aroma hangat adrian


awan gelap dan angin yang membisik kulit tanpa sungkan jadi teman yang menemani mereka makan di warung bebek pasca kuliah kini menjelma menjadi rintik hujan yang membasahi setengah luaran kemeja adrian tanpa permisi di belakang abraham yang keadaannya jauh lebih mengenaskan, sebab adrian bisa rakan lengannya yang melingkari pinggang abraham kini basah. tapi adrian dan semua ikan-ikan di dalam kepalanya tersenyum. adrian suka air, adrian suka hujan, dan adrian suka abraham yang sengaja pelankan laju motornya sebab tau adrian suka hujan.

abraham selalu tau bagaimana cara selipkan dirinya diantara semua kesukaan adrian yang buat ia dan aromanya sukar untuk dilupakan. adrian yang hanya paham sedikit tentang dunia dan caranya bekerja hanya bisa memahami; abraham menyenangkan, dan adrian selalu suka ia dan caranya merangsak masuk ke dalam lorong-lorong sempit di dalam hatinya untuk bersembunyi dan menarik selimut hangat untuk sembunyikan dirinya, sebab tau adrian selalu punya banyak hangat untuk diberi meski mereka sedang kehujanan.

orang-orang berebut jalan, berebut untuk berteduh, berebut untuk pulang dan sampai. tapi adrian hanya ingin dengan abraham meskipun harus berjalan lambat, meskipun harus kehujanan. adrian punya selusin sabar untuk dijamu di meja makan ketika semua orang berebut ego.

adrian punya selusin sabar ketika bunda harus meninggalkan ia dengan asi yang distok di dalam kulkas sebab bunda dan kesibukannya enggan untuk dilerai, adrian punya selusin stok sabar ketika ayah hanya boleh pulang setahun sekali dan mengajaknya mengelilingi akuarium di hari libur dan memberinya sebuah aquarium berukuran besar sebagai hadiah sebab esok ia akan menemui hari sibuknya hingga setahun ke depan, adrian punya selusin sabar ketika abang hanya bisa menemuinya enam bulan sekali sebab sekolahnya jauh dari rumah, dan adrian punya selusin sabar ketika harus menanti semua orang tiba pada akhir tahun untuk berkumpul di meja makan yang ditemani dengan masakan hangat tahun baru untuk berbincang tentang liburan mereka sebab harus membayar sabar adrian yang selalu tersedia di meja makan meski harus menunggu setahun lamanya.

“mau neduh di kost aku aja?” dan ketika abraham tawarkan mereka untuk singgah, adrian tak punya jawaban apa-apa selain menganggukkan kepala dan mengikuti abraham hingga sampai di bangunan dengan tiga lantai yang jarak antara satu pintu dan pintu lainnya hanya satu meter.

adrian hanya tersenyum ketika abraham menariknya untuk lewat belakang menuju lantai tiga kamar abraham, abraham tak ingin buat penghuni lain marah sebab mereka membasahi sepanjang jalan. pemandangan hujan di lantai tiga memang tak pernah mengecewakan, adrian bisa liat hujan yang memeluk angin mengguyur seluruh kota sore ini.

“kamu mandi duluan, nanti masuk angin,” ucapnya sambil menyodorkan selembar handuk kepada adrian yang sedikit kebingungan. “nanti ganti baju pakai bajuku gak apa-apa, kan?”

“tidak apa-apa, ian boleh pakai baju terserah asal tidak buat dingin.”

“baju basahnya jemur di jemuran belakang aja biar enggak bau kalau ditumpuk.”

adrian menuju ke kamar mandi setengah berlari setelah diberi tau abraham di mana letaknya. hari ini adrian tak punya banyak protes untuk dikeluarkan, hujan meredam semua suara dan menyulap dingin sore itu jadi sesuatu yang lebih menyenangkan bersama gelembung sabun di dalam kamar mandi yang menangkap senyum adrian sebelum meledak bersama wanginya.


adrian pikir baju yang diberi abraham akan kebesaran, ternyata ukurannya pas di badan adrian. pun wangi yang adrian pikir akan sama dengan wangi abraham ternyata salah, baju abraham beraroma khas pakaian londri kiloan yang kadang sedikit menusuk namun tetap membuat nyaman.

selepas obrolan singkatnya dengan cika setelah ia memberi abraham handuk yang dipakainya tadi adrian kembali masuk ke dalam kamar milik abraham ketika cika berpamitan untuk melanjutkan pekerjaannya yang sempat tertunda selepas membuat adrian harus sabar-sabar menghadapi cika dengan segala kejenakaannya.

adrian baringkan dirinya di kasur berukuran sedang milik abraham, yang empunya berpesan untuk buat adrian merasa senyaman mungkin. ruang kamar abraham dengan nuansa tenang dari pencahayaan kamar yang tidak terlalu terang buat adrian merasa ingin segera cepat-cepat tidur berlomba dengan hujan yang tidak ada tanda-tanda akan segera berhenti menghujam kota seolah tiada hari esok untuk kembali bersua.

abraham punya satu meja belajar dengan kursi yang diisi dengan tumpukan buku yang lumayan berantakan dengan laptop yang dibiarkan bersama beberapa hiasan yang posisinya sama berantakannya. adrian paham abraham jarang punya waktu untuk tinggal di kamarnya sendiri, kesibukan organisasinya buat ia lebih sering menginap di kampus hingga membiarkan barang-barangnya yang dirapikan hanya jika ia ingat.

“aku kira kamu masih di luar sama cika,” bunyi pintu yang dibuka buat adrian sedikit tersentak untuk bangun dan melihat abraham yang rambutnya basah sehabis mandi. satu handuknya sengaja dilampirkan di leher agar air rambutnya tak membasahi belakang punggung bajunya.

“aham kalau sehabis mandi itu rambutnya dikeringkan!” adrian sedikit menggertakkan giginya gemas melihat abraham dengan rambut basahnya.

adrian tarik abraham untuk duduk di tepi kasur dan lengannya langsung meraih handuk yang melingkar di leher abraham, untuk kemudian mengusapkannya pada rambut basah abraham. adrian sibuk mengeringkan rambutnya sembari mengomel pelan ketika abraham baru memproses apa yang baru saja terjadi. adrian yang berdiri dengan baju miliknya di hadapannya sendiri kali ini entah mengapa terlihat sangat berbeda.

ada adrian dengan rona merah muda dari tulang pipi hingga ke telinga ketika ia menyadari abraham menatapnya dengan lama. ada adrian yang kenakan bajunya, abraham bisa hirup aroma parfum londri kiloan di mana ia sering titipkan bajunya di sana, pada tubuh adrian, anehnya abraham bisa hirup aroma lain, aroma wangi shampo miliknya dan entah kenapa ada gelenyar aneh ketika menyadari adrian yang memakainya.

adrian punya aroma yang sama dengannya, anehnya lagi adrian terasa lebih wangi. dan abraham temukan dirinya khidmat dengan wangi adrian. seperti aroma terapi yang menenangkan dengan rasa segar khas pagi hari yang buat ia merasa seperti sedang bangun dari tidur panjangnya.

“dulu mba tika selalu marah setiap ian tidak mau keringkan rambut. mba tika tidak mau ajak ian main kalau rambutnya basah, tapi ian tidak suka pakai hairdryer itu seperti ingin sedot kepala ian dan ian takut. jadi mba tika ajari untuk keringkan rambut seperti ini. lebih lama tapi tidak buat ian takut.” tangannya masih sibuk mengusap rambut abraham dengan handuk yang mulai ikut basah.

“ian udah pernah ketemu mba tika setelah dia berhenti bekerja belum?” pertanyaan tiba-tiba dari abraham itu lantas buat adrian hentikan pergerakannya sejenak untuk menggeleng.

“ian hanya pernah telepon, sepertinya mba tika sudah punya cucu karena anaknya sudah menikah. ian ingin sekali bertemu tapi sepertinya belum ada kesempatan. bunda dan ayah juga sudah janji, hanya mereka sibuk terus, jadi ian cuma bisa tunggu saja. lagipula intan kerjanya sudah bagus, meski masih sering masak terong sampai abang kaget.” adrian dan jawaban panjangnya selalu bisa untuk buat abraham tersenyum untuk menanggapinya.

kalau boleh hiperbola abraham akan samakan suara adrian dengan kicau burung di pagi hari yang menyenangkan untuk di dengar sembari duduk berdiam diri menikmati cahaya matahari dari balik jendela.

adrian dengan segala bisingnya seperti merangsak dengan hangat dan menari hingga ke telinga, ciptakan suasana baru yang abraham belum kenali bentuknya; atau ia sengaja tak mengenalinya.

sebab abraham tau, adrian adalah celakanya dan adrian adalah semua manifestasi dari doa-doa mami yang kerap ia selipkan di balik bantal abraham kecil sewaktu belajar tidur sendirian untuk pertama kali.

sebab abraham tau adrian menjelma pencuri yang mencuri segenggam hati dari nelayan yang tak punya apa-apa selain kasih sayang untuk keluarganya.

sebab abraham tau adrian dan kedua lengannya yang selalu meraih abraham itu adalah bentuk dari apa-apa yang tidak dimiliki abraham dalam genggamannya.

adrian dan celaka adalah satu dua kata berkesinambungan bagi abraham yang selalu mengutuk dirinya. sekon yang menjelma menjadi detik lalu menjemput menit yang tak punya jeda untuk memeluk adalah abraham yang meraih adrian sejengkal lebih dekat dan lebih berani. azab dan sengsara tak punya tempat untuk abraham yang selalu mengutuk seseorang yang tak pernah ingin ian sebutkan namanya, sengsara adalah abraham yang meminta izin untuk mengecup ranum adrian ketika hujan masih terus menghujam jantung kota hingga tenggelam yang persis dengan adrian ketika ia menganggukkan kepala untuk bolehkan abraham meraihnya.

adrian bukan pencium yang handal, dan gelenyar aneh sewaktu abraham rapatkan lengannya yang bertengger di pinggangnya untuk buat adrian dudukkan dirinya di atas paha tebal abraham adalah bentuk dari anomali. ada ledakan-ledakan hangat yang menggelitik dari perut hingga ke ujung kepala ketika abraham meraih wajahnya untuk diusap bersama dengan kecupan memabukkan yang buat adrian hanya berpikir untuk, hanya melakukan ini saja.

hangat, hangat, hangat, dan basah. kecupan basah hingga adrian dibiarkan berbaring di kasur yang tak seberapa itu kalahkan berisiknya hujan yang menyapa jendela kamar seolah mengetuk untuk menegur mereka agar tak kalahkan ia dan tanah yang saling menghujam rindu.

adrian dan kedua lengan hangatnya yang mengusap tiap helai setengah kering rambut abraham itu serupa neraka bagi abraham yang tak mendambakan kebaikan. dunia tak pernah baik, dan adrian adalah kejahatan abraham yang tak akan pernah ia hitung.

adrian dan aroma hangat kebaikannya adalah neraka bagi abraham yang tak pernah mendamba kaki gunung akan ramah untuk beri mereka hidup, adrian dan ikan-ikan di kepalanya adalah serupa lautan yang tak pernah abraham jamah sebelumnya. ia tenggelam dalam hangat, berubah, merangsak, dan mencoba untuk meraih sesuatu yang abraham sembunyikan baik-baik dalam dirinya.

satu senyuman adrian dan dua kecup yang diberi pada sudut bibirnya sebelum mereka habiskan malam dengan saling merengkuh adalah abraham yang selalu tak mampu kendalikan dirinya dibawah aroma hangat adrian yang menghipnotis.

hujan tak kunjung reda di luar sana membalas semua rindu yang tak akan pernah sampai sebab kecupnya kini tertahan ribuan bangunan dan jalan yang tak lagi menyisakan tempat untuk menyambung rindu adalah keegoisan manusia yang tak berbelas kasih, dan adrian yang bercerita dengan hangat sampai mereka kehabisan waktu malam itu buat abraham pura-pura tak mengerti.

hangat yang menjalar hingga ke tenggorokan itu adalah neraka bagi abraham yang celaka. sebab abraham kembali mengutuk aroma hangat adrian kepada dunia dan seisinya.

jangan tumbuh, jangan tumbuh, jangan tumbuh. kau telah lama mati, dan aku tak punya apa-apa lagi.