manusia dan memori rumpang

cw; smoking


mungkin dunia tidak senang padanya, mungkin dunia enggan berbohong untuknya, mungkin dunia hanya seadanya untuk dia, mungkin dunia hanya tak punya apa-apa yang bisa diberi untuknya yang kecil dan tidak berdaya di dunia yang luas dan sempitnya tidak bisa diukur dengan satuan angka dan jarak. mungkin hati dibiarkan mati tanpa dikuliti, mungkin hidup dibiarkan kering kerontang tanpa pertolongan, mungkin doa tak lagi sampai kepada yang dituju ketika ia berdoa sampai patah kaki dan tinggal tulang ketika meminta belas kasihan.

dunia tidak lebih dari tempat penyiksaan baginya yang perlu dibohongi dunia untuk dibahagiakan, sayangnya dunia tak pernah punya banyak belas kasih yang bisa dibagi rata untuk semua yang bernyawa. dunia terlalu rumpang untuk dirinya yang sama tidak utuhnya. dunia ingin paham apa ketika mereka sama rumpangnya? bersekongkol dengan dusta pun tak ada gunanya, sebab mereka rumpang yang tak lagi bisa dilengkapi.

“gue bisa kasih lo semuanya, asal enggak berisik perihal tadi.” dunia dan rumpangnya buat lintang bertemu dengan pemuda urakan yang tidak paham apa-apa kecuali dengan kenyataan kalau dia punya uang dan bisa membeli semuanya.

paradoksnya dunia manusia memang berbeda-beda. pun, lintang tak pernah mengharapkan manusia yang berbeda-beda itu untuk bisa selalu memahami dan membuat mereka mengerti, karena sama seperti mereka yang tidak akan pernah bisa untuk buat lintang mengerti.

mereka mana bisa paham kenapa lintang yang baru berusa enam tahun harus belajar fisika dan kalkulus, sampai harus bimbel kemana-mana padahal rumah mereka tidak berlantai tiga dan berada di perumahan elit ibukota. lintabf tidak akan pernah bisa buat mereka paham kenapa leehan yang berusia dua belas tahun sangat marah karena rekan tim nya salah menjawab di menit terakhir. mereka tidak akan paham kalau lintang takut untuk pulang ke rumah karena itu. sebab mama akan tau kalau lintang gagal lagi.

paham apa mereka ketika lintang harus kembali gagal dalam olimpiade yang dia persiapkan mati-matian ketika dia dipaksa kalah padahal jawaban yang dia beri tak ada yang salah sebab ada kompensasi dari nama anak orang besar yang harus dijaga padahal lintang yang baru tiga belas itu belajar sampai mimisan. mereka tidak akan paham kenapa lintang yang ambisius itu tak pernah lagi ingin untuk menerima tawaran mengikuti olimpiade padahal dia memiliki isi kepala yang menjanjikan, sampai harus berdebat dengan mama yang hampir kehilangan kewarasan sebab lintang yang lima belas sudah bisa melawan.

“lo enggak mau? atau uangnya kurang? gue bisa kasih lagi besok. asal lo bisa tutup mulut soal yang ini, gue bisa habis kalau ketahuan.” lintang tak bisa sembunyikan kesalnya ketika seseorang bilang dia bisa habis karena hal sepele ketika dia sendiri sudah habis sejak lama tanpa harus berulah.

“semuanya segampang itu ya kalau kita punya uang?” yang di seberang sana bisa tangkap ledakan amarah yang datang untuknya, pun dia tak masalah dengan itu. sebab puntung rokok yang masih menyala itu segera dia padamkan untuk menatap kobaran api yang jauh lebih membara dari sepuntung rokok di tangannya.

“sayangnya, iya.” puntung rokoknya dibuang untuk kemudian mencuci tangannya di depan wastafel dan menatap lintang dari pantulan cermin. pemuda itu tersenyum remeh menatap kobaran api yang sayangnya terlihat putus asa di depan sana. “mungkin kalau lo punya, lo bisa paham kenapa semuanya bisa segampang itu hanya karena uang.”

lintang dibuat banyak-banyak belajar kalau harta bisa membeli semuanya, dan mereka tak punya itu. meski mama memaksa menyetarakan mereka setidaknya tentang isi kepala meskipun harus berdarah-darah dan patah kaki.

kenyataannya mereka memang tidak pernah setara, dan lintang memahami itu dengan baik. lintang hanya ingin buat mama mengerti kalau dia tidak harus bekerja sampai tertatih-tatih hanya untuk membayar biaya bimbel di tempat mahal agar mereka setara.

lintang hanya ingin mama mau mengerti kalau lintang tidak akan bisa sama seperti anak papanya yang bisa bimbel di tempat mahal tanpa harus memikirkan token listrik yang mulai berbunyi.

“tapi gue berharap kalian gak akan pernah mengerti, sih.”


mungkin pada akhirnya mama menyerah untuk menanamkan setiap harapannya pada lintang meskipun banyak kecewa yang harus dia telan. tapi lintang paham betul kalau mereka tak bisa hidup seperti itu. mereka hanya berdua, tidak ada yang boleh sekarat atau mereka tidak akan tertolong di dunia yang rumpang ini.

lintang tidak pura-pura tuli ketika mama diam-diam masih menangisi perceraiannya, lintang tidak pura-pura buta ketika mama menyimpan banyak dendam yang hendak dibalas untuk membuktikan setidaknya mereka bisa hidup lebih baik meski hanya berdua saja, dan lintang tidak pura-pura tahu ketika keinginan mama itu sesekali masih ia selipkan ke dalam kotak bekalnya setiap pagi.

“gue pikir lo bakalan nyariin gue buat minta pertanggungjawaban karena udah tutup mulut.” mungkin sebaiknya mereka tidak pernah berurusan saja, mungkin sebaiknya lintang tak pernah lihat dia saja, mungkin seharusnya waktu itu ia tak perlu menegur bertingkah sok superior, seolah dia bisa menyelamatkan satu dunia dengan itu, padahal menyelamatkan dirinya sendiri saja tidak sanggup.

“kita gak punya urusan.” hanya itu yang bisa lintang jawab untuk menghentikannya sebelum mereka pergi terlalu jauh.

“salah ingat kali, padahal gue pikir kita punya urusan yang panjang untuk dibahas.” pemuda itu bertopang dagu sambil tersenyum di hadapan bekalnya yang siap untuk dihabisi kalau saja dia tidak datang menginterupsi.

lintang sepanjang hidupnya mungkin tidak akan paham kenapa senyum itu semakin melebar ketika dia menatap pemuda di hadapannya, padahal lintang yakin wajahnya cukup datar saat itu. lintang tak akan pernah paham kenapa ketika pemuda itu menyuruhnya untuk melanjutkan makanannya dia melanjutkan tanpa merasa keberatan, lintang sepanjang hidupnya mungkin tidak akan paham kenapa tatapan pemuda itu diam-diam tersimpan baik di dalam lemari memorinya.

atau lintang selamanya tidak akan pernah paham ketika pemuda itu tiba-tiba pergi dan meninggalkan selembar kertas, yang buat lintang diam terpaku di tempatnya.

//gedung b, pukul lima sore.//


mungkin dunia dengan segala rumpang dan manusia dengan segala paradoksnya adalah satu-satunya hal yang tidak akan bisa punah di dunia ini selain keingintahuannya. mungkin ketika hewan-hewan dan tumbuhan kembali berevolusi manusia menjadi satu-satunya yang tidak akan pernah beranjak sebab merasa bahwa mereka adalah puncak solid yang tidak terganggu lagi sebagai puncak kehidupan.

mungkin dunia dan seisinya akan tetap menjadi paradoks yang tidak akan pernah ditemukan jawabannya, sebab lintang telah injakkan kakinya sebelum pukul lima sore di tempat yang tidak seharusnya begitu dia pikirkan. tapi manusia dengan segala keingintahuannya adalah hal yang membuat mereka tidak punah dan terus hidup.

lintang sampai di tempat yang tertulis di kertas itu. entah untuk apa, entah untuk apa, entah untuk bertemu siapa. ketika kakinya melangkah hingga lantai terakhir dan hanya menemukan dirinya berada jauh diatas tanah dengan pemandangan kota penuh polusi dan kendaraan yang berderet seperti semut-semut yang pulang mencari makanan demi sang ratu.

ditatap sekelilingnya dan lintang tak temukan siapa-siapa kecuali angin yang menyapa kulitnya lembut seolah menyapa kawan lama yang lama tak mengunjunginya dan meminta penjelasan. lintang biarkan dirinya duduk dipinggiran dengan kaki menggantung, diam-diam lintang menikmati pemandangan yang dilihatnya sekarang. langit cerah yang kontras dengan kehidupan perkotaan yang berisik dengan polusi di bawah sana.

“gue pikir lo gak bakalan datang.” ada sengatan yang datang seribu kali lebih cepat ketika suara itu menyapa. “lo lumayan nekat buat duduk di situ, tapi gue rasa bukan ide yang buruk kalau gue juga duduk di sana bareng lo.”

setelahnya yang lintang tau hanya mereka berdiam diri menyelami isi kepala masing-masing, mencoba untuk berlari dari kota yang selalu berlalu seribu kali lebih cepat.

“lintang,” yang dipanggil menoleh sedikit terkejut ketika pemuda itu ternyata mengetahui namanya. “lo menyelamatkan gue ketika memilih untuk enggak bilang apapun tentang gue waktu itu.”

“itu bukan sesuatu yang harus gue bilang ke semua orang.”

pemuda itu hanya mengangguk untuk mengiyakan, menyisakan lagi mereka yang asing dengan satu sama lain tapi memilih untuk tetap duduk berdampingan.

“semuanya bisa jadi seribu kali lebih rumit ketika lo punya sesuatu yang harus dijaga.”

“gue enggak akan pernah paham dengan cara kalian bicara.”

pemuda itu tertawa mendengar jawaban lintang yang terdengar hanya seperti celetukan untuk menanggapi tanpa harus banyak berpikir. mereka habiskan waktu sampai matahari terbenam untuk saling berbagi isi kepala yang temukan rumpangnya masing-masing. lintang biarkan dirinya diam-diam tersenyum ketika mendapati pemuda itu menatapnya diam-diam dengan tatapan yang akan selalu lintang tanyakan maksudnya sepanjang hidupnya sebab setelahnya lintang dapati dirinya terbelenggu.

“kira-kira kalau suatu saat gue butuh pertolongan lagi, apa lo bakalan datang?”

dan ketika matahari terbenam sepenuhnya sore itu lintang biarkan dirinya meraih apa-apa yang seharusnya tak perlu dia raih untuk sebuah belenggu membingungkan yang biarkan dia terpenjara bersama pikiran yang entah berkelana kemana, sebab lintang temukan dirinya mengawang bersama jawaban yang dia beri.

“kita liat nanti.”

sebab setelahnya pemuda itu hilang bersama dengan jawaban mengawang di dalam kepalanya, bersama dengan ingatan yang lintang simpan baik diam-diam di setiap sudut memorinya yang rumpang bersama dengan namanya yang masih kerap lintang selipkan pada setiap paginya dua tahun terakhir. dan, utara lars heide hilang bersama dengan jawaban yang lintang tidak temukan jawaban.