rasa, jiwa, dan manusia

cw// kissing


selalu ada abraham yang bentuknya baru adrian temui di setiap celah yang sengaja dibiarkan berlubang begitu saja, selalu ada abraham yang coba adrian selami dan akhirnya selalu tak menemukan apa-apa, sebab abraham tak pernah datang bersama jawaban yang pasti. abraham adalah gamang yang meng udara bersama burung-burung, bersiul memikat mata dan telinga yang begitu menggoda untuk dinanti. ada adrian yang diam-diam menikmati keresahan dan gelisah yang datang bersama hamburan kesenangan yang dibawa abraham secara bersamaan, dan hanya menyisakan adrian yang sama gamangnya.

adrian tak punya tebakan kemana abraham akan membawanya ketika ia berjanji akan membawa mereka ke suatu tempat, berdua saja katanya. adrian tak akan pernah mengerti bagaimana abraham dan setiap sudut pikirannya yang tak punya celah untuk ditelisik. yang untuk coba dicuri, untuk ketahui sekiranya apa yang sedang ia pikirkan dan adrian hanya selalu menemukan ruang kosong yang hanya ada dirinya sendiri di dalam sana.

tepat ketika mereka menginjakkan kaki pertama kali ke sebuah tempat ramai pengunjung yang silih berganti, abraham membawanya ke sebuah tempat yang tidak terlintas barang sejenak dalam pikirannya, dan adrian memilih untuk tidak lagi bertanya sebab abraham tak pernah datang dengan jawaban.

aneh, sebab tepat setelah mereka menginjakkan kaki di tempat tujuan dari perjalanan yang jauh, mereka hening, dan bisik-bisik di dalam kepala adrian turut hening bersama dengan abraham yang hari ini hanya gunakan kemeja biru langit dan celana jeans yang dipadukan dengan topi hitam yang bingkai kepalanya. buat adrian rasakan kesan tenang dan dingin dari abraham yang hilang beberapa hari untuk kemudian datang dan menemui dirinya.

adrian bukan orang yang mudah tersinggung. ia belajar banyak tentang memahami, dan abraham yang tenang hari ini buatnya paham untuk tak banyak bertanya sebab abraham bilang mereka hanya berdua saja. tenang, hening, gamang. mereka berdua saja, adrian dengan pikirannya, dan abraham dengan pikirannya. satu yang pasti adalah ketika abraham menggenggam tangannya untuk bawa adrian temui sebuah patung berbentuk dua tangan yang membawa sebuah obyek abstrak menyambut mereka pertama kali.

di tengah bisik-bisik manusia lain diantara mereka adrian hanya mampu pandangi abraham yang pandangan matanya menatap lurus dan tak bergerak. “menurut kamu kira-kira, tangan itu bawa apa?”

adrian butuh jeda panjang untuk menjawab pertanyaan tiba-tiba dari abraham, “ian pikir tangan itu coba untuk menyerap sesuatu, mungkin sesuatu di dalam dirinya.”

“jiwa. jiwa manusia.”

setelahnya adrian tak punya jawaban apa-apa dan abraham membawa mereka melangkah menelusuri setiap objek yang menawan mereka untuk disinggahi. genggaman tangan yang sejak tadi tak dibiarkan untuk lepas itu buat adrian senang untuk menatapnya lamat-lamat. ia suka bagaimana hangat telapak tangan abraham yang menggenggam nya yang tak seberapa. adrian selalu punya banyak kata untuk diucapkan tapi hari ini genggaman tangan abraham pada sela-sela jarinya cukup untuk membuatnya diam dan tersenyum menatap abraham yang ia rindukan eksistensi nya.

dan ketika seluruh ruangan berubah semerah darah yang bersinar setelah mereka memasuki salah satu bilik di mana kini abraham membawanya buat adrian sedikit tercekat. benang-benang merah yang dirangkai mengelilingi ruangan itu membuatnya terdiam menatap sekeliling. hening. seolah semua orang sedang menyelami diri masing-masing melalui benang-berang kusut yang saling terangkai jadi satu. hening yang damai itu hanya dipecah oleh bunyi cetakan kamera, ia memperhatikan orang-orang yang mengabadikan momen-momen terkecil dan tenggelam bersama dengan rasa intim yang dibawa oleh benang-benang itu. ia dapati abraham yang sejak tadi sama hening nya itu menatap lamat-lamat.

“pemilik benang-benang ini pernah bilang kalau, koneksi, atau merasa terhubung adalah bagian dari eksistensi kita. dia bilang kalau tanpa merasa terhubung dengan sesuatu atau seseorang kita tidak akan merasa ada.” mata abraham menelusuri setiap sudut ruangan yang saling terhubung, merangkai bentuk abstrak yang sukar untuk diurai.

“ian rasa itu benar. banyak orang mungkin sering mempertanyakan eksistensi mereka. mereka berdiri di keramaian, melihat, mencium bau, berpijak, tapi tidak merasa ada. bisa jadi itu karena dia merasa tidak terhubung dengan sesuatu. berdiri sendiri. tunggal. sendirian. sama seperti rangkaian benang-benang ini tidak akan terbentuk kalau hanya ada satu benang lurus.” adrian bisa lihat abraham mengangguk dan rasakan elusan jari abraham pada ibu jarinya yang seolah sedang menganhtarkan sesuatu. sesuatu yang sukar diketahui maksudnya.

“aham, aham,” abraham menoleh untuk menanggapi adrian yang berikan isyarat ingin bertanya. “ian pernah liat aham menulis, pakai tinta merah! padahal kan katanya tidak boleh pakai tinta merah, kenapa aham menulis pakai tinta merah?”

“kenapa tiba-tiba nanya itu?” abraham tersenyum sejenak, dan adrian sepertinya sedang berpikir keras menatapnya.

“karena ruangan ini merah, ian ingatnya itu.”

butuh jeda lama untuk abraham bisa sampaikan jawabannya, pun adrian hanya mampu menanti saja. sama seperti biasanya.

“warna merah itu selalu dinilai sebagai lambang darah dan hubungan antar manusia. warna merah itu sendiri bisa menyimbolkan banyak hal terkait kehidupan, adrian. darah, koneksi, dan memori.” adrian hanya mengangguk-angguk sebagai jawaban.

adrian tak akan pernah mengerti bagaimana abraham dan setiap sudut pikirannya yang tak punya celah untuk ditelisik itu memberi ruang. yang untuk coba dicuri, untuk ketahui sekiranya apa yang sedang ia pikirkan dan adrian hanya selalu menemukan ruang kosong yang hanya ada dirinya sendiri di dalam sana. dan abraham masih berdiri tanpa celah yang buat adrian paham, abraham tak suka ditemukan, abraham lebih suka menuntun dan menemukan.

“masih mau jalan enggak?” adalah tanya yang diberi abraham setelah satu jam mereka mengelilingi setiap sudut yang dipenuhi dengan karya seni sang pemilik benang koneksi itu.

adrian terdiam sebentar, berpikir. meskipun ia jelas tau jawabannya, adrian tak ingin hari ini berakhir dengan cepat. adrian tak mau genggaman tangan mereka yang bertaut sejak tadi ini hanya menyisakan dingin yang adrian enggan ingat. adrian masih sangat ingin berlama-lama. menghabiskan waktu. membuang-buang tenaga. bersama abraham.

“kemana lagi kita hari ini?”


abraham dan semua ketidaktahuan adrian tentangnya, selalu berhasil meledakkan sesuatu di dalam diri adrian. pun senyum cerah adrian yang selalu menyegarkan seperti embun pagi itu buat abraham ikut untuk tarik sudut bibirnya, ikut rasakan kegembiraan adrian ketika mereka sampai di tempat kedua; tempat di mana adrian selalu suka berlama-lama, akuarium.

ada adrian yang menggenggam dan menarik lengannya dengan antusias bahkan ketika mereka baru injakkan kaki menuju tangga untuk ke tempat di mana makhluk-makhluk itu disembunyikan dan hanya menyisakan kaca kasat mata diantara mereka. adrian dan antusiasmenya, adrian dan kegembiraan adalah satu hal yang absolut bagi abrahan. sebab ia bisa ingat senyum itu sepanjang harinya nanti untuk disimpan, untuk kemudian ia ambil kembali sewaktu-waktu ia ingin melihatnya lagi.

“aham! aham! liat-liat itu ikan hiu!! ayo kasih dia nama sebelum hiunya lewat.” abraham tak pernah tau kalau adrian akan seantusias ini, binar matanya terpancar buat ia sedikit pangling untuk tak mengalihkan pandangannya beberapa saat sebelum menatap ke arah yang dimaksud adrian.

“yang ini ian kasih nama ciko! halo ciko. aku ian, yang di samping aku namanya aham!!” ucapnya pada salah satu ikan yang sejak tadi mondar-mandir. “aham, itu kasih nama hiu paus yang paling besar itu.”

abraham tergelitik sesaat sebelum mengucapkan satu nama yang lewat di kepalanya, “miguel.”

adrian menoleh, sedikit keheranan. “kenapa namanya miguel?”

“kenapa yang tadi namanya ciko?”

“ish, ian tanya!”

lagi-lagi ia tak bisa sembunyikan senyumnya, sesuatu menggelitik di dalam kepala dan perutnya buat abraham rasa ada sedikit ringan yang dirasa tanpa sadar. “namanya miguel biar dia bisa nyanyi poco loco.”

setelahnya abraham mengadu karena adrian menyikut pinggangnya setelah mendengar jawaban yang terdengar sangat tidak serius darinya. “liat-liat yang itu namanya ian.” ia menunjuk salah satu ikan pari yang lewat.

“itu nama ian! kenapa dikasih ke ikan pari?”

“senyumnya mirip kamu.”

“aham, ikan pari itu tidak senyum.”

“tetap mirip kamu. namanya tetap ian.” adrian mendelik sebelum menunjuk salah satu hiu martil yang berenang paling dasar.

“berarti hiu yang itu namanya aham.” abrahan naikkan satu alisnya untuk bertanya, ketika adrian lebih dekatkan dirinya pada kaca yang jadi satu-satunya sekat diantara mereka untuk melihat kemana perginya hewan yang dimaksud tadi.

“hiu itu seperti abraham. pendiam. hiu tidak bersuara karena mereka tidak punya organ yang bisa menghasilkan suara.” jelasnya tanpa melirik pada abraham yang kini pandangannya entah kemana, entah menelisik apa di depan sana. “ikan pari dan hiu itu... punya hubungan, beberapa ilmuwan percaya mereka punya nenek moyang yang sama.”

“jadi, mereka saling berkaitan, ya?” adrian hanya mengangguk dan abraham kembali diam, memperhatikan hiu yang berenang dengan tenang di dalam jeruji yang memenjarakannya.

gerakan kecil dari jemari adrian yang meraihnya untuk menempelkan tangannya pada kaca ketika melihat salah satu pari yang sedari tadi mondar-mandir itu berjalan lurus kearah mereka, buat abraham tak bisa lakukan apa-apa selain mengikuti adrian. “ian hari ini senang tidak?”

“senang. ian sudah lama tidak ke aquarium karena biasanya pergi dengan kakak ian. atau ditemani ayah dan bunda. tapi mereka semua sibuk, ian pernah pergi dua kali dengan guping tapi setelah kuliah sepertinya semua orang sibuk, termasuk ian sendiri. tapi hari ini datang lagi. ian senang sekali.”

“habis ini kita makan ya?”

“iya.”

“mau jagung bakar enggak?”

“ian mau!!!”


ternyata harapan untuk menikmati jagung bakar dan ditemani langit sore di tepi pantai lenyap begitu saja ketika hujan mengguyur kota sore itu dengan begitu derasnya. menyapa jalanan yang kering tandus tak terjamah hujan setelah beberapa minggu. beberapa orang bersumpah serapah, beberapa lagi bersyukur kota mereka masih hujan, adrian cemberut di perjalanan pulang sebab sudah membayangkan akan menikmati jagung bakar yang manis dengan bumbu sedikit pedas yang disertai aroma hangus yang menggetarkan lidah.

“makan sate aja ya?”

“ian ingin jagung bakar.” kekeuhnya meskipun abraham tau itu hanya akan bertahan sebentar sebelum ia mencium wangi sate kambing kesukaannya di persimpangan jalan sebelum masuk kompleks perumahannya.

“pakai lontong ya mas! kecapnya sedikit, jangan pakai jeruk. pakai bawang goreng. di bungkus. tiga porsi.” abraham hanya bisa menggeleng dan ikut saja apa maunya, enggan merusak suasana hati adrian yang kembali membaik setelah mencium aroma bakar dari sate yang mengundang banyak pelanggan silih berganti.

pun abraham tak punya rencana untuk terjebak di rumah adrian hingga pukul sembilan malam, tapi hari ini sepertinya hujan senang berlama-lama karena tak ada tanda akan berhenti buat ia tak punya pilihan lain. adrian setuju untuk ia menginap di kediamannya malam ini, satu orang lagi yang ada di rumah adrian sepertinya juga tak punya masalah apa-apa.

setelah menghabiskan satu porsi sate yang satu porsi lainnya sengaja adrian pesan untuk intan, mereka beranjak dari ruang tamu untuk naik ke dalam kamar adrian. abraham berdehem canggung sebelum masuk dan sedikit terkejut dengan kamar adrian yang punya tank besar mengelilingi setengah lingkaran kamarnya.

“ian pulang.” sapanya kepada penghuni akuarium di sudut sana, ia langsung memberi mereka makan dan abraham mendekat untuk ikut memperhatikan kegiatan makan malam mereka dengan adrian yang gemas sendiri, buatnya tak tahan untuk usap puncuk kepala adrian dengan pelan.

setelah membersihkan diri dan memberi aham satu kaos yang sekiranya nyaman untuk dipakai adrian tak punya kegelisahan atau skenario apapun di dalam kepalanya. sebab ketika jarum jam menunjukkan pukul sebelas adrian temukan dirinya tak bisa tidur, menyadari abraham ikut berbaring di sebelahnya. adrian tidak tau apakah abraham terlelap dan hanya dia saja yang tiba-tiba merasakan kejanggalan karena detak jantungnya mendadak berdetak tak karuan.

ia coba untuk mencari posisi yang nyaman ketika ia tersentak saat satu lengan abraham menariknya mendekat dan berbisik lewat punggung telinganya, “kenapa dari tadi gerak-gerak terus? enggak nyaman?”

“bukan begitu aham.” adrian coba jelaskan kebingungannya meskipun tak pernah tersampaikan dan abraham hanya tersenyum.

“hari ini ian senang tidak?”

ia lantas mengangguk tanpa penolakan, “ian senang, ian ingin berterima kasih karena aham sudah bawa ian pergi ke tempat-tempat yang menyenangkan. meskipun gagal makan jagung bakar, tapi makan sate kambing tadi sama enaknya!”

“itu untuk ganti beberapa minggu kita enggak ketemu.” jelas abraham.

adrian sadari pipinya memanas di tengah cahaya lampu akuarium nya yang jadi penerang remang-remang. lingkaran tangan abraham pada pinggangnya tak dilonggarkan sama sekali. pun adrian bisa rasakan nafas pelan abraham dari balik tengkuknya. sepertinya mereka benar-benar tak berjarak.

deru nafas yang berjalan dengan seirama itu dibiarkan jadi satu-satunya yang berani bersuara pada pukul dua belas ketika adrian menyadari ia sama sekali tidak meras terlelap, sebab ada sesuatu yang mengganjal di dalam hatinya.

“aham sudah tidur?”

“kenapa?”

ada ragu yang menjalar hingga ke puncak ketika ia mendengar jawaban dari balik punggungnya, abraham juga belum terlelap, entah karena apa. yang adrian tau hanya malam ini ia tak bisa berpikir dengan pelan, sebab isi kepalanya mendadak berpacu.

“aham, boleh tidak ian minta aham untuk kabari ian, sedikit-sedikit saja kalau aham ada waktu? tapi kalau aham tidak ingin tidak apa-apa.” suaranya memelan diakhir kalimat, tapi abraham dan jarak mereka sekarang bisa dengar semuanya dengan jelas. “ian selalu bingung kalau aham tidak ada kabar. selalu ingin tau aham sedang apa.”

“adrian, balik sini ya? liat aku.” adrian menolak dan abraham rasakan pemuda itu sedikit terisak kebingungan dengan dirinya sendiri.

“aham, ian suka dengan aham.” abraham tau, dan ketika ia coba untuk membuat adrian berbalik kearahnya ia mulai tak menolak meskipun isakan masih terdengar dengan pelan. abraham tau adrian tak terbiasa dengan situasi mengganjal yang asing baginya.

adrian tak mengerti kenapa ia terisak tiba-tiba, ada perasaan asing yang tak ia ketahui dari mana asal dan sebabnya. adrian hanya punya beberapa kalimat di dalam kepalanya dan hanya itu yang sanggup ia sampaikan. pun ketika abraham menariknya ke dalam pelukannya ia hanya mampu membalas. wangi tubuh abraham yang bercampur dengan wangi sabunnya buatnya sedikit tenang, dan bisikan maaf dari abraham terasa seperti sihir yang menyihir adrian dalam sedetik.

“iya, nanti adrian dikabarin.”

“ian tidak suka aham seperti itu.”

“iya maaf. kalau ian gak suka bilang, nanti gak akan diulangi lagi.”

anggukan di dalam dekapannya buat abraham ikut rasakan tenang yang hangatnya menjalar lewat pelukan adrian. ada tenang yang selama ini ia idam-idamkan, ada hangat yang lama tak dicecapinya setelah sekian lama, ada adrian yang merengkuhnya pada pukul dua belas ketika pagi hampir menjemput kembali setiap luka yang sengaja untuk dilupa, dibiarkan terlelap seolah ia bisa tidur selamanya.

adrian mengintip di tengah dekapan abraham yang menyembunyikannya untuk menatap abraham yang coba untuk terlelap, dan adrian perhatikan setiap ruas wajahnya, merapikan rambut abraham yang terlihat menganggu pemandangannya untuk menatap abraham dari dekat.

“kenapa belum tidur?”

“aham, aham tau tidak kalau ian takut gelap?” tak ada jawaban dari aham. “tapi aham jauh lebih gelap. tapi anehnya ian tidak takut. aham lebih seperti hiu yang pendiam, suka sendirian, dan jarang bergerombol.”

“orang-orang takut sama hiu adrian. mereka jahat.”

“tidak semua hiu jahat abraham. ada yang baik juga.”

“adrian,”

“iya?”

“tidur.”

“cium.”

“huh?”

“ian ingin ciuman dengan aham, boleh?”

“memang kamu pernah ciuman?”

adrian menggeleng pelan mendapati pertanyaan dari abraham yang membuatnya cemberut tak suka dengan pertanyaan abraham. “kenapa aham tanya nya seperti itu?”

“kenapa tiba-tiba mau ciuman?”

“ish, ian ingin ciuman dengan aham itu berarti aham spesial untuk ian!!!”

setelahnya abraham tak banyak bertanya lagi, ia membawa adrian untuk lebih dekat, mengikis jarak yang menghalangi. menarik adrian untuk berikan kecup-kecup yang pertama kali menyapanya untuk dibawa ke dalam sebuah pangutan yang baru pertama kali adrian cicipi rasanya. merasakan bibir abraham yang meraihnya dengan pelan dan membawanya untuk mengecap hangat dari lidah masing-masing. adrian pencium yang buruk tapi abraham lebih suka menuntun dan menemukan.

tepat ketika jam mulai meniti kembali menit yang dilewati dengan ciuman-ciuman panjang untuk pertama kalinya, ada hangat yang menjalar dari dada hingga ke seluruh tubuh. ada rayuan dari pulau kelapa yang menjelma menjadi serbuk manis yang abraham yakini sudah lama mati itu kembali memeluknya.