larung dalam sudut pandang orang pertama


temaram lampu malam di awal pagi ketika aku mendudukkan diri depan seseorang yang ku kenal baik namanya. kawan ku sejak kami masih pakai seragam biru putih ini, punya kehidupan yang berjalan hanya ketika pagi tiba ketika semua orang terlelap pada mimpi-mimpi hari esok. lalu aku? aku hanya seorang manusia yang hidup entah untuk apa. hidup hanya sekali tapi aku bahkan tak tau harus berbuat apa.

ku teguk segelas martini yang disediakan pelayan berbaju ketat tadi sambil mendengar cerita kawan ku tentang kehidupan teater yang dijalaninya. menjadi pelakon panggung tak pernah mudah, pun mimpinya yang satu itu diraihnya mati-matian. naasnya kecewa tak pernah pandang bulu. harapannya untuk membingkai nama dan menjadi pelakon tersohor ternyata harus melawan nepotisme yang mendarah daging di negara yang liberalis ini.

mau menyalahkan siapapun hanya akan berakhir, siapa suruh kami tak punya uang dan lahir dari rahim yang biasa-biasa saja. menuntut adil kepada dunia yang fana rasanya bermimpi di siang bolong, selalu berakhir mengenaskan.

“keparat memang. aku berlatih sampai suaraku hilang, sampai kakiku mati rasa, beberapa orang alzheimer karena dedikasi mereka yang mendalam tapi ternyata kami harus merelakan peran utama kepada cecunguk yang baru mencicipi dunia teater selama setahun hanya karena dia anak seorang yang punya kendali di rumah produksi. bajingan, aku jadi paham kenapa kau menyerah lebih dulu dengan dunia panggung sandiwara ini.”

aku tertawa mendengar semua serapah dan kalimat tentang aku yang lari lebih dulu dari dunia teater. ah, andai dia tahu. aku tak pernah takut dengan nepotisme atau berakhir dengan alzheimer.

aku tak menyalahkan mengapa pandora begitu terpikat dengan semua kotak pemberian dewa dan melepaskan semua hal buruk ke dunia, sebab aku pernah melakukan hal yang sama. begitu terpikat, dipenuhi nafsu, gegabah, dan menuai hal buruk.

pandora menyisakan harapan, sedang aku tak menemukan harapan di mana-mana sebab harapan satu-satunya yang tersisa, telah diperebutkan di mana-mana. mereka yang kehausan, mereka yang kelaparan, mereka yang dijajah tanahnya, mereka yang direnggut kemerdekaannya, laki-laki, perempuan, orang tua, dan anak-anak, mereka semua lahir dan hidup dengan harapan. aku tak punya tempat untuk harapan karena aku memilih untuk kabur, sebab harapan pedihnya bukan main. aku pernah merasanya sekali, dan kupikir aku akan hancur berkeping-keping.

“kau tau aksara sukses menggelar teater dengan naskah ketiganya. kupikir dia satu-satunya dari angkatan kita yang berhasil sukses di dunia panggung sandiwara ini. sukses menjadi seorang sutradara dan seorang aktor. ah, betapa aku ingin menjadi aksara.” aku terdiam beberapa saat setelah mendengar satu nama yang hampir asing di dengar telingaku, tak kusangka akan mendengarnya hari ini.

“begitu kah?” ia kembali menuang segelas martini dengan kasar hingga aku bisa melihat jakunnya yang bergerak dengan cepat dan kasar.

“naskah sangkar bulan benar-benar membawanya ke titik kesuksesan. aku masih tidak menyangka dia se jenius itu dalam membuat naskah. padahal dulu saat pertama kali masuk ke pintu teater ia hanya seperti anak yang hanya mampu mengandalkan keawakan rupanya. harus ku akui naskah sangkar bulan ditulis dengan sangat apik sampai menyabet lima piala sebagai naskah terbaik tahun itu. tak heran jika kesuksesannya semakin merajalela.”

aku tak meminum minuman yang kembali diisikan sejak aku menghabiskan tiga gelas setelah mendengar nama aksara keluar dari mulut kawanku itu. aku dengar baik-baik soal naskah sangkar bulan milik aksara yang menyabet lima juara sekaligus sebagai naskah terbaik. aku tersenyum menatap kawanku itu, ia menatapku yang yang tersenyum kemudian meneguk satu gelas martini yang ku diamkan sejak tadi.

“aku kenal orang yang menulis naskah sangkar bulan itu.”

“kau jelas mengenalnya. kau dan aksara cukup dekat sewaktu masih di teater. ya, pikirku begitu.”

“aku mengenalnya.”


aku ingat pertama kali melihat aksara datang dengan senyumannya di pintu teater, ia memperkenalkan namanya dengan sangat baik, menyapa semua telinga orang dengan ramah. rupanya yang menawan membuatnya dengan mudah diterima meskipun kualitas aktingnya belum sebagus itu.

“namamu larung, kan? aku aksara anak baru di rumah teater ini. aku sudah mengenal semua orang kecuali kamu. aku sering dengar namamu yang selalu disebut-sebut sebagai aktor terbaik dari rumah produksi ini, aku akan sengat senang jika kamu ingin menjabat tanganku.”

ingatanku tentang senyuman dan uluran tangannya hari itu masih ku ingat dengan jelas. ingatan yang seolah masih basah di dalam memori hingga bisa kurasakan bagaimana perasaanku sewaktu ia datang pertama kali dengan senyuman sok ramahnya.

beberapa kali ia mendatangiku untuk meminta mengajarkan bagaimana caranya mengolah ekspresi, dan hal-hal yang masih awam baginya sebagai pemula. ku pikir selamanya aku tak akan pernah suka dengan senyum sok ramahnya itu. tapi lambat laun aku mengerti senyum sok ramah itu, bukan karena aku tak menyukainya. itu memikat ku. caranya menatapku ketika aku mengajarinya dan menemaninya untuk menghapal naskah, kupikir ada sesuatu di dalam sana. ternyata aku menemukan diriku.

ketika atmosfer diantara kami kian berubah aku tau aku mulai sangat menyukai senyumnya, bagaimana ia bersandiwara ketika di atas panggung, penjiwaannya, dan intonasi suaranya yang semakin hari semakin kuat menyapa ruang-ruang di dalam ingatanku. aku beberapa kali mengantarkannya pulang, tak jarang kami kehujanan tapi ia tak pernah mengeluh ketika ia kedinginan dan kuberikan jaket tipis ku berharap agar dinginnya bisa berkurang. lalu ia akan berterima kasih dan sesuatu yang hangat menyelimuti hatiku. dan aku tau aku membiarkan diriku menyelami dirinya.

selalu ada yang pertama kali untuk semua hal, dan waktu itu entah hujan ke berapa yang kami jumpai sepulang dari teater, aku kembali mengantarnya pulang dengan jalan kaki. di tengah derasnya hujan pada kedai yang kami singgahi untuk bertemu ia berceloteh tentang ikan-ikannya yang hanya sanggup ia bersihkan dua kali seminggu dari akibat padatnya jadwal teater waktu itu, aku tau ia sangat mencintai ikan-ikan dari bagaimana ia menyelipkan ceritanya tentang ikan di setiap pembicaraan kami. malam semakin larut, dan hujan tak ada tanda-tanda akan segera surut. genangan-genangan yang tertata pada jalanan semakin melebar, aksara mengeluh ia kedinginan dan aku meminta maaf karena hari itu tak memakai jaket. ia memaklumi, dan kulihat pipinya merona dibalik cahaya kuning lampu jalanan yang ditemani dengan suara gemercik hujan ketika ia menggenggam tanganku untuk pertama kalinya.

ku pandangi wajahnya yang semakin merona ketika ia menatapku yang juga menatapnya, aksara selalu memikat, dan aku tak pernah punya kuasa untuk menolak setiap eksistensinya di sekitarku. sewaktu aku mengecup bibirnya pertama kali ketika hujan tak mau kalah dengan gemuruh di hatiku, aku khawatir ia tak nyaman. tapi apa yang ia lakukan setelah aku menjauh membuatku tanpa sadar kembali berharap, ia meraihku dan kembali menciumiku. aku suka ketika ia mengalunkan tangannya di leherku dan membiarkanku memeluk pinggangnya dan semakin meraihnya untuk menciumnya lebih dalam lagi. pikiranku melayang, aku memujanya diam-diam dalam ciuman yang dicuri sewaktu hujan datang di malam yang dingin.

“aku, aku suka. aku menyukainya.” jawaban malu-malunya malam itu sehabis kami berciuman membuatku semakin tak bisa melupakannya.

kami semakin sering menghabiskan waktu bersama sehabis dari teater, tak jarang mencuri kesempatan untuk saling mencumbu ketika semua orang lengah. sayangnya kami bukan apa-apa. kupikir ia belum siap, dan aku bisa menjadi apapun untuknya.

pertama kali bercinta dengannya kupikir ini seharusnya hanya dilakukan oleh sepasang kekasih. dan kami bukan sepasang kekasih. hal itu aku tekankan kepadanya. tapi jawaban yang ia beri membuatku tak bisa apa-apa, sebab aksara dengan semua sihir di matanya membuatku bungkam.

“cukup cintai aku saja.” bisiknya di telingaku dan aku tenggelam seperti eros yang takluk akan psyche, sayangnya tak ada zeus di antara kami yang membiarkan eros menikahi psyche. sampai akhirnya aku tau, aku terlalu terlena dengan aksara yang memikat.

“kabar baik untuk kita semua, naskah sangkar bulan milik aksara terpilih menjadi naskah terbaik di festival teater bumi. selamat untuk aksara yang telah membawa nama teater kita.”

ku pandangi senyum aksara yang malu-malu hari itu setelah setahun ia mejalani hidupnya di panggung teater ini. aku segera pergi dari panggung. ada yang salah di sini.

aku kembali mengingat-ingat aksara yang lembut di dalam kepalaku, berharap semua ini haya pikiranku saja. naasnya ketika aku kembali membuka laptop di mana aku menuliskan semua naskahku, aku menyadari ada satu tajuk yang hilang.

sangkar bulan telah dicuri dariku.


setelah perbincangan yang lama dan nostalgia yang panjangnya hampir membuatku mual setiap mengingatnya. aku pulang dengan keadaan jijik dengan diriku sendiri yang tak berdaya dan dipenuhi bau kebohongan. dusta telah memakan ku dan tak menyisakan apapun.

di tengah perjalanan pulang ku nestapa menyapa, membuatku menepikan diri di depan sebuah toserba. aku menatap setiap rintik hujan yang jatuh silih berganti. mengecup tanah, menyapa rindu yang berulangkali tak tersampaikan lewat mendung kelam yang kembali terbawa angin. mungkin hujan malam ini membalaskan dendamnya lewat gemuruh riuh yang menyahut sarat akan kerinduan.

aku kembali membayangkan bagaimana kalau dulu aku tak lari, bagaimana kalau dulu aku tetap berdiri di ata panggung dan bersandiwara? akan kah aku akan tetap sama dan hidup lebih baik? andai dulu aku meminta penjelasan, andai dulu aku tak jatuh ke dalam pelukan aksara, andai dulu tak pernah ku terima uluran tangannya apakah aku larung akan menjadi satu-satunya, sama seperti dulu?

sebab larung hari ini tak menjadi apa-apa dan membiarkan hidupnya terbawa arus, meninggalkan gemerlap cahaya panggung dan suara ketikan hingga larut malam, irama dansa dan suara ketukan kaki, musik pengiring, rasanya sudah terlalu asing, dan larung tak lagi menemukan dirinya di dalam sana.

“larung, larung? itu kamu larung?” suara itu menyambut kembali lamunanku. aku menatap ke depan dan kubiarkan diriku kembali tertarik pada kelam matanya yang menatapku diantara hujan yang menghalangi.

entah siapa tuhan pemilik sandiwara malam ini. aku tak menyukainya.

di sana berdiri aksara kelana dengan payung hitamnya. kaca mata dengan bingkai hitam tebal menghiasi matanya tapi aku masih bisa melihat mata itu dengan jernih. ia tersenyum menghampiriku.

tidak! harusnya kau jangan lakukan itu!!

Tuhan!!! di mana kah hatimu malam ini?!!

gemuruh riuh di dalam hatiku yang ku redam mati-matian bergejolak hampir membuatku kembali memuntahkan semua isi perutku.

aroma hujan dan aroma tubuhnya yang masih sama sejak terakhir kali aku mengingatnya, membuatku semakin tak berdaya. kalau boleh mungkin aku akan biarkan diriku tenggelam di malam-malam sebelumnya kalau tau hari ini akan datang.

“kemana saja kamu selama ini? aku mencari mu kemana-mana, larung.”

“benarkah?” aku memasukkan kedua tanganku pada saku celana, menyembunyikan setiap apa-apa yang sanggup ku sembunyikan.

“kamu pergi begitu saja. kamu menghilang lima tahun.” jedanya, suara aksara kelana masih sama merdunya, tak ku pungkiri merdunya meredam dengung yang sejak tadi ingin meledak.

“aksara, haruskah kita bersandiwara sekarang? kita tak lagi berada di panggung teater. aku bukan lagi seorang pelakon atau seorang tuhan panggung.”

“apa maksudnya? aku tak sedang bersandiwara.”

“kau tau semuanya aksara. kau telah hidup lebih lama di dalam sana. aku seharusnya tak menjelaskan apapun, kau mengetahui semuanya.”

ia terdiam sebentar, mengulurkan tangannya untuk merasakan rintik hujan menyapa kulitnya, melewati sela-sela jari kemudian kembali mencium tanah. “kau pernah mencium ku saat hujan.”

“harus kuakui kau punya pesona yang menarik siapa saja untuk memperhatikanmu. meski aku jelas tau kau sama sekali tak menginginkannya. aku menyukai tatapan matamu ketika di atas panggung dan bersandiwara. kamu awai, memerangkap siapa saja untuk menatapmu. ketika kamu menginjakkan kaki di atas panggung kau mencuri semua cahaya. betapa hebatnya bumi larung.” aku menatapnya tanpa berbicara, membiarkan ia hanyut bersama dengan arus yang ia bawa sendiri.

“semua orang memuji rupaku dan menganggap aku hanya mengandalkan rupaku saja untuk masuk teater. tapi kau sama sekali tak melakukannya. aku menyukainya, kau yang melihatku bukan hanya sekadar dari rupaku. kau menatapku dengan utuh, aku menyukainya.”

“aksara, apa kau pernah memikirkan perasaanku sebelumnya?” selaku kemudian.

“aku selalu memikirkan mu.”

“kau tak pernah memikirkan ku, aksara. kau selalu hanya memikirkan dirimu. kau membuang ku setelah mendapatkan yang kau inginkan. bertingkah seolah kau masih sangat bersimpati padaku saat ini sangat membuatku merasa jijik.” aku menatapnya dengan penuh amarah tapi yang ku dapati hanya aksara yang tatapannya masih selalu sama dengan bola mata jernihnya. “kau tak mencari ku kemana-mana, kau hanya kebetulan saja menemukan aku hari ini.”

“bukan kah itu terlalu kasar? hidup bebas membuat mu berubah.”

“kurasa tak ada lagi yang bisa kita bicarakan. aku telah berubah, dan kau masih sama saja.” hujan belum benar-benar berhenti ketika aku meninggalkannya beberapa langkah. “selamat atas naskah ketiga mu. ngomong-ngomong aku kenal seseorang yang cara penulisannya sama seperti naskah ketiga mu itu. selamat.”

gerimis membasahi tubuhku dengan perlahan. aku tak peduli lagi, kaki ku hampir mati lemas jika aku masih tetap di sana.

“kau pernah berjanji untuk mencintaiku, larung!!!” ku dengar teriakannya yang dibersamai dengan gerimis.

aku pernah bermimpi untuk menjadi tuhan di atas panggung sandiwara ini, namun sayangnya mimpiku dicuri oleh seseorang yang memeluk ku sewaktu aku tertidur lelap dipelukannya.

“ya, aku melakukannya sampai sekarang, keparat!”

selain mencuri naskah di mana aku menjadi tuhan di dalam sana, dia juga mencuri separuh diriku dan tak pernah mengembalikannya. aku tak berharap ia mengembalikannya, sebab mengembalikannya sama dengan membunuhku demi dirinya. aku masih punya harga diri yang ku sisakan untuk diriku sendiri.

setidaknya untuk mengasihani diriku sendiri aku pernah berharap aksara sedikit merasa bersalah atas dirinya sendiri dan memikirkan ku, sekurang-kurangnya hanya sekali. cinta mungkin tak pantas kami kenakan bersama tapi kuharap ia sedikit merasakan hangatnya yang pernah ku selipkan di dalam selimutnya yang pernah aku singgahi, meskipun harus dikoyak kenyataan. sebab sejatinya manusia lahir dan berharap mereka akan bahagia, lalu kecewa.


illicitesther © 2024