kepada mami, satu-satunya milik abraham


abraham selama hidupnya tak pernah mengenal perempuan sebaik mami, pun mami yang hari ini usianya menjadi ganjil hanya tersenyum ketika mendapati abraham hanya diam saja ketika semua orang bersorak pada larut malam di muara night untuk merayakan hari jadinya.

sebab mami memahami abraham jauh sebelum abraham memahami dirinya sendiri. setidaknya itu yang bisa abraham pahami dengan sedikit memori yang mengguncang setiap kali melihat mami tersenyum dengan lebar, menyadari bahwa; mereka telah hidup lebih baik.

mami berjalan lebih pelan sembari membawa beberapa hadiah pemberian dari orang-orang di muara night. muara night yang mengenal mami lebih dari abraham itu mirip rumah kedua bagi mami, juga untuk abraham. tempat di mana abraham dan mami diterima tanpa tanya, tanpa jawab, tanpa harus menjadi apa-apa. pun rumah yang mereka tuju setelah muara night menjadi lebih hangat ketika abraham menemukan mami merapikan barang-barangnya dan menatap sambil tersenyum.

“mami pikir kamu gak akan datang, karena terlalu sibuk. tapi sewaktu melihat abraham di muara night mami pikir tidak ada yang perlu dicemaskan lagi. abraham ada.”

“abraham pulang.” abraham sisipkan jaketnya untuk disampirkan di sofa tua yang usianya sudah lebih tua darinya. “abraham pikir karmila sudah berhenti ngasih mami hadiah begini.” ucapnya setelah melihat salah satu bingkisan paling kecil diantara mereka.

“karmila masih sering bilang ke mami untuk tetap make up meskipun anaknya sudah dua puluh tahun, hampir dua satu.” mami tertawa ketika mengingat bagaimana sosok berambut panjang dengan wajah yang selalu dihias elok itu selalu gatal ingin menghiasnya.

abraham cuma bisa tersenyum mendengar mami merapikan sedikit hadiahnya di meja makan. mami menyiapkan sedikit kue untuk abraham di meja makan agar disantap sembari melihat mami membereskan barang-barangnya.

tahun ini tetap sama. abraham masih duduk di meja makan dan mencicipi kue ulang tahun mami di hari ulangtahunnya. mami hanya tersenyum tipis melihat abraham mencicipi kue itu tanpa suara, sebab ia tau itu satu-satunya cara abraham untuk ikut merayakannya.

abraham tak lagi merayakan ulang tahun sejak usianya empat belas. dan mami memahaminya. abraham yang empat belas mulai memahami hal-hal yang belum sempat mami ajarkan, ketika ia mulai sering menghabiskan waktunya berkutat dengan buku-buku di muara night. pemilik perpustakaan kecil itu membiarkan abraham mencerna semua buku di sana dan melahapnya sampai habis, sebab abraham yang usianya empat belas itu punya isi kepala yang ganas. gemar saling memakan, melahap hingga habis, dan buku-buku itu datang sebagai monster pelahap yang sama ganasnya.

“kuenya enak?” mami duduk tepat di hadapannya, dihalangi oleh meja makan kayu yang telah berusia lanjut. dan abraham hanya mengangguk saja sebagai jawaban. “tante maya yang beli. sengaja dia pilih kue itu, katanya tidak terlalu manis, biar abraham bisa makan juga.”

jeda panjang kemudian menyapa mereka. hanya duduk saling berhadapan dan abraham dengan sendok yang sesekali menyuap ke dalam mulutnya. pun mami yang tak punya banyak kalimat untuk diucapkan hanya mengeluarkan sesuatu dari dalam tas yang berada di sampingnya.

“mau jalan-jalan keluar gak? jalan kaki.” ia melemparkan sebungkus rokok yang langsung ditangkap oleh abraham dengan refleks. berjalan lebih dulu sembari menyalakan sebatang rokok untuk disesapnya sendiri, tak perlu menoleh untuk memastikan abraham telah mengikut dengan kepulan asap menyertainya.


abraham berumur empat tahun ketika ia menyadari ada seseorang yang kurang di dalam rumahnya. tidak seperti di rumah cika yang memiliki satu orang laki-laki dewasa yang kerap kali cika panggil ayah. mami hanya tau memasakkan makanan untuk abraham, menyuapi abraham, memandikan abraham, dan membacakan sebuah dongeng sebelum ia tidur. abraham hanya tau memanggil mami, sementara cika punya dua orang yang bisa ia panggil mama dan papa.

meski sering disuguhi dengan sebuah foto di mana mami sering menyebut orang itu adalah ayahnya, abraham tak pernah bisa memahaminya. kenapa ayahnya hanya ada di foto dan papa cika ada bermain bersama cika, menggendong cika ketika ia menangis, dan abraham cuma bisa menatap. meski papa cika sering menggendongnya tapi ada yang berbeda; yang itu bukan miliknya.

sebab satu-satunya milik abraham hanya mami.

mami hanya menjawab bahwa ayahnya akan pulang dan menggendong abraham, juga mengajaknya bermain sama seperti yang dilakukan cika dan papanya. abraham yang anak baik itu hanya tau mengangguk, dan menanti setiap pagi di depan pintu kapan kiranya ayahnya akan pulang dan menggendongnya.

hingga malam kembali tiba dan ayahnya tak kunjung datang, mami hanya meminta abraham untuk sedikit lebih sabar menanti. sebab anak baik sabarnya akan dibayar dengan tuntas.

abraham ingat dia menangi pada paruh kedua ia di sekolah dasar sebab teman-temannya selalu mengejek abraham yang hanya punya mami. abraham tak berbuat apa-apa selain menangis diam-diam di dalam toilet. cika yang pertama kali meraih kerah bajunya dan menyeret abraham ke dalam kelas dengan murka menanyakan siapa yang berani membuat abraham menangis dan seisi kelas menertawakan mereka. abraham tak masalah, tapi satu anak yang membuka suara di depan sana cukup buat ia kembali tersedu-sedu.

“abraham kan memang tidak punya bapak.” ia bisa dengar dengan begitu jelas suara anak itu bersamaan dengan kerah bajunya yang sedari tadi digenggam cika dilepaskan dengan kasar.

cika menerjang anak laki-laki itu dengan brutal yang buat seisi kelas jadi ricuh, mereka membiarkan cika mencakar wajahnya tanpa ampun. abraham tidak akan tau apa jadinya jika ia tidak menarik cika dan menyuruhnya berhenti sambil menangis.

“KAMU ITU HARUS BERANI PUKUL MEREKA AHAM! MEREKA TIDAK BOLEH BICARA SEPERTI ITU KE KAMU! IBU GURU BILANG KITA HARUS MENGHARGAI TEMAN, BUKANNYA BUAT TEMAN MENANGIS.”

“tapi mami bilang aham tidak boleh memukul teman aham.” abraham mengusap air matanya yang tidak mau berhenti, ia jongkok di hadapan cika yang amarahnya masih berada diujung kepala.

“dia itu bukan teman kamu!! kamu jangan berteman sama dia!! anak laki-laki itu harus bisa berkelahi aham! dia harus kuat! kalau aham hanya bisa menangis saja, siapa yang akan membela mami kalau mereka seperti itu?”

tinju pertamanya jatuh pada dagu seorang anak laki-laki yang kembali mengejeknya tak lama setelahnya. cika tersenyum bangga sewaktu ia berhasil melawan seseorang yang selalu mengejeknya. meski pada akhirnya mereka dihukum berdiri di depan rumah dengan kedua tangan diangkat ke atas buat tawanya tak luntur seketika, sebab cika bilang abraham harus bisa lebih kuat.


seorang ibu tua pertama kali datang mengetuk pintu rumahnya ketika abraham berusia delapan tahun dipakaikan seragamnya oleh mami. abraham tak mengenal satupun dari mereka, tapi ibu tua dengan rambut rapi yang mulai memutih dimakan waktu dan bibir merah merona itu cukup untuk buat abraham bersembunyi di balik kursi ketika ia menatapnya.

mami menyambut mereka dengan suka cita namun abraham pahami ada aura aneh yang menyelimuti mereka, abraham sesak, matanya tak berkedip sewaktu ia liat ibu tua itu menampar mami dengan keras.

“mami...” abraham coba meraih mami meski ia hanya mampu memeluk pinggang mami sewaktu itu.

“kamu pikir kamu siapa hah?! gara-gara perempuan seperti kamu rendra hidupnya celaka! memberontak dengan mimpi-mimpi tidak jelasnya.”

abraham hanya bisa dengar suara itu sembari menyebut nama mami dengan pelan, sebab mami hanya diam sewaktu ibu tua jahat menatap mereka dengan nyalang. seolah kebencian itu telah lahir sejak lama dan dipendam begitu lama hingga kentalnya membuat sesak napas.

“asal kamu tau sejak lahir rendra sudah punya semuanya. masa depan! pekerjaan! dan bahkan istri dan seorang anak! lalu kamu siapa yang berani datang entah berantah, mencoba untuk merusak keluarga arutala? perempuan seperti kamu tidak akan pernah pantas untuk arutala, ratna! sampai kapan pun. dan anak ini selamanya tidak akan pernah menjadi bagian dari arutala.”

abraham lihat dengan jelas jejak air mata mami yang jatuh pada keramik lantai rumah mereka, bahkan setelah mereka pergi meninggalkan abraham dan mami yang meringkuk menangis dengan abraham di dalam pelukannya.

pun setelah ibu tua itu pergi abraham masih bisa mendengar dengan jelas di dalam kepalanya, suara yang bergema memenuhi isi kepalanya dan suara tangis sunyi mami yang masih memeluknya.

“aham, mami di sini. enggak apa-apa mami di sini. mami punya abraham.”

abraham delapan tahun sewaktu menyadari mereka tidak diterima dan berhenti menunggu ayah pulang dan mengetuk pintu.

“kamu bisa memberi apa untuk rajendra? cinta? kasih sayang? perempuan seperti kamu tidak akan pernah pantas untuk itu. dan anak ini, kasih sayang tidak akan pernah membuat kalian hidup.”

abraham delapan tahun sewaktu menyadari mami hanya memilikinya.

“kalian tidak akan pernah pantas untuk arutala.”


pukul tiga dini hari ketika abraham habiskan satu batang rokoknya tanpa percakapan apapun yang menemui antara ia dan mami yang terlena dengan euforia kepulan asap pagi hari dengan angin malam yang menerbangkan surai panjangnya bersama dengan doa-doa yang berangkat pagi ini untuk dijamah dan diberkahi. sedang abraham rasakan angin malam menembus tulangnya pada jalan raya yang sepi di sudut kota, tempat ia besar dan dilahirkan.

“gimana kuliah kamu?” abraham tau jelas itu basa-basi yang sengaja mami lontarkan ketika satu batang rokok yang sedari tadi disesapnya tandas dan hanya menyisakan puntung yang ia buang ke sisi jalanan.

mami juga jelas tak mengharapkan jawaban apa-apa dari pertanyaannya ketika abraham hanya tertawa saja lantas kembali membakar rokok keduanya. “baik-baik aja.” namun abraham tetap menjawab meski ia tau mami tak butuh jawabannya.

“makin jago ngerokok kamu ya?”

abraham kembali hisap rokoknya sebelum membalas ucapan mami yang menatapnya dengan tawa yang bengis pada malam yang dingin di mana abraham rasakan udara menghangat secara perlahan melingkupi seluruh tubuhnya.

“belajar dari mami.” dan mami tertawa saja mendengar jawaban dari abraham yang mami tau betul, abraham memang belajar dari dirinya.

pukul tiga lewat tiga puluh menit atau lewat, abraham tak begitu pasti ketika mereka kembali kepada pagar rumah yang usianya sudah melebih abraham sendiri. tanaman yang mami rawat tak menyambut mereka pagi ini sebab mereka sedang terlelap jauh ke dalam mimpi meninggalkan kenyataan yang tengah ia pijak pagi ini bersama mami pada halaman rumah yang telah membesarkannya.

kursi tua panjang yang berada di halaman rumah itu jadi tujuan ketika mami mendudukkan dirinya lebih dulu, di bawah pohon mangga yang tangkainya dipenuhi bunga anggrek.

mami menatap abraham lamat-lamat ketika ia menyesap rokoknya dengan pelan menghembuskan asapnya hingga lenyap ditelan udara dan senyap. mami tersenyum ketika ia hanya mampu menarik sebuah kesimpulan bahwa abrahamnya kini sudah dewasa. lengan kecil abraham yang dulu dipakai untuk meraihnya ketika menginginkan sesuatu itu kini sudah lebih kokoh dari lengannya yang ia pakai untuk menimang abraham mulai dimakan usia.

abraham yang dulu sering menangis ketika inginnya tak dipenuhi sebab ia belum tau bicara itu, kini bungkam sebab ia punya pikiran sendiri yang selalu mami coba untuk selidiki. merangsak meraih abraham dan isi kepalanya yang jauh meninggalkan pikiran mami yang masih menganggap abraham baru dilahirkan.

tak ada yang akan tau bahwa mereka akan sampai pada malam ini, mami menjadi seorang ibu dan seorang anak yang dudu di sampingnya menanti obrolan apa selanjutnya yang akan mereka temui. sebab mami pada usianya yang sama dengan abraham tak akan pernah membayangkan ia akan menghadapi hari ini.

hari di mana ia punya seseorang yang ia besarkan dengan rahimnya sendiri, hari di mana mami melihat abraham seutuhnya telah tumbuh. hari di mana abraham anaknya itu semakin mirip dengan seseorang yang tak pernah hadir diantara mereka, seseorang yang namanya tak lagi pernah disebutkan, seseorang yang kini hidup di dalam diri abraham.

pun rumpangnya ruangnya di dalam diri mami yang bergetar tak akan buat segalanya berubah.

“mami tau kamu punya gitar,” abraham terdiam dengan rokok yang menyala di tangannya bergerak turun perlahan berhenti pada sisi kursi. “waktu ke kost kamu, cika belum sempat mengambil gitarnya ketika mami datang.”

isi kepalanya yang berkecamuk itu kini menjadi semakin tak terelakkan sebab abraham tau apa yang kini dihadapinya adalah apa yang tak pernah ia persiapkan sebelumnya. yang datang tanpa abraham perkirakan.

abraham selalu pandai menyembunyikan dirinya, mengasingkan pikirnya sendiri, menyamarkan wangi curiga yang bisa muncul kapan saja. tapi abraham lupa, ia lupa, lupa bahwa mami telah melahapnya lebih dulu jauh sebelum abraham bisa membaca dan merangkak.

dan ketika dingin dan senyap pagi itu menyapa tulang dan setiap relung milik abraham, ia menggenggamnya, menanti kalimat selanjutnya yang akan mami beri untuknya. abraham menanti amarah, merah yang murka atas tindakannya. tapi hangatnya senyum mami pagi ini luruhkan semua amarah dan murka yang ada ada di dalan kepalanya. seperti sebuah rumah dengan sebuah perapian di musim dingin yang temani dan coklat panas dan kue jahe, abraham temukan hanya dirinya yang direngkuh tanpa amarah.

“abraham tau apa yang buat mami marah?” abraham terdiam menjelma menjadi sunyi yang menjemput sepi pada sepersekian detik untuk direngkuh. “mami marah karena abraham tidak membiarkan mami tau apapun tentang abraham.”

abraham jadi kepompong sepanjang hidupnya. biarkan dirinya di dalam balutan, bersembunyi dari perasaan luar dan tak biarkan setitik cahaya menebus ia dan isi kepalanya. mami pikir abraham akan melunak, namun ia salah abraham semakin kokoh sepanjang waktu semenjak pertama kali ia melihatnya menangis sembari memeluk abraham yang delapan tahun waktu itu.

dunia berjalan dengan cepat, tak selambat pikirannya yang masih mengira abraham adalah anak kecilnya yang butuh untuk dituntun, yang mau mendengarkan dan menerima semua dongeng rimba yang mami ceritakan untuknya. perlahan abraham dan dirinya mengakar menjadi sesuatu yang kokoh, menjadi tameng untuk buktikan mereka hidup dengan baik.

tidak seperti yang mereka ucapkan.

“aham pikir mami gak akan suka kalau aham main gitar, sama seperti dia.”

mami menghembuskan nafasnya dengan keras menahan agar air matanya tidak keluar begitu saja, sebab ia pernah berjanji akan jadi lebih tegar sebab anaknya yang pura-pura tangguh itu menanggung beban yang sama beratnya pada punggungnya yang terlihat muda dan kokoh.

mami menggeleng tegar, “aham mau jadi apapun kamu. aham akan tetap jadi ahamnya mami. aham tidak akan jadi siapa-siapa kecuali arkana abraham. tidak jadi seperti dia, pun tidak akan jadi seperti mami. abraham hanya akan tetap jadi abraham. anak mami.”

“tapi kalau abraham jadi jadi jahat bagaimana?” pertanyaan yang meluncur begitu saja setelah abraham buang rokoknya yang belum tandas, ada sesuatu yang lebih penting pagi ini dari sebatang rokok yang memberinya ilham.

“abraham, mami tidak mengajari kamu untuk selalu jadi orang baik. tapi mami selalu berharap abraham tidak menyakiti siapa-siapa.” usapan pelan mami pada puncak kepalanya melucuti abraham dan segala isi kepalanya, sebab hangat ini melelehkan yang beku di dalam dirinya.

“meski rasa sakit itu sudah bertulang di belakang manusia. mami tetap ingin abraham berusaha untuk tidak menyakiti siapa-siapa, termasuk diri abraham sendiri.”

perlahan abraham sadari dari setiap usapan pulang dari ujung rambut, mami mulai melucuti dirinya yang lama abraham sembunyikan dibalik selimut tua miliknya yang disulam dengan penuh kesabaran dan hangat yang memenuhi kamarnya yang selalu terasa dingin setiap mami tinggalkan ia sendirian dengan isi kepalanya.

“mi,”

“iya?”

“mami jangan tinggalin aham dulu, ya?”

tepat pada ulang tahun mami malam ini, abraham hanya punya satu harapan yang ia sematkan kuat-kuat pada pada malam yang akan pergi digantikan dengan fajar untuk membawa doanya bersemayam pada tempat di mana semua doa sampai dan diselamatkan. pun mami pada usianya yang tidak lagi muda ini akan tetap mengamini setiap doa abraham yang pergi setiap malam. sebab abraham hanya punya mami pada setiap renggang di dalam jiwa. abraham yang rumpang akan selalu memiliki mami yang akan memeluknya bersama dengan doa yang hendak berpulang kepada pemiliknya.

abraham paham kalau hidup adalah pendendam yang membalaskan dendamnya pada manusia-manusia yang lahir tanpa tau apa-apa, tapi sejenak ia bisa lupakan dunia yang pendendam sama seperti dirinya, di hari yang raya di mana semua mengucap mesra, serta mulia, mami.