satu sore yang bising dan padat dalam perjalanan menuju pulang
tenda pecel pasca kuliah hari itu jadi tujuan abraham setelah pukul lima sore, tentunya dia tidak sendirian. ada sosok laki-laki yang tidak jauh lebih pendek darinya, berambut panjang hampir menyentuh bahu, dengan senyum cerah yang tak pernah luntur dari wajahnya. abraham pernah berjanji untuk membawanya ke tenda langganan yang selalu dijumpainya ketika kebingungan ingin memakan apa; padahal dia boleh memberi tau cika jika ingin memakan sesuatu. tapi rasanya ayam bakar dengan sambal ijo yang diberi tambahan petai goreng dan kemangi itu memang tidak ada lawan untuk buat isi kepalanya penuh dengan wangi dan euforia rasanya yang membakar lidah ketika disambut pada suapan pertama.
sekarang dua porsi menu andalannya kini tersaji panas di atas meja. abraham diam-diam tersenyum saat membawa dua gelas es teh ukuran jumbo ke meja makan mereka mendapati sosok yang ia bawa bersamanya tadi itu menatap sumringah makanan yang ada di depannya.
“wanginya enak. wangi, wangi, wangi.” abraham cuma bisa tersenyum mendengar kebiasaan pemuda itu untuk mengulang setiap kata yang ia ucapkan ketika merasa sangat senang dengan sesuatu; abraham mulai hafal satu-persatu dan dia temukan dirinya mengingat semuanya dengan baik. hangat dan beraroma manis sama seperti ayam bakar yang siap untuk mereka santap sore ini.
hiruk-pikuk perkotaan yang padat polusi dan bising di jam-jam di mana semua orang berebut jalan pulang untuk sampai lebih dulu jadi teman mereka sore itu, dibersamai dengan bunyi wajan yang beradu dengan sutil membuat suasana makin khidmat bersama beberapa kepala lainnya yang masuk silih berganti menyisakan mereka berdua yang sengaja makan dengan lambat— atau sebenarnya hanya abraham saja.
“kalau ian minta intan untuk masak sambal petai dengan kemangi seperti ini kira-kira rasanya akan sama atau tidak?” entah sudah berapa kali abraham menarik sudut bibirnya semenjak ia mendudukkan dirinya di tenda pecel pasca kuliah sore ini. abraham tak bisa sembunyikan senyumnya menatap sosok yang di hadapannya berucap antusias dan penuh tanya dengan makanan penuhi sebelah pipinya yang asik mengunyah. abraham tak suka diajak mengobrol saat makan tapi yang satu ini mungkin bisa jadi pengecualian.
“kurang tau.” jawaban kurang memuaskan buat yang di depannya berhenti mengunyah hendak ucapkan beberapa kata yang abraham yakin jika tidak ia potong akan berlanjut sepanjang perjalanan wiji thukul jika dituliskan ke dalam sebuah tulisan. “maksudnya, kalau yang masak beda orang gak mungkin rasanya akan sama kan, adrian?”
“semisal mama—”
“bunda.” interupsinya sembari meraih es teh jumbo yang mulai berembun itu untuk disesap pelan dengan tatapan yang tak lepas dari abraham yang hendak menjelaskan.
“iya, maksudnya semisal bundanya ian memasak sesuatu yang kemudian resep itu diikuti intan bisa aja rasanya akan berubah. intan mungkin bakalan nambahin atau kurangin beberapa bumbu yang dia rasa tidak sesuai dengan dia. lalu ketika adrian yang sudah sering memakan makanan bunda yang itu pasti jelas akan sadar ada yang beda dengan masakan bunda dan intan.”
adrian hanya mengangguk untuk kembali menyuapkan sesendok nasi dengan ayam bakar yang dipadukan dengan sambal petai dengan kemangi hingga mulutnya penuh da dia akan tersenyum setelahnya— abraham sempat tawarkan untuk pakai tangan tapi ia menolak karena tidak terbiasa.
“aham tadi seharian di kampus ngapain aja?” adrian dan mulut kecilnya itu punya banyak hal yang ingin diucapkan setiap menitnya, abraham paham kenapa anak itu selalu punya pertanyaan dan jawaban atau sekedar basa-basi yang siap keluar kapan saja karena ia lahir dan besar dari keluarga yang terbiasa dengan obrolan panjang ketika bangun tidur atau ketika sarapan di meja makan.
abraham terlihat berpikir sebentar dan menyeruput es teh yang sejak tadi tidak berkurang sedangkan milik adrian hanya tersisa hampir setengahnya. “kayak biasanya, tadi ada dua mata kuliah tiga sks. tapi satunya jadi empat sks karena masih banyak yang perlu dibahas. abis itu main uno sebentar yang kalah main berdiri, aku berdiri dua kali tapi guping berdiri dari aku duduk sampai selesai main.”
“memang guping itu cemen.” ejeknya, “tapi nah, kalau guping main dengan ian selalu ian yang kalah.”
“itu berarti kamu yang cemen.”
“ish.”
mereka selesai kurang lebih satu setengah jam, padahal abraham biasanya paling lama hanya tigapuluh menit. adanya adrian dengan segala obrolannya yang tidak penting itu buat abraham betah duduk di kursi plastik berlama-lama sampai tidak sadar meja di sampingnya sudah berganti tiga kali dan mereka belum ada keinginan untuk beranjak barang sedetik pun.
“gimana makanannya, enak?” adrian mengangguk untuk tanggapi pertanyaan retoris dari abraham mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya. “enak. ian baru pertamakali ke sini dan baru tau, kenapa tidak tau dari dulu ya...” ucapnya memelan ketika abraham raih tangannya untuk menyemprotkan hand sanitizer ke tangannya.
“biar bersih.” jelasnya, padahal yang makan pakai tangan adalah dia sendiri.
pun adrian tak banyak protes ketika mereka akhirnya berjalan menuju depan untuk melakukan pembayaran ketika hampir dua jam mengambil meja untuk mereka berdua saja.
“tumben mas gak sama temennya yang lain.” adrian hanya dengar-dengar sekilas mereka bercakap-cakap sepertinya sudah sangat akrab.
“lagi sibuk mereka pakde, belum sempat ke sini.”
“sibuk apa pengen makan berdua saja, mas abraham?”
“kalau besok-besok saya gak datang lagi gimana itu pakde?” yang ditimpali hanya berikan tawa yang cukup memuaskan.
“ini kembaliannya mas abraham. sering-sering datang berdua mas abraham.” entah itu basa-basi atau memang serius ketika diucapkan namun balasan setelahnya cukup buat adrian keluar lebih dulu sebab bingung harus berbuat apa.
“iya pakde nanti saya sering-sering ke sini, berdua aja.”
tenda pecel pasca kuliah di depan jalan raya yang berpolusi dan bising itu tak bisa sembunyikan rona merah yang merambat perlahan dari pipi hingga ke telinga. pun ketika abraham sudah berdiri dan merapikan helaian rambutnya yang sedikit berantakan untuk dipakaikan helm tak bisa untuk buat dia untuk hentikan waktu agar bisa mengambil nafas barang sedetik untuk pastikan kakinya masih menapak.
“muka kamu merah. panas banget ya sore ini?” adrian yang hanya bisa mengangguk patah-patah itu segera fokuskan dirinya untuk naik mengambil tempat dibelakang abraham yang sudah naik di atas motornya lebih dulu.
“ian, besok-besok kalau aku bawa makan di sana lagi masih mau gak?”
“kapan-kapan? boleh lagi. ian suka, makanannya enak heheheh.”
“iya, kapan-kapan, berdua lagi.”
suara bising yang padat sore itu tak bisa sembunyikan suara detak yang perlahan menyapa adrian ketika matahari hampir tenggelam dari arah barat, ada adrian yang tak bisa sembunyikan senyum kecilnya ketika satu tangan abraham meraih lengannya untuk bertengger pelan di pinggangnya.
hiruk pikuk perkotaan dan suara bising di perjalanan pulang hari itu tak begitu menganggu abraham yang sesekali menatap spion motornya untuk temukan adrian yang rona pipinya disambut dengan cahaya kekuningan yang seolah akan meleleh jika mereka diam lebih lama; abraham jelas menolak teori keindahan jacob epstein sebagai sesuatu yang absolut. sebab keindahan akan selalu mengajak untuk diingat, disimpan, disisipkan di dalam sudut memori yang akan abraham simpan untuk dirinya sendiri tanpa harus berbagi di satu sore yang bising dan padat dalam perjalanan menuju pulang.