malam yang bengis ketika abraham memilih untuk pulang dan terlelap


nestapa menyambut ketika tuhan sedang menangis dan abraham meringis di perjalanan pulang yang bengis. abraham bisa lakukan apa saja untuk menepis tapi ia memilih menepi agar tak ditilik. abraham bisa lakukan apa saja agar tidak ditemukan. abraham dan semua bengis di kepalanya hanya punya satu rumah untuk pulang pada pukul satu pagi ketika semua orang terlelap pada mimpi-mimpi yang mulai usang dimakan waktu sebab hidup tak pernah jadi satu, dan abraham paham dunia tak akan satu meskipun ia menangis hingga habis.

pukul satu lewat empat puluh ketika televisi berukuran kecil itu menyiarkan siaran tengah malam yang jarang abraham perhatikan, ada detak jam yang setiap detiknya seirama dengan detak jantung, ada senyap yang coba dihantarkan lewat angin malam yang lolos dari celah-celah jendela. ada abraham yang meminta tenang lewat usapan pelan dari lengan yang membesarkannya hingga ia paham tentang hidup dan nelangsanya.

jari-jemari yang jadi semakin lebih kurus dari yang terakhir kali ia ingat itu tak lantas buat hangatnya jadi berubah. abraham jelas tau hangat yang ada di sini tak akan pernah ia temukan di belahan dunia manapun. yang hangatnya seperti matahari pagi yang menyapa embun di dedaunan untuk segera diluruhkan dari segala resah dan sesat. pun abraham tak ayalnya embun yang dipenuhi sesat tak kasatmata.

“mami...” napasnya menghembus pelan dan sosok perempuan yang matanya fokus dengan layar televisi itu tidak beralih sejak tadi, “mami pernah gak ngerasa takut?”

satu deham sebagai jawaban tak buat abraham mengulang pertanyaannya, “takut... takut... takut, ya?” nada bertanya-tanya itu buat abraham mendongakkan kepalanya untuk menatap lamat-lamat, menanti jawaban.

jeda yang di diamkan lamat-lamat di ruang tamu pagi itu meninggalkan sunyi yang bergemuruh ke seluruh penjuru ruangan, menyisakan mami yang meletakkan pancong dingin yang sengaja disisakan untuk di rumah, mami memandang udara sejenak biarkan pertanyaan itu semakin jauh tertinggal dan abraham paham ia harus menunggu lebih lama.

“mami punya banyak. ada banyak.” diingatnya kembali beberapa kenangan yang diselipkan di setiap sudut rumah mereka. “mami takut waktu pertama kali abraham bisa merangkak dan jalan keluar kamar, mami takut waktu pertama kali abraham bisa jalan abraham jalan ke depan jalanan dan mami meminta tolong papanya cika untuk buat penghalang di pintu. mami takut waktu abraham pertama kali ke tk dan pulang sambil menangis karena berkelahi dengan teman sebangku yang buat mami meminta supaya kamu dan cika dikasih duduk sama-sama. mami takut waktu menjemput abraham di sekolah dan abraham enggak ada, ternyata kamu sama cika ada di depan muara night dan langsung diamankan ance yang waktu itu masih kerja di muara night. mami takut waktu kamu smp mami disurati karena ternyata kamu berkelahi sampai hidung temanmu patah. mami takut waktu sma mami dapat rokok di dalam tas kamu, mami takut kamu jadi perokok aktif seperti mami. itu semua ketakutan-ketakutan mami, tapi apa yang buat mami semakin sadar kalau mami ternyata punya lebih banyak ketakutan adalah waktu abraham pertama kali kuliah dan tinggal jauh dari mami. mami enggak lagi melihat kamu duduk sarapan di meja makan sambil ngomel-ngomel kalau mami merokok pagi-pagi padahal kamu apa bedanya. mami enggak lagi melihat punggung kamu hilang dibalik pintu, apalagi sewaktu mami sadar kamu enggak lagi menjemput mami di muara night. setiap pulang mami selalu takut, hari ini abraham sudah makan apa belum, kaki kamu dingin waktu tidur atau tidak, kamu malam ini tidurnya pakai selimut yang hangat atau tidak. tapi jauh dari itu mami takut kamu terlalu nyaman di sana dan gak mau pulang.”

“kenapa mami mikirnya begitu?”

mami terdiam. sekon berganti jadi detik dan detik berganti jadi menit, mami menyadari ia membawa dirinya sendiri kembali menelusuri ruang waktu yang telah lama tak dijajah.

“manusia itu,” jeda itu kembali biarkan mami merangkai kalimat dan ingatan yang bertubrukan di dalam kepalanya, menjelma menjadi salju yang membakar semua ingatan yang ada, mami tau abraham punya banyak hal yang sengaja tak ia tanyakan. “akan sulit beranjak ketika merasa nyaman.”

“meskipun kenyamanan itu berarti menyiksa dirinya sendiri.” lanjutnya ketika suara dari televisi itu semakin melebur bersama bisingnya ingatan yang menyapa sudut-sudut yang telah lama ia tinggalkan. “nyaman itu tidak melulu tentang apa hari ini mereka hidup berkecukupan dan berbahagia, beberapa orang memanipulasi diri mereka sendiri dan menikmati kehidupannya dengan kesedihan.”

abraham merubah posisinya jadi menyamping menatap meja dan vas bunga yang sudah harus diganti besok pagi. mami tak pernah mau menaruh bunga imitasi sebagai hiasan rumah mereka, abraham beberapa kali kesusahan ketika bunga itu harus diganti dan toko bunga langganan mami tutup untuk beberapa asalan.

rambutnya masih terus diusap dengan perlahan, abraham selalu merasa kecil setiap kali ia meminta untuk diberi usap di kepala, diam-diam berharap usapannya bisa meluruhkan. dan bagi mami abraham selalu sama kecilnya, abraham tak pernah benar-benar menjadi dewasa di rumah yang selalu menyimpan dan menyambut kepulangannya.

setelahnya tak ada suara yang mengusik. mereka kembali kepada kepala masing-masing, mengingat malam-malam ini sebagai malam yang selalu dicari sekaligus malam yang mereka hindari.

pada setiap hari yang ia langkahi abraham paham tentang dirinya, abraham tau betul ia sedang mencari-cari dirinya sendiri pada hari-hari yang ia langkahi, pada setiap sudut rumah yang usianya jauh lebih tua darinya, pada meja makan yang telah berganti tiga kali, pada pintu yang menyaksikan tingginya bertambah setiap tahun, pada jendela yang berebut tempat degan ranting pohon yang ikut bertumbuh setiap harinya. pada akhirnya abraham hanya tau ia tak suka ditemukan.

“kalau abraham sendiri pernah takut tidak?”

dan mami selalu hampir menemukannya di malam-malam yang selalu mereka cari-cari dan hindari.

“abraham takut mami.” usapan di kepalanya berubah menjadi satu sentilan yang buat ia meringis biarkan tawanya mengudara bersama detak jam yang berjalan seirama dengan detak jantung.

“gak seru ah kamu.” abraham hanya tertawa saja, biarkan mami dengan nada merajuknya itu kembali menatap pada layar televisi yang sempat diabaikan.

“mami kerja di muara night udah berapa lama?”

“lebih lama dari usia kamu.”

“abraham serius, mi.”

“mami juga serius.” mami menatap abraham di yang masih menyamping di pangkuannya. “mami di muara night dua tahun sebelum kamu lahir. kalau sekarang abraham 20 tahun berarti mami di muara night sudah 22 tahun.”

“udah selama itu ternyata.” abraham hanya mendapati anggukan dan kembali diam, menanti menit-menit berikutnya untuk kembali membuka suara. “kalau nanti abraham gak jadi apa-apa, boleh ya abraham kerja di sana?”

mami menatapnya penuh tanya, namun yang ia dapati hanya keseriusan di mata abraham. “boleh. mereka akan menerima kamu sama seperti mereka menerima mami. tapi yang harus kamu tau bahwa maya dan yang lainnya mungkin akan merasa sedikit kecewa karena ternyata kamu kembali ikut di jalan mereka dan mami. maya, ance, luna, dian, dan karmila punya harapan besar untuk anak satu-satunya di muara night, mereka bahkan sudah punya seragam untuk wisudamu nanti. dipikir-pikir lucu juga kalau kamu tiba-tiba berhenti kuliah.”

abraham hanya tertawa saja, menikmati bayangan-bayangan mengenai orang-orang yang selalu merangkul mereka pada hari-hari terik dan haus akan arti kehidupan. “mami dan orang-orang di muara night itu sudah seperti saudara ya.”

mami mengangguk untuk menanggapi dibersamai dengan usapan yang makin memelan ketika mami merapikan rambutnya yang tidak berantakan. “yang perlu abraham tau adalah, bagi mami, muara night itu bukan lagi perihal pekerjaan. mereka keluarga satu-satunya yang mami punya, sama dengan abraham.”

“kalaupun nanti abraham tidak jadi apa-apa mereka akan menerima abraham sama seperti mereka menerima mami yang bukan apa-apa sampai sekarang. dengan atau tidak jadinya abraham, mami akan tetap sama. mami akan tetap jadi mami. mami akan tetap jadi maminya abraham.”

“jadi abraham saja sudah cukup untuk mami.”

mami diiris untuk satu napas abraham di dunia, membesarkan abraham sama dengan memberikan seluruh hidupnya untuk abraham.

“dengan abraham saja sudah cukup, kan?” mami bisa dengar abraham bergumam mengulang kalimat yang sama, cepat atau lambat mungkin mami harus menghadapi abraham seorang diri, sebab sedari dulu hanya ada mereka berdua yang saling memberi hangat di rumah yang sepi oleh satu figur yang harusnya ada diantara mereka.

“pertanyaan mami soal ketakutan abraham. abraham gak bohong waktu abraham bilang takut mami. abraham takut kalau enggak sama mami abraham akan jadi apa? kalau lahir di tempat lain gak ada yang menjamin abraham akan jadi abraham. abraham takut mami abraham di tempat lain bukan mami. abraham takut kalau bukan mami yang jadi mami abraham.”

ketika rentetan kalimat panjang itu terucap dengan pelan dan intonasi abraham yang seperti hendak mengalahkan pelannya hembusan angin pagi itu buat mami menanti dan tidak menantikan kalimat selanjutnya sebab mami tau selalu ada bagian dari dalam diri abraham yang tak bisa ia temukan meski mencari hingga ke setiap penjuru rumah ini.

“tapi apa yang paling abraham takutkan adalah...” jeda panjang itu buat mami menghentikan usapan jemarinya pada rambut halus abraham yang selalu menghantarkan hangatnya kasih seorang ibu pada abraham di hari-hari yang pelik dan haus. “diri abraham sendiri.”

mami tau celakanya. mami tau pada setiap pilihannya yang tak punya belas kasih itu selalu ada celaka menanti diujung sana. mami tau abraham tak pernah selipkan satu orang yang seharusnya ada sebab celaka telah membawa abraham untuk tidak mengenal, pun mami dengan besarnya kasih yang ia punya hanya menyisakan rasa bersalah di penghujung hari di mana abraham selalu pulang dengan nestapa di belakang punggungnya yang meminta untuk disuap agar segera luruh padahal semuanya hanya harapan dan manifestasi sebab mami pun juga menanam nelangsa di balik punggungnya.

dan pagi itu tepat pukul empat ketika cahaya perlahan perlahan mulai sedikit menggeser gelap malam yang menyesakkan hanya menyisakan mami yang diam-diam menangis pada malam yang bengis ketika abraham memilih untuk pulang dan terlelap di pangkuannya.