraham di meja makan agar disantap sembari melihat mami membereskan barang-barangnya.

tahun ini tetap sama. abraham masih duduk di meja makan dan mencicipi kue ulang tahun mami di hari ulangtahunnya. mami hanya tersenyum tipis melihat abraham mencicipi kue itu tanpa suara, sebab ia tau itu satu-satunya cara abraham untuk ikut merayakannya.

abraham tak lagi merayakan ulang tahun sejak usianya empat belas. dan mami memahaminya. abraham yang empat belas mulai memahami hal-hal yang belum sempat mami ajarkan, ketika ia mulai sering menghabiskan waktunya berkutat dengan buku-buku di muara night. pemilik perpustakaan kecil itu membiarkan abraham mencerna semua buku di sana dan melahapnya sampai habis, sebab abraham yang usianya empat belas itu punya isi kepala yang ganas. gemar saling memakan, melahap hingga habis, dan buku-buku itu datang sebagai monster pelahap yang sama ganasnya.

“kuenya enak?” mami duduk tepat di hadapannya, dihalangi oleh meja makan kayu yang telah berusia lanjut. dan abraham hanya mengangguk saja sebagai jawaban. “tante maya yang beli. sengaja dia pilih kue itu, katanya tidak terlalu manis, biar abraham bisa makan juga.”

jeda panjang kemudian menyapa mereka. hanya duduk saling berhadapan dan abraham dengan sendok yang sesekali menyuap ke dalam mulutnya. pun mami yang tak punya banyak kalimat untuk diucapkan hanya mengeluarkan sesuatu dari dalam tas yang berada di sampingnya.

“mau jalan-jalan keluar gak? jalan kaki.” ia melemparkan sebungkus rokok yang langsung ditangkap oleh abraham dengan refleks. berjalan lebih dulu sembari menyalakan sebatang rokok untuk disesapnya sendiri, tak perlu menoleh untuk memastikan abraham telah mengikut dengan kepulan asap menyertainya. — abraham berumur empat tahun ketika ia menyadari ada seseorang yang kurang di dalam rumahnya. tidak seperti di rumah cika yang memiliki satu orang laki-laki dewasa yang kerap kali cika panggil ayah. mami hanya tau memasakkan makanan untuk abraham, menyuapi abraham, memandikan abraham, dan membacakan sebuah dongeng sebelum ia tidur. abraham hanya tau memanggil mami, sementara cika punya dua orang yang bisa ia panggil mama dan papa.

meski sering disuguhi dengan sebuah foto di mana mami sering menyebut orang itu adalah ayahnya, abraham tak pernah bisa memahaminya. kenapa ayahnya hanya ada di foto dan papa cika ada bermain bersama cika, menggendong cika ketika ia menangis, dan abraham cuma bisa menatap. meski papa cika sering menggendongnya tapi ada yang berbeda; yang itu bukan miliknya.

sebab satu-satunya milik abraham hanya mami.

mami hanya menjawab bahwa ayahnya akan pulang dan menggendong abraham, juga mengajaknya bermain sama seperti yang dilakukan cika dan papanya. abraham yang anak baik itu hanya tau mengangguk, dan menanti setiap pagi di depan pintu kapan kiranya ayahnya akan pulang dan menggendongnya.

hingga malam kembali tiba dan ayahnya tak kunjung datang, mami hanya meminta abraham untuk sedikit lebih sabar menanti. sebab anak baik sabarnya akan dibayar dengan tuntas.

abraham ingat dia menangi pada paruh kedua ia di sekolah dasar sebab teman-temannya selalu mengejek abraham yang hanya punya mami. abraham tak berbuat apa-apa selain menangis diam-diam di dalam toilet. cika yang pertama kali meraih kerah bajunya dan menyeret abraham ke dalam kelas dengan murka menanyakan siapa yang berani membuat abraham menangis dan seisi kelas menertawakan mereka. abraham tak masalah, tapi satu anak yang membuka suara di depan sana cukup buat ia kembali tersedu-sedu.

“abraham kan memang tidak punya bapak.” ia bisa dengar dengan begitu jelas suara anak itu bersamaan dengan kerah bajunya yang sedari tadi digenggam cika dilepaskan dengan kasar.

cika menerjang anak laki-laki itu dengan brutal yang buat seisi kelas jadi ricuh, mereka membiarkan cika mencakar wajahnya tanpa ampun. abraham tidak akan tau apa jadinya jika ia tidak menarik cika dan menyuruhnya berhenti sambil menangis.

“KAMU ITU HARUS BERANI PUKUL MEREKA AHAM! MEREKA TIDAK BOLEH BICARA SEPERTI ITU KE KAMU! IBU GURU BILANG KITA HARUS MENGHARGAI TEMAN, BUKANNYA BUAT TEMAN MENANGIS.”

“tapi mami bilang aham tidak boleh memukul teman aham.” abraham mengusap air matanya yang tidak mau berhenti, ia jongkok di hadapan cika yang amarahnya masih berada diujung kepala.

“dia itu bukan teman kamu!! kamu jangan berteman sama dia!! anak laki-laki itu harus bisa berkelahi aham! dia harus kuat! kalau aham hanya bisa menangis saja, siapa yang akan membela mami kalau mereka seperti itu?”

tinju pertamanya jatuh pada dagu seorang anak laki-laki yang kembali mengejeknya tak lama setelahnya. cika tersenyum bangga sewaktu ia berhasil melawan seseorang yang selalu mengejeknya. meski pada akhirnya mereka dihukum berdiri di depan rumah dengan kedua tangan diangkat ke atas buat tawanya tak luntur seketika, sebab cika bilang abraham harus bisa lebih kuat.


seorang ibu tua pertama kali datang mengetuk pintu rumahnya ketika abraham berusia delapan tahun dipakaikan seragamnya oleh mami. abraham tak mengenal satupun dari mereka, tapi ibu tua dengan rambut rapi yang mulai memutih dimakan waktu dan bibir merah merona itu cukup untuk buat abraham bersembunyi di balik kursi ketika ia menatapnya.

mami menyambut mereka dengan suka cita namun abraham pahami ada aura aneh yang menyelimuti mereka, abraham sesak, matanya tak berkedip sewaktu ia liat ibu tua itu menampar mami dengan keras.

“mami...” abraham coba meraih mami meski ia hanya mampu memeluk pinggang mami sewaktu itu.

“kamu pikir kamu siapa hah?! gara-gara perempuan seperti kamu rendra hidupnya celaka! memberontak dengan mimpi-mimpi tidak jelasnya.”

abraham hanya bisa dengar suara itu sembari menyebut nama mami dengan pelan, sebab mami hanya diam sewaktu ibu tua jahat menatap mereka dengan nyalang. seolah kebencian itu telah lahir sejak lama dan dipendam begitu lama hingga kentalnya membuat sesak napas.

“asal kamu tau sejak lahir rendra sudah punya semuanya. masa depan! pekerjaan! dan bahkan istri dan seorang anak! lalu kamu siapa yang berani datang entah berantah, mencoba untuk merusak keluarga arutala? perempuan seperti kamu tidak akan pernah pantas untuk arutala, ratna! sampai kapan pun. dan anak ini selamanya tidak akan pernah menjadi bagian dari arutala.”

abraham lihat dengan jelas jejak air mata mami yang jatuh pada keramik lantai rumah mereka, bahkan setelah mereka pergi meninggalkan abraham dan mami yang meringkuk menangis dengan abraham di dalam pelukannya.

pun setelah ibu tua itu pergi abraham masih bisa mendengar dengan jelas di dalam kepalanya, suara yang bergema memenuhi isi kepalanya dan suara tangis sunyi mami yang masih memeluknya.

“aham, mami di sini. enggak apa-apa mami di sini. mami punya abraham.”

abraham delapan tahun sewaktu menyadari mereka tidak diterima dan berhenti menunggu ayah pulang dan mengetuk pintu.

“kamu bisa memberi apa untuk rajendra? cinta? kasih sayang? perempuan seperti kamu tidak akan pernah pantas untuk itu. dan anak ini, kasih sayang tidak akan pernah membuat kalian hidup.”

abraham delapan tahun sewaktu menyadari mami hanya memilikinya.

“kalian tidak akan pernah pantas untuk arutala.”


pukul tiga dini hari ketika abraham habiskan satu batang rokoknya tanpa percakapan apapun yang menemui antara ia dan mami yang terlena dengan euforia kepulan asap pagi hari dengan angin malam yang menerbangkan surai panjangnya bersama dengan doa-doa yang berangkat pagi ini untuk dijamah dan diberkahi. sedang abraham rasakan angin malam menembus tulangnya pada jalan raya yang sepi di sudut kota, tempat ia besar dan dilahirkan.

“gimana kuliah kamu?” abraham tau jelas itu basa-basi yang sengaja mami lontarkan ketika satu batang rokok yang sedari tadi disesapnya tandas dan hanya menyisakan puntung yang ia buang ke sisi jalanan.

mami juga jelas tak mengharapkan jawaban apa-apa dari pertanyaannya ketika abraham hanya tertawa saja lantas kembali membakar rokok keduanya. “baik-baik aja.” namun abraham tetap menjawab meski ia tau mami tak butuh jawabannya.

“makin jago ngerokok kamu ya?”

abraham kembali hisap rokoknya sebelum membalas ucapan mami yang menatapnya dengan tawa yang bengis pada malam yang dingin di mana abraham rasakan udara menghangat secara perlahan melingkupi seluruh tubuhnya.

“belajar dari mami.” dan mami tertawa saja mendengar jawaban dari abraham yang mami tau betul, abraham memang belajar dari dirinya.

pukul tiga lewat tiga puluh menit atau lewat, abraham tak begitu pasti ketika mereka kembali kepada pagar rumah yang usianya sudah melebih abraham sendiri. tanaman yang mami rawat tak menyambut mereka pagi ini sebab mereka sedang terlelap jauh ke dalam mimpi meninggalkan kenyataan yang tengah ia pijak pagi ini bersama mami pada halaman rumah yang telah membesarkannya.

kursi tua panjang yang berada di halaman rumah itu jadi tujuan ketika mami mendudukkan dirinya lebih dulu, di bawah pohon mangga yang tangkainya dipenuhi bunga anggrek.

mami menatap abraham lamat-lamat ketika ia menyesap rokoknya dengan pelan menghembuskan asapnya hingga lenyap ditelan udara dan senyap. mami tersenyum ketika ia hanya mampu menarik sebuah kesimpulan bahwa abrahamnya kini sudah dewasa. lengan kecil abraham yang dulu dipakai untuk meraihnya ketika menginginkan sesuatu itu kini sudah lebih kokoh dari lengannya yang ia pakai untuk menimang abraham mulai dimakan usia.

abraham yang dulu sering menangis ketika inginnya tak dipenuhi sebab ia belum tau bicara itu, kini bungkam sebab ia punya pikiran sendiri yang selalu mami coba untuk selidiki. merangsak meraih abraham dan isi kepalanya yang jauh meninggalkan pikiran mami yang masih menganggap abraham baru dilahirkan.

tak ada yang akan tau bahwa mereka akan sampai pada malam ini, mami menjadi seorang ibu dan seorang anak yang dudu di sampingnya menanti obrolan apa selanjutnya yang akan mereka temui. sebab mami pada usianya yang sama dengan abraham tak akan pernah membayangkan ia akan menghadapi hari ini.

hari di mana ia punya seseorang yang ia besarkan dengan rahimnya sendiri, hari di mana mami melihat abraham seutuhnya telah tumbuh. hari di mana abraham anaknya itu semakin mirip dengan seseorang yang tak pernah hadir diantara mereka, seseorang yang namanya tak lagi pernah disebutkan, seseorang yang kini hidup di dalam diri abraham.

pun rumpangnya ruangnya di dalam diri mami yang bergetar tak akan buat segalanya berubah.

“mami tau kamu punya gitar,” abraham terdiam dengan rokok yang menyala di tangannya bergerak turun perlahan berhenti pada sisi kursi. “waktu ke kost kamu, cika belum sempat mengambil gitarnya ketika mami datang.”

isi kepalanya yang berkecamuk itu kini menjadi semakin tak terelakkan sebab abraham tau apa yang kini dihadapinya adalah apa yang tak pernah ia persiapkan sebelumnya. yang datang tanpa abraham perkirakan.

abraham selalu pandai menyembunyikan dirinya, mengasingkan pikirnya sendiri, menyamarkan wangi curiga yang bisa muncul kapan saja. tapi abraham lupa, ia lupa, lupa bahwa mami telah melahapnya lebih dulu jauh sebelum abraham bisa membaca dan merangkak.

dan ketika dingin dan senyap pagi itu menyapa tulang dan setiap relung milik abraham, ia menggenggamnya, menanti kalimat selanjutnya yang akan mami beri untuknya. abraham menanti amarah, merah yang murka atas tindakannya. tapi hangatnya senyum mami pagi ini luruhkan semua amarah dan murka yang ada ada di dalan kepalanya. seperti sebuah rumah dengan sebuah perapian di musim dingin yang temani dan coklat panas dan kue jahe, abraham temukan hanya dirinya yang direngkuh tanpa amarah.

“abraham tau apa yang buat mami marah?” abraham terdiam menjelma menjadi sunyi yang menjemput sepi pada sepersekian detik untuk direngkuh. “mami marah karena abraham tidak membiarkan mami tau apapun tentang abraham.”

abraham jadi kepompong sepanjang hidupnya. biarkan dirinya di dalam balutan, bersembunyi dari perasaan luar dan tak biarkan setitik cahaya menebus ia dan isi kepalanya. mami pikir abraham akan melunak, namun ia salah abraham semakin kokoh sepanjang waktu semenjak pertama kali ia melihatnya menangis sembari memeluk abraham yang delapan tahun waktu itu.

dunia berjalan dengan cepat, tak selambat pikirannya yang masih mengira abraham adalah anak kecilnya yang butuh untuk dituntun, yang mau mendengarkan dan menerima semua dongeng rimba yang mami ceritakan untuknya. perlahan abraham dan dirinya mengakar menjadi sesuatu yang kokoh, menjadi tameng untuk buktikan mereka hidup dengan baik.

tidak seperti yang mereka ucapkan.

“aham pikir mami gak akan suka kalau aham main gitar, sama seperti dia.”

mami menghembuskan nafasnya dengan keras menahan agar air matanya tidak keluar begitu saja, sebab ia pernah berjanji akan jadi lebih tegar sebab anaknya yang pura-pura tangguh itu menanggung beban yang sama beratnya pada punggungnya yang terlihat muda dan kokoh.

mami menggeleng tegar, “aham mau jadi apapun kamu. aham akan tetap jadi ahamnya mami. aham tidak akan jadi siapa-siapa kecuali arkana abraham. tidak jadi seperti dia, pun tidak akan jadi seperti mami. abraham hanya akan tetap jadi abraham. anak mami.”

“tapi kalau abraham jadi jadi jahat bagaimana?” pertanyaan yang meluncur begitu saja setelah abraham buang rokoknya yang belum tandas, ada sesuatu yang lebih penting pagi ini dari sebatang rokok yang memberinya ilham.

“abraham, mami tidak mengajari kamu untuk selalu jadi orang baik. tapi mami selalu berharap abraham tidak menyakiti siapa-siapa.” usapan pelan mami pada puncak kepalanya melucuti abraham dan segala isi kepalanya, sebab hangat ini melelehkan yang beku di dalam dirinya.

“meski rasa sakit itu sudah bertulang di belakang manusia. mami tetap ingin abraham berusaha untuk tidak menyakiti siapa-siapa, termasuk diri abraham sendiri.”

perlahan abraham sadari dari setiap usapan pulang dari ujung rambut, mami mulai melucuti dirinya yang lama abraham sembunyikan dibalik selimut tua miliknya yang disulam dengan penuh kesabaran dan hangat yang memenuhi kamarnya yang selalu terasa dingin setiap mami tinggalkan ia sendirian dengan isi kepalanya.

“mi,”

“iya?”

“mami jangan tinggalin aham dulu, ya?”

tepat pada ulang tahun mami malam ini, abraham hanya punya satu harapan yang ia sematkan kuat-kuat pada pada malam yang akan pergi digantikan dengan fajar untuk membawa doanya bersemayam pada tempat di mana semua doa sampai dan diselamatkan. pun mami pada usianya yang tidak lagi muda ini akan tetap mengamini setiap doa abraham yang pergi setiap malam. sebab abraham hanya punya mami pada setiap renggang di dalam jiwa. abraham yang rumpang akan selalu memiliki mami yang akan memeluknya bersama dengan doa yang hendak berpulang kepada pemiliknya.

abraham paham kalau hidup adalah pendendam yang membalaskan dendamnya pada manusia-manusia yang lahir tanpa tau apa-apa, tapi sejenak ia bisa lupakan dunia yang pendendam sama seperti dirinya, di hari yang raya di mana semua mengucap mesra, serta mulia, mami.

aroma hangat adrian


awan gelap dan angin yang membisik kulit tanpa sungkan jadi teman yang menemani mereka makan di warung bebek pasca kuliah kini menjelma menjadi rintik hujan yang membasahi setengah luaran kemeja adrian tanpa permisi di belakang abraham yang keadaannya jauh lebih mengenaskan, sebab adrian bisa rakan lengannya yang melingkari pinggang abraham kini basah. tapi adrian dan semua ikan-ikan di dalam kepalanya tersenyum. adrian suka air, adrian suka hujan, dan adrian suka abraham yang sengaja pelankan laju motornya sebab tau adrian suka hujan.

abraham selalu tau bagaimana cara selipkan dirinya diantara semua kesukaan adrian yang buat ia dan aromanya sukar untuk dilupakan. adrian yang hanya paham sedikit tentang dunia dan caranya bekerja hanya bisa memahami; abraham menyenangkan, dan adrian selalu suka ia dan caranya merangsak masuk ke dalam lorong-lorong sempit di dalam hatinya untuk bersembunyi dan menarik selimut hangat untuk sembunyikan dirinya, sebab tau adrian selalu punya banyak hangat untuk diberi meski mereka sedang kehujanan.

orang-orang berebut jalan, berebut untuk berteduh, berebut untuk pulang dan sampai. tapi adrian hanya ingin dengan abraham meskipun harus berjalan lambat, meskipun harus kehujanan. adrian punya selusin sabar untuk dijamu di meja makan ketika semua orang berebut ego.

adrian punya selusin sabar ketika bunda harus meninggalkan ia dengan asi yang distok di dalam kulkas sebab bunda dan kesibukannya enggan untuk dilerai, adrian punya selusin stok sabar ketika ayah hanya boleh pulang setahun sekali dan mengajaknya mengelilingi akuarium di hari libur dan memberinya sebuah aquarium berukuran besar sebagai hadiah sebab esok ia akan menemui hari sibuknya hingga setahun ke depan, adrian punya selusin sabar ketika abang hanya bisa menemuinya enam bulan sekali sebab sekolahnya jauh dari rumah, dan adrian punya selusin sabar ketika harus menanti semua orang tiba pada akhir tahun untuk berkumpul di meja makan yang ditemani dengan masakan hangat tahun baru untuk berbincang tentang liburan mereka sebab harus membayar sabar adrian yang selalu tersedia di meja makan meski harus menunggu setahun lamanya.

“mau neduh di kost aku aja?” dan ketika abraham tawarkan mereka untuk singgah, adrian tak punya jawaban apa-apa selain menganggukkan kepala dan mengikuti abraham hingga sampai di bangunan dengan tiga lantai yang jarak antara satu pintu dan pintu lainnya hanya satu meter.

adrian hanya tersenyum ketika abraham menariknya untuk lewat belakang menuju lantai tiga kamar abraham, abraham tak ingin buat penghuni lain marah sebab mereka membasahi sepanjang jalan. pemandangan hujan di lantai tiga memang tak pernah mengecewakan, adrian bisa liat hujan yang memeluk angin mengguyur seluruh kota sore ini.

“kamu mandi duluan, nanti masuk angin,” ucapnya sambil menyodorkan selembar handuk kepada adrian yang sedikit kebingungan. “nanti ganti baju pakai bajuku gak apa-apa, kan?”

“tidak apa-apa, ian boleh pakai baju terserah asal tidak buat dingin.”

“baju basahnya jemur di jemuran belakang aja biar enggak bau kalau ditumpuk.”

adrian menuju ke kamar mandi setengah berlari setelah diberi tau abraham di mana letaknya. hari ini adrian tak punya banyak protes untuk dikeluarkan, hujan meredam semua suara dan menyulap dingin sore itu jadi sesuatu yang lebih menyenangkan bersama gelembung sabun di dalam kamar mandi yang menangkap senyum adrian sebelum meledak bersama wanginya.


adrian pikir baju yang diberi abraham akan kebesaran, ternyata ukurannya pas di badan adrian. pun wangi yang adrian pikir akan sama dengan wangi abraham ternyata salah, baju abraham beraroma khas pakaian londri kiloan yang kadang sedikit menusuk namun tetap membuat nyaman.

selepas obrolan singkatnya dengan cika setelah ia memberi abraham handuk yang dipakainya tadi adrian kembali masuk ke dalam kamar milik abraham ketika cika berpamitan untuk melanjutkan pekerjaannya yang sempat tertunda selepas membuat adrian harus sabar-sabar menghadapi cika dengan segala kejenakaannya.

adrian baringkan dirinya di kasur berukuran sedang milik abraham, yang empunya berpesan untuk buat adrian merasa senyaman mungkin. ruang kamar abraham dengan nuansa tenang dari pencahayaan kamar yang tidak terlalu terang buat adrian merasa ingin segera cepat-cepat tidur berlomba dengan hujan yang tidak ada tanda-tanda akan segera berhenti menghujam kota seolah tiada hari esok untuk kembali bersua.

abraham punya satu meja belajar dengan kursi yang diisi dengan tumpukan buku yang lumayan berantakan dengan laptop yang dibiarkan bersama beberapa hiasan yang posisinya sama berantakannya. adrian paham abraham jarang punya waktu untuk tinggal di kamarnya sendiri, kesibukan organisasinya buat ia lebih sering menginap di kampus hingga membiarkan barang-barangnya yang dirapikan hanya jika ia ingat.

“aku kira kamu masih di luar sama cika,” bunyi pintu yang dibuka buat adrian sedikit tersentak untuk bangun dan melihat abraham yang rambutnya basah sehabis mandi. satu handuknya sengaja dilampirkan di leher agar air rambutnya tak membasahi belakang punggung bajunya.

“aham kalau sehabis mandi itu rambutnya dikeringkan!” adrian sedikit menggertakkan giginya gemas melihat abraham dengan rambut basahnya.

adrian tarik abraham untuk duduk di tepi kasur dan lengannya langsung meraih handuk yang melingkar di leher abraham, untuk kemudian mengusapkannya pada rambut basah abraham. adrian sibuk mengeringkan rambutnya sembari mengomel pelan ketika abraham baru memproses apa yang baru saja terjadi. adrian yang berdiri dengan baju miliknya di hadapannya sendiri kali ini entah mengapa terlihat sangat berbeda.

ada adrian dengan rona merah muda dari tulang pipi hingga ke telinga ketika ia menyadari abraham menatapnya dengan lama. ada adrian yang kenakan bajunya, abraham bisa hirup aroma parfum londri kiloan di mana ia sering titipkan bajunya di sana, pada tubuh adrian, anehnya abraham bisa hirup aroma lain, aroma wangi shampo miliknya dan entah kenapa ada gelenyar aneh ketika menyadari adrian yang memakainya.

adrian punya aroma yang sama dengannya, anehnya lagi adrian terasa lebih wangi. dan abraham temukan dirinya khidmat dengan wangi adrian. seperti aroma terapi yang menenangkan dengan rasa segar khas pagi hari yang buat ia merasa seperti sedang bangun dari tidur panjangnya.

“dulu mba tika selalu marah setiap ian tidak mau keringkan rambut. mba tika tidak mau ajak ian main kalau rambutnya basah, tapi ian tidak suka pakai hairdryer itu seperti ingin sedot kepala ian dan ian takut. jadi mba tika ajari untuk keringkan rambut seperti ini. lebih lama tapi tidak buat ian takut.” tangannya masih sibuk mengusap rambut abraham dengan handuk yang mulai ikut basah.

“ian udah pernah ketemu mba tika setelah dia berhenti bekerja belum?” pertanyaan tiba-tiba dari abraham itu lantas buat adrian hentikan pergerakannya sejenak untuk menggeleng.

“ian hanya pernah telepon, sepertinya mba tika sudah punya cucu karena anaknya sudah menikah. ian ingin sekali bertemu tapi sepertinya belum ada kesempatan. bunda dan ayah juga sudah janji, hanya mereka sibuk terus, jadi ian cuma bisa tunggu saja. lagipula intan kerjanya sudah bagus, meski masih sering masak terong sampai abang kaget.” adrian dan jawaban panjangnya selalu bisa untuk buat abraham tersenyum untuk menanggapinya.

kalau boleh hiperbola abraham akan samakan suara adrian dengan kicau burung di pagi hari yang menyenangkan untuk di dengar sembari duduk berdiam diri menikmati cahaya matahari dari balik jendela.

adrian dengan segala bisingnya seperti merangsak dengan hangat dan menari hingga ke telinga, ciptakan suasana baru yang abraham belum kenali bentuknya; atau ia sengaja tak mengenalinya.

sebab abraham tau, adrian adalah celakanya dan adrian adalah semua manifestasi dari doa-doa mami yang kerap ia selipkan di balik bantal abraham kecil sewaktu belajar tidur sendirian untuk pertama kali.

sebab abraham tau adrian menjelma pencuri yang mencuri segenggam hati dari nelayan yang tak punya apa-apa selain kasih sayang untuk keluarganya.

sebab abraham tau adrian dan kedua lengannya yang selalu meraih abraham itu adalah bentuk dari apa-apa yang tidak dimiliki abraham dalam genggamannya.

adrian dan celaka adalah satu dua kata berkesinambungan bagi abraham yang selalu mengutuk dirinya. sekon yang menjelma menjadi detik lalu menjemput menit yang tak punya jeda untuk memeluk adalah abraham yang meraih adrian sejengkal lebih dekat dan lebih berani. azab dan sengsara tak punya tempat untuk abraham yang selalu mengutuk seseorang yang tak pernah ingin ian sebutkan namanya, sengsara adalah abraham yang meminta izin untuk mengecup ranum adrian ketika hujan masih terus menghujam jantung kota hingga tenggelam yang persis dengan adrian ketika ia menganggukkan kepala untuk bolehkan abraham meraihnya.

adrian bukan pencium yang handal, dan gelenyar aneh sewaktu abraham rapatkan lengannya yang bertengger di pinggangnya untuk buat adrian dudukkan dirinya di atas paha tebal abraham adalah bentuk dari anomali. ada ledakan-ledakan hangat yang menggelitik dari perut hingga ke ujung kepala ketika abraham meraih wajahnya untuk diusap bersama dengan kecupan memabukkan yang buat adrian hanya berpikir untuk, hanya melakukan ini saja.

hangat, hangat, hangat, dan basah. kecupan basah hingga adrian dibiarkan berbaring di kasur yang tak seberapa itu kalahkan berisiknya hujan yang menyapa jendela kamar seolah mengetuk untuk menegur mereka agar tak kalahkan ia dan tanah yang saling menghujam rindu.

adrian dan kedua lengan hangatnya yang mengusap tiap helai setengah kering rambut abraham itu serupa neraka bagi abraham yang tak mendambakan kebaikan. dunia tak pernah baik, dan adrian adalah kejahatan abraham yang tak akan pernah ia hitung.

adrian dan aroma hangat kebaikannya adalah neraka bagi abraham yang tak pernah mendamba kaki gunung akan ramah untuk beri mereka hidup, adrian dan ikan-ikan di kepalanya adalah serupa lautan yang tak pernah abraham jamah sebelumnya. ia tenggelam dalam hangat, berubah, merangsak, dan mencoba untuk meraih sesuatu yang abraham sembunyikan baik-baik dalam dirinya.

satu senyuman adrian dan dua kecup yang diberi pada sudut bibirnya sebelum mereka habiskan malam dengan saling merengkuh adalah abraham yang selalu tak mampu kendalikan dirinya dibawah aroma hangat adrian yang menghipnotis.

hujan tak kunjung reda di luar sana membalas semua rindu yang tak akan pernah sampai sebab kecupnya kini tertahan ribuan bangunan dan jalan yang tak lagi menyisakan tempat untuk menyambung rindu adalah keegoisan manusia yang tak berbelas kasih, dan adrian yang bercerita dengan hangat sampai mereka kehabisan waktu malam itu buat abraham pura-pura tak mengerti.

hangat yang menjalar hingga ke tenggorokan itu adalah neraka bagi abraham yang celaka. sebab abraham kembali mengutuk aroma hangat adrian kepada dunia dan seisinya.

jangan tumbuh, jangan tumbuh, jangan tumbuh. kau telah lama mati, dan aku tak punya apa-apa lagi.

sejalan dua arah


pertama kali adira menyadari perasaannya sendiri adalah ketika samudra dan senyumnya mulai mengambil alih sebagian dari isi kepalanya. menari, lalu mengajak adira untuk menelusuri setiap jejak yang boleh ia raba untuk menyentuh samudra yang selalu seluas namanya.

samudra adalah orang pertama yang mengulurkan tangannya untuk berkenalan sebagai sesama mahasiswa baru, adira yang datang sendirian jauh-jauh dari kampung mendapati ia punya satu kenalan di kota besar yang ramainya kalahkan isi kepalanya. sayangnya ternyata mereka beda ranah jurusan yang buat adira hanya bisa sekedar saling sapa dengan samudra yang kelasnya berada di lantai atas.

tapi ternyata setelah setahun dan melewati masa mahasiswa barunya, mereka jadi dekat karena satu kejadian di mana samudra salah masuk kelas dan memilih untuk duduk di samping adira yang pura-pura tertidur di kelas yang membosankan. samudra mengajaknya mengobrol sambil berbisik, tak lama mereka jadi kawan yang cukup akrab, sebab mereka leluasa saling menguliti, atau lebih tepatnya hanya samudra.

adira jatuh cinta dengan sedikit dari percik-percik perlakuan samudra yang buat semburat merah muda di pipinya muncul tiba-tiba. adira jatuh cinta pada samudra yang selalu menyapanya setiap pagi, sekaligus membangunkan adira yang selalu kesulitan bangun pagi sebab samudra jarang terlelap dengan tenang. adira jatuh cinta pada samudra yang meminjamkan adira sepatu miliknya sebab sepatu adira kehujanan sepulang dari kampus, adira jatuh cinta pada samudra yang beri ia jaketnya dan segelas wedang hangat di pinggir jalan setelah kehujanan sehabis dari menghabiskan waktu menelusuri jalan kota yang sepanjang kenangan.

adira tak lebih dari pecundang yang jatuh cinta tanpa pertolongan kepada samudra. samudra lahir dari rahim keluarga yang sibuk bekerja keras, saling meninggalkan untuk saling menghidupi, buat samudra yang mulai dewasa rasakan sepinya ditinggalkan tanpa permisi, yang berhasil buat adira dan hati ramahnya terenyuh ingin peluk samudra dengan lengannya yang tak pernah seberapa. semuanya berjalan baik sebelum adira menyadari, samudra adalah racun paling menggoda yang pernah ia temukan.

hampir tiga tahun hubungan mereka dan adira mulai menyadari betapa merosotnya hubungan mereka dari yang sebelumnya. samudra tak lagi membangunkannya setiap pagi, tak ada lagi samudra yang memberinya candaan tak penting di siang bolong, tak ada lagi samudra yang makan nasi panas bersamanya, tak ada lagi samudra yang memberinya sebuah jaket dan wedang hangat ketika kehujanan sebab adira menunggu samudra yang tak kunjung datang hingga hujan tiba.

pun ketika adira temukan wangi berbeda pada salah satu baju yang dipungutnya di dalam indekos sewaktu samudra mengaku dirinya sakit, buat adira meremat kaos itu dengan pelan sembari menatap samudra yang terlelap dalam tidurnya. sebab ia ingat betul harum wangi dari parfum samudra, dan lagi samudra tak pernah menyukai wangi semanis ini.

adira boleh memahami semua kebohongan-kebohongan yang kerap kali samudra lakukan sebab mereka sedang dalam situasi dikejar tugas akhir yang buat ingin minggat segera dari pijakan sebab tuntutan-tuntutan yang mencekik mahasiswa buat tak nyaman untuk bernapas barang sedetik ketika menghadapinya. tapi lama-lama adira menyadari kebohongan-kebohongan samudra perlahan berubah menjadi sesuatu yang lain.

aroma manis yang ia temukan pada salah satu kaos samudra adalah hasil dari karma yang bersekongkol, bersetubuh dengan pengkhianatan.

adira selalu jadi nomor satu sebagai tempat samudra berlari ketika dunia dengan semua ketidakbaikannya kembali mengusik. selalu ada adira di setiap hari-hari mendung dan hujan milik samudra, adira tak sadar ia menjadi tameng si pengecut yang takut akan kejamnya dunia yang suka banyak bercanda. lantas, sewaktu adira menangis ketika ia kedinginan sewaktu menunggu pembimbing yang janjinya akan tiba pukul dua itu tiba-tiba membatalkan janjinya dan meninggalkan adira yang kehujanan sendirian bersama dengan laporan di tangannya yang ikut basah samudra tak ada di mana-mana.

di malam-malam ketika adira butuh teman untuk mengobrol, samudra lebih pilih untuk bercerita panjang lebar bersama kawan sejawatnya hingga pagi dan meninggalkan adira yang kesakitan sendirian ketika pagi menjelang sebab masalah lambung. lalu ia berlari kepada adira ketika tak ada seorang yang bisa mengertinya selain adira. adira tak tertolong, dan ia biarkan dirinya malam ini untuk terbakar bersama air mata yang seharusnya tak pantas ia teteskan untuk samudra.

dulu, selalu ada banyak alasan mengapa adira tetap memilih untuk tetap tinggal bersama samudra. sebab samudra selalu punya, selalu jadi alasan kenapa adira tak pernah beranjak darinya. setiap kali adira berpikir untuk mengakhiri hubungan mereka, samudra akan selalu datang merengkuhnya seolah ini mereka jauh sebelumnya dan kembali membuat adira tetap di sampingnya. setiap ia ingin. setiap ia mau.

tapi akhirnya malam ini tepat ketika keretanya melaju pada sebuah kota yang jauh dari lautan. adira menyadari cinta hades pada persephone hanyalah sebuah obsesi, cinta rama terhadap sinta hanyalah sebuah keragu-raguan yang berakhir tragis, dan kisah cinta antara romeo dan juliet tak pernah seapik itu. romeo dan juliet hanya dua orang yang jatuh cinta lalau mati dengan konyol. tak ada yang apik dari kisah dua orang yang mati dengan konyol. pun adira bukanlah hades, bukan persephone, bukan rama, bukan sinta, bukan romeo, dan bukan pula juliet.

adira hanyalah adira. adira aswatama.

jatuh cinta tak sama seperti dengan galih dan ratna atau cinta dan rangga yang sempat terkenal beberapa dekade yang lalu.

cinta tak pernah jadi sejalan dengan dua arah. cinta hanya selalu searah dengan satu tujuan. sama seperti kepulangannya setelah mendapatkan gelar yang menjadi tujuannya menginjakkan kaki di kota yang padat dan bising akan isi kepala yang tak pernah di dengar.

cinta tak pernah menjadi ia yang menginginkan samudra untuk bisa berikan adira sedikit pundaknya untuk bersandar. cinta tak pernah jadi adira yang berikan seluruh tubuhnya sebagai pelabuhan lalu lupa samudra terlalu luas untuk berlabuh, jika samudra masih sama seperti namanya masih akan ada banyak kapal dari selatan dan utara yang akan mengunjunginya dan adira hanya nelayan yang punya sampan untuk mengarungi samudra yang luasnya tak sebanding dengan sampannya.

pun mungkin langit sama sedihnya dalam perjalanan adira malam ini ketika ia gantikan adira untuk tangisi dirinya yang habis hanya untuk satu orang yang tak mampu berikan ia apa-apa, meskipun adira tak meminta, tapi samudra tetap tak akan mengerti sebab ia berada di nerakanya sendiri. menari-nari dengan kesedihannya sendiri.

adira pikir luasnya lautan di samudra sama dengan ketidakmampuannya untuk pertahankan samudra mahavier lebih lama di sisinya, sebab hidup bukan hanya perihal samudra tapi juga perihal dirinya sendiri. sebab adira juga ingin punya telinga di mana ia dan keluhnya bisa di dengar, sebab adira juga ingin punya tempat di mana ia bisa pulang dan tidur dengan pelukan sehangat matahari pagi, sebab adira masih punya kapasitas dan tak boleh menyia-nyiakan.

sebab cinta dan pulang adalah satu makna yang erat kaitannya. pulang harus ke rumah yang punya sepasang lengan yang berani. sebab rumah butuh sepasang mata, sepasang pipi, sepasang bibir, dan berpasang-pasang rindu di rak-rak sepatu yang tak takut akan penantian panjang untuk pulang. dan samudra adalah bentuk dari ketidaklayakan hati yang seharusnya tak pernah disinggahi sebab ia tak akan pernah jadi sepasang yang utuh. dusta telah melahapnya, membiarkan ia bersetubuh dengan karma yang membakar bara api yang mengiranya adalah nyala cinta.

dan untuk ketidaklayakan yang adira dapati masih harus dibalas tuntas, sama seperti rindu yang harus dibalas tuntas, karma, dusta, dan kebahagiaan juga harus dibalas tuntas. dan adira akan menanti hari di mana ia akan dibalas tuntas, sebab harapan adalah satu-satunya alasan mengapa manusia masih tetap ada hingga sekarang.

rasa, jiwa, dan manusia

cw// kissing


selalu ada abraham yang bentuknya baru adrian temui di setiap celah yang sengaja dibiarkan berlubang begitu saja, selalu ada abraham yang coba adrian selami dan akhirnya selalu tak menemukan apa-apa, sebab abraham tak pernah datang bersama jawaban yang pasti. abraham adalah gamang yang meng udara bersama burung-burung, bersiul memikat mata dan telinga yang begitu menggoda untuk dinanti. ada adrian yang diam-diam menikmati keresahan dan gelisah yang datang bersama hamburan kesenangan yang dibawa abraham secara bersamaan, dan hanya menyisakan adrian yang sama gamangnya.

adrian tak punya tebakan kemana abraham akan membawanya ketika ia berjanji akan membawa mereka ke suatu tempat, berdua saja katanya. adrian tak akan pernah mengerti bagaimana abraham dan setiap sudut pikirannya yang tak punya celah untuk ditelisik. yang untuk coba dicuri, untuk ketahui sekiranya apa yang sedang ia pikirkan dan adrian hanya selalu menemukan ruang kosong yang hanya ada dirinya sendiri di dalam sana.

tepat ketika mereka menginjakkan kaki pertama kali ke sebuah tempat ramai pengunjung yang silih berganti, abraham membawanya ke sebuah tempat yang tidak terlintas barang sejenak dalam pikirannya, dan adrian memilih untuk tidak lagi bertanya sebab abraham tak pernah datang dengan jawaban.

aneh, sebab tepat setelah mereka menginjakkan kaki di tempat tujuan dari perjalanan yang jauh, mereka hening, dan bisik-bisik di dalam kepala adrian turut hening bersama dengan abraham yang hari ini hanya gunakan kemeja biru langit dan celana jeans yang dipadukan dengan topi hitam yang bingkai kepalanya. buat adrian rasakan kesan tenang dan dingin dari abraham yang hilang beberapa hari untuk kemudian datang dan menemui dirinya.

adrian bukan orang yang mudah tersinggung. ia belajar banyak tentang memahami, dan abraham yang tenang hari ini buatnya paham untuk tak banyak bertanya sebab abraham bilang mereka hanya berdua saja. tenang, hening, gamang. mereka berdua saja, adrian dengan pikirannya, dan abraham dengan pikirannya. satu yang pasti adalah ketika abraham menggenggam tangannya untuk bawa adrian temui sebuah patung berbentuk dua tangan yang membawa sebuah obyek abstrak menyambut mereka pertama kali.

di tengah bisik-bisik manusia lain diantara mereka adrian hanya mampu pandangi abraham yang pandangan matanya menatap lurus dan tak bergerak. “menurut kamu kira-kira, tangan itu bawa apa?”

adrian butuh jeda panjang untuk menjawab pertanyaan tiba-tiba dari abraham, “ian pikir tangan itu coba untuk menyerap sesuatu, mungkin sesuatu di dalam dirinya.”

“jiwa. jiwa manusia.”

setelahnya adrian tak punya jawaban apa-apa dan abraham membawa mereka melangkah menelusuri setiap objek yang menawan mereka untuk disinggahi. genggaman tangan yang sejak tadi tak dibiarkan untuk lepas itu buat adrian senang untuk menatapnya lamat-lamat. ia suka bagaimana hangat telapak tangan abraham yang menggenggam nya yang tak seberapa. adrian selalu punya banyak kata untuk diucapkan tapi hari ini genggaman tangan abraham pada sela-sela jarinya cukup untuk membuatnya diam dan tersenyum menatap abraham yang ia rindukan eksistensi nya.

dan ketika seluruh ruangan berubah semerah darah yang bersinar setelah mereka memasuki salah satu bilik di mana kini abraham membawanya buat adrian sedikit tercekat. benang-benang merah yang dirangkai mengelilingi ruangan itu membuatnya terdiam menatap sekeliling. hening. seolah semua orang sedang menyelami diri masing-masing melalui benang-berang kusut yang saling terangkai jadi satu. hening yang damai itu hanya dipecah oleh bunyi cetakan kamera, ia memperhatikan orang-orang yang mengabadikan momen-momen terkecil dan tenggelam bersama dengan rasa intim yang dibawa oleh benang-benang itu. ia dapati abraham yang sejak tadi sama hening nya itu menatap lamat-lamat.

“pemilik benang-benang ini pernah bilang kalau, koneksi, atau merasa terhubung adalah bagian dari eksistensi kita. dia bilang kalau tanpa merasa terhubung dengan sesuatu atau seseorang kita tidak akan merasa ada.” mata abraham menelusuri setiap sudut ruangan yang saling terhubung, merangkai bentuk abstrak yang sukar untuk diurai.

“ian rasa itu benar. banyak orang mungkin sering mempertanyakan eksistensi mereka. mereka berdiri di keramaian, melihat, mencium bau, berpijak, tapi tidak merasa ada. bisa jadi itu karena dia merasa tidak terhubung dengan sesuatu. berdiri sendiri. tunggal. sendirian. sama seperti rangkaian benang-benang ini tidak akan terbentuk kalau hanya ada satu benang lurus.” adrian bisa lihat abraham mengangguk dan rasakan elusan jari abraham pada ibu jarinya yang seolah sedang menganhtarkan sesuatu. sesuatu yang sukar diketahui maksudnya.

“aham, aham,” abraham menoleh untuk menanggapi adrian yang berikan isyarat ingin bertanya. “ian pernah liat aham menulis, pakai tinta merah! padahal kan katanya tidak boleh pakai tinta merah, kenapa aham menulis pakai tinta merah?”

“kenapa tiba-tiba nanya itu?” abraham tersenyum sejenak, dan adrian sepertinya sedang berpikir keras menatapnya.

“karena ruangan ini merah, ian ingatnya itu.”

butuh jeda lama untuk abraham bisa sampaikan jawabannya, pun adrian hanya mampu menanti saja. sama seperti biasanya.

“warna merah itu selalu dinilai sebagai lambang darah dan hubungan antar manusia. warna merah itu sendiri bisa menyimbolkan banyak hal terkait kehidupan, adrian. darah, koneksi, dan memori.” adrian hanya mengangguk-angguk sebagai jawaban.

adrian tak akan pernah mengerti bagaimana abraham dan setiap sudut pikirannya yang tak punya celah untuk ditelisik itu memberi ruang. yang untuk coba dicuri, untuk ketahui sekiranya apa yang sedang ia pikirkan dan adrian hanya selalu menemukan ruang kosong yang hanya ada dirinya sendiri di dalam sana. dan abraham masih berdiri tanpa celah yang buat adrian paham, abraham tak suka ditemukan, abraham lebih suka menuntun dan menemukan.

“masih mau jalan enggak?” adalah tanya yang diberi abraham setelah satu jam mereka mengelilingi setiap sudut yang dipenuhi dengan karya seni sang pemilik benang koneksi itu.

adrian terdiam sebentar, berpikir. meskipun ia jelas tau jawabannya, adrian tak ingin hari ini berakhir dengan cepat. adrian tak mau genggaman tangan mereka yang bertaut sejak tadi ini hanya menyisakan dingin yang adrian enggan ingat. adrian masih sangat ingin berlama-lama. menghabiskan waktu. membuang-buang tenaga. bersama abraham.

“kemana lagi kita hari ini?”


abraham dan semua ketidaktahuan adrian tentangnya, selalu berhasil meledakkan sesuatu di dalam diri adrian. pun senyum cerah adrian yang selalu menyegarkan seperti embun pagi itu buat abraham ikut untuk tarik sudut bibirnya, ikut rasakan kegembiraan adrian ketika mereka sampai di tempat kedua; tempat di mana adrian selalu suka berlama-lama, akuarium.

ada adrian yang menggenggam dan menarik lengannya dengan antusias bahkan ketika mereka baru injakkan kaki menuju tangga untuk ke tempat di mana makhluk-makhluk itu disembunyikan dan hanya menyisakan kaca kasat mata diantara mereka. adrian dan antusiasmenya, adrian dan kegembiraan adalah satu hal yang absolut bagi abrahan. sebab ia bisa ingat senyum itu sepanjang harinya nanti untuk disimpan, untuk kemudian ia ambil kembali sewaktu-waktu ia ingin melihatnya lagi.

“aham! aham! liat-liat itu ikan hiu!! ayo kasih dia nama sebelum hiunya lewat.” abraham tak pernah tau kalau adrian akan seantusias ini, binar matanya terpancar buat ia sedikit pangling untuk tak mengalihkan pandangannya beberapa saat sebelum menatap ke arah yang dimaksud adrian.

“yang ini ian kasih nama ciko! halo ciko. aku ian, yang di samping aku namanya aham!!” ucapnya pada salah satu ikan yang sejak tadi mondar-mandir. “aham, itu kasih nama hiu paus yang paling besar itu.”

abraham tergelitik sesaat sebelum mengucapkan satu nama yang lewat di kepalanya, “miguel.”

adrian menoleh, sedikit keheranan. “kenapa namanya miguel?”

“kenapa yang tadi namanya ciko?”

“ish, ian tanya!”

lagi-lagi ia tak bisa sembunyikan senyumnya, sesuatu menggelitik di dalam kepala dan perutnya buat abraham rasa ada sedikit ringan yang dirasa tanpa sadar. “namanya miguel biar dia bisa nyanyi poco loco.”

setelahnya abraham mengadu karena adrian menyikut pinggangnya setelah mendengar jawaban yang terdengar sangat tidak serius darinya. “liat-liat yang itu namanya ian.” ia menunjuk salah satu ikan pari yang lewat.

“itu nama ian! kenapa dikasih ke ikan pari?”

“senyumnya mirip kamu.”

“aham, ikan pari itu tidak senyum.”

“tetap mirip kamu. namanya tetap ian.” adrian mendelik sebelum menunjuk salah satu hiu martil yang berenang paling dasar.

“berarti hiu yang itu namanya aham.” abrahan naikkan satu alisnya untuk bertanya, ketika adrian lebih dekatkan dirinya pada kaca yang jadi satu-satunya sekat diantara mereka untuk melihat kemana perginya hewan yang dimaksud tadi.

“hiu itu seperti abraham. pendiam. hiu tidak bersuara karena mereka tidak punya organ yang bisa menghasilkan suara.” jelasnya tanpa melirik pada abraham yang kini pandangannya entah kemana, entah menelisik apa di depan sana. “ikan pari dan hiu itu... punya hubungan, beberapa ilmuwan percaya mereka punya nenek moyang yang sama.”

“jadi, mereka saling berkaitan, ya?” adrian hanya mengangguk dan abraham kembali diam, memperhatikan hiu yang berenang dengan tenang di dalam jeruji yang memenjarakannya.

gerakan kecil dari jemari adrian yang meraihnya untuk menempelkan tangannya pada kaca ketika melihat salah satu pari yang sedari tadi mondar-mandir itu berjalan lurus kearah mereka, buat abraham tak bisa lakukan apa-apa selain mengikuti adrian. “ian hari ini senang tidak?”

“senang. ian sudah lama tidak ke aquarium karena biasanya pergi dengan kakak ian. atau ditemani ayah dan bunda. tapi mereka semua sibuk, ian pernah pergi dua kali dengan guping tapi setelah kuliah sepertinya semua orang sibuk, termasuk ian sendiri. tapi hari ini datang lagi. ian senang sekali.”

“habis ini kita makan ya?”

“iya.”

“mau jagung bakar enggak?”

“ian mau!!!”


ternyata harapan untuk menikmati jagung bakar dan ditemani langit sore di tepi pantai lenyap begitu saja ketika hujan mengguyur kota sore itu dengan begitu derasnya. menyapa jalanan yang kering tandus tak terjamah hujan setelah beberapa minggu. beberapa orang bersumpah serapah, beberapa lagi bersyukur kota mereka masih hujan, adrian cemberut di perjalanan pulang sebab sudah membayangkan akan menikmati jagung bakar yang manis dengan bumbu sedikit pedas yang disertai aroma hangus yang menggetarkan lidah.

“makan sate aja ya?”

“ian ingin jagung bakar.” kekeuhnya meskipun abraham tau itu hanya akan bertahan sebentar sebelum ia mencium wangi sate kambing kesukaannya di persimpangan jalan sebelum masuk kompleks perumahannya.

“pakai lontong ya mas! kecapnya sedikit, jangan pakai jeruk. pakai bawang goreng. di bungkus. tiga porsi.” abraham hanya bisa menggeleng dan ikut saja apa maunya, enggan merusak suasana hati adrian yang kembali membaik setelah mencium aroma bakar dari sate yang mengundang banyak pelanggan silih berganti.

pun abraham tak punya rencana untuk terjebak di rumah adrian hingga pukul sembilan malam, tapi hari ini sepertinya hujan senang berlama-lama karena tak ada tanda akan berhenti buat ia tak punya pilihan lain. adrian setuju untuk ia menginap di kediamannya malam ini, satu orang lagi yang ada di rumah adrian sepertinya juga tak punya masalah apa-apa.

setelah menghabiskan satu porsi sate yang satu porsi lainnya sengaja adrian pesan untuk intan, mereka beranjak dari ruang tamu untuk naik ke dalam kamar adrian. abraham berdehem canggung sebelum masuk dan sedikit terkejut dengan kamar adrian yang punya tank besar mengelilingi setengah lingkaran kamarnya.

“ian pulang.” sapanya kepada penghuni akuarium di sudut sana, ia langsung memberi mereka makan dan abraham mendekat untuk ikut memperhatikan kegiatan makan malam mereka dengan adrian yang gemas sendiri, buatnya tak tahan untuk usap puncuk kepala adrian dengan pelan.

setelah membersihkan diri dan memberi aham satu kaos yang sekiranya nyaman untuk dipakai adrian tak punya kegelisahan atau skenario apapun di dalam kepalanya. sebab ketika jarum jam menunjukkan pukul sebelas adrian temukan dirinya tak bisa tidur, menyadari abraham ikut berbaring di sebelahnya. adrian tidak tau apakah abraham terlelap dan hanya dia saja yang tiba-tiba merasakan kejanggalan karena detak jantungnya mendadak berdetak tak karuan.

ia coba untuk mencari posisi yang nyaman ketika ia tersentak saat satu lengan abraham menariknya mendekat dan berbisik lewat punggung telinganya, “kenapa dari tadi gerak-gerak terus? enggak nyaman?”

“bukan begitu aham.” adrian coba jelaskan kebingungannya meskipun tak pernah tersampaikan dan abraham hanya tersenyum.

“hari ini ian senang tidak?”

ia lantas mengangguk tanpa penolakan, “ian senang, ian ingin berterima kasih karena aham sudah bawa ian pergi ke tempat-tempat yang menyenangkan. meskipun gagal makan jagung bakar, tapi makan sate kambing tadi sama enaknya!”

“itu untuk ganti beberapa minggu kita enggak ketemu.” jelas abraham.

adrian sadari pipinya memanas di tengah cahaya lampu akuarium nya yang jadi penerang remang-remang. lingkaran tangan abraham pada pinggangnya tak dilonggarkan sama sekali. pun adrian bisa rasakan nafas pelan abraham dari balik tengkuknya. sepertinya mereka benar-benar tak berjarak.

deru nafas yang berjalan dengan seirama itu dibiarkan jadi satu-satunya yang berani bersuara pada pukul dua belas ketika adrian menyadari ia sama sekali tidak meras terlelap, sebab ada sesuatu yang mengganjal di dalam hatinya.

“aham sudah tidur?”

“kenapa?”

ada ragu yang menjalar hingga ke puncak ketika ia mendengar jawaban dari balik punggungnya, abraham juga belum terlelap, entah karena apa. yang adrian tau hanya malam ini ia tak bisa berpikir dengan pelan, sebab isi kepalanya mendadak berpacu.

“aham, boleh tidak ian minta aham untuk kabari ian, sedikit-sedikit saja kalau aham ada waktu? tapi kalau aham tidak ingin tidak apa-apa.” suaranya memelan diakhir kalimat, tapi abraham dan jarak mereka sekarang bisa dengar semuanya dengan jelas. “ian selalu bingung kalau aham tidak ada kabar. selalu ingin tau aham sedang apa.”

“adrian, balik sini ya? liat aku.” adrian menolak dan abraham rasakan pemuda itu sedikit terisak kebingungan dengan dirinya sendiri.

“aham, ian suka dengan aham.” abraham tau, dan ketika ia coba untuk membuat adrian berbalik kearahnya ia mulai tak menolak meskipun isakan masih terdengar dengan pelan. abraham tau adrian tak terbiasa dengan situasi mengganjal yang asing baginya.

adrian tak mengerti kenapa ia terisak tiba-tiba, ada perasaan asing yang tak ia ketahui dari mana asal dan sebabnya. adrian hanya punya beberapa kalimat di dalam kepalanya dan hanya itu yang sanggup ia sampaikan. pun ketika abraham menariknya ke dalam pelukannya ia hanya mampu membalas. wangi tubuh abraham yang bercampur dengan wangi sabunnya buatnya sedikit tenang, dan bisikan maaf dari abraham terasa seperti sihir yang menyihir adrian dalam sedetik.

“iya, nanti adrian dikabarin.”

“ian tidak suka aham seperti itu.”

“iya maaf. kalau ian gak suka bilang, nanti gak akan diulangi lagi.”

anggukan di dalam dekapannya buat abraham ikut rasakan tenang yang hangatnya menjalar lewat pelukan adrian. ada tenang yang selama ini ia idam-idamkan, ada hangat yang lama tak dicecapinya setelah sekian lama, ada adrian yang merengkuhnya pada pukul dua belas ketika pagi hampir menjemput kembali setiap luka yang sengaja untuk dilupa, dibiarkan terlelap seolah ia bisa tidur selamanya.

adrian mengintip di tengah dekapan abraham yang menyembunyikannya untuk menatap abraham yang coba untuk terlelap, dan adrian perhatikan setiap ruas wajahnya, merapikan rambut abraham yang terlihat menganggu pemandangannya untuk menatap abraham dari dekat.

“kenapa belum tidur?”

“aham, aham tau tidak kalau ian takut gelap?” tak ada jawaban dari aham. “tapi aham jauh lebih gelap. tapi anehnya ian tidak takut. aham lebih seperti hiu yang pendiam, suka sendirian, dan jarang bergerombol.”

“orang-orang takut sama hiu adrian. mereka jahat.”

“tidak semua hiu jahat abraham. ada yang baik juga.”

“adrian,”

“iya?”

“tidur.”

“cium.”

“huh?”

“ian ingin ciuman dengan aham, boleh?”

“memang kamu pernah ciuman?”

adrian menggeleng pelan mendapati pertanyaan dari abraham yang membuatnya cemberut tak suka dengan pertanyaan abraham. “kenapa aham tanya nya seperti itu?”

“kenapa tiba-tiba mau ciuman?”

“ish, ian ingin ciuman dengan aham itu berarti aham spesial untuk ian!!!”

setelahnya abraham tak banyak bertanya lagi, ia membawa adrian untuk lebih dekat, mengikis jarak yang menghalangi. menarik adrian untuk berikan kecup-kecup yang pertama kali menyapanya untuk dibawa ke dalam sebuah pangutan yang baru pertama kali adrian cicipi rasanya. merasakan bibir abraham yang meraihnya dengan pelan dan membawanya untuk mengecap hangat dari lidah masing-masing. adrian pencium yang buruk tapi abraham lebih suka menuntun dan menemukan.

tepat ketika jam mulai meniti kembali menit yang dilewati dengan ciuman-ciuman panjang untuk pertama kalinya, ada hangat yang menjalar dari dada hingga ke seluruh tubuh. ada rayuan dari pulau kelapa yang menjelma menjadi serbuk manis yang abraham yakini sudah lama mati itu kembali memeluknya.

larung dalam sudut pandang orang pertama


temaram lampu malam di awal pagi ketika aku mendudukkan diri depan seseorang yang ku kenal baik namanya. kawan ku sejak kami masih pakai seragam biru putih ini, punya kehidupan yang berjalan hanya ketika pagi tiba ketika semua orang terlelap pada mimpi-mimpi hari esok. lalu aku? aku hanya seorang manusia yang hidup entah untuk apa. hidup hanya sekali tapi aku bahkan tak tau harus berbuat apa.

ku teguk segelas martini yang disediakan pelayan berbaju ketat tadi sambil mendengar cerita kawan ku tentang kehidupan teater yang dijalaninya. menjadi pelakon panggung tak pernah mudah, pun mimpinya yang satu itu diraihnya mati-matian. naasnya kecewa tak pernah pandang bulu. harapannya untuk membingkai nama dan menjadi pelakon tersohor ternyata harus melawan nepotisme yang mendarah daging di negara yang liberalis ini.

mau menyalahkan siapapun hanya akan berakhir, siapa suruh kami tak punya uang dan lahir dari rahim yang biasa-biasa saja. menuntut adil kepada dunia yang fana rasanya bermimpi di siang bolong, selalu berakhir mengenaskan.

“keparat memang. aku berlatih sampai suaraku hilang, sampai kakiku mati rasa, beberapa orang alzheimer karena dedikasi mereka yang mendalam tapi ternyata kami harus merelakan peran utama kepada cecunguk yang baru mencicipi dunia teater selama setahun hanya karena dia anak seorang yang punya kendali di rumah produksi. bajingan, aku jadi paham kenapa kau menyerah lebih dulu dengan dunia panggung sandiwara ini.”

aku tertawa mendengar semua serapah dan kalimat tentang aku yang lari lebih dulu dari dunia teater. ah, andai dia tahu. aku tak pernah takut dengan nepotisme atau berakhir dengan alzheimer.

aku tak menyalahkan mengapa pandora begitu terpikat dengan semua kotak pemberian dewa dan melepaskan semua hal buruk ke dunia, sebab aku pernah melakukan hal yang sama. begitu terpikat, dipenuhi nafsu, gegabah, dan menuai hal buruk.

pandora menyisakan harapan, sedang aku tak menemukan harapan di mana-mana sebab harapan satu-satunya yang tersisa, telah diperebutkan di mana-mana. mereka yang kehausan, mereka yang kelaparan, mereka yang dijajah tanahnya, mereka yang direnggut kemerdekaannya, laki-laki, perempuan, orang tua, dan anak-anak, mereka semua lahir dan hidup dengan harapan. aku tak punya tempat untuk harapan karena aku memilih untuk kabur, sebab harapan pedihnya bukan main. aku pernah merasanya sekali, dan kupikir aku akan hancur berkeping-keping.

“kau tau aksara sukses menggelar teater dengan naskah ketiganya. kupikir dia satu-satunya dari angkatan kita yang berhasil sukses di dunia panggung sandiwara ini. sukses menjadi seorang sutradara dan seorang aktor. ah, betapa aku ingin menjadi aksara.” aku terdiam beberapa saat setelah mendengar satu nama yang hampir asing di dengar telingaku, tak kusangka akan mendengarnya hari ini.

“begitu kah?” ia kembali menuang segelas martini dengan kasar hingga aku bisa melihat jakunnya yang bergerak dengan cepat dan kasar.

“naskah sangkar bulan benar-benar membawanya ke titik kesuksesan. aku masih tidak menyangka dia se jenius itu dalam membuat naskah. padahal dulu saat pertama kali masuk ke pintu teater ia hanya seperti anak yang hanya mampu mengandalkan keawakan rupanya. harus ku akui naskah sangkar bulan ditulis dengan sangat apik sampai menyabet lima piala sebagai naskah terbaik tahun itu. tak heran jika kesuksesannya semakin merajalela.”

aku tak meminum minuman yang kembali diisikan sejak aku menghabiskan tiga gelas setelah mendengar nama aksara keluar dari mulut kawanku itu. aku dengar baik-baik soal naskah sangkar bulan milik aksara yang menyabet lima juara sekaligus sebagai naskah terbaik. aku tersenyum menatap kawanku itu, ia menatapku yang yang tersenyum kemudian meneguk satu gelas martini yang ku diamkan sejak tadi.

“aku kenal orang yang menulis naskah sangkar bulan itu.”

“kau jelas mengenalnya. kau dan aksara cukup dekat sewaktu masih di teater. ya, pikirku begitu.”

“aku mengenalnya.”


aku ingat pertama kali melihat aksara datang dengan senyumannya di pintu teater, ia memperkenalkan namanya dengan sangat baik, menyapa semua telinga orang dengan ramah. rupanya yang menawan membuatnya dengan mudah diterima meskipun kualitas aktingnya belum sebagus itu.

“namamu larung, kan? aku aksara anak baru di rumah teater ini. aku sudah mengenal semua orang kecuali kamu. aku sering dengar namamu yang selalu disebut-sebut sebagai aktor terbaik dari rumah produksi ini, aku akan sengat senang jika kamu ingin menjabat tanganku.”

ingatanku tentang senyuman dan uluran tangannya hari itu masih ku ingat dengan jelas. ingatan yang seolah masih basah di dalam memori hingga bisa kurasakan bagaimana perasaanku sewaktu ia datang pertama kali dengan senyuman sok ramahnya.

beberapa kali ia mendatangiku untuk meminta mengajarkan bagaimana caranya mengolah ekspresi, dan hal-hal yang masih awam baginya sebagai pemula. ku pikir selamanya aku tak akan pernah suka dengan senyum sok ramahnya itu. tapi lambat laun aku mengerti senyum sok ramah itu, bukan karena aku tak menyukainya. itu memikat ku. caranya menatapku ketika aku mengajarinya dan menemaninya untuk menghapal naskah, kupikir ada sesuatu di dalam sana. ternyata aku menemukan diriku.

ketika atmosfer diantara kami kian berubah aku tau aku mulai sangat menyukai senyumnya, bagaimana ia bersandiwara ketika di atas panggung, penjiwaannya, dan intonasi suaranya yang semakin hari semakin kuat menyapa ruang-ruang di dalam ingatanku. aku beberapa kali mengantarkannya pulang, tak jarang kami kehujanan tapi ia tak pernah mengeluh ketika ia kedinginan dan kuberikan jaket tipis ku berharap agar dinginnya bisa berkurang. lalu ia akan berterima kasih dan sesuatu yang hangat menyelimuti hatiku. dan aku tau aku membiarkan diriku menyelami dirinya.

selalu ada yang pertama kali untuk semua hal, dan waktu itu entah hujan ke berapa yang kami jumpai sepulang dari teater, aku kembali mengantarnya pulang dengan jalan kaki. di tengah derasnya hujan pada kedai yang kami singgahi untuk bertemu ia berceloteh tentang ikan-ikannya yang hanya sanggup ia bersihkan dua kali seminggu dari akibat padatnya jadwal teater waktu itu, aku tau ia sangat mencintai ikan-ikan dari bagaimana ia menyelipkan ceritanya tentang ikan di setiap pembicaraan kami. malam semakin larut, dan hujan tak ada tanda-tanda akan segera surut. genangan-genangan yang tertata pada jalanan semakin melebar, aksara mengeluh ia kedinginan dan aku meminta maaf karena hari itu tak memakai jaket. ia memaklumi, dan kulihat pipinya merona dibalik cahaya kuning lampu jalanan yang ditemani dengan suara gemercik hujan ketika ia menggenggam tanganku untuk pertama kalinya.

ku pandangi wajahnya yang semakin merona ketika ia menatapku yang juga menatapnya, aksara selalu memikat, dan aku tak pernah punya kuasa untuk menolak setiap eksistensinya di sekitarku. sewaktu aku mengecup bibirnya pertama kali ketika hujan tak mau kalah dengan gemuruh di hatiku, aku khawatir ia tak nyaman. tapi apa yang ia lakukan setelah aku menjauh membuatku tanpa sadar kembali berharap, ia meraihku dan kembali menciumiku. aku suka ketika ia mengalunkan tangannya di leherku dan membiarkanku memeluk pinggangnya dan semakin meraihnya untuk menciumnya lebih dalam lagi. pikiranku melayang, aku memujanya diam-diam dalam ciuman yang dicuri sewaktu hujan datang di malam yang dingin.

“aku, aku suka. aku menyukainya.” jawaban malu-malunya malam itu sehabis kami berciuman membuatku semakin tak bisa melupakannya.

kami semakin sering menghabiskan waktu bersama sehabis dari teater, tak jarang mencuri kesempatan untuk saling mencumbu ketika semua orang lengah. sayangnya kami bukan apa-apa. kupikir ia belum siap, dan aku bisa menjadi apapun untuknya.

pertama kali bercinta dengannya kupikir ini seharusnya hanya dilakukan oleh sepasang kekasih. dan kami bukan sepasang kekasih. hal itu aku tekankan kepadanya. tapi jawaban yang ia beri membuatku tak bisa apa-apa, sebab aksara dengan semua sihir di matanya membuatku bungkam.

“cukup cintai aku saja.” bisiknya di telingaku dan aku tenggelam seperti eros yang takluk akan psyche, sayangnya tak ada zeus di antara kami yang membiarkan eros menikahi psyche. sampai akhirnya aku tau, aku terlalu terlena dengan aksara yang memikat.

“kabar baik untuk kita semua, naskah sangkar bulan milik aksara terpilih menjadi naskah terbaik di festival teater bumi. selamat untuk aksara yang telah membawa nama teater kita.”

ku pandangi senyum aksara yang malu-malu hari itu setelah setahun ia mejalani hidupnya di panggung teater ini. aku segera pergi dari panggung. ada yang salah di sini.

aku kembali mengingat-ingat aksara yang lembut di dalam kepalaku, berharap semua ini haya pikiranku saja. naasnya ketika aku kembali membuka laptop di mana aku menuliskan semua naskahku, aku menyadari ada satu tajuk yang hilang.

sangkar bulan telah dicuri dariku.


setelah perbincangan yang lama dan nostalgia yang panjangnya hampir membuatku mual setiap mengingatnya. aku pulang dengan keadaan jijik dengan diriku sendiri yang tak berdaya dan dipenuhi bau kebohongan. dusta telah memakan ku dan tak menyisakan apapun.

di tengah perjalanan pulang ku nestapa menyapa, membuatku menepikan diri di depan sebuah toserba. aku menatap setiap rintik hujan yang jatuh silih berganti. mengecup tanah, menyapa rindu yang berulangkali tak tersampaikan lewat mendung kelam yang kembali terbawa angin. mungkin hujan malam ini membalaskan dendamnya lewat gemuruh riuh yang menyahut sarat akan kerinduan.

aku kembali membayangkan bagaimana kalau dulu aku tak lari, bagaimana kalau dulu aku tetap berdiri di ata panggung dan bersandiwara? akan kah aku akan tetap sama dan hidup lebih baik? andai dulu aku meminta penjelasan, andai dulu aku tak jatuh ke dalam pelukan aksara, andai dulu tak pernah ku terima uluran tangannya apakah aku larung akan menjadi satu-satunya, sama seperti dulu?

sebab larung hari ini tak menjadi apa-apa dan membiarkan hidupnya terbawa arus, meninggalkan gemerlap cahaya panggung dan suara ketikan hingga larut malam, irama dansa dan suara ketukan kaki, musik pengiring, rasanya sudah terlalu asing, dan larung tak lagi menemukan dirinya di dalam sana.

“larung, larung? itu kamu larung?” suara itu menyambut kembali lamunanku. aku menatap ke depan dan kubiarkan diriku kembali tertarik pada kelam matanya yang menatapku diantara hujan yang menghalangi.

entah siapa tuhan pemilik sandiwara malam ini. aku tak menyukainya.

di sana berdiri aksara kelana dengan payung hitamnya. kaca mata dengan bingkai hitam tebal menghiasi matanya tapi aku masih bisa melihat mata itu dengan jernih. ia tersenyum menghampiriku.

tidak! harusnya kau jangan lakukan itu!!

Tuhan!!! di mana kah hatimu malam ini?!!

gemuruh riuh di dalam hatiku yang ku redam mati-matian bergejolak hampir membuatku kembali memuntahkan semua isi perutku.

aroma hujan dan aroma tubuhnya yang masih sama sejak terakhir kali aku mengingatnya, membuatku semakin tak berdaya. kalau boleh mungkin aku akan biarkan diriku tenggelam di malam-malam sebelumnya kalau tau hari ini akan datang.

“kemana saja kamu selama ini? aku mencari mu kemana-mana, larung.”

“benarkah?” aku memasukkan kedua tanganku pada saku celana, menyembunyikan setiap apa-apa yang sanggup ku sembunyikan.

“kamu pergi begitu saja. kamu menghilang lima tahun.” jedanya, suara aksara kelana masih sama merdunya, tak ku pungkiri merdunya meredam dengung yang sejak tadi ingin meledak.

“aksara, haruskah kita bersandiwara sekarang? kita tak lagi berada di panggung teater. aku bukan lagi seorang pelakon atau seorang tuhan panggung.”

“apa maksudnya? aku tak sedang bersandiwara.”

“kau tau semuanya aksara. kau telah hidup lebih lama di dalam sana. aku seharusnya tak menjelaskan apapun, kau mengetahui semuanya.”

ia terdiam sebentar, mengulurkan tangannya untuk merasakan rintik hujan menyapa kulitnya, melewati sela-sela jari kemudian kembali mencium tanah. “kau pernah mencium ku saat hujan.”

“harus kuakui kau punya pesona yang menarik siapa saja untuk memperhatikanmu. meski aku jelas tau kau sama sekali tak menginginkannya. aku menyukai tatapan matamu ketika di atas panggung dan bersandiwara. kamu awai, memerangkap siapa saja untuk menatapmu. ketika kamu menginjakkan kaki di atas panggung kau mencuri semua cahaya. betapa hebatnya bumi larung.” aku menatapnya tanpa berbicara, membiarkan ia hanyut bersama dengan arus yang ia bawa sendiri.

“semua orang memuji rupaku dan menganggap aku hanya mengandalkan rupaku saja untuk masuk teater. tapi kau sama sekali tak melakukannya. aku menyukainya, kau yang melihatku bukan hanya sekadar dari rupaku. kau menatapku dengan utuh, aku menyukainya.”

“aksara, apa kau pernah memikirkan perasaanku sebelumnya?” selaku kemudian.

“aku selalu memikirkan mu.”

“kau tak pernah memikirkan ku, aksara. kau selalu hanya memikirkan dirimu. kau membuang ku setelah mendapatkan yang kau inginkan. bertingkah seolah kau masih sangat bersimpati padaku saat ini sangat membuatku merasa jijik.” aku menatapnya dengan penuh amarah tapi yang ku dapati hanya aksara yang tatapannya masih selalu sama dengan bola mata jernihnya. “kau tak mencari ku kemana-mana, kau hanya kebetulan saja menemukan aku hari ini.”

“bukan kah itu terlalu kasar? hidup bebas membuat mu berubah.”

“kurasa tak ada lagi yang bisa kita bicarakan. aku telah berubah, dan kau masih sama saja.” hujan belum benar-benar berhenti ketika aku meninggalkannya beberapa langkah. “selamat atas naskah ketiga mu. ngomong-ngomong aku kenal seseorang yang cara penulisannya sama seperti naskah ketiga mu itu. selamat.”

gerimis membasahi tubuhku dengan perlahan. aku tak peduli lagi, kaki ku hampir mati lemas jika aku masih tetap di sana.

“kau pernah berjanji untuk mencintaiku, larung!!!” ku dengar teriakannya yang dibersamai dengan gerimis.

aku pernah bermimpi untuk menjadi tuhan di atas panggung sandiwara ini, namun sayangnya mimpiku dicuri oleh seseorang yang memeluk ku sewaktu aku tertidur lelap dipelukannya.

“ya, aku melakukannya sampai sekarang, keparat!”

selain mencuri naskah di mana aku menjadi tuhan di dalam sana, dia juga mencuri separuh diriku dan tak pernah mengembalikannya. aku tak berharap ia mengembalikannya, sebab mengembalikannya sama dengan membunuhku demi dirinya. aku masih punya harga diri yang ku sisakan untuk diriku sendiri.

setidaknya untuk mengasihani diriku sendiri aku pernah berharap aksara sedikit merasa bersalah atas dirinya sendiri dan memikirkan ku, sekurang-kurangnya hanya sekali. cinta mungkin tak pantas kami kenakan bersama tapi kuharap ia sedikit merasakan hangatnya yang pernah ku selipkan di dalam selimutnya yang pernah aku singgahi, meskipun harus dikoyak kenyataan. sebab sejatinya manusia lahir dan berharap mereka akan bahagia, lalu kecewa.


illicitesther © 2024

malam yang bengis ketika abraham memilih untuk pulang dan terlelap


nestapa menyambut ketika tuhan sedang menangis dan abraham meringis di perjalanan pulang yang bengis. abraham bisa lakukan apa saja untuk menepis tapi ia memilih menepi agar tak ditilik. abraham bisa lakukan apa saja agar tidak ditemukan. abraham dan semua bengis di kepalanya hanya punya satu rumah untuk pulang pada pukul satu pagi ketika semua orang terlelap pada mimpi-mimpi yang mulai usang dimakan waktu sebab hidup tak pernah jadi satu, dan abraham paham dunia tak akan satu meskipun ia menangis hingga habis.

pukul satu lewat empat puluh ketika televisi berukuran kecil itu menyiarkan siaran tengah malam yang jarang abraham perhatikan, ada detak jam yang setiap detiknya seirama dengan detak jantung, ada senyap yang coba dihantarkan lewat angin malam yang lolos dari celah-celah jendela. ada abraham yang meminta tenang lewat usapan pelan dari lengan yang membesarkannya hingga ia paham tentang hidup dan nelangsanya.

jari-jemari yang jadi semakin lebih kurus dari yang terakhir kali ia ingat itu tak lantas buat hangatnya jadi berubah. abraham jelas tau hangat yang ada di sini tak akan pernah ia temukan di belahan dunia manapun. yang hangatnya seperti matahari pagi yang menyapa embun di dedaunan untuk segera diluruhkan dari segala resah dan sesat. pun abraham tak ayalnya embun yang dipenuhi sesat tak kasatmata.

“mami...” napasnya menghembus pelan dan sosok perempuan yang matanya fokus dengan layar televisi itu tidak beralih sejak tadi, “mami pernah gak ngerasa takut?”

satu deham sebagai jawaban tak buat abraham mengulang pertanyaannya, “takut... takut... takut, ya?” nada bertanya-tanya itu buat abraham mendongakkan kepalanya untuk menatap lamat-lamat, menanti jawaban.

jeda yang di diamkan lamat-lamat di ruang tamu pagi itu meninggalkan sunyi yang bergemuruh ke seluruh penjuru ruangan, menyisakan mami yang meletakkan pancong dingin yang sengaja disisakan untuk di rumah, mami memandang udara sejenak biarkan pertanyaan itu semakin jauh tertinggal dan abraham paham ia harus menunggu lebih lama.

“mami punya banyak. ada banyak.” diingatnya kembali beberapa kenangan yang diselipkan di setiap sudut rumah mereka. “mami takut waktu pertama kali abraham bisa merangkak dan jalan keluar kamar, mami takut waktu pertama kali abraham bisa jalan abraham jalan ke depan jalanan dan mami meminta tolong papanya cika untuk buat penghalang di pintu. mami takut waktu abraham pertama kali ke tk dan pulang sambil menangis karena berkelahi dengan teman sebangku yang buat mami meminta supaya kamu dan cika dikasih duduk sama-sama. mami takut waktu menjemput abraham di sekolah dan abraham enggak ada, ternyata kamu sama cika ada di depan muara night dan langsung diamankan ance yang waktu itu masih kerja di muara night. mami takut waktu kamu smp mami disurati karena ternyata kamu berkelahi sampai hidung temanmu patah. mami takut waktu sma mami dapat rokok di dalam tas kamu, mami takut kamu jadi perokok aktif seperti mami. itu semua ketakutan-ketakutan mami, tapi apa yang buat mami semakin sadar kalau mami ternyata punya lebih banyak ketakutan adalah waktu abraham pertama kali kuliah dan tinggal jauh dari mami. mami enggak lagi melihat kamu duduk sarapan di meja makan sambil ngomel-ngomel kalau mami merokok pagi-pagi padahal kamu apa bedanya. mami enggak lagi melihat punggung kamu hilang dibalik pintu, apalagi sewaktu mami sadar kamu enggak lagi menjemput mami di muara night. setiap pulang mami selalu takut, hari ini abraham sudah makan apa belum, kaki kamu dingin waktu tidur atau tidak, kamu malam ini tidurnya pakai selimut yang hangat atau tidak. tapi jauh dari itu mami takut kamu terlalu nyaman di sana dan gak mau pulang.”

“kenapa mami mikirnya begitu?”

mami terdiam. sekon berganti jadi detik dan detik berganti jadi menit, mami menyadari ia membawa dirinya sendiri kembali menelusuri ruang waktu yang telah lama tak dijajah.

“manusia itu,” jeda itu kembali biarkan mami merangkai kalimat dan ingatan yang bertubrukan di dalam kepalanya, menjelma menjadi salju yang membakar semua ingatan yang ada, mami tau abraham punya banyak hal yang sengaja tak ia tanyakan. “akan sulit beranjak ketika merasa nyaman.”

“meskipun kenyamanan itu berarti menyiksa dirinya sendiri.” lanjutnya ketika suara dari televisi itu semakin melebur bersama bisingnya ingatan yang menyapa sudut-sudut yang telah lama ia tinggalkan. “nyaman itu tidak melulu tentang apa hari ini mereka hidup berkecukupan dan berbahagia, beberapa orang memanipulasi diri mereka sendiri dan menikmati kehidupannya dengan kesedihan.”

abraham merubah posisinya jadi menyamping menatap meja dan vas bunga yang sudah harus diganti besok pagi. mami tak pernah mau menaruh bunga imitasi sebagai hiasan rumah mereka, abraham beberapa kali kesusahan ketika bunga itu harus diganti dan toko bunga langganan mami tutup untuk beberapa asalan.

rambutnya masih terus diusap dengan perlahan, abraham selalu merasa kecil setiap kali ia meminta untuk diberi usap di kepala, diam-diam berharap usapannya bisa meluruhkan. dan bagi mami abraham selalu sama kecilnya, abraham tak pernah benar-benar menjadi dewasa di rumah yang selalu menyimpan dan menyambut kepulangannya.

setelahnya tak ada suara yang mengusik. mereka kembali kepada kepala masing-masing, mengingat malam-malam ini sebagai malam yang selalu dicari sekaligus malam yang mereka hindari.

pada setiap hari yang ia langkahi abraham paham tentang dirinya, abraham tau betul ia sedang mencari-cari dirinya sendiri pada hari-hari yang ia langkahi, pada setiap sudut rumah yang usianya jauh lebih tua darinya, pada meja makan yang telah berganti tiga kali, pada pintu yang menyaksikan tingginya bertambah setiap tahun, pada jendela yang berebut tempat degan ranting pohon yang ikut bertumbuh setiap harinya. pada akhirnya abraham hanya tau ia tak suka ditemukan.

“kalau abraham sendiri pernah takut tidak?”

dan mami selalu hampir menemukannya di malam-malam yang selalu mereka cari-cari dan hindari.

“abraham takut mami.” usapan di kepalanya berubah menjadi satu sentilan yang buat ia meringis biarkan tawanya mengudara bersama detak jam yang berjalan seirama dengan detak jantung.

“gak seru ah kamu.” abraham hanya tertawa saja, biarkan mami dengan nada merajuknya itu kembali menatap pada layar televisi yang sempat diabaikan.

“mami kerja di muara night udah berapa lama?”

“lebih lama dari usia kamu.”

“abraham serius, mi.”

“mami juga serius.” mami menatap abraham di yang masih menyamping di pangkuannya. “mami di muara night dua tahun sebelum kamu lahir. kalau sekarang abraham 20 tahun berarti mami di muara night sudah 22 tahun.”

“udah selama itu ternyata.” abraham hanya mendapati anggukan dan kembali diam, menanti menit-menit berikutnya untuk kembali membuka suara. “kalau nanti abraham gak jadi apa-apa, boleh ya abraham kerja di sana?”

mami menatapnya penuh tanya, namun yang ia dapati hanya keseriusan di mata abraham. “boleh. mereka akan menerima kamu sama seperti mereka menerima mami. tapi yang harus kamu tau bahwa maya dan yang lainnya mungkin akan merasa sedikit kecewa karena ternyata kamu kembali ikut di jalan mereka dan mami. maya, ance, luna, dian, dan karmila punya harapan besar untuk anak satu-satunya di muara night, mereka bahkan sudah punya seragam untuk wisudamu nanti. dipikir-pikir lucu juga kalau kamu tiba-tiba berhenti kuliah.”

abraham hanya tertawa saja, menikmati bayangan-bayangan mengenai orang-orang yang selalu merangkul mereka pada hari-hari terik dan haus akan arti kehidupan. “mami dan orang-orang di muara night itu sudah seperti saudara ya.”

mami mengangguk untuk menanggapi dibersamai dengan usapan yang makin memelan ketika mami merapikan rambutnya yang tidak berantakan. “yang perlu abraham tau adalah, bagi mami, muara night itu bukan lagi perihal pekerjaan. mereka keluarga satu-satunya yang mami punya, sama dengan abraham.”

“kalaupun nanti abraham tidak jadi apa-apa mereka akan menerima abraham sama seperti mereka menerima mami yang bukan apa-apa sampai sekarang. dengan atau tidak jadinya abraham, mami akan tetap sama. mami akan tetap jadi mami. mami akan tetap jadi maminya abraham.”

“jadi abraham saja sudah cukup untuk mami.”

mami diiris untuk satu napas abraham di dunia, membesarkan abraham sama dengan memberikan seluruh hidupnya untuk abraham.

“dengan abraham saja sudah cukup, kan?” mami bisa dengar abraham bergumam mengulang kalimat yang sama, cepat atau lambat mungkin mami harus menghadapi abraham seorang diri, sebab sedari dulu hanya ada mereka berdua yang saling memberi hangat di rumah yang sepi oleh satu figur yang harusnya ada diantara mereka.

“pertanyaan mami soal ketakutan abraham. abraham gak bohong waktu abraham bilang takut mami. abraham takut kalau enggak sama mami abraham akan jadi apa? kalau lahir di tempat lain gak ada yang menjamin abraham akan jadi abraham. abraham takut mami abraham di tempat lain bukan mami. abraham takut kalau bukan mami yang jadi mami abraham.”

ketika rentetan kalimat panjang itu terucap dengan pelan dan intonasi abraham yang seperti hendak mengalahkan pelannya hembusan angin pagi itu buat mami menanti dan tidak menantikan kalimat selanjutnya sebab mami tau selalu ada bagian dari dalam diri abraham yang tak bisa ia temukan meski mencari hingga ke setiap penjuru rumah ini.

“tapi apa yang paling abraham takutkan adalah...” jeda panjang itu buat mami menghentikan usapan jemarinya pada rambut halus abraham yang selalu menghantarkan hangatnya kasih seorang ibu pada abraham di hari-hari yang pelik dan haus. “diri abraham sendiri.”

mami tau celakanya. mami tau pada setiap pilihannya yang tak punya belas kasih itu selalu ada celaka menanti diujung sana. mami tau abraham tak pernah selipkan satu orang yang seharusnya ada sebab celaka telah membawa abraham untuk tidak mengenal, pun mami dengan besarnya kasih yang ia punya hanya menyisakan rasa bersalah di penghujung hari di mana abraham selalu pulang dengan nestapa di belakang punggungnya yang meminta untuk disuap agar segera luruh padahal semuanya hanya harapan dan manifestasi sebab mami pun juga menanam nelangsa di balik punggungnya.

dan pagi itu tepat pukul empat ketika cahaya perlahan perlahan mulai sedikit menggeser gelap malam yang menyesakkan hanya menyisakan mami yang diam-diam menangis pada malam yang bengis ketika abraham memilih untuk pulang dan terlelap di pangkuannya.

satu sore yang bising dan padat dalam perjalanan menuju pulang


tenda pecel pasca kuliah hari itu jadi tujuan abraham setelah pukul lima sore, tentunya dia tidak sendirian. ada sosok laki-laki yang tidak jauh lebih pendek darinya, berambut panjang hampir menyentuh bahu, dengan senyum cerah yang tak pernah luntur dari wajahnya. abraham pernah berjanji untuk membawanya ke tenda langganan yang selalu dijumpainya ketika kebingungan ingin memakan apa; padahal dia boleh memberi tau cika jika ingin memakan sesuatu. tapi rasanya ayam bakar dengan sambal ijo yang diberi tambahan petai goreng dan kemangi itu memang tidak ada lawan untuk buat isi kepalanya penuh dengan wangi dan euforia rasanya yang membakar lidah ketika disambut pada suapan pertama.

sekarang dua porsi menu andalannya kini tersaji panas di atas meja. abraham diam-diam tersenyum saat membawa dua gelas es teh ukuran jumbo ke meja makan mereka mendapati sosok yang ia bawa bersamanya tadi itu menatap sumringah makanan yang ada di depannya.

“wanginya enak. wangi, wangi, wangi.” abraham cuma bisa tersenyum mendengar kebiasaan pemuda itu untuk mengulang setiap kata yang ia ucapkan ketika merasa sangat senang dengan sesuatu; abraham mulai hafal satu-persatu dan dia temukan dirinya mengingat semuanya dengan baik. hangat dan beraroma manis sama seperti ayam bakar yang siap untuk mereka santap sore ini.

hiruk-pikuk perkotaan yang padat polusi dan bising di jam-jam di mana semua orang berebut jalan pulang untuk sampai lebih dulu jadi teman mereka sore itu, dibersamai dengan bunyi wajan yang beradu dengan sutil membuat suasana makin khidmat bersama beberapa kepala lainnya yang masuk silih berganti menyisakan mereka berdua yang sengaja makan dengan lambat— atau sebenarnya hanya abraham saja.

“kalau ian minta intan untuk masak sambal petai dengan kemangi seperti ini kira-kira rasanya akan sama atau tidak?” entah sudah berapa kali abraham menarik sudut bibirnya semenjak ia mendudukkan dirinya di tenda pecel pasca kuliah sore ini. abraham tak bisa sembunyikan senyumnya menatap sosok yang di hadapannya berucap antusias dan penuh tanya dengan makanan penuhi sebelah pipinya yang asik mengunyah. abraham tak suka diajak mengobrol saat makan tapi yang satu ini mungkin bisa jadi pengecualian.

“kurang tau.” jawaban kurang memuaskan buat yang di depannya berhenti mengunyah hendak ucapkan beberapa kata yang abraham yakin jika tidak ia potong akan berlanjut sepanjang perjalanan wiji thukul jika dituliskan ke dalam sebuah tulisan. “maksudnya, kalau yang masak beda orang gak mungkin rasanya akan sama kan, adrian?”

“semisal mama—”

“bunda.” interupsinya sembari meraih es teh jumbo yang mulai berembun itu untuk disesap pelan dengan tatapan yang tak lepas dari abraham yang hendak menjelaskan.

“iya, maksudnya semisal bundanya ian memasak sesuatu yang kemudian resep itu diikuti intan bisa aja rasanya akan berubah. intan mungkin bakalan nambahin atau kurangin beberapa bumbu yang dia rasa tidak sesuai dengan dia. lalu ketika adrian yang sudah sering memakan makanan bunda yang itu pasti jelas akan sadar ada yang beda dengan masakan bunda dan intan.”

adrian hanya mengangguk untuk kembali menyuapkan sesendok nasi dengan ayam bakar yang dipadukan dengan sambal petai dengan kemangi hingga mulutnya penuh da dia akan tersenyum setelahnya— abraham sempat tawarkan untuk pakai tangan tapi ia menolak karena tidak terbiasa.

“aham tadi seharian di kampus ngapain aja?” adrian dan mulut kecilnya itu punya banyak hal yang ingin diucapkan setiap menitnya, abraham paham kenapa anak itu selalu punya pertanyaan dan jawaban atau sekedar basa-basi yang siap keluar kapan saja karena ia lahir dan besar dari keluarga yang terbiasa dengan obrolan panjang ketika bangun tidur atau ketika sarapan di meja makan.

abraham terlihat berpikir sebentar dan menyeruput es teh yang sejak tadi tidak berkurang sedangkan milik adrian hanya tersisa hampir setengahnya. “kayak biasanya, tadi ada dua mata kuliah tiga sks. tapi satunya jadi empat sks karena masih banyak yang perlu dibahas. abis itu main uno sebentar yang kalah main berdiri, aku berdiri dua kali tapi guping berdiri dari aku duduk sampai selesai main.”

“memang guping itu cemen.” ejeknya, “tapi nah, kalau guping main dengan ian selalu ian yang kalah.”

“itu berarti kamu yang cemen.”

“ish.”

mereka selesai kurang lebih satu setengah jam, padahal abraham biasanya paling lama hanya tigapuluh menit. adanya adrian dengan segala obrolannya yang tidak penting itu buat abraham betah duduk di kursi plastik berlama-lama sampai tidak sadar meja di sampingnya sudah berganti tiga kali dan mereka belum ada keinginan untuk beranjak barang sedetik pun.

“gimana makanannya, enak?” adrian mengangguk untuk tanggapi pertanyaan retoris dari abraham mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya. “enak. ian baru pertamakali ke sini dan baru tau, kenapa tidak tau dari dulu ya...” ucapnya memelan ketika abraham raih tangannya untuk menyemprotkan hand sanitizer ke tangannya.

“biar bersih.” jelasnya, padahal yang makan pakai tangan adalah dia sendiri.

pun adrian tak banyak protes ketika mereka akhirnya berjalan menuju depan untuk melakukan pembayaran ketika hampir dua jam mengambil meja untuk mereka berdua saja.

“tumben mas gak sama temennya yang lain.” adrian hanya dengar-dengar sekilas mereka bercakap-cakap sepertinya sudah sangat akrab.

“lagi sibuk mereka pakde, belum sempat ke sini.”

“sibuk apa pengen makan berdua saja, mas abraham?”

“kalau besok-besok saya gak datang lagi gimana itu pakde?” yang ditimpali hanya berikan tawa yang cukup memuaskan.

“ini kembaliannya mas abraham. sering-sering datang berdua mas abraham.” entah itu basa-basi atau memang serius ketika diucapkan namun balasan setelahnya cukup buat adrian keluar lebih dulu sebab bingung harus berbuat apa.

“iya pakde nanti saya sering-sering ke sini, berdua aja.”

tenda pecel pasca kuliah di depan jalan raya yang berpolusi dan bising itu tak bisa sembunyikan rona merah yang merambat perlahan dari pipi hingga ke telinga. pun ketika abraham sudah berdiri dan merapikan helaian rambutnya yang sedikit berantakan untuk dipakaikan helm tak bisa untuk buat dia untuk hentikan waktu agar bisa mengambil nafas barang sedetik untuk pastikan kakinya masih menapak.

“muka kamu merah. panas banget ya sore ini?” adrian yang hanya bisa mengangguk patah-patah itu segera fokuskan dirinya untuk naik mengambil tempat dibelakang abraham yang sudah naik di atas motornya lebih dulu.

“ian, besok-besok kalau aku bawa makan di sana lagi masih mau gak?”

“kapan-kapan? boleh lagi. ian suka, makanannya enak heheheh.”

“iya, kapan-kapan, berdua lagi.”

suara bising yang padat sore itu tak bisa sembunyikan suara detak yang perlahan menyapa adrian ketika matahari hampir tenggelam dari arah barat, ada adrian yang tak bisa sembunyikan senyum kecilnya ketika satu tangan abraham meraih lengannya untuk bertengger pelan di pinggangnya.

hiruk pikuk perkotaan dan suara bising di perjalanan pulang hari itu tak begitu menganggu abraham yang sesekali menatap spion motornya untuk temukan adrian yang rona pipinya disambut dengan cahaya kekuningan yang seolah akan meleleh jika mereka diam lebih lama; abraham jelas menolak teori keindahan jacob epstein sebagai sesuatu yang absolut. sebab keindahan akan selalu mengajak untuk diingat, disimpan, disisipkan di dalam sudut memori yang akan abraham simpan untuk dirinya sendiri tanpa harus berbagi di satu sore yang bising dan padat dalam perjalanan menuju pulang.

manusia dan memori rumpang

cw; smoking


mungkin dunia tidak senang padanya, mungkin dunia enggan berbohong untuknya, mungkin dunia hanya seadanya untuk dia, mungkin dunia hanya tak punya apa-apa yang bisa diberi untuknya yang kecil dan tidak berdaya di dunia yang luas dan sempitnya tidak bisa diukur dengan satuan angka dan jarak. mungkin hati dibiarkan mati tanpa dikuliti, mungkin hidup dibiarkan kering kerontang tanpa pertolongan, mungkin doa tak lagi sampai kepada yang dituju ketika ia berdoa sampai patah kaki dan tinggal tulang ketika meminta belas kasihan.

dunia tidak lebih dari tempat penyiksaan baginya yang perlu dibohongi dunia untuk dibahagiakan, sayangnya dunia tak pernah punya banyak belas kasih yang bisa dibagi rata untuk semua yang bernyawa. dunia terlalu rumpang untuk dirinya yang sama tidak utuhnya. dunia ingin paham apa ketika mereka sama rumpangnya? bersekongkol dengan dusta pun tak ada gunanya, sebab mereka rumpang yang tak lagi bisa dilengkapi.

“gue bisa kasih lo semuanya, asal enggak berisik perihal tadi.” dunia dan rumpangnya buat lintang bertemu dengan pemuda urakan yang tidak paham apa-apa kecuali dengan kenyataan kalau dia punya uang dan bisa membeli semuanya.

paradoksnya dunia manusia memang berbeda-beda. pun, lintang tak pernah mengharapkan manusia yang berbeda-beda itu untuk bisa selalu memahami dan membuat mereka mengerti, karena sama seperti mereka yang tidak akan pernah bisa untuk buat lintang mengerti.

mereka mana bisa paham kenapa lintang yang baru berusa enam tahun harus belajar fisika dan kalkulus, sampai harus bimbel kemana-mana padahal rumah mereka tidak berlantai tiga dan berada di perumahan elit ibukota. lintabf tidak akan pernah bisa buat mereka paham kenapa leehan yang berusia dua belas tahun sangat marah karena rekan tim nya salah menjawab di menit terakhir. mereka tidak akan paham kalau lintang takut untuk pulang ke rumah karena itu. sebab mama akan tau kalau lintang gagal lagi.

paham apa mereka ketika lintang harus kembali gagal dalam olimpiade yang dia persiapkan mati-matian ketika dia dipaksa kalah padahal jawaban yang dia beri tak ada yang salah sebab ada kompensasi dari nama anak orang besar yang harus dijaga padahal lintang yang baru tiga belas itu belajar sampai mimisan. mereka tidak akan paham kenapa lintang yang ambisius itu tak pernah lagi ingin untuk menerima tawaran mengikuti olimpiade padahal dia memiliki isi kepala yang menjanjikan, sampai harus berdebat dengan mama yang hampir kehilangan kewarasan sebab lintang yang lima belas sudah bisa melawan.

“lo enggak mau? atau uangnya kurang? gue bisa kasih lagi besok. asal lo bisa tutup mulut soal yang ini, gue bisa habis kalau ketahuan.” lintang tak bisa sembunyikan kesalnya ketika seseorang bilang dia bisa habis karena hal sepele ketika dia sendiri sudah habis sejak lama tanpa harus berulah.

“semuanya segampang itu ya kalau kita punya uang?” yang di seberang sana bisa tangkap ledakan amarah yang datang untuknya, pun dia tak masalah dengan itu. sebab puntung rokok yang masih menyala itu segera dia padamkan untuk menatap kobaran api yang jauh lebih membara dari sepuntung rokok di tangannya.

“sayangnya, iya.” puntung rokoknya dibuang untuk kemudian mencuci tangannya di depan wastafel dan menatap lintang dari pantulan cermin. pemuda itu tersenyum remeh menatap kobaran api yang sayangnya terlihat putus asa di depan sana. “mungkin kalau lo punya, lo bisa paham kenapa semuanya bisa segampang itu hanya karena uang.”

lintang dibuat banyak-banyak belajar kalau harta bisa membeli semuanya, dan mereka tak punya itu. meski mama memaksa menyetarakan mereka setidaknya tentang isi kepala meskipun harus berdarah-darah dan patah kaki.

kenyataannya mereka memang tidak pernah setara, dan lintang memahami itu dengan baik. lintang hanya ingin buat mama mengerti kalau dia tidak harus bekerja sampai tertatih-tatih hanya untuk membayar biaya bimbel di tempat mahal agar mereka setara.

lintang hanya ingin mama mau mengerti kalau lintang tidak akan bisa sama seperti anak papanya yang bisa bimbel di tempat mahal tanpa harus memikirkan token listrik yang mulai berbunyi.

“tapi gue berharap kalian gak akan pernah mengerti, sih.”


mungkin pada akhirnya mama menyerah untuk menanamkan setiap harapannya pada lintang meskipun banyak kecewa yang harus dia telan. tapi lintang paham betul kalau mereka tak bisa hidup seperti itu. mereka hanya berdua, tidak ada yang boleh sekarat atau mereka tidak akan tertolong di dunia yang rumpang ini.

lintang tidak pura-pura tuli ketika mama diam-diam masih menangisi perceraiannya, lintang tidak pura-pura buta ketika mama menyimpan banyak dendam yang hendak dibalas untuk membuktikan setidaknya mereka bisa hidup lebih baik meski hanya berdua saja, dan lintang tidak pura-pura tahu ketika keinginan mama itu sesekali masih ia selipkan ke dalam kotak bekalnya setiap pagi.

“gue pikir lo bakalan nyariin gue buat minta pertanggungjawaban karena udah tutup mulut.” mungkin sebaiknya mereka tidak pernah berurusan saja, mungkin sebaiknya lintang tak pernah lihat dia saja, mungkin seharusnya waktu itu ia tak perlu menegur bertingkah sok superior, seolah dia bisa menyelamatkan satu dunia dengan itu, padahal menyelamatkan dirinya sendiri saja tidak sanggup.

“kita gak punya urusan.” hanya itu yang bisa lintang jawab untuk menghentikannya sebelum mereka pergi terlalu jauh.

“salah ingat kali, padahal gue pikir kita punya urusan yang panjang untuk dibahas.” pemuda itu bertopang dagu sambil tersenyum di hadapan bekalnya yang siap untuk dihabisi kalau saja dia tidak datang menginterupsi.

lintang sepanjang hidupnya mungkin tidak akan paham kenapa senyum itu semakin melebar ketika dia menatap pemuda di hadapannya, padahal lintang yakin wajahnya cukup datar saat itu. lintang tak akan pernah paham kenapa ketika pemuda itu menyuruhnya untuk melanjutkan makanannya dia melanjutkan tanpa merasa keberatan, lintang sepanjang hidupnya mungkin tidak akan paham kenapa tatapan pemuda itu diam-diam tersimpan baik di dalam lemari memorinya.

atau lintang selamanya tidak akan pernah paham ketika pemuda itu tiba-tiba pergi dan meninggalkan selembar kertas, yang buat lintang diam terpaku di tempatnya.

//gedung b, pukul lima sore.//


mungkin dunia dengan segala rumpang dan manusia dengan segala paradoksnya adalah satu-satunya hal yang tidak akan bisa punah di dunia ini selain keingintahuannya. mungkin ketika hewan-hewan dan tumbuhan kembali berevolusi manusia menjadi satu-satunya yang tidak akan pernah beranjak sebab merasa bahwa mereka adalah puncak solid yang tidak terganggu lagi sebagai puncak kehidupan.

mungkin dunia dan seisinya akan tetap menjadi paradoks yang tidak akan pernah ditemukan jawabannya, sebab lintang telah injakkan kakinya sebelum pukul lima sore di tempat yang tidak seharusnya begitu dia pikirkan. tapi manusia dengan segala keingintahuannya adalah hal yang membuat mereka tidak punah dan terus hidup.

lintang sampai di tempat yang tertulis di kertas itu. entah untuk apa, entah untuk apa, entah untuk bertemu siapa. ketika kakinya melangkah hingga lantai terakhir dan hanya menemukan dirinya berada jauh diatas tanah dengan pemandangan kota penuh polusi dan kendaraan yang berderet seperti semut-semut yang pulang mencari makanan demi sang ratu.

ditatap sekelilingnya dan lintang tak temukan siapa-siapa kecuali angin yang menyapa kulitnya lembut seolah menyapa kawan lama yang lama tak mengunjunginya dan meminta penjelasan. lintang biarkan dirinya duduk dipinggiran dengan kaki menggantung, diam-diam lintang menikmati pemandangan yang dilihatnya sekarang. langit cerah yang kontras dengan kehidupan perkotaan yang berisik dengan polusi di bawah sana.

“gue pikir lo gak bakalan datang.” ada sengatan yang datang seribu kali lebih cepat ketika suara itu menyapa. “lo lumayan nekat buat duduk di situ, tapi gue rasa bukan ide yang buruk kalau gue juga duduk di sana bareng lo.”

setelahnya yang lintang tau hanya mereka berdiam diri menyelami isi kepala masing-masing, mencoba untuk berlari dari kota yang selalu berlalu seribu kali lebih cepat.

“lintang,” yang dipanggil menoleh sedikit terkejut ketika pemuda itu ternyata mengetahui namanya. “lo menyelamatkan gue ketika memilih untuk enggak bilang apapun tentang gue waktu itu.”

“itu bukan sesuatu yang harus gue bilang ke semua orang.”

pemuda itu hanya mengangguk untuk mengiyakan, menyisakan lagi mereka yang asing dengan satu sama lain tapi memilih untuk tetap duduk berdampingan.

“semuanya bisa jadi seribu kali lebih rumit ketika lo punya sesuatu yang harus dijaga.”

“gue enggak akan pernah paham dengan cara kalian bicara.”

pemuda itu tertawa mendengar jawaban lintang yang terdengar hanya seperti celetukan untuk menanggapi tanpa harus banyak berpikir. mereka habiskan waktu sampai matahari terbenam untuk saling berbagi isi kepala yang temukan rumpangnya masing-masing. lintang biarkan dirinya diam-diam tersenyum ketika mendapati pemuda itu menatapnya diam-diam dengan tatapan yang akan selalu lintang tanyakan maksudnya sepanjang hidupnya sebab setelahnya lintang dapati dirinya terbelenggu.

“kira-kira kalau suatu saat gue butuh pertolongan lagi, apa lo bakalan datang?”

dan ketika matahari terbenam sepenuhnya sore itu lintang biarkan dirinya meraih apa-apa yang seharusnya tak perlu dia raih untuk sebuah belenggu membingungkan yang biarkan dia terpenjara bersama pikiran yang entah berkelana kemana, sebab lintang temukan dirinya mengawang bersama jawaban yang dia beri.

“kita liat nanti.”

sebab setelahnya pemuda itu hilang bersama dengan jawaban mengawang di dalam kepalanya, bersama dengan ingatan yang lintang simpan baik diam-diam di setiap sudut memorinya yang rumpang bersama dengan namanya yang masih kerap lintang selipkan pada setiap paginya dua tahun terakhir. dan, utara lars heide hilang bersama dengan jawaban yang lintang tidak temukan jawaban.