Pulang
Di penghujung juni di tahun 2018 tepatnya pada tanggal 10 lalu heeseung ketahuan oleh orang tuanya habis beradu tenaga dengan salah seorang temannya, ibunya murka langsung menyuruh para bodyguard nya untuk menyeret heeseung pulang secara paksa.
“Lee heeseung, mau sampai kapan kamu kayak begini?, Kamu tahu gak sih, kamu bikin mama malu.” Wajah wanita paruh baya itu terlihat memerah menahan emosi.
Heeseung tidak menjawab memalingkan wajahnya yang membiru di beberapa sisi kearah lain, “Semua fasilitas kamu di sita gak ada penolakan, dan besok kamu berangkat ke Makassar urus perusahaan di sana tidak ada penolakan dan tidak ada bantahan. Kalau kamu menolak mama lepas tangan, urus diri kamu sendiri.”
“Mom, I know I was wrong but this is not the way.” Wanita paruh baya itu menggeleng, kemudian mengambil dompetnya meninggalkan heeseung dengan segala perasaan tidak terimanya.
“Ma— mamah masih ada cara lain buat hukum heeseung.”
“Ingat heeseung kamu nolak mama lepas tangan.” Wanita itu kemudian berlalu di ikuti beberapa bodyguard dengan setelah baju hitam badan kekar.
Heeseung duduk di sofa berwarna putih dengan harga selangit itu, menyandarkan kepalanya mengacak rambut frustasi, “Fuck” heeseung menatap sekeliling ruangan rumah dengan banyak interior mewah itu terlihat elegan namun terasa dingin.
“Tuan, semua keperluan anda sudah di kemas di dalam kamar tuan bisa lihat sendiri jika masih ada yang kurang.” Heeseung mendengus kasar menanggapi Paman Park, salah satu orang kepercayaan keluarganya.
Heeseung jalan menuju kamarnya beberapa kali bertemu dengan pelayan rumahnya yang menunduk hormat kepadanya namun heeseung mengabaikannya, tidak peduli dengan semua itu pikirannya berkecamuk dari sekian banyak cabang usaha keluarganya kenapa juga dia harus ke Makassar, heeseung tak tahu menau soal kota itu akan sulit beradaptasi.
Pemuda itu sampai di dalam kamarnya mendapati satu koper berukuran sedang di dekat tempat tidurnya, heeseung beralih mengangkatnya membuka koper itu kembali mengecek barang apa yang kurang, kening heeseung berkerut saat melihat lipatan kain berwarna hitam berada di lipatan paling atas kopernya, kemudian mengangkatnya memperlihatkannya pada paman Park.
“Sejadah, untuk sholat tuan.” Heeseung tertawa kemudian menggeleng, mengeluarkan sejadah itu keluar dari dalam kopernya kemudian berjalan menuju lemarinya mengambil beberapa tumpukan uang berwarna merah lalu memberikannya kepada paman Park.
“Ini uang dari gue, bukan dari tuhan.” Heeseung tersenyum sumringah, meninggalkan paman Park yang terdiam di tempatnya.
Paman Park menatap kepergian tuan mudanya itu, dia tahu betul sejak kematian ayahnya beberapa tahun silam tuan muda itu telah kehilangan kepercayaannya kepada sang pencipta, menolak semua ajaran yang paman Park coba ajarkan untuknya.
Paman park menatap tumpukan uang di tangannya itu kemudian membawanya kembali kedalam lemari dan menutupnya, dia melihat sekeliling kamar tuan mudanya menghela nafas sebentar kemudian menatap punggung sang tuan muda yang kian menjauh dengan seyum sembari berdoa dalam hati agar tuan mudanya segera menemukan jalan pulangnya.
Keesokannya heeseung telah tiba di bandara Sultan Hasanuddin Makassar, heeseung memakai kaca matanya berjalan keluar di depan sana melihat dua orang mengangkat banner bertuliskan 'Welcome to Makasar tuan heeseung' sembari berteriak. “TUAN HEESEUNG, TUAN HEESEUNG DI SINI!”
Kedua orang itu berteriak sembari menunjuk diri mereka sendiri, heeseung melepas kaca matanya menatap kearah kedua orang itu yang langsung berlari menghampirinya. “Halo tuan heeseung, perkenalkan saya Hamzah biasa di panggil anca, kalau ini ia temanku namanya Dimas biasa di panggil aco.” Ucapnya semangat sambil menunjuk seseorang di sampingnya dengan logat khas Makassar.
“Jadi puang heeseung di sini tugas kami itu jadi pemandunya puang selama di Makasar mengurus usahanya keluarga lee.” Aco menjelaskan kemudian menuntun heeseung untuk berjalan keluar dari bandara.
“Kalian udah makan?” Tanya heeseung tiba-tiba membuat kedua orang itu berbalik menatapnya.
“Sudahmi puang, kalau kita ia?”
“Kita?”
“Kalau kita itu bahasa makassarnya kamu, puang.”
Hari itu di hari pertama heeseung tiba di Makassar mereka menghabiskan waktu di salah satu warung makan yang berada di pinggir pantai, untuk mengisi kembali perut mereka.
Hari ketiga di Makassar heeseung memilih untuk melihat pekerjaan proyek keluarganya yang berada di dekat pantai, heeseung berjalan tanpa alas kaki menikmati pasir pantai yang di injaknya sesekali di susul oleh ombak kecil yang membuat kakinya basah.
Heeseung menatap sekitaran pantai yang sepi, jauh dari hiruk-pikuk kota yang menyesakkan berada di tempat ini cukup menjadi sebuah refresing dari padatnya polusi di kota sana, matanya tak sengaja menangkap seorang pemuda yang tengah memungut sampah memasukkannya kedalam karung berukuran besar.
Entah dorongan dari mana kaki heeseung melangkah mendekati pemuda itu jarak mereka kurang lebih lima meter ketika heeseung berhenti tatkala pemuda itu menegur beberapa wisatawan yang membuang sampah sembarangan.
“Tabe, janganki buang sampah sembarangan.” Maaf, jangan buang sampah sembarangan
Pemuda itu berucap sedikit sarkas membuat wisatawan tersebut sedikit kebingungan tidak paham dengan bahasa pemuda tersebut. “Don't litter, you can put the trash in the place provided. ” Heeseung membantu pemuda itu memberi tahu turis tersebut.
“Oh, i'm sorry.” Turis tersebut memungut kembali sampahnya kemudian membuangnya pada tempat yang telah di sediakan di sekitaran sisi pantai.
“Terimakasih.” Ucap pemuda itu kepada heeseung yang hanya mengangguk tersenyum menatap pemuda itu terkesima.
“Kita bukan orang sini? Dari kota?” Tanya pemuda itu kemudian yang di tanggapi dengan anggukan oleh heeseung.
“Iya, gue dari jakarta kesini ngurus beberapa hal.” Pemuda di depannya itu hanya mengangguk paham.
“Sunghoon.” Heeseung sebetulnya tidak berekspektasi tinggi bahwa pemuda di hadapannya ini akan lebih dulu mengulurkan tangan dan berkenalan dengannya.
“Heeseung.” Dia membalas uluran tangan pemuda, kelabakan saat pemuda di hadapannya itu tersenyum kearahnya. Senyum yang berhasil memabukkan heeseung pada awal mereka bertemu.
“Ternyata di sini ada yang manis juga, ya.”
Uluran tangan yang membuat keduanya bersua pada hari itu menjadi awal dimana heeseung merasa bahwa pusat dunianya kini beralih sepenuhnya kepada pemuda itu. Seolah ada magnet raksasa yang terus-terusan menarik heeseung untuk mencari keberadaan pemuda itu, seringkali diam-diam mengikuti pemuda itu yang punya kebiasaan membersihkan pantai tanpa di suruh.
Pernah sekali heeseung bertanya kenapa pemuda itu suka sekali datang kepantai dia mendapati jawaban yang tidak terduga.
“Tidak ada yang lebih indah, daripada melihat kegigihan laut yang menolak berhenti mencumbui bibir pantai. Meski berkali-kali harus menjauh terbawa arus.
Itu kata mama dulu setiap aku tanya kenapa dia suka sekali sama pantai, setiap datang kepantai itu rasanya seperti pulang, deru ombak selalu datang menyambut setiap kali aku datang kesini rasanya kayak ketemu mama lagi.”
Pulang, ya? Heeseung sendiri tidak paham apa definsi pulang untuknya.
Setelah kejadian itu banyak hal yang terjadi kepada mereka, heeseung seringkali menyisihkan waktunya untuk berjalan berdua dengan pemuda itu menikmati semilir angin di tepi pantai.
“Sunghoon, boleh tangannya gue pegang?” Pertanyaan yang menimbulkan semburat malu di pipi pemuda itu membuat heeseung berdecak gemas melihat bagaimana pemuda tersenyum malu sambil mengangguk.
Heeseung meraih tangan pemuda itu menyelipkan jarinya sunghoon diantar jari jemarinya, menggengam tangan pemuda itu dengan erat. Mereka banyak menghabiskan waktu di pantai untuk saling memberi afeksi yang membuat heeseung sadar bahwasanya perasaannya pada pemuda ini bukan sekedar perasaan suka biasa yang sering kali dia temui.
Mereka semakin dekat saking dekatnya mereka sunghoon kini berani mengajak heeseung untuk datang ke rumahnya, tanpa di tawari dua kalipun heeseung mengiyakan untuk datang.
Kini dia berada di sekitaran rumah-rumah tinggi di pesisir pantai, heeseung menatap sekeliling di sekitaran rumah-rumah tinggi itu ada masjid di tengah-tengahnya yang ramai di isi anak-anak yang mengaji selepas shalat membuat heeseung terdiam di tempatnya menatap kearah sana, sebelum kesadarannya diambil alih oleh tepukan di pundaknya membuatnya menoleh melihat sunghoon dengan sarung yang di lilitkan di pinggang di tambah sajadah yang taruh diatas pundak kanannya.
“Kak heeseung udah sholat?” Pertanyaan sunghoon yang di tujukan untuknya itu membuat heeseung terdiam menggaruk tengkuknya canggung.
“Ayok kak sholat dulu.” Sunghoon menarik tangannya namun heeseung sama sekali tidak bergeming dari tempatnya membuat sunghoon kebingungan.
“Aku gak sholat hoon.”
“Loh, kenapa? Kakak nonis?” Gelengan yang di berikan heeseung kembali membuat sunghoon kebingungan.
“Aku gak percaya tuhan, hoon.” Kalimat itu cukup untuk membuat sunghoon diam tak bergeming di tempatnya.
Ada banyak waktu yang mereka lewati dalam diam dengan canggung sunghoon sendiri sebenarnya kebingungan dengan pemuda di hadapannya ini. “Kak, kalau kakak gak percaya sama tuhan kakak gak akan pernah merasa pulang.”
“Gue gak percaya hoon, gue dulu tiap hari sholat berdoa tiap waktu tapi gak ada satupun doa gue yang terkabul, padahal gue cuma minta keluarga gue buat utuh lagi tapi nyatanya tuhan malah ngambil ayah gue. Dia justru ngebuat keluarga gue makin gak utuh.”
Sunghoon melihat bagaimana raut pemuda itu terlihat marah dia melihat guratan amarah yang bercampur di sana, sedih, marah, dan kecewa. Sunghoon kemudian mengangkat satu tangannya untuk mengelus puncak kepala heeseung kemudian tersenyum.
“Tuhan ngambil ayah kamu bukan tanpa alasan, tuhan gak ngejawab doa kamu karena mungkin masalahnya ada di sini.” Sunghoon menunjuk dada pemuda di hadapannya itu. “Kamu meragukan dia dalam hati kamu itu sebabnya waktu dia ngerebut ayah kamu kamu bukan tambah banyak berdoa tapi melupakan ajaran yang kamu pelajari dari kecil.”
Heeseung terdiam mendengar penuturan pemuda di hadapannya itu, kemudian tersadar sedari kecil dia memang banyak mempertanyakan kenapa mereka harus sholat kenapa mereka harus meminta doa kepada dia yang wujudnya bahkan tidak ada sedari dulu dia banyak meragukan tuhan sehingga tuhan mengujinya apakah dia akan terus berpegang teguh pada ajarannya sejak kecil atau justru meninggalkannya karena sejak dulu dia ragu dan sering mempertanyakannya, padahal tuhan tak seharusnya dia pertanyakan tentang tuhan.
“Tuhan itu ada, kalau kakak mempertanyakannya dia ada di sini.” Dia menyentuh sisi kepala heeseung, “dan disini, di dalam hati setiap manusia kalau dia memilih untuk percaya.” Sunghoon kemudian menaruh telapak tangannya di dada pemuda itu merasakan bagaimana detak jantung heeseung berpacu dengan cepat.
“Sunghoon, di cariko sama bapak, pulangko cepat menunggumi di sana itu.” Sunghoon, di cari sama bapak, pulang cepat udah di tungguin
Seorang pemuda dengan wajah hampir mirip dengan sunghoon menghampiri mereka, mengalihkan ekstensi mereka yang sebelumnya terpaku dalam sebuah tatapan dan kengahangatan di temani sayup-sayup angin malam.
“Kenapai?” Kenapa?
“Datang ih lagi.” Dia datang lagi
Heeseung menyadari perubahan raut wajah dari pemuda di hadapannya itu tanpa berpamitan kepadanya berjalan menuju rumahnya yang berada tak jauh dari tempat mereka. Menyisakan pemuda yang tadi dengan heeseung dia menatap heeseung lamat-lamat.
“Kita itu yang sering jalan di pantai sama sunghoon baru baku pegang tangan toh? Pacarnya ki pasti toh?” Kamu yang sering jalan di pantai sama sunghoon sambil pegangan tangan kan? Kamu pasti pacarnya kan?”
Heeseung paham apa yang di katakan pemuda di hadapannya itu namun dia tidak tahu harus menjawab apa.
“Mau ih di jodohkan itu sunghoon, kalau iya memang kita sayang itu sunghoon susulmi, ka to tidak adami lagi alasannya sunghoon untuk tolak itu sandrego karna itu hari alasannya panai 500 juta nah ini hari datangmi sandrego bawa panainya.” Sunghoon mau di jodohkan, kalau memang kamu sayang sama sunghoon susul dia, karena dia tidak punya alasan lagi untuk tolak sandrego karena waktu itu alasannya panai 500 juta dan hari ini sandrego datangmi dengan panainya
Panai atau uang panai adalah uang belanja untuk pengantin mempelai yang diberikan oleh pengantin pria merupakan tradisi adat suku Bugis-Makassar di Sulawesi Selatan.
Heeseung mencerna menerjemahkan ucapan pemuda itu dengan pelan sebemum kemudian berlari menyusul sunghoon yang kemungkinan besar telah sampai di rumahnya.
5 menit waktu yang di butuhkan heeseung untuk sampai kerumah panggung tersebut dia menaiki tangga dengan terburu-buru, berdiri di depan pintu melihat sunghoon yang menangis di hadapan ayahnya juga dengan orang-orang yang duduk diatas kursi, heeseung melihat pemuda yang bernama sandrego.
“Ndak mauka di jodohkan, pak.” Saya tidak mau di jodohkan, pak
“Tidak bisaki nak, kita sendiri yang bilang kalau sandrego sanggup kasih ki panai 500 juta dia bisa nikahiki.” Tidak bisa nak, kamu sendiri yang bilang kalau sandrego sanggup memberi panai 500 juta dia bisa menikahi kamu.
Sunghoon menggeleng menangis memeluk bapaknya yang juga sebetulnya tidak rela jika anaknya harus menikahi sandrego. “Ada pacarku pak, mauka saya menikah sama dia.” Aku susah punya pacar, saya mau menikah dengan dia.
“Siapa?”
“Saya pak, saya heeseung pacarnya sunghoon.” Heeseung berucap dengan mantap selama mendengar percakapan mereka di depan pintu heeseung telah memantapkan hatinya kepada pemuda itu.
Sunghoon berlari kearah heeseung menghamburkan dirinya di pelukan pemuda itu sambil menangis tersedu, sesekali berguman bahwa dia tak ingin di jodohkan.
“Apa ini? Sudah mika bawa panaiku sesuai yang mu mau sunghoon.” Apa ini? Saya sudah bawa panai sesuai dengan yang kamu mau sunghoon.
“Saya lee heeseung pacarnya sunghoon, mungkin terlalu tiba-tiba ka' datang tapi saya datang kesini untuk lamar anakta.”
Semua orang di dalam sana terdiam saling memandang, heeseung sendiri kini beralih melonggarkan dekapan pemuda di hadapannya itu kemudian menangkup wajah sunghoon dengan kedua tangannya, menatap sunghoon lamat-lamat kemudian memgahapus jejak air mata di pipi sunghoon dengan jarinya.
“Sunghoon maukan ngajarin gue tentang agama? Bawa gue pulang.”
Sunghoon kembali mendekap heeseung dengan erat.
Heeseung tersenyum mendapati sunghoon mengangguk di dalam pelukannya yang sesekali masih terisak.
Tanpa heeseung sadari sunghoon tersenyum dalam tangisnya, dia berhasil membawa heeseung pulang.
Cara semesta bekerja untuk setiap orang mungkin menang terlalu rumit, heeseung yang selama ini sering kali mempertanyakan soal tuhan di pertemukan dengan sunghoon yang sama sekali tidak pernah meragukan tuhan, mengajarinya bahwa kenyakinan itu sendiri sejatinya berasal dari hati yang tidak pernah meraguakann-Nya.
Dalam perjalanan mencari hakikat hidup yang sebenarnya heeseung yang sering kali tersesat kini menemukan seseroang yang mampu menuntunnya kembali ke jalan pulang pada hakikat yang sebenarnya, tentang pulang dan membawa kembali kepercayaan-Nya. Pulang bersimpuh kembali kepada yang kuasa.
Sekarang heeseung paham alasan kenapa dia datang ke kota ini adalah untuk menjemput kembali kepulangannya.
Semesta memang selalu punya skenario terbaiknya untuk mempertemukan setiap orang dan belajar banyak hal, tersmasuk pertemuan heeseung dan sunghoon juga tentang arti kata pulang.
##Fin